Wednesday, October 31, 2007

Belum Ada Judul

telah lama kutitipkan resah

sejak dulu yang terlalu lama untuk sebuah cerita

pada kata

pada bulan

dan kerlip bintang

sejak masa meranum di pojok beranda

                namun abjad yang membaris

                yang menyesaki mimpi, visi

      dan harapan di kemudian hari yang jauh

                harus akan menjauh

                menggores tanda titik penundaan

                atau penyudahan

                atau tidak untuk sebuah apa-apa

maka bermimpilah

untuk sebuah esok yang baru

yang akan mempertemukan kenangan, perjuangan

dan romantisme sejarah

serta kita berdiri sejajar di antara suarasuara syahdu

menginginkan hatihati baru

untuk yang biru

bersenyawa menciumi wewangi surga

Tuesday, October 30, 2007

Aku (Dulu) Anak Desa

    Dari sekian banyak anugerah yang telah diberikan Allah pada saya , seringkali saya bersyukur betapa sangat beruntungnya saya dilahirkan di sebuah keluarga sederhana dalam desa kecil yang kala itu masih tradisional, bukan di gang-gang sempit pinggiran kota atau dalam rumah-rumah besar berpagar tinggi di perumahan-perumahan elit. Saya sering kali termenung  membayangkan betapa itu telah memberi saya jalan untuk merasakan pengalaman-pengalaman hidup yang tak akan setiap orang mendapatkannya. Saya beruntung dilahirkan di sebuah tatanan yang tidak mengenal susu formula untuk bayinya. Maka ASI adalah adalah suatu pilihan utama, pertama, dan mungkin satu-satunya. Betapa beruntungnya saya merasakan ASI, karena tidak setiap bayi pernah minum air susu ibunya.

Lebih jauh dari itu saya sungguh beruntung bisa merasakan arti perjuangan, ketidakpunyaan, serta kebahagian-kebahagian sederhana dalam sebuah komunitas kecil yang guyup. Saya sungguh beruntung pernah merasakan kegelapan tanpa aliran listrik sehingga malam purnama adalah sebuah kebahagian tak terperikan sebagai suatu saat untuk bermain bentengan bersama teman-teman sekampung di halaman tetangga yang paling luas. Saya beruntung telah menghabiskan masa kecil saya dengan hal-hal kecil yang terlihat sederhana yang justru di kemudian hari saya syukuri. Bermandian di sungai sambil mencari koin, main-main di pematang sawah, mencari udang di sungai (kami dulu menyebutnya mentor), hujan-hujanan sambil mencium harumnya tanah di hujan perdana, serta hal lain adalah kebahagian-kebahagian masa kecil yang sering kali membuat saya tersenyum mengenangnya.

Itu memang semua terlihat biasa-biasa saja bagi sebagian orang , tapi bagi saya, itu semualah yang telah mengajarkan arti kesederhanaan hidup serta hakekat kebahagian sebenarnya. Disanalah saya tahu perjalanan sebulir nasi di kuali. Di sana pulalah saya belajar menghargai nilai koin menghitam 50 rupiah yang saya temukan di sungai, serta membaginya bersama teman sepermainan untuk dibelikan kerupuk di warung tetangga. Ah itu sungguh sederhana, teramat sederhana, tapi yang sederhana itulah yang mengajarkan saya, yang akan jadi pegangan hidup saya di kemudian hari.
Memang, untuk itu semua , banyak kompensasi-kompensasi lain yang harus saya bayar. Banyak mungkin mimpi-mimpi masa kanak-kanak yang tak bisa saya raih karena keterbatasan itu, Banyak pula sarana-sarana teknologi yang mungkin tak bisa saya nikmati sampai saya beranjak besar. Namun sekali lagi, itulah yang mendidik saya. Melalui itulah saya jadi lebih menghargai sebuah keberadaan karena saya telah merasakan bagaiman ketiadaan itu. Saya pun akan mudah sekali merelakan sebuah kehilangan karena saya telah tahu dan merasakan bagaimanakah tidak mempunyai itu.

