Sunday, December 14, 2008

Hujan...hujan..hujan

Hujan, hujan, dan hujan. Hari-hari belakangan ini surabaya hujan terus. Tak hanya hujan biasa, tapi lebat disertai angin. Jika tak hujan maka bawaanya mendung, matahari tak segarang biasanya. Sebenarnya ini baik karena surabaya yang begitu membara menjadi adem ayem. Hawanya bersahabat. Enak dipakai ke luar ruangan. Tapi ini sama sekali tak bersahabat buat kamar saya. Karena, kalau hujan sudah deras-derasnya maka atap kamar saya akan tempias. air hujan menerobos. Membentuk falling film di tembok. Semakin lebat hujan, maka tak hanya menggerayang di tembok saja tuh air, bahkan  mulai menetes. Jadilah saya menyediakan toples bekas kue lebaran sebagai penampung.

Bila hujan disertai angin, maka masalah kamar saya jadi tambah. Karena air akan memaksa masuk melalui jendela yang memang langsung berhubungan langsung ke dunia luar tanpa sekat apapun. Jendela itu sudah lapuk, maka tentu saja tak mampu menahan gempuran air yang dibawa angin. Antar sambungan kayunya sudah merenggang karena  terlalu sering terpapar sengatan matahari. Lalu hujan. Esoknya panas. Bertahun-tahun seperti itu maka jendela itu tak lagi sempurna menjalankan fungsinya. Maka jadilah saya akan sibuk menyusupkan potongan koran di sela-sela bagian jendela tempat air merembes.

Hujan, alhamdulillah di sekitar kos saya bukanlah suatu hal yang terlalu menjengkelkan. Menjadikan banjir misalnya. Empat tahun di sini belum pernah saya saksikan ada banjir . Minimal hanya genangan-genangan air saja yang banyak tercipta. (ngomongin genangan air, saya sering kali jengkel pada pengendara kendaraan yang seenaknya sendiri memacu kendaraannya melewati genangan air tanpa perlu memperhatikan pejakan kaki di sekitar. Cuek meski kemudian ia berhasil meninggalakan cipratan air keruh di wajah pejalan).

Waktu kecil saya dulu, hujan adalah kesenangan. Waktu untuk bermain. Berlarian. Main bola . Mencari mangga jatuhan. Atau sekedar bermain air yang mengucur deras dari talang-talang rumah. Tak ada teriakan orang tua yang khawatir anaknya sakit, tak ada pula ketakutan bahwa air hujan itu mungkin saja mengandung asam yang berbahaya bagi tubuh. Pokoknya gembira. Hingga tubuh mengisut. Badan menggigil. Tapi senyum akan segera mengembang membayangkan bakalan ada nasi liwet hangat di rumah, dengan sambel yang pedas tentunya. Duh nikmatnya, meski lauk seadanya.

Ketika dewasa, hujan mungkin bukan lagi kesenangan seperti halnya sewaktu bocah. Tak ada lagi teriakan bersemangat tatkala hujan mulai turun. Berlari keluar rumah sambil terlebih dulu melepas kaos. Bertelanjang dada. Tak ada! Tapi terkadang hujan masih  menciptakan kesenangan lain. Meski tak selalu. Saat sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Masing-masing berbicara. Panganan seadanya terhidang di meja. Sesekali memandang kaca depan yang mengembun. Rintik-rintik air yang menderas di halaman. Tak tik tuk suara genteng tertimpa air. Juga sesekali terdengar suara pepohonan dipermainkan angin. Syahdu. Romantis. Melankolis.

Hujan, akan banyak kesenangan, meski ada banyak juga terselip kesusahan. Tinggal sekarang kita. Selalu.
 

Sunday, December 7, 2008

BERKORBAN (Diilhami novel Bidadari-bidadari Surga)

Berangkat ke masjid kampus untuk sholat ied, entah mengapa  mengapa pikiran ini datang. Ternginang-ngiang. Tentang sepenggal kisah dalam novel bidadari-bidadri surga karya tere liye. Pingin nuliskannya lagi, dalam bahasa saya sendiri. Maka jadilah, sepulang sholat langsung ngidupin komputer. ngetik tak tek tok. hingga jadilah ini.

Bagi yang belum baca novelnya, silahkan baca. Pasti akan nemu sepotong pengorbanan Laisa.


********************************************************************



Bagi sebagian orang, malam ini mungkin telah larut. Saat dimana segala kerja dan pengharapan seharian tadi berkesudahan. Mungkin mengendap di alam mimpi. Berlanjut esok hari, saat embun berkilauan jernih di rimbun dedaunan. Lihatlah, di sana, di pemukiman seberang, sempurna senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sunyi. Tak ada suara. Hanya suara jangkrik saja yang sesekali bersautan, atau katak berkotek, atau mungkin kelebat kelelawar berebut jambu ranum di halaman. Semuanya telah bermimpi. Mimpi dalam sebenar-benar mimpi, dalam pengertian denotatif. Semuanya tertidur. Menghimpun tenaga untuk kerja esok hari, mengumpulkan energi yg tergerus penat seharian tadi.

Bagi sebagian orang yang lain, malam larut bukanlah kesudahan. Buktinya, lihatlah, di sana, di satu pemukiman yang lain, di satu rumah besar nan megah, nampak lampu masih menyala terang. Suara benda-benda yang digerakkan terdengar jelas. Menunjukkan eksistensi manusia-manusia yang masih terjaga. Kerja, kerja, dan mungkin kerja yang masih ada di benak. Tidak, bagi mereka malam bukanlah sebuah kesudahan, atau penundaan, malam hanyalah malam. Seperti waktu yang lain. Hanya masalah rotasi bumi. Hanya masalah pergiliran waktu antara bagian bumi yang satu dengan bagian yang lain. Mimpi-mimpi belum saatnya untuk diendapkan barang sejenak, dalam tidur lelap mungkin, untuk berganti dengan mimpi-mimpi yang lain. Tidak! Harapan masih terus saja bergelanjut manja di tangan-tangan, kaki-kaki, dan juga mata-mata mereka. Menggerakkan. Mengenergi.

Sedang di sebuah rumah yang lain, di perkampungan yang lain, di sebuah rumah yang terbilang serderhana (untuk tidak dikatakan jelek), mungkin tersederhana di pemukiman asri lereng gunung itu, seseorang juga sedang terjaga. Memang tak ada nyala yang menerangi, tak juga ada bunyi-bunyian yang berceloteh. Seseorang itu terduduk dalam kegelapam nan sunyi. Sendiri. Hei, apakah ia termasuk orang yang menganggap malam bukanlah sebuah kesudahan. Ah, rasanya tak juga. Kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi, seseorang itu, atau mungkin lebih tepatnya seorang perempuan itu , malam-malam begini telah tertidur. Rasa lelah bekerja seharian di areal persawahannya, tersengat matahari sesiangan, membuat ia lebih mudah terlelap, meski mungkin linu-linu di badannya sedikit mengganggu. Apalagi ranjangnya hanya balai-balai bambu tak berkasur.Ia sebenarnya percaya, bahwa malam laksana selimut, sebagai pelindung, tempat segala gundah itu mesti ditanggalkan sejenak, tempat pengharapan itu diletakkan sesaat. Dalam tidur-tidur lelap. Tapi tidak malam ini. Bagaimanalah, bagaimana mungkin ia bisa tertidur jika pikiran itu masih terus mengganggunya. Tak mampu ia letakkan barang sejenak. Bagaimana mungkin ia mampu terpejam jika seharian tadi bungsunya, Yashinta namanya, merajuk ingin sekolah. Ah, memang sudah waktunya gadis mungil itu memasuki bangku persekolahan. Bergabung dengan teman-teman sebayanya yang lain. Tapi konsekuensi dari itu semua sungguh berat. Bersekolah artinya tambahan biaya baru. Uang pendaftaran, seragam-seragan baru, sepatu-sepatu baru, dan nanti pada akhirnya SPP-SPP baru. Dan ia harus menangungnya sendiri. Ah andai suaminya masih berada di sisinya, masih diberi kesempatan menemani malam-malam panjangnya, mungkin keadaannya bisa lebih mudah. Sebenarnya mungkin keadaan tidak lebih baik, ekonomi mereka juga mungkin masih begini-begini saja, tetap mengandalkan sepetak sawah dan juga kerja keras mencari rotan di hutan, tapi setidaknya ia masih punya tempat untuk berbagi. Mentransfer kegelisahan, menyerap kedamaian dari tatap berwibawa suaminya. Tapi kali ini, ia hanya bisa bermonolog, atau berdialog dengan Robbnya. Menangis tanpa air mata. Meneguhkan diri sendiri.

