Thursday, September 27, 2007

Apakah makna ramadhan bagi kita?

Apakah makna ramadhan bagi kita?


Ramadhan? Apakah yang tiba-tiba menyeruak di pikiran kita saat mendengar kalimat itu. Apakah yang membayang-bayang dalam imaji kita saat itu di sebut , sebuah pikiran yang instan, sebuah pemikiran reflex, sebuah pemikiran yang tanpa melalui pemikiran. Langsung meluncur saja.
Dulu, ketika saya masih kecil, ramadhan identik dengan semangkok kolak, karena memang menu wajib di rumah waktu berbuka adalah kolak. Dulu juga, di pikiran saya, ramadhan adalah saat adu keras mengucapkan sholawat antar musholla tiap selesai dua rokaat sholat tarawih. Bagi teman-teman yang pernah tinggal di desa pasti mengerti tentang itu. Sekarang, entah tradisi itu masih ada atau tidak, karena sudah sangat jarang sekali, terutama 3 tahun belakangan ini, saya sholat tarawih di desa saya.
Lain halnya bagi pembuat chin cao (bener nggak namanya?) tetangga saya. Ramadhan adalah saat pesanan pembuatan chin cao naik berkali-kali lipat, yang artinya keuntungan juga naik berakali-kali lipat. Sudah jamak kalau di bulan ramadhan konsumsi es masyarakat meningkat, yang akhirnya berimbas pada kenaikan konsumsi cin cao sebagai  salah satu komponen dalam sebuah es. Sedangkan bagi tetangga saya yang berprofesi sebagai pembuat sofa (bekleeding, atau di tempat saya disebut mbursa’)ramadhan mempunyai nilai yang sangat luar biasa. Karena di ramadhan inilah, atau bahkan sebulan sebelum ramadhan, profesinya  banyak dicari juragan-juragan mebel. Para pembuat sofa ini, di bulan ramadhan, bahkan bisa bekerja sampai 24 jam kalau ia mau. Berbeda halnya dengan di bulan-bulan lain, ia harus siap-siap mencari profesi lain karena tak banyak yang mau membeli sofa kalau tidak mau lebaran. Namun ironisnya, para pembuat-pembuat sofa ini (minimal di daerah saya), yang rizqinya dimudahkan pas bulan ramadhan, justru banyak yang tidak menunaikan ibadah puasa. “nggak kuat” begitu mereka bilang.
Bagi petani, ramadhan mungkin tidak begitu berpengaruh pada profesinya, hanya mungkin sebuah harapan bahwa harga beberapa komoditas pertanian akan meningkat seiring kenaikan konsumsi penduduk (sudah pada tahu kan kalau pas ramadhan, konsumsi penduduk justru meningkat) terutama beberapa hari menjelang lebaran. Tapi konsekuensinya justru tambah berat, mereka harus berpanas-panasan, bergumul dengan lumpur tatkala tak boleh ada minuman untuk penetral haus. Maka jangan heran jika ada seorang imam tarawih musholla yang ketika  kepergok tetangganya sedang makan siang cuma bilang : “se’tas  galengan ndok, ndak kuat”. Galengan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kegiatan membuat pematang sawah baru buat lahan padi sebelum lahan itu akan dibajak.
Sedangkan orang-orang tua di daerah saya sering kali mendesah pelan sambil berucap: “wes poso maneh yo!” saat menjelang bulan ramadhan. Saya tak menganggapnya sebagai sebuah bentuk ketidakbahagiaan menghadapi ramadhan, saya lebih menganggap itu sebagai bentuk ekspresi bahwa begitu cepatnya waktu berjalan, mungkin sebuah bentuk penyesalan atas apa-apa yang telah ia lakukan, bahwa tak banyak hal berarti yang telah ia lakukan sejak ramadhan kemarin sampai ramadhan memenjelang.
Lalu pertanyaanya sekarang, apakah makana ramadhan bagi kita? Adakah ramadhan telah mampu mempengaruhi hidup kita? Apakah ramadhan hanyalah suatu masa  saat makan sore jadi gratis karena tinggal menunggu adzan maghrib sambil memegang sebungkius nasi hasil pembagian ta’mir masjid?
Atau apakah yang lain?
Kita sudah cukup dewasa untuk memaknainya sendiri.
Griya BNI
25 september 2007