Pasuruan

18 oktober 2007

 

Tuesday, October 23, 2007

Sebuah Pengalaman Dari Pengalaman

Beberapa hari yang lalu salah satu laboratorium penelitian di jurusan saya hampir saja terhenti aktivitasnya. Bukan masalah apa, seorang teman yang kebetulan melakukan penelitian disana mengatakan kalau computer satu-satunya di lab tersebut , satu-satunya fasilitas yang membuat ia tetapa betah di lab seharian (soalnya bisa buat ngenet), sedang rusak atau lebih tepatnya dirusakkan. Adalah teman saya yang satunya lagilah biang kerok dari kerusakaaan ini. Ceritanya bermula ketika ia memaksakan diri memasang memori yang jelas-jelas tidak setipe ke computer tersebut. Memang beberapa hari dari beberapa hari yang lalu itu itu si teman yang merusakkan ini mengeluhkan computer yang lemot saat digunakan ngenet, bahkan sering ngerestart sendiri. Letak permasalahannya ternyata ada pada memori computer tersebut yang cuma 128 MB. Entah kenapa waktu itu tiba-tiba saja teman saya ini puny aide untuk menambah memori computer tersebut saat melihat CPU lain di lab yang kebetulan tidak terpakai. Ia bongkar CPU tersebut dan mengambil memorinya. Sampai disini teman saya ini tidak melanjutkan rencananya hingga selang beberpa hari teman saya yang lain itu mengabarkan kerusakan computer di labnya. Ternyata rencana yang tak jadi itu ia realisasikan di waktu yang lain. Tapi sayangnya ia mendapatkan aroma benda hangus menyembul dari rangkaian dalam CPU tersebut.

Saya tak banyak komentar mengenai masalah ini karena memang saya tidak banyak tahu mengenai masalah computer dan perakitannya. Tapi yang jelas teman saya yang merusakkan itu harus bertanggung jawab untuk menormalkan kembali computer tersebut. Teman saya itu kemudian membawa computer tersebut ke salah satu tukang servis terdekat. Cerita ini terlihat biasa-biasa saja bagi saya sampai dua hari yang lalu saat teman yang merusakkan computer tersebut menceritakan apa latar belakang dibalik kenekatannya mengotak-atik computer tersebut. Saat itu kami sedang ngenet di computer himpunan yang memang koneksinya lumayan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang ada di labnya. Teman saya ini bercerita bahwa kalau dulu sebenarnya computer himpunan itu juga tak kalah lemotnya , memorinya kala itu juga cuma 128 MB. Tapi kemudian teman saya ini bilang kalau ia berhasil mengupgradenya dengan cara menambah memori 128 MB, persis dengan apa yang ia lakukan pada computer lab. Tambahnya lagi waktu itu ia juga mencobanya berkali-kali, dengan sedikit memaksa, tapi akhirnya berhasil juga.

Dalam hati saya tersenyum sendiri mendengar cerita ini, benar mungkin apa yang diungkapkan Ary Ginanjar bahwa salah satu dari tujuh belenggu hati adalah pengalaman . Teman saya ini begitu nekatnya memaksakan memasang memori yang tidak setipe pada computer tersebut karena merasa punya pengalaman berhasil untuk kegiatan serupa terhadap computer lain. Artinya ia melakukannya tidak lebih karena kejernihan pikiran atau analisa mendalam, tapi lebih banyak didasari oleh pengalamannya. Tapi sayangnya teman saya ini mungkin gagal memaknai pengalamannya, ia mungkin lupa bahwa dulu, waktu ia berhasil , mungkin karena banyak factor lain yang sekarang tidak ada pada kasussnya, termasuk masalah kecocokan tipe memori tersebut. Ini mungkin yang dimaksud belenggu hati oleh Ary Ginanjar.