Apakah hanya masalah Yashinta itu yang membebaninya? Sayang sekali tidak. Ia punya lima orang anak. Lima kilau permata buah cinta dia dengan suaminya. Dan semuanya masih bersekolah. Si sulung Laisa yang kelas lima SD, Dalimunte kelas tiga SD, juga Ikanuri dan Wibisana yang sama-sama kelas dua SD. Maka arti itu semuanya adalah : mereka juga butuh biaya. Sudah semingguan ini Ikanuri dan Wibisana merajuk minta uang SPP yang entah sudah menunggak berapa bulan. saat itu, ia hanya bisa memandang teduh, menjanjikan sebuah waktu dimana ia akan melunasi semuanya. Tapi tidak untuk saat ini. Panen jagungnya sedang tidak bagus, rotan pin tak banyak yang diperoleh. Sedang Laisa dan Dalimunte memang tak merajuk, tak mendesak-desak , tapi ia tahu, uang SPP mereka juga menunggak. Hanya karena keduanya memang anak yang baiklah (tapi bukan berarti Ika dan Wibi bukan anak yang baik), sudah mau mengerti bahwa itu tak ada gunanyalah, yang membedakannya. Mereka sadar bahwa itu hanya akan menambah beban ibunya. Suatu saat, saat rizqi itu datang, kata-kata manis ibunya itu pasti dengan sendirinya datang. Mengabarkan pembayaran SPP dengan mata berbinar. Saat ini yang dibutuhkan hanyalah bersabar.

Pffuhhhhh. Ia mendesah. Pelan, pelan saja. Tak akan ada yang mendengar. Dan mungkin tak akan ada yang sadar bahwa ada sesorang yang terduduk di ruang belakang itu. Tapi....., ppfffiihhh, ternyata ada juga desah lain. Di balik pintu.

emak belum tidur?”

oh kamu Lais, kok nggak tidur?” tergeragap

emak belum tidur?”

Menggeleng lemah. Tapi siapa yang mampu melihat gelengan itu dalam gulita seperti ini.

Mendekat, “emak mikiran yashinta ?”

Diam. Kelebat kelelawar sekali lagi terdengar di luar.

emak memikirkan seragam buat yashinta ya? Tentang darimana uang buat pendaftaran yashinta . Tentang cukupkah uang yang didapat untuk membiayai kami berlima kelak”

sebaiknya kita tidur Lais?”

Menggenggam tangan emaknya, diam sesaat, ingin mencoba berucap. Tapi urung. Kelu. Mencoba menatap lembut mata emaknya.

Ada apa Lais?”

mak...” menghela napas, “ jika memang inilah jalan yang terbaik, biarlah, biarlah Lais yang berhenti sekolah. Biar Lais yang akan membantu Mak bekerja di sawah, membantu Mak mencari rotan di hutan. Mungkin dengan itu keadaan bisa lebih baik. mungkin dengan ini beban yang ditanggung Mak bisa jauh berkurang”

TIDAK LAIS!” keras memotong.

demi Dali Mak, demi Ika dan Wibi, dan juga demi Yash. Biarlah seragam Lais dipakai Yashinta. Mungkin agak kebesaran, tapi Emak bisa mengecilkannya. Hanya ini mungkin yang bisa Lais berikan. hanya ini yang bisa Lais lakukan untuk mermbantu emak”

tak boleh ada anak emak yang berhenti sekolah Lais. Tidak juga kau! Biarlah hanya emak yang tak berpendidikan,. Biarlah hanya emak yang bodoh. Tapi tidak kalian Lais! Kalian harus sekolah. Karena dengan itulah janji kehidupan lebih baik akan berbaik hati menyapa”

tidak mak. Lais akan tetap bisa sekolah. Meski bukan dalam pengertian sekolah sebelumnya. Lais masih bisa baca-baca. Masih bisa pinjam buku dari teman-teman lais. Tentu saja lais masih bisa belajar di sela-sela membantu emak.” mendesah, “lagipula Lais perempuan Mak, biarlah Lais yang mengalah. Toh Lais sudah kelas lima. Sudah cukup. Sudah lebih dari Mak. Mungkin dengan melanjutkan pun Lais tidak akan bisa menjadi apa-apa. setidaknya dengan begini Lais bisa lebih bermanfaat”

Jangan berkata sepeti itu Lais. Setidaknya dengan kau tetap sekolah, kesempatan itu masih ada”

Mentap teguh kedua bola mata ibunya “biarlah satu kesempatan itu hilang mak. Tapi empat kesempatan lain serentak terbuka. Kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik untuk adik-adik Lais”

Tidak lais. Biarlah hanya emak yang berkorban. Biarlah hanya emak yang akan bekerja lebih keras. Untuk kalian berlima”

Tidak mak. Ijinkan Lais. Demi adik-adik”

Lais—“. Terisak.

Ijinkan Lais Mak?”

Sunyi. Sepi. Hanya getar suara tertahan.

Maafkan Emak Lais? Maafkan emak?”

Malam itu. Di sepertiga malam-Mu Ya Allah. Di saksikan ribuan malaikat yang mengungkung langit desa, ibu anak berpeluk bertangisan. Sang Ibu menangis. Laisa terisak. Laisa memang sedih, sedih pada akhirnya harus meninggalkan bangku sekolah, tapi Laisa tak menyesal mengambil keputusan itu. Berat mungkin sebelum akhirnya keputusan itu terucap malam ini. Berhari-hari ia menimbang. Memikirkan baik-baik. Menjadi dewasa sebelum waktunya. Ya Allah, sebenarnya Lais ingin terus sekolah, merajut mimpi kanak-kanaknya, sekolah setinggi-tingginya. Tapi jika harapan itu harus mengorbankan mimpi-mimpi yang lain, jika keinginan pribadi itu membuat cita-cita adik-adiknya terbengkalai, biarlah, biarlah Lais yang pada akhirnya mengalah. Biarlah Lais yang berkorban demi bakat-bakat menjulang adik-adiknya. Sungguh, tak ada janji kehidupan yang lebih baik, tak ada harapan yang lebih memesona, selain melihat adik-adiknya tumbuh berkembang menjemput cita-cita megah mereka.

Masih lama menuju subuh. Tapi entahlah, di langit desa, tiba-tiba semburat keemasan menyala.Hewan-hewan malam serentak terpekur.








Saturday, December 6, 2008

Koin-koin dalam Botol

Di kamar kos sempit saya, biasanya terletak di pojok, ada sebuah botol air mineral ukuran 1,5 liter berdiri tegak. Memang tak jarang terguling, menggelinding kesana kemari, ke kolong ranjang dan tak kelihatan, tapi berdiri di pojoklah favoritnya. Akan selalu saya berdirikan kembali jika terguling, akan saya tempatkan kembali jika menjauh. Namun akhir-akhir ini, ia jarang terguling, tidak juga mudah goyah, karena titik beratnya sudah terpusat di dasar. Sejak isinya mulai banyak.

Botol ini seperti botol air mineral pada umumnya, dan amat mungkin ada di setiap kamar anak kos. Pembedanya hanya pada perlakuan yang saya berikan padanya. Pada bagian tutupnya, tempat segala yang mengisi botol tersebut keluar masuk, saya bakar. Bukan dibakar sampai hangus. Hanya disulut saja. Biar antar bagian plastik yang berdempetan tapi tak menyatu itu bisa saling melebur. Melekat. Dan pada akhirnya tutupnya tak bisa dibuka karena sudah lengket. Buntu. Tapi kemudian saya tidak membuatnya benar-benar buntu. Di leher botol tersebut saya buat irisan melintang dengan menggunakan cutter. Tidak lebar, hanya beberapa centi saja. Beberapa centi yang saya perkirakan terlebih dahulu agar sebanding dengan diameter terbesar uang koin yang beredar saat ini.

Orang-orang menyebut benda ini dengan celengan.

Sebelum akhirnya benar-benar menjadi celengan, mulanya saya membuat botol ini sebagai penampung uang koin yang saya dapat dari kembalian warung makan atau swalayan. Biasanya saya meletakkan uang kembalian itu di meja atau di tas. Tak terurus. Kadang berceceran di kolong ranjang karena tak sengaja terjatuh dari kantong celana saya ketika tidur. Tak ada yang menghiraukan. Hanya saat butuh uang kecil saja, atau saat uang saya benar-benar habis dimana uang pecahan sekecil apapun jadi berharga, saya baru mencari-carinya. Lumayan, pikir saya kala itu. Bukankah koin-koin itupun bisa banyak. Bukankah sejak kecil kita sudah amat familiar dengan peribahasa “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”. Kapan lagi bisa menerapkannya. Kapan lagi membuat kalimat itu tak hanya berhenti menjadi kalimat sok bijak yang indah sekali diucapkan tapi hanya sedikit yang benar-benar menginginkan untuk diterapkan di hidupnya.

Kelak, pikir saya kala itu, ketika koin-koin itu sudah berbilang puluhan ribu, ketika nilainya sudah sebanding dengan uang kertas licin itu, ia harus bisa berbentuk. Sesuatu yang bermanfaat. Yang benar-benar terlihat. Benar-benar bukit. Dan saat itu, benda yang terpilih adalah buku. Akan saya gunakan koin-koin itu untuk membeli buku ketika nilainya sudah memadai. Hingga saya tak perlu mengeluarkan uang kertas untuk memnuhi hobi saya itu. Memang tidak signifikan untuk mengimbangi rate saya membeli buku. Hanya bisa sekali dalam beberapa bulan. Tapi tak apalah. Yang sekali ini yang akan lebih bermakna. Lebih membekas.

Kini, tiap kali membuka pintu kamar kos, botol itu akan selalu memaksa saya melihatnya. Memaksa pula tangan saya untuk merogoh kantung celana. Mencari koin yang terselip. Gembira sekali saat menemukannya (maka dengan adanya ini saya jadi jengkel kepada warung-warung yang seenaknya sendiri ngasih kembalian permen. Aneh, bagaimana bisa mereka menyediakan permen-permen itu padahal tak jualan permen, tapi tak mampu menyediakan koin-koin yang sudah jelas kebutuhannya). Bahagia pula saat mencemplungkannya ke botol transparan tersebut. Ya, memang transpran. Tidak saya beri penutup hingga tak kelihatan dalamnya seperti celengan pada umunya. Saya rasa saya bukanlah anak kecil lagi yang butuh kejutan tentang ketiba-tibaan, tentang tiba-tiba banyaknya uang celengannya. Biarlah saya menatapnya tiap hari. Menyaksikan koin-koin dalam botol itu meninggi. Merasakan botol itu semakin tak mudah terguling kala tersenggol. Hingga kebahagiaan itu datang, ketika masanya memecah celengan itu, ketika pada akhirnya kumpulan keremehtemehan itu mampu membeli kemewahan. Ah bahagia sekali rasanya. Amat bahagia. Sebahagia anak kecil memecah celengan yang lain. Tapi beda!

 

Tuesday, November 25, 2008

Catatan Perjalanan : jogja maneh..jogja maneh



KEMBALI KE JOGJA!!

Entahlah jodoh amat saya dengan kota ini. Ini adalah kunjungan yang ketiga saya ke kota ini dalam range waktu yang tidak terlalu jauh. Ke UGM. Tidak! Tentu saja motif ke jogja kali ini berbeda jauh dengan kunjungan sebelumnya. Sangat jauh. Kali ini urusannya bukan masalah kuliah, tuigas akhir, atau sejenisnya, tapi kali ini tujuannya untuk satu kata (ralat: dua kata) : mencari pekerjaan. Adalah pertamina yang menjadi magnet belasan teman-teman saya berbondong-bondong ke kota ini. Ikut Job Fair di UGM.

Sudahlah, nggak enak rasanya kalau membicarakan masalah mencari pekerjan itu (yang oleh mbak Ari Nur disindir dengan : singkirkanlah amplop coklatmu itu, be entrepreneur). Saya akan bercerita hal lain. Dulu, dalam postingan MP ini juga, saya pernah bercerita mengenai keindahan UGM, tentang arsitekturnya, juga tentang tanaman dan pepohonannya yang enak dipandang mata. Tapi, setelah kembali melihatnya, citra itu sedikit banyak ternoda. Tahu kan beberapa waktu lalu UGM terkena puting beliung? Saya sih tak melihat beritanya langsung di TV, hanya seorang teman saja yang memberi tahu. Jadi kurang begitu tahu efek yang ditimbulkan. Seberapa parahkan atau daerah mana saja yang rusak. Nah, baru pas saya melihatnya langsung, kesemuanya itu terjawab. Lumayan mengerikan ternyata. Bekas pohon-pohon tumbang, benar-benar tumbang dengan beberapa bagian akar tercerabut keluar. Ada juga bagian bangunan yang rusak. Gentengnya sebagian mungkin berhamburan kala itu, juga atapnya yang ambruk. Mengerikan mungkin kalau pas kejadian ada di dalamnya.

Namun, dari sekian itu, yang paling menarik perhatian adalah dua pohon beringin depan graha sabha yang kini jadi gundul. Ya, pohon besar nan tinggi itu juga jadi korban. Bahkan yang satu sempurna terpotong menyisakan batangnya. Tinggal tak lebih dari ketinggian semula. Padahal, tempat dibawah kedua beringin itulah tempat favorit saya. Teduh, menenangkan, nyaman, serta ada penjual kaki lima di sekitarnya. Pas sudah menyantap amakanan disana. Tapi, ah apa daya kayaknya keinginan itu nggak bakal terwujud. Dulu saya nggak sempat merealisasikannya, dan sekarang…perlu waktu lama untuk membuatnya menjadi sedia kala.

Memasuki arena job fair!!! Tenang, saya tak akan mengingkari kalimat saya di awal-awal tadi. Saya sedang tidak bicara pekerjaannya. Saya akan menceritakan sepotong kejadian ”unik” yang menimpa saya. Saat itu jam dua-an. Sudah selesai entry data pertamina. . capek, lapar, dan kebelet pipis. Kemudian ada jajaran kursi yang kosong, maka ringan saja saya mendudukinya. Mencoba mengurangi rasa capek. Tapi rasa lapar nggak mungkin diminimalisir karena tak ada sama sekali yang berjualan di dalam gedung. Hanya bisa mengedarkan pandangan. Kebetulan sekali. Ternyata tak jauh dari tempat saya duduk ada toilet. Jadilah saya meringis menyadari satu lagi permasalahan bakal teratasi. Tapi, kemudian satu persoalan lain timbul. Dimanakah saya harus menitipkan tas ini? Layakkah saya percaya dengan meninggalkan tas di tempat duduk ini? Berpikir sebentar. Hingga kepuitusan diambil. Saya akan mengambil al-Qur’an-nya dari tas dan meletakkannya di atas sebuah hidran yang kebetulan ada di luar toilet, sementara tasnya saya bawa masuk ke dalam. Asumsinya adalah, mana mungkin ada yang ”mengambil” al-Qur’an meski itu terlihat medheng-medheng? Buat apa? Mau dipakai sendiri ya mana mungkin. Al-Qur’an kok curian.