Setelah peristiwa ini mungkin teman saya tersebut akan lebih bijak dalam kasus yang serupa, karena ia telah memilki dua pengalaman mengenai masalah ini, yaitu pengalaman gagal dan juga berhasil. Teman saya ini sekarang bisa lebih jernih dalam mengambil sebuah sikap atap tiap fase kehidupannya.

Kita, secara sadar atau tidak, juga sering kali berlaku seperti teman saya ini. Kita sering kali bertindak hanya bermodalkan pengalaman semata. Kita terlalu mengagungkan sebuah semboyan “experience is the best teacher”, tapi kita lupa kalau pengalaman bisa juga menjadi penjerumus kalau kita gagal memaknai pengalaman tersebut. Sudah umum kalau kita akan takut melakukan suatu hal karena kita memilki pengalaman buruk mengenai hal tersebut, pun juga sebaliknya kita akan begitu beraninya bertindak tanpa piker panjang kalau kita memilki track record yang baik dalam menghadapi kasus yang serupa dengan itu. Kita tidak sadar bahwa pengalaman bukanlah sebuah kesimpulan yang absolut, bukan pula sebuah silogisme yang jika x maka y. Ada banyak variable yang menentukan ”jika x maka y” itu. Itu yang kita alpa untuk menganalisanya. Kita lebih sering membuat kesimpulan yang permanen untuk pengalaman kita itu, yang sayangnya sering kali membatasi langkah kita ke depannya.

Semoga setelah ini kita akan semakin arif memaknai setiap keeping-keping pengalaman yang mengiringi setiap langkah kita. Semoga kita akan menjadi sadar, bahwa selain Allah, tak ada yang absolute di dunia ini. Wallahu a’lam.

Griya BNI
Ahad, 6 oktober 07

Sunday, October 21, 2007

Kekuatan itu bernama do’a



Di SD saya dulu, ada sebuah peraturan bahwa setiap kelas, mulai dari kelas tiga ke atas, akan mendapat gilaran menjadi petugas upacara bendera setiap hari senin. Waktu itu saya sudah kelas tiga dan kebetulan juga menjadi ketua kelas. Tradisi yang berlaku adalah ketua kelas nantinya akan menjadi pemimpin upacara saat kelasnya mendapat giliran bertugas. Singkat cerita akhirnya kelas kami mendapat juga jatah bertugas itu. Hari itu hari jumat dan kami sudah memulai melakukan latihan.Dan, seperti yang diduga saya diplot menjadi pemimpin upacara.

Sampai latihan kedua berakhir di hari sabtu, saya belum bisa yakin kalau saya akan mampu mengemban amanah tersebut. Minggunya saya seharian penuh dibuat gelisah oleh kenyataan bahwa esok harinya, setelah bel dibunyikan, tepat pukul tujuh pagi, saya akan berdiri sendirian sambil berteriak lantang menyiapkan barisan yang terdiri atas warga sekolah. Saya merinding membayangkan bisa saja saya melakukan kesalahan dan menjadi bahan tertawaan seisi sekolah.

Puncaknya pas minggu malamnya, saya tidak bisa tidur, takut jika seandainya mata ini terpejam maka pagi akan segera menjelang. Semalaman saya hanya bias membolak-balikkan badan di kasur sambil memanjatkan do’a agar upacara bendera urung digelar, agar besok turun hujan, serta pengharapan lain yang intinya jangan sampai esok pagi saya berdiri di tengah lapangan menjadi orang yang paling diperhatikan selain pembina upacara. Semalaman saya membaca semua ayat-ayat al-qur’an yang saya hafal sambil memelas kepada Allah jangan sampai saya jadi pemimpin upacara esok pagi.