Saya tak lama di toilet. Merapikan kembali pakaian dan kembali keluar. Dan, betapa kagetnya saya ketika asumsi saya tak berlaku di sini : al-Qur’an saya raib. Berkali-kali saya menerapkan asumsi ini, dan baru kali ini saja tertolak. Saya tercengang, sibuk mendengungkan kata ”mana mungkin”. Tak percaya dengan kjadian ini. Saya coba tanya ke seorang yang duduk tak jauh dari TKP, juga tak tahu. Saya terdiam, berharap sound yang ada di depan mengumumkan sebuah penemuan al-Qur’an. Tapi itu tak terjadi.

Olala!! Ternyata al-Qur’an saya benar-benar hilang. Mudah-mudahan saja menjadi amal kebaikan.

 

 

* pertama kali kutulis di balik berkas CV. Saat terperangkap  di masjid UGM. Menjelang malam. Dingin. Sendiri. Sementara hujan mendayu-dayu di halaman.

Wednesday, November 19, 2008

Cerita Tentang Partneran Tugas Akhir

Dulu, ketika masih aktif bersama-sama teman lab mengerjakan tugas akhir, salah seorang teman laboratorium tiba-tiba ngomel-ngomel. Saya yang sedang ngenet tentu saja kaget. Sempat tersenyum sambil menggoda teman saya itu. Tapi nggak mempan. Saya pun diam.

Ternyata temen lab saya itu sedang marah-marah pada partner tugas akhirnya yang notabene teman lab saya juga. Tak perlu saya sebutkan alasan marahnya, tapi yang pasti, setahu saya ini adalah kemarahannya yang pertama  pada partnernya semenjak kami bekerja bersama di lab ini. Sebelum-sebelumnya tak pernah saya lihat ia mengeluh meski lebih sering kerja sendirian. Jarang sekali terlihat ia murung, tertekan atau yang lain ketika ia harus mengerjakan rangkaian tugas akhir sendiri, sementara saya dan teman yang lain bisa mengerjakannya berdua. Ada satu hal memang yang membuat partnernya tidak bisa intens mengerjakan tugas akhir di lab.

Berpartner adalah sebuah keniscayaan di jurusanku  bagi seorang mahasiswa yang mengambil tugas akhir. Dan ini terserah. Artinya terserah, kita bebas menentukan partner kita sendiri. Maka tak heran, jauh-jauh bulan sebelum seseorang mengambil tugas akhir, sudah bisa diketahui kalau ini partnernya ini, kalau itu partnernya itu. Ini tentu saja sangat baik karena sedari awal kita sudah bisa berkomitmen, sudah bisa menjajaki, melakukan penyesuaian-penyesuaian...pemahaman-pemahaman. Setahun selanjutnyalah medan tarung sebenarnya. Saat kita berkolaborasi mengerjakan tugas akhir..melewati malam-malam bersama penuh tekanan..menjalani dan menyelesaikan konflik-konflik kecil.

Dulu, saya sempat bingung juga harus berpartner dengan siapa. Bukan karena saya tak punya pilihan atau tak seorangpun yang mau berpartner dengan saya. Tapi justru karena saat itu dihadapkan pada tiga pilihan sekaligus. Ceritanya begini : bayangkanlah ada empat orang mahasiswa yang mau tugas akhir. Mereka berteman, erat bahkan. Bukan suatu hal yang aneh jika keempatnya berkumpul bersama dan asyik bercanda. Antar individunya pun berteman. Si ini sering jalan dengan si ini, tapi juga sering makan bareng si itu, tapi juga nggak jarang belajar bersama si satunya. Pokoknya mereka berteman akrab. Saling tahu pribadi masing-masing. Dan insyaallah sudah saling mngerti.

Masalahnya adalah, sampai menjelang akhir-akhir semester enam (artinya mendekati tugas akhir), keempatnya tak pernah menegaskan diri siapa partnernya siapa. Desas-desus di luar mungkin menyebutkan kalau A partnernya B, sedang C partnernya D, tapi di antara kami berempat belum ada ketegasan itu. Rumit jadinya. Jika diperbolehkan partnerannya empat orang ya mungkin lebih baik kita berempat saja.

Lalu jalan keluar muncul. Harus ada ketegasan. Kita kemudian syuro. Berempat saja. Lucu mengingatnya saat semua dari kami sama-sama berucap : tak masalah saya berpartner dengan siapa. Maka tambah rumitlah jadinya. Tak mungkin apabila serta merta langsung diputuskan begitu saja. Bingung..sempat buntu, hingga kemudian kita menganalisa plus minus apabila A sama B, A sama C, A sama D, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Sempat alot. Bahkan sampai perlu jeda sholat. Sebenarnya masalahnya adalah pada ketidakenakan. Satu sama lain tak enak untuk langsung menegaskan akan berpartner dengan siapa. Semuanya hanya bisa menunggu. Maka waktu sholat itulah, sebelum syuro lagi, diadakan lobi. Pembicaraan dua orang saja. Ngomong baik-baik dan apa adanya.  Tapi omong-omongan santai inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan, yang selanjutnya diomongkan resmi. Sampai terjadilah kesepakatan itu. Saya berpartner dengan partner saya yang sekarang (atau mungkin dulu, karena sekarang sudah lulus).

Sungguh, masa-masa berpartner adalah masa-masa saling memahami. Memahami kalau seandainya partner kita nggak bisa setiap saat di lab, memaklumu setiap kali partner kita nggak bisa bareng-bareng mengerjakan tugas akhir karena harus ngelesi mungkin. Maka kedekatan sedari awal menjadi penting. Agar kita mengenal partner kita, bukan hanya luar-luarnya saja. Tapi luar dalam. Agar kesepahaman itu tercipta. Minimal kita sudah pernah bepergian, menginap, dan melakukan transaksi ekonomi dengan dia.

Lalu keterbukaan. Kita paham karena kita tahu. Dan kita tahu tentang partner kita karena partner kita terbuka. Maka apabila terjadi apa-apa pada kita, yang langsung ataupun tidak langsung bakal berimplikasi (buruk) pada tugas akhir, partner kitalah yang pertama kali harus tahu. Jangan sampai ia menyimpulkan sendiri, jangan sampai ia tahu dari orang lain. Bakal buruk jadinya. Hal-hal kecil macam keterlambatanpun kita beritahukan. Agar tak muncul prasangka lebih dulu.

Dan pada akhirnya kebersamaan. Kebersamaan yang harus senantiasa dipupuk. Bukan hanya sebuah kebersamaan kaku sebuah hubungan kerja, tapi lebih dari itu. Kebersamaan dalam keseharian. Bersama untuk makan malam, bersama sholat berjamaah ke majid, atau bersama belanja ke mall. Karena, kalau itu hanyalah sebuah kebersamaan kerja, maka prinsip untung rugi lah yang sering berlaku. Aku lebih banyak kerja dari pada kau. Kau lebih sering ngempi dari pada ngerjain tugas akhir. Tadi giliranku, sekarang giliranmu. Serta ungkapan-ungkapan sejenis. Buruk jadinya. Tak ada kesenangan dalam mengerjakan. Nggak ikhlas.

Maka sekarang, setelah setahun melewati masa-masa berpartner itu, saya menyadari gejolak di sana-sini itu dulu juga sering terjadi. Sering juga iri masalah pembagian kerja, berdebat panjang, atau ketidaksukaan pada beberapa kebiasaan partner.Tapi minimal dengan tiga prinsip di atas, itu semua bisa diredam. Bisa diminimalisir. Sebisa mungkin kita tak marah, tak pernah juga membicarakan keburukan-keburukan partner dengan teman yang lain. Biarlah itu kita simpan sendiri. Kita komunikasikan dengan bahasa-bahasa kita sendiri. Saling menyemangati. Juga sebisa mungkin untuk senantiasa menyeimbangi. Di saat partner sedang down, maka mau tak mau, kitalah yang harus tetap semangat. Seberat apapun itu.

Lalu teman laboratorium saya yang marah tadi, mungkin sudah sangat keterlaluan sekali. Tak bisa dibendung dalam tekanan yang kian menikam. Tapi saya yakin, waktu itu, itu tak bertahan lama. Sebentar lagi mereka akan baikan kembali. Lewat penjelasan-penjelasan, ucapan maaf, serta genggaman tangan mungkin. Dan benar saja, tak perlu lama setelah kejadian itu, mereka sudah terlihat tertawa-tawa bersama.