Dan esok pagi saya benar-benar yakin kekuatan do’a itu. Entah kenapa tiba-tiba sesaat sebelum upacara bendera dimulai, kepala sekolah menanyai kami apakah kami siap menjadi petugas upacara. Kami terdiam, tapi kepala sekolah menyimpulakn kediaman kami sebagai sebuah bentuk ketidaksiapan kami. Kemudian ibu kepala sekolah memerintahkan kelas lain yang lebih berpengalaman untuk untuk menggantikan posisi kami sebagai petuga supacara. Duh, tak terbayangkan perasaan yang melingkupi hati saya waktu itu, sebuah kelegaan khas seorang anak-anak, kebahagiaan, serta perasaan lain yang akana terlalu panjang jika harus dideskripsikan. Allah telah menjawab tuntas semuanya, dengan cara indah, di detik-detik akhir, dengan cara yang tak disangka-sangka.

Maka setelah itu saya tak pernah main-main dengan sebuah do’a. Setelah itu saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah itu maha mendengar keluh kesah hambanya, yang tak pernah tertidur, yang akan selalu member yang terbaik dari yang hambanya pinta. Ada kkekuatan yang tertransfer saat kata-kata itu meluncur dari mulut seorang yang merendah, ada getar-getar semangat yang menjalar saat tangan ini tengadah, mulut ini terdiam, tapi hati ini ghemerisik memanjatkan pengharapan. Lalu akan ada kesejukan yang menerabas ke titik paling sensitive kemanusiaan kita saat gejolak itu mengembun membasahi pelupuk mata. Maka rasakanlah.

Ups, Anda ingin tahu bagaimana debut saya minggu depannya : sejak saat itu,saya menjadi pemimpin upacara tak tergantikan dalam kelas saya .


Griya BNI
8 oktober 2007




Dibalik Sebuah Kata

   

 jika tatapan lebih berbicara banyak dari sebuah kata-kata, maka itu jangan sampai menjadi panah-panah setan yang meracun hati. Sungguh, itupun bisa berbuah surge dalam bingkai mawadah warahmah”

Saya tidak sedang akan berbicara mengenai maksud dari kalimat diatas, siapa yang menulis, ataupun yang lain yang membahas khusus mengenai kalimat diatas. Saya hanya ingin berbicara kata, atau kalimat secara umum. Sejak dulu, entah apa ini sudah menjadi bagian integral dari diri saya atau tidak, saya suka sekali dengan sebuah kalimat-kalimat indah. Saya betah untuk membaca berulang-ulang atau melafalkannya berkali-kali satu kalimat bijak yang mempunya makna dalam yang tidak semua orang bisa memaknainya. Ada atau kalimat itu akan senantiasa menjadi penasehat yang tak pernah bosan mengingatkan saya, kapan saja, disaat gelap atau terang, disaat sempit atau lapang. getar sendiri saat kata itu terucap, semacam kenyamanan, atau sesuatu yang mengenergi. Saya akan sanggup berlama-lama membaca buku saat menemukan sebuah kalimat indah disana, tak jarang saya akan menyalinnya dalam buku pribadi saya, bahkan buku catatan kuliah saya. Bisa saja orang menganggap ini berlebihan tapi bagi saya ini adalah cara saya untuk menciptakan keadaan nyaman atau stabil di setiap saat, karena kata-kata

Saya juga suka mengarang kata-kata indah (minimal menurut penilaian saya), baik saya tuangkan dalam sebuah puisi, atau pesan singkat, atau bahakan dalam sebuah perbincangan singkat dengan seorang teman. Untuk bisa melahirkan satu buah kalimat itu saya bisa mencernanya cukup lama, memainkannya dulu dalam imaji, plus menimbang manfaat dan mudharatnya. Karena saya tahu betul makna dari sebuah kalimat itu dalam diri seseorang. Ini kelihatan sepele tapi sangat penting. Kesadaran saya tentang ini sangat berguna sekali bagi saya untuk memilah dan memilih kata apa yang harus saya ucapkan atau tulisakan Dan ujungnya  semoga ini sebagai  bentuk  usaha saya untuk senantiasa selalu nberkata yang ada manfaatnya.