 

Wednesday, November 12, 2008

Cerita Kepulangan I : Kehilangan Kedua

Lagi-lagi cerita kepulangan. Entahlah..akan selalu banyak hal yang saya temukan saat pulang. Cerita-cerita menarik. Kadang lucu, kadang menjengkelkan, tak jarang pula mengharukan.

Seperti kepulangan baru-baru saja.

Saat itu habis maghrib. Tak ada aktivitas berarti yang saya lakukan. Hanya duduk-duduk saja di ruang tamu menikmati suasana malam kampung halaman. Bengong, baca-baca buku yang sengaja dibawa, beralih ke koran, bengong lagi, hingga kemudian ponsel saya berbunyi. Sebuah sms masuk.

“Bal, ntar jam tujuh Ahmad ke rumah ngambil sarung tangan sama kaca mata”. Dari kakak saya. Kakak saya saat itu sedang berada di malang, dan ahmad (*sebutlah namanya demikian*) tadi adalah salah satu teman sma-nya dulu yang kebetulan saat berkunjung ke rumah piranti bermotornya tertinggal. Semingguan lewat kira-kira tertinggalnya.

Tidak saya balas tapi saya ok-kan dalam hati. Jam tujuh...berarti tinggal beberapa saat lagi.

Entah jam berapa tepatnya tapi ternyata memang Ahmad datang juga. Bukan saya yang mempersilahkan karena waktu itu saya sedang di ruang tengah. Kakak saya yang lain yang kebetulan sedang di ruang tamulah yang mempersilahkannya. Meskipun begitu, percakapan di antara keduanya terdengar cukup jelas di telinga saya.

“Eh ahmad!!! Mari..mari masuk! Mau ambil kaca mata ya??”

“iyah nih”

“Kok pakaiannya lengkap berkendara begini. Langsung dari surabaya atau...?”. Ahmad ini kebetulan kerjanya di surabaya.

“iyah..langsung dari kerjaan.”

Kakak saya kemudian mengambil barang yang dimaksud. Kebetulan memang sudah dipersiapkan, karena rencananya memang sudah dua tiga hari yang lalu mau diambil. Bergegas kembali ke ruang tamu. Menyerahkannya.

Saya nggak tahu bagaimana kronologis lengkapnya karena kemudian memang tidak terlalu memperhatikan, yang saya tahu tiba-tiba saja terdengar Ahmad tadi permisi mau balik.

“kok buru-buru. Mbok duduk-duduk saja dulu, pasti capek habis perjalanan jauh”

“maaf. Terima kasih. Tadi bapak sms katanya adik kecelakaan di Wono rejo saat mau pulang dari Malang”.

Kakak saya tak terlihat berkata-kata. Mungkin kaget. Saya pun ikut-ikutan kaget. Tapi tak berpikiran macam-macam. Saya tahu adiknya Ahmad tadi. Dulu adik kelas saya ketika smp. Memang, seperti cerita yang pernah saya dapatkan ia sedang menempuh pendidikan di malang.

“tapi saya sms balik nggak dibales-bales sama bapak. Makanya ini buru-buru pulang”.

“owh”.

Begitulah. Dan kami sekeluarga tak berpikiran jauh. Hanya mendiskusikannya sebentar. Bertanya ke saya apakal kenal atau tidak. Ini itu. ini itu lagi.Selesai. Sudah. kemudian tak ada lagi perbincangan. Saya pun beranjak ke kamar (*kayaknya ini penyakit yang selalu menjangkiti saya ketika pulang : ngantukan*).

Dapat diduga; saya tertidur. Baru terjaga saat ponsel saya yang sedang saya charge berbunyi. Kakak saya yang sedang ada di malang yang nampak tertulis di layar. Kali ini ia telepon.

“yah?”

“bal, tadi ahmad waktu ke rumah nggak bilang apa-apa ta?”

“emang ada apa?”

“barusan sms aku katanya adiknya meninggal kecelakaan di wonorejo”

Saya tergetar; ya Allah. “iyah sih tadi cuma bilang katanya adiknya kecelakaan. Tapi belum tahu keadaannya karena cuma di-sms”.

“ya itu, tadi sms aku. Tapi pas aku telpon balik gak diangkat-angkat. Tadi SMS ‘ya semoga khusnul khotimah’ gitu. Padahal senin besok bapaknya mau berangkat naik haji”.

Bla bla bla

Bla bla bla

tekepon ditutup.

 

Dan tiba-tiba saja... Ya Allah! Saya pernah dalam posisi itu. Pernah dalam posis begitu sulitnya bersuara untuk mengabarkan berita menyakitkan itu. Tergetar. Lebih mudah mengabarkannya lewat huruf-huruf SMS. Meski tak jelas lagi apa yang mau diketik.

Namun kesadaran itu, secepat kilat berganti hal lain : Kehilangan untuk kali kedua berurutan. Ramadhan kemarin, ya baru saja kemarin, si ibu teman kakak saya tadi, yang sudah berencana berhaji bersama si bapak, menghadap sang khalik. Menyisakan tiga lelaki dalam keluarga itu : Bapak dan dua orang anak. Tapi kini....dua dari tiga laki-laki itu, harus mengikhlaskan kepergian lelaki satunya. Yang termuda.Saya tak bisa membayangkan apa yang sedang dirasakan oleh Ahmad tadi. Lebih-lebih bapaknya. Ya Allah.... bahkan ia akan segera berangkat haji hanya dalam hitungan hari. Harapan apa gerangan  yang tiba-tiba saja terampas dari imajinya.

Lau tinggallah saya yang hanya bisa mengiang-ngiangkan pertanyaan bodoh: Mengapa harus mereka? Mengapa itu harus sekali lagi menimpa mereka? Mengapa, mengapa itu terjadi saat mereka bahkan belum mampu mengatasi rasa kesepian pada diri masing-masing yang memang berpencaran antara Pasuruan, Malang, dan Surabaya? Bukankah..bukankah mereka hanya bertiga. Bukankah mereka sedang akan merencanakan pertemuan kecil di rumah mereka yang mulai terasa sepi. Mau berkumpul menikmati momen-momen kebersamaan untuk terakhir kalinya. Ya....terakhir kali sebelum sang Bapak harus pergi jauh untuk berhaji.

Ya Allah, kami bahkan tak tahu apa yang terbaik bagi kami. Kami hanya sibuk protes. Merasa pintar. Merasa lebih tahu. Merasa sok dengan karapan-harapan kami sendiri. Padahal pengaturanmu lah yang terbaik, padahal pembagianmu lah yang teradil. Kamilah yang bebal. Kamilah yang tak pernah mensyukuri apa yang terjadi. Kamilah yang tak mampu menangkap apa yg terkandung dari semuanya. Kami hanya sibuk berkeluh kesah atas semuanya.

Ajari kami Ya Allah... Untuk mengerti. Untuk bisa memahami. Hingga rasa syukur itu senantiasa memenuhi dada kami.

 

 

Wednesday, October 22, 2008

karena masih banyak yang menginginkan kita menjadi baik

Pernahkah kita berpikir : adilkah kita, setelah dibesarkan orang tua kita, kita begitu saja meninggalkan orang tua kita itu , oleh sebab kuliah mungkin. Karena seseorang teman pernah bertanya tentang itu. Begini kira-kira pertanyaannya:

“gimana ya bie perasaan orang tua kita saat tiba-tiba kita harus meninggalkan mereka, harus pergi? Apa yang ada di pikiran mereka?

“adil nggak? Jahat nggak? Setelah mereka membesarkan kita, kita begitu saja pergi”.