Dalam hal hubungannya bagaiman sebuah kata bisa menginspirasi, saya punya cerita tentang ini. Ceritanya terjadi beberapa jam saat saya terpilih sebagai koordinator instruktur dalam orientasi mahasiswa baru (ormaba) 2006. Ini adalah sebuah beban berat karena di juruisan saya instrukturlah inti dari sebuah ormaba. Saat itu sudah sore dan keterpilihan saya itu masih cukup sesak memenuhi ruangan di kepala saya. Dan tahukah anda apa yang bisa membuat saya mantap dengan semua ini? Hanya sebuah SMS dari seorang karib saya. Isinya seperti ini :“jika menjadi koordinator instruktur adalah sebuah beban berat, maka jangan minta beban yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat agar bisa memanggul beban itu”. Sederhana kelihatannya, tapi bagi saya layaknya setitik nyala dalam kegelapan yang membutakan. Inilah mungkin yang namanya kalimat yang mengenergi dan menginspirasi.

 Maka setelah itu saya coba untuk tidak sembrono untuk memilih kata yang saya ucapkan atau tulis. Ketepatan saya memilih katalah yang akan menentukan seberapa menghunjamkah kalimat itu pada diri seseorang. Bahkan sebenarnya,  sebuah kalimat yang keluar dari diri sayalah yang punya andil besar dalam membangun nilai diri saya di mata orang lain. Jadi jangan heran kalau hanya untuk masalah meng-SMS teman untuk mengucapkan selamat ulang tahun  saja saya akan memikirkannya masak-masak. Saya tak ingin yang biasa-biasa saja karena saya tahu betul energy dari sebuah kata. Biar orang menganggap saya sok romantic. Itu jauh lebih baik dari pada dicap orang sebagai orang yang tidak memilki cita rasa kata tinggi.

“jika kau tak punya harap hari ini, berharaplah, malam ini, 19 bintang berkerlip megah di angkasa. Selamat ulang tahun”

Kalimat terakhir diatas  adalah kalimat yang saya SMS-kan pada seorang teman saat ia ulang tahun yang kesembilan belas. Saya tak tahu pasti perasaannya saat menerima SMS itu, tapi yang pasti saya punya niat baik dalam SMS itu. Dan itu saya kira lebih dari cukup.

 

Griya BNI

9 oktober 2007

 

Karena Itu Kau Jahit dengan Cinta

    

Karena Itu  Kau Jahit dengan Cinta

 

Saya sempat terkejut, ketika berjalan menyusuri sebuah lorong di kampus, saya menemukan sembulan-sembulan kecil benang di lipatan bawah celana dengan warna yang berbeda dengan warna celana itu. Aneh. Agak lama juga saya berpikir. Memang dulu saya pernah menjahit lipatan celana bagian kiri saya yang mengelupas dengan warna berbeda, tapi bukan warna ini. Lagipula saya telah menggantinya dengan warna yang pas dengan warna celana saya, dengan teknik menjahit manual yangh cukup lumayan bila dibandingkan dengan jahitan celana bagian kanan saya sekarang ini. Sampai……

Upss! secepat kilat saya buang pikiran itu dari dari kepala. Bukankah celana ini yang kemarin saya bawa puolang ke rumah, dicuci di rumah, dan berada di rumah selama kurang lebih dua hari. Jadi, ah tak salah lagi ada orang di rumah yang menjahitnya. Ada orang di rumah yang tak tega melihat lipatan celana saya itu mengelupas. Keempat kakak saya tak mungkin melakukannya, mereka semua laki-laki dan tak mungkin mengurusi hal-hal demikian. Hanya tiga orang perempuan yang mungkin berada di rumah. Kakak ipar saya tak mungkin melakukannya, sedangkan nenek….ia terlalu tua untuk melakukan pekerjaan serumit itu. Hanya tinggal satu orang yang mungkin melakukannya:  ibu.

Hati saya bergetar, bagaimana pikiran jahat itu melintas di benak saya, bagaiman mungkin saya, secara tak langsung mengolok  hasil pekerjaan ibu. Bukankah yang paling penting itu beliau lakukan dengan naluri keibuannya, dengan cinta, dengan ketulusan, dengan tanpa pengharapan lain kecuali bisa melakukan yang terbaik buat anaknya. Sesuatu yang tak akan bisa dilakukan  oleh penjahit profesianal sekalipun.

Saya tertekuk, lekuk. Hati ini lumer selumer-lumernya. Sekonyong-konyong pikiran ini dipenuhi senyum ibu, senyum yang merekah yang selalu ia persembahkan di saat kepulanggan saya , senyum yang selalu saya rindukan di saat-saat berat menghadapi gejolak hidup di perkuliahan. Senyum yang mengenergi.

Ah ibu, andai kau tahu betapa aku selalu merindu senyummu.Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

 

Sby,

090306

Semoga Itu Bukan Dirimu

   

 

Jika ada orang yang mengatakan “lakukanlah perjalanan jika ingin memperoleh pengalaman”, rasanya itu benar, minimal buat saya. Pernyataan itu saya buktiksn sendiri ketika saya dan beberapa teman kuliah seangkatan mengadakan kegiatan di sebuah kota yang jarang saya  kunjungi. Saya menginap di rumah salah satu teman laki-laki saya yang kebetulan berasal dari kota itu, sedangkan teman-teman saya yang perempuan menginap di rumah seorang teman yang yang juga berasal dari kota itu. Tapi bukan itu sebenarnya inti ceritanya. Ceritanya, atau sepetik pengalaman saya dimulai ketika kami (saya, dua orang teman, dan seorang yang member saya tumpangan menginap) pergi ke tempat teman-teman perempuan saya menginap yang merupakan rumah salah seorang teman saya itu. Seingat saya hari itu sudah sore dan kami hanya mampir sebentar setelah hampir setengah hari sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan esok harinya. Untuk itulah saat itu kami hanya duduk di teras dan dan tidak masuk ke dalam. Sang tuan rumah (teman perempuan saya itu) seperti layaknya tuan-tuan rumah yang lain menghidangkan suguhan bagi tamu-tamunya. Sampai di sini berhenti.

Ceritanya dimulai ketika teman saya itu akan menghidangkan camilan bagi kami teman-temannya. Entah karena gugup atau karena terlalu bersemangat menyambut tamu, toples yang berisi camilan itu lepas dari tangannya, dan ada sebagian isinya tumpah ke lantai. Saya masih ingat isinya sejenis kerupuk dan rengginang. Seperti biasa, seperti orang-orang pada umumnya, teman saya tersebut segera memungut kembali cemilan yang tumpah ke lantai tersebut. Namun yang sedikit tidak biasa, ia tidak mengembalikannya ke toples, malah melangkah ke luar rumah dan membuang cemilan tersebut ke tempat sampah.

Beberapa orang mungkin menganggap itu wajar, tapi bagi saya tidak.

Saya melongo, terenyuh, tak tahu harus berbuat atau ngomong apa. Beginikah poteret kehidupan teman saya. Saya jadi merinding. Di rumah, jangankan memungut dan memakan kembali makanan yang jatuh ke lantai keramik licin seperti di rumah teman saya itu, saya saja pernah mencuci dan menggoreng kembali tempe yang jatuh ke lantai tanah ketika akan dipindah dari penggorengan ke piring. Terus memakannya. Jadi lauk makan yang tetap nikmat. Sehat! Terbukti saya bisa kuliah dengan teman-teman saya itu.