Pertanyaan di atas disampaikan oleh seorang teman, cewek lagi,  yang sejak SMA sudah harus meninggalkan orang tuanya karena harus sekolah di luar kota. Selama tiga tahun. Dilanjutkan dengan kuliah empat tahun. Selesai? Pulang? Belum! Karena di sinilah kemudian letak permasalahannya. Ketika sudah tujuh tahun ia sering meninggalkan orang tuanya itu, ia masih harus melanglangbuana lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ke luar negeri. Dua bulan kemarin sudah harus ke inggris untuk ikut course bahasa inggris, sabtu besok terbang lagi ke taiwan untuk gabung dalam sebuah proyek penelitian. Nanti-nanti, kalau sudah kelar dari taiwan, ia sudah harus ke arab saudi melanjutkan S2 dan S3-nya di sana. Kelihatannya sebuah perjalanan yang menyenangkan. Ah siapa yang tak ingin keliling dunia seperti itu. Tapi, ternyata tak selamanya itu yang ada di hati teman saya itu. Ada rasa asing, gamang, dan sendiri. Kesepian mungkin. Dan tentu saja, pertanyaan mengganggu di atas tadi.

Saya terdiam sebentar kala menerima pertanyaan di atas. Sebenarnya banyak contoh yang lebih ekstrim dari teman saya itu. Banyak orang tua yang sudah harus merelakan anaknya pergi  bahkan ketika anaknya itu masih teramat belia. Tapi kemudian, jawaban sok tahu saya muncul juga:

“saya yakin, saat kita berpamitan untuk pergi, ada pertarungan besar di hati mereka. Pertarungan antara keinginan untuk selalu bersama kita, melihat kita terus, dengan keinginan untukmelihat kita lebih baik, melihat kita bahagia dengan pilihan kita. Tapi saya juga yakin, mereka pada akhirnya akan memenangkan yang kedua, mereka akan selalu memenangkan yang terbaik bagi kita, mengorbankan perasan mereka sendiri”.

Entah puas atau tidak dengan jawaban saya itu tadi, tapi semoga saja jawaban itu cukup untuk mengurangi gundahnya. Membuat dia mantap dengan pilihannya itu. Bahwa orang-orang yang mencintainya akan selalu menginginkan yang terbaik baginya. Bahwa yang terbaik baginya, terbaik juga bagi mereka.

Lalu kemudian semalam, tiba-tiba saya berpikir, betapa beruntungnya teman saya itu jika masih ada pertanyaan itu di kepalanya. Itu artinya, wajah kedua orangtuanya itu masih terus ada di hatinya. Orang-orang yang mencintainya itu masih senantiasa membersamainya. Dan itu akan sangat banyak sekali efeknya. Karena saat kau sadar bahwa masih banyak orang-orang yang mencintaimu, maka itu cukup sudah membuatmu untuk selalu menjadi baik.  Itu sudah menjadi driving force yang ampuh. Itu bahkan sanggup menyelamatkan kau pada detik-detik akhir dimana kau akan saja melangkah ke jurang keterpurukan.

Maka kawan, sering-seringlah menghadirkan wajah orang-orang yang mencintaimu (dan kau mencintainya) dalam hari-harimu. Seringkanlah menghadirkan wajah teduh kedua orang tuamu (kau akan kembali ingat betapa sudah terlalu banyak yang mereka lakukan),atau  wajah penuh pengorbanan kakak-kakakmu (ah dengan apa kan membalasnya), atau wajah imut nan lugu adik-adikmu (bahwa mereka butuh teladan kan?), atau wajah bening sahabat-sahabat terbaikmu ( bukankah kau masih ingin merangkai cita bersama mereka?). Karena jika kau terasa malas maka kau akan cepat sadar, dulu orang tuamu tak pernah malas mengasuhmu.

Ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang menginginkan kita menjadi baik. Itu yang harus kita yakini. Itu yang harus selalu kita hadirkan. Terus-menerus.

Teruslah hadir dalam hari-hariku kawan!



*untuk nina yang akan kembali terbang jauh*

 

Sunday, October 12, 2008

12 Oktober 2008

Subuh itu biasa saja.  Ia pergi ke masjid biasanya tak jauh dari huniannya. Melakukan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan imam sholat yang tak asing. Dengan bacaan surat yang tak asing pula di telinga. Melafalkan dzikir yang sama seperti subuh-subuh sebelumnya. Hanya saja setelah itu, ia tak berdo’a seperti do’a-do’anya sebelumnya. Hari itu lain. Hari itu ia punya kekuatan untuk merangkai kata-kata itu. Bukan do’a yang dulu diajarkan orangtuanya, atau guru ngajinya. Hari itu, do’a yang special untuk hari itu.

“ ya Allah yang maha memiliki hati-hati kami. Seperti halnya engkau telah kumpulkan kami empat tahun yang lalu dengan hati yang dipenuhi impian-impian besar, dengan idealisme-idealisme yang begitu menjulang, dengan pengharapan-pengharapan yang terlihat kecil mungkin tapi sesungguhnya itu begitu mulia. Ya Allah.....hari ini, esok, dan seterusnya...tetapkanlah itu dalam hati-hati kami. Teguhkanlah itu di sepanjang jalan hidup kami. Biarpun kami harus sendiri untuk itu ya Allah, biarpun kami harus terasing, biarpun tak ada teman yang membersamai langkah kami. Jika itu telah mulai membelok, sederajat saja ya Allah......luruskanlah.

“ya Allah ya lathief. Jadikanlah kami termasuk golongan hamba-hambamu yang pandai bersyukur. Syukur atas hari ini. Syukur atas wisuda ini ini ya Allah........ Syukur atas ketetapan-ketetapan hidup yang kau gariskan . Meski itu selamanya tak terlihat menyenangkan, meski itu terkadang terasa sesak, meski itu kadang terasa berat kami emban ya Allah.

“ya Allah ya rokhman. Lindungilah kami dari termasuk golongan hambamu yang ingkar. Ingkar terhadap perintahMu, ingkar terhadap teman-teman kami, ingkar terhadap hati nurani kami sendiri, dan ingkar terhadap setitik pengetahuan yang Engkau titipkan pada kami

“ya Allah..hanya Engkau tempat meminta segala pertolongan”.

 

Lama ia terpekur. Hingga masjid mulai beranjak sepi. Sesorang bahkan telah memadamkan salah satu lampu. Seketika mulai remang, meski masih cukup mencahayai. Berdiam diri saja.

Hingga ia bangkit. Melangkah keluar. Menggapai sandal jepit yang bulan-bulan belakangan ini membersamai langkah. Ke jogja (yang sempat oleh salah satu penghuni penginapan disangka fasilitas penginapan hingga seenaknya saja dipakai mandi dan dibawa masuk ke kamarnya), dua kali pulang kampong, serta kemanapun hari-hari ia lalui.

Masuk ke kamar. Masih ada waktu sejam untuk mempersiapkan diri. Menyetrika celana dan baju (tapi kebingungan dulu mencari pinjaman setrika). Menggapai ponsel. Hei!! Ada sms.

“come on wake up.. Wake up. This one of your big day.. Congratulation for you”

Benarkah????

Dan semuanyapun kemudian bergerak, berarak. Toga. Berangkat. Graha. Teman-teman. Foto-foto. Masuk. Prosesi-prosesi. Nyanyian-nyanyian.. Pemanggilan-pemanggilan. Rector. Sambutan. Berjabat-jabatan. Wajah sumringah orang tua. Foto-foto lagi.

Kembali. Selesai.

Menuliskan ini.

Thursday, October 9, 2008

kebaikan-kebaikan kecil

Saya masih ingat benar kejadiannya. Saat itu saya masih semester dua, masih culun-culunnya menjadi seorang maba. Masih sibuk-sibuknya menjalani dua praktikum jurusan yang benar-benar menguras tenaga, akal, dan juga kesabaran. Sibuk, sibuk, sibuk. Pokoknya sibuk. Sampai seorang teman mendefinisikan masa itu sebagai keadaan dimana kita akan merasa berdosa sekali untuk tidur-tiduran. Bagaimana tidak berdosa, karena itu sama artinya kita akan menzalimi diri kita esok-esoknya. Tentu saja, karena pekerjaan akan semakin menumpuk, menumpuk, dan terus  menumpuk.