Setelah peristiwa itu saya jadi merenung sambil berharap semoga kejadian itu bukan murni dari diri teman saya itu, bukan atas dasar kebiasaannya. Tapi atas dasar tekanan sedang dilihat temannya, atas dasar perasaan untuk menampilkan tindakan sehigienis mungkin di hadapan teman-temannya. Saya jadi miris membayangkan jika itu benar-benar kebiasaannya, mengingat masih banyak orang yang mungkin belum pernah memakan cemilan itu. Orang-orang yang untuk mencari sesuap nasi saja sulit. Orang-orang yang mengharap uluran tangan kita.  Sedang kita?

Ah!

25 maret 2006

Friday, October 5, 2007

bapakku

Bapakku Tak Romantis

 

Berberapa hari ini entah mengapa saya memiliki banyak kegiatan yang memaksa saya untuk seharian berada di kampus. Dari pagi hingga maghrib. Maka untuk beberapa hari itu pun saya berbuka di masjid kampus yang memang menyediakan bungkusan nasi bagi mahasiswa yang ingin berbukan di sana. Karena tanggung, saya pun tak langsung pulang, saya tunggu sampai isya ‘ datang dan sekalian melaksanakan sholat tarawih di sana.

Sudah umum memasuki minggu terakhir bulan ramadhan, jamaah masjid-masjid mulai menyusut, tidak terkecuali masjid kampus saya. Tinggal beberapa shof saja yang tersisa. Ini membuat saya leluasa memandangi satu persatu jamaah yang ada. Persoalan amat-mengamati ini memang kebiasaan saya sejak dulu.

Tak tahu kenapa ketika pandangan saya tertuju pada sepasang bapak anak yang sedang berdampingan khusuk mendengar ceramah ustad sebelum sholat tarawih dimulai, hati ini bergemuruh. Ada rasa iri menyembul menyaksikan sang bapak dengan telaten membantu sang anak merangkum isi ceramah sang ustad. Si anak memegang buku sambil menulis, sedang sang bapak sesekali melihat hasil tulisan anaknya. Perhatian sekali sang bapak membimbing sang anak yang kelihatannya mendapat tugas dari sekolahnya tersebut.

Dan pikiran ini menerawang ke masa lalu, betapa diri ini jarang sekali merasakan momen-meomen seperti itu. Berdua. Berdua dengan bapak.

Sesaat saya tertegun, tapi cepat-cepat saya singkirkan perasaan itu jauh-jauh. Saya dan bapak cukup dekat, tapi kami bukanlah dua pribadi yang melekat. Saya memang jarang sekali merasakan momen-momen intim berdua dengan bapak. Seingat saya, saya juga  memang jarang atau bahkan tak pernah bermanja-manja atau bergelanjutan di pundak bapak. Bapak orang yang sangat kaku bahkan untuk kami anak-anaknya.

Pun juga sampai sekarang, sampai saya kuliah. Ketika saya pulang kerumah setelah tak pulang cukup lama, bapak hampir sama sekali tak memperlihatkan ekspresi yang berlebih ketika kami bertatapan. Hanya beberapa patah kata saja yang keluar dari mulutnya ketika saya cium tangannya. “Libur ta?” demikian kata yang sering meluncur dari mulutnya. Sangat berbeda jauh dengan ekspresi berbunga-bunga yang ditunjukkan ibu.

Tapi dengan kekakuannya itulah sebenarnya bapak menunjukkan kecintaannya. Bapak mungkin bukanlah bapak yang romantis bagi kamia anak-anaknya, tapi bapak adalah bapak yang selalu siap ketika kami butuh ketangguhannya. Bapak mungkin tak pernah membelai anak-anaknya yang akan berangkat tidur, tapi bapak akan siap mengayuh sepeda tuanya ketika kami anak-anaknya merengek minta dibelikan  buku untuk sekolah. Bapak mungkin tak pernah menemani kami mengerjakan PR sambil menanyai kami masalah-masalah pribadi, tapi bapak adalah orang pertama yang menawarkan diri membelikan obat saat kami anak-anaknya sakit.

Ah saya jadi teringat waktu kelas tiga SD dulu, ketika bapak dengan susah payah menjemput saya yang habis ikut gerak jalan dengan sepeda tuanya , saya buru-buru bilang “gak usah ,nanti dianterin pakai mobil” ketika bapak baru akan menghampiri. Merasa berdosa sekali saya ketika mengingat kembali peristiwa itu, betapa saya tak menghargai pengorbanan bapak hanya karena gengsi dengan teman-teman.

 Sungguh, sebenarnya bapak punya cara-cara sendiri untuk menunjukkan kecintaannya pada kami anak-anaknya.

Griya BNI,

5 oktober 2007

Buku Saya....................


Saya tak memilki banyak buku, tapi saya memilki banyak cerita dari sedikit buku saya itu.

Beberapa bulan yang lalu teman saya meminjam buku saya. Judulnya “hafalan sholat delisha”. Sebuah novel. Dengan senang hati saya meminjamkannya, karena entahlah saya senang bila ada orang yang meminjam buku saya apalagi terus ada yang mengapresiasi kalau buku saya itu bagus. Yang meminjam ini adalah perempuan. Biasanya saya cerewet terhadap orang yang meminjam buku saya. Ada banyak syarat yang biasa saya ajukan, satu: tidak boleh membaca buku saya sambil makan, dua: tidak boleh melipat halaman, tiga:tidak boleh kena minyak, air atau yang sejenisnya, empat; tidak boleh membaca buku saya sambil tiduran karena saya nggak mau buku saya jadi alas tidur. Tapi entahlah untuk kali itu saya tak cerewet seperti itu, karena yang meminjam perempuan yang pastinya sudah tahu bagaimana menjaga buku.

Lalu beberapa minggu lalu entah mengapa saya kangen dengan buku saya itu. Ada kerinduan untuk membacanya kembali. Buku ini adalah buku terbaik yang pernah saya baca. Saya sering membaca berulang-ulang buku yang saya anggap menarik.

Saya jadi ingat kalau buku saya itu masih dipinjam oleh teman saya itu. Saya pun menghubunginya, dan alhmadulilah ia masih ingat dan berjanji akan segera mengembalikan. Waktu itu teman saya ini bilang kalau bukunya masih tertinggal di rumahnya, sedangkan teman saya ini, seperti halnya saya, adalah seorang mahasiswa yang ngekos.

Namun tiba-tiba semingguan yang lalu teman saya ini bilang kalau bukumnya “ketlisut” dan ia sedang mencoba mencarinya. Deg hati saya berdetak. Pasti ada kelanjutan dari semua ini.

Benar saja beberapa hari kemudian teman saya ini memastikan kalau buku saya itu telah hilang. Dan ia berjanji akan segera menggantinya. Ah saya jadi yang tidak enak, pastinya teman saya itu merasa tidak enak sekali dengan saya. Pastinya ia menganggap saya marah. Ah saya menyesali mengapa tidak menanyakannya dari dulu-dulu hingga peristiwa ini tak terjadi.

Sebenarnya teman saya ini tak perlu mengganti buku saya itu. Secara fisik memang buku saya akan kembali, tapi secara historis tidak. Ada banyak cerita dari buku itu yang tidak akan kembali. Ada tetes air mata yang tak mungkin bisa berpindah ke dalam halaman demi halaman buku saya yang baru itu. Ada terlalu banyak kenangan, teramat banyak bahkan, yang nilainya jauh lebih tinggi dari nominal harga buku itu. Itu yang tak terbeli.

Saya tidak marah. Tidak pula kecewa. Hanya saja menyayangkan kenapa itu terjadi pada buku kesayangan saya itu (terus apa bedanya coba?).  Tapi yang jelas saya tak marah pada teman saya itu.

Semuanya sudah terjadi bukan.

2 oktober 2007