Saat itu kuliah kimia Fisika I. Pengajarnya adalah Prof Jud. Rabu pagi kalau nggak salah. Dan, seperti kebisaaaan di rabu-rabu sebelumnya, laporan praktikum mikrobiologi saya belum juga rampung. Padahal jam satunya sudah harus praktikum lagi dengan menyerahkan laporan yang sedang saya kerjakan itu, laporan praktikum minggu sebelumnya. Bawaannya pasti bingung. Berseru ramai pinjem laporan ke teman yang lebih rajin. Memang, kebetulan sekali dosennya belum datang kala itu (meski walau sudah datang masih saja suka ngerjain laporan).

Parahnya, laporan saya kala itu parah banget. Banyak sekali yang belum. Pembahasan masih dikit banget. Ngasal lagi. Nggak nyambung lagi (sejak SMP saya memang nggak suka banget yang namanya Biologi, dan entahlah, di jurusan yang namanya tidak biologi banget ini kok saya bisa bertemu dengan mata kuliah mikrobiologi). Padahal, apa coba inti dari laporan? Ya pembahasan itu kan. Maka, setelah saya itung-itung, rasanya saya perlu sub-kan salah satu pengerjaan laporan ini pada seorang teman yang kelihatan nganggur karena jadwal praktikumnya emang kemarinnya.

“Yan, boleh minta tolong nggak?”

“Apa?”

“minta tolongin stabiloin literaturku yang berhubungan dong”. (Di setiap laporan kan memang diwajibkan menyertakan fotocopian literature yang dicuplik. Dan itu harus distabilo bagian yang diambil atau dikutip)

“Aduh!! Nggak bisa sendiri ta bal. wong gitu aja”.

Duh, jawaban itu benar-benar di luar dugaan saya. Ia nganggur. Benar-benar nganggur kala itu dan hanya bengong-bengong aja melihat teman-temannya yang lain sibuk dengan pekerjannya. Lalu apa sulitnya sebenarnya hanya untuk sekedar nyetabiloin. Sakit rasanya. Seperti tertolak. Ini cuma pekerjaan kecil yang tak menyita banyak waktu atau tenaga.

Tapi hari itu saya tak dendam. Karena toh emang nggak ada gunanya. Tapi saya mencatat (ini bahasanya mbak HTR kala ditolak penerbit di awal karir kepenulisannya). Bahwa kita kadang lebih menghargai bantuan-bantuan kecil semacam ini. Lebih respek pada kebaikan-kebaikan kecil macam menyetabilo ini. Karena kebaikan-kebaikan kecilnya itulah yang sering kali menunjukkan kebaikannya, keikhlasannya, kedermawanannya. Karena kebaikan-kebaikan kecil inilah yang sering kali luput dari mata orang yang tidak benar-benar baik. Kalau kita tertimpa suatu musibah yang cukup berat, akan sangat banyak orang yang menawarkan bantuan. Akan banyak orang yang datang mengantarkan solusi. Tapi, ketika kita sibuk melongok-longok kolong kursi di kelas, berapa banyak teman yang mau peduli dan berkata : “Akhi, lagi nyari apa? Ada yang bisa dibantu”.

Saya hanya sok tahu aja masalah ini. Tapi kejadian ini menimbulkan catatan di hati saya, bahwa jika saya pernah merasa tidak enaknya berada di posisi itu, maka sedapat mungkin orang lain jangan sampai merasakan hal yang sama oleh karena tindakan saya. Prinsip sederhana yang berat banget implementasinya. Maka, sedikit demi sedikit, saya akan terus mencoba menjadi orang yang tak hanya sibuk dengan kebaikan-kebaikan besar yang terlihat. Saya juga harus menyibukkan diri dengan kebaikan-kebaikan kecil yang terlihat remeh-temeh. Karena remeh bagi kita, belum tentu remeh bagi yang ditolong. Begitu juga sebaliknya.

Jadi..apakah saya sudah memulai itu? Ah nggak tahu juga apakah yang sudah saya lakukan sudah menuju itu. Yang jelas, jangan kaget ketika saya jadi sok perhatian bertanya-tanya. Atau jangan heran dan berpikiran macem-macem kalau saya sering banget SMS macam beginian:

“Hari ini, Metro TV, jam 7 ada acara bagus. Mario Teguh. Honesty”.

“apakah kau mulai merasa hatimu mulai mengeras kawan? Ingin kembali merasa indahnya berbgi, merasa, dan mencinta. Tolong tonton kick andy sekarang”

“eh, udah tw blm, hri ini  batas akhir pembayaran (ini) lho. (nama temenku) udah bayar belum?”

Karena saya, juga senang dapat SMS semacam itu. Dan dua tiga hari kemarin, saya tahu betul manfaat SMS macem begituan.

“assalamualaikum. Iqbal, udah tw blm, hari ini ada pengambilan toga untuk FTI. Syarat pengambilan nyertain bukti pembayaran BNI. Ngambilnya di Dharma Wanita blok D nomor (sekian)”

“Oh ya, tambahan. Bukti pembayarannya difotocopi 2X”.

Letak manfaatnya karena yang pertama memang saya nggak tahu dimana letak dharma wanita itu. Yang kedua, ternyata dharma Wanita itu letaknya lumayan jauh juga dari fotocopian. Saya jadi bersyukur masih ada orang yang mau memberi kebaikan-kebaikan kecil macam begini. Karena saat saya telah selesai ngambil Toga itu, dan beranjak pulang, seorang teman harus balik lagi keluar dari ruang pengambilan toga. Alasannya, ternyata ia belum fotocopi bukti pembayaran itu. Dan konsekuensi dari itu, ia kemudian kehabisan ukuran toga yang sesuai dengan tubuh mungilnya.

Tuesday, October 7, 2008

anak-anak........

Jangan melarang, itu tidak efektif. Tapi alihkan perhatiannya.

Demikianlah kata ari nur, secara tak langsung, lewat tokoh rani dalam novelnya yang berjudul dilatasi memori. Saat itu rani mendapati anaknya, rifki, tak mau untuk mematikan televise. Padahal acara yang tayang hanyalah gossip-gosip sama telenovela. Seperti yang disebutkan di atas, rani tidak melarang anaknya itu serta merta, karena menurutnya, kalau dilarang rifki malah penasaran dan akan menonton secara sembunyi-sembunyi ketika orang tua tidak ada. Saat itu ia hanya mencoba mengalihkan perhatian anaknya itu. Menghindar pergi dan tak menemani anaknya itu nonton.

“kok mama pegi sih?”. Anaknya bertanya. (pancingan pertama berhasil).

“mama mau main.”

“aaa..mama sini, dooong!”

“nggak ah. Mama mau main.”

“main apa, ma?”. (pancingan kedua berhasil)

“makanya siniiii...ikut mama main”.

Demikianlah, akhirnya rifki terlupa dari televisinya. Rani dengan lihai mengalihkan perhatian anaknya itu, dengan hal yang lebih menarik mungkin dari sekedar nonton televise.

Dan begitulah, sampai saat ini sebenarnya saya tak pernah membaca buku yang spesifik memmbahas tentang psikologi anak serta tetak bengeknya. Tidak juga mengikuti kajian tentang itu. Hanya sekali dua kali saja kebetulan ketemu artikel tentang itu di media massa dan kemudian membacanya. Manggut-manggut sebentar. Dan, ya sudah! Cukup sebagai pengetahuan.

Saya percaya, bukan hal yang terpat lagi mendidik anak hanya dengan pelarangan-pelarangan tak berdasar, pembohongan-pembohongan gaya lama. Tidak, itu tak baik bagi perkembangan anak. Kejam sekali menurut saya orang tua yang melakukan itu pada anaknya.

Namun begitu, saya jarang atau bahkan belum pernah menerapkannya. Tentu saja, karena saya belum punya anak. Sebenarnya, hal yang disebutkan ari nur dalam novelnya itu banyak juga yang diterapkan masyarakat. Minimal masyarakat sekitar saya. Hanya saja cara pengalihan perhatiannya yang tidak benar. Karena caranya lagi-lagi menggunakan pembohongan. Tak ada cara jelek untuk menyampaikan hal baik, demikian salah satu pernyataan Mario Teguh dalam suatu acara di metro tv beberapa hari yang lalu. Karena, itu akan menyebabkan kebaikan itu jadi terlihat jelek.

cup..cup..cup...engkok lek gak meneng diparani wewe lo.”. Aduh, mana coba hubungan antara menangisnya anak dengan wewe tadi. Lagipula, ini secara tak langsung juga mengajarkan si anak untuk mempercayai hal-hal tahayul macam itu.

“gak bisa...mallnya kebakaran”. Ini adalah salah satu cara orangtua menenangkan anaknya yang merengek minta ke mall yang pernah saya dengar. Pembohongan. Pantas di negeri ini penuh dengan pembohong-pembohong wong sejak kecil sudah sering  dibohongi, demikian ucap salah satu pembicara dalam sebuah kajian yang saya ikuti. Sebenarya, anak juga mengerti apakah alasan itu cukup rasional apa nggak. Tapi kitalah yang begitu malasnya untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak kita. Sulit memang, sulit karena itu itu tak jarang harus dilakukan di tengah kesibukan yang melelahkan. Tapi hasil yang akan diperoleh insyaallah  bakalan setimpal dengan usahanya.

Banyak sebenarnya contoh yang lain. Salah satu yang cukup populer di daerah saya adalah “orang gila”. Memanfaatkan orang gila untuk menakut-nakuti anak dengan harapan berhenti dari tangisnya. Tentu saja ini amat tak baik bagi psilokogi anak.

Tapi, meskipun tak setuju dengan hal-hal tersebut di atas, saya lebih sering tak bisa berbuat apa-apa (kadang karena memang bukan wilayah saya, kadang juga begitu jahatnya membatin kalau itu toh bukan anak saya, lagi malas). Hanya menggerutu dalam hati. Sampai lebaran kemarin kesempatan itu datang. Pagi hari ketika saya baca-baca di ruang tamu sambil ngemil kue lebaran, keponakan saya nangis. Umurnya masih lima tahun. Cewek. Dari rengekannya terdengar jelas kalau ia minta ke kolam renang. Di desa saya memang ada pemandian umum yang tiket masuknya sekitar 4000. Tentu saja ibunya menolak, pagi-pagi begini, lagipula ayahnya sudah berangkat kerja. Perasaan memang baru dua atau tiga hari yang lalu saja keponakan saya itu merengek minta kesana dan dituruti oleh orang tuanya. Tapi keponakan saya terus merengek, malah minta ayahnya suruh pulang. Gawat. Tentu saja ibunya yang sedang menyapu itu hanya ngomel-ngomel tak mengizinkan. Mengeluarkan kosakata yang tak sepantasnya diucapkan ke anak kecil. Beruntunglah, pagi itu saya lagi baik. Biasa-biasanya sih ikutan berpikir pendek marah-marah, atau minimal tak peduli. Cuek bebek. Saya pun mendekati keponakan saya itu. Alangkah jahatnya saya kalau tahu ilmunya tapi tak mengaplikasikannya.

Keponakan saya itu tiduran di ranjang sambil merengek. Menutup wajahnya dengan bantal. Bila itu sudah dilakukannya pertanda kalau ia lagi ngambek. Bakalan lama reda tangisnya. Saya pun menjajarinya tidur. Saya teringata bahwa awal-awal lebaran kemarin saya memdongengi keponakan saya ini tentang delisa, seorang tokoh rekaan dalam novel hafalan sholat delisa. Dan kemarin itu, cerita itu bersambung. Saya males waktu itu melanjutkannya. Maka saya pun menawarinya untuk melanjutkannya. Ia tak menolak juga tak mengiyakan. Sayapun mulai membisikkan kelanjutan cerita itu. Awalnya ia tak peduli, tetap menangis. Tapi saya teruskan. Hingga ketika saya sampai pada ketika tsunami menerjang, tangisnya mulai perlahan mereda dan ia merespon.

“keseret--??”. Ia bertanya.

inggih... keseret. Kesilep. Ngerti kesilep?”. Saya balik bertanya, mengajaknya  berpartisipasi dan berharap ia melupakan masalah kolam renang itu.

ngerti...ono ningsore banyu”. He..he. Saya tersesyum dalam hati, ternyata anak kecil punya definisi-definisi unik yang bahkan tak saya perkirakan sebelumnya. Usaha saya mulai menampakkan hasil.

Demikianlah, sampai akhirnya ia lupa sudah dengan kolam renang. Kembali bangkit dari ranjang dan mulai ceria. Saya tak menyangka bahwa urusan ini ternyata mudah saja. Cerita tadi, ternyata lebih menarik baginya, dibandingkan harus bersusah payah menangis tanpa kejelasan hasil .

Tapi siangnya saya terkaget. Saat itu saya tidur di kamar. Keponakan saya merengek lagi. Dan apa yang direngekkan membuat saya tersenyum geli.

“yahh....nang kolam”.

Ternyata, siang itu ayahnya hanya kerja setengah hari, mungkin karena hari pertama masuk.  Saya pun geleng-geleng kepala. Saya sungguh keliru, urusan kolam renang ini tidak benar-benar terlupa dari kehendaknya. Tadi pagi, usaha saya saya itu ternyata hanyalah penundaan saja.

Tapi siang itu saya tak bangkit. Tak lagi meneruskan sekuel lanjutan delisa tadi. Biarlah, lagian ke kolam renang itung-itung buat latihan renang baginya.

Beberapa saat kemudian terdengat suara sepeda terstarter. Sebelumnya, tangis keponakan saya itu reda. Dan tentu saja, redanya karena kehendaknya dituruti ayahnya.

 

 

 

Thursday, September 25, 2008

K-E-P-E-R-G-I-A-N (catatan detik-detik terakhir seorang kawan)

            Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(Nisan, Chairil Anwar)

 

 

Suatu ketika, dalam sebuah ceramah terawih di masjid kampus UGM, menkominfo, Pak Nuh, pernah menyatakan bahwa semakin puncak kebutuhan seorang manusia maka semakin sedikit orang-orang yang bisa berpartisipasi untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. Dalam bahasa matematika, pernyataan ini dinyatakan  dengan saat dy/dx mendekati 0. Ada banyak sekali kebutuhan manusia, tak terhitung malah. Berbeda antara satu manusia dengan manusia lain. Kitapun kemudian sepertinya berlomba-lomba untuk mencoba memenuhi kebutuhan  itu. Dengan usaha kita sendiri, tapi yang lebih sering melalui bantuan orang lain. Dengan tanpa mengeluarkan sepeser uangpun, tapi tak jarang pula dengan mengorbankan tak terkira harta kita. Namun, pernahkah kita mencoba merenungi, apakah sebenarnya kebutuhan puncak kita itu. Makan? Kalau kita mengikuti pernyataan Pak Nuh diatas, rasa-rasanya tidak, teramat tidak malah. Banyak sekali orang-orang yang berperan untuk memenuhi kebutuhan kita itu; ada pak tani, ada si pembuat piring, kadang ibu yang telah memasakkan kita, terkadang pula pelayan restoran yang dengan ramah mengantarkan pesanan kita. Tidur? Lagi-lagi tidak. Bukankah banyak sekali yang berperan sampai kita bisa tidur dengan lelap. Saat itu, pak Nuh mengungkapkan, bahwa salah satu kebutuhan puncak kita itu adalah sakaratul maut. Bagaimana menjemput kematian dengan khusnul khotimah. Cobalah kita hitung, atau bayangkan, berapa kiranya orang yang mampu membimbing seorang yang mau meninggal dengan kalimat tauhid. Setelah itu, kita akan tahu sendiri jawabannya.

Kematian. Lagi-lagi kematian yang harus saya tulis. Apa mau dikata, memang inilah yang benar-benar terjadi. Memang inilah yang sedang mengaduk-aduk emosi saya kali ini. Benar-benar mengaduk. Hingga saat ini.

Kemarin, hari rabu, sekitar jam sepuluh pagi, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Isinya singkat, tepat, mengena. ”Bal bisa ke RS? Sekarang Ari buruk banget. Please”. Deg. Seketika saya merinding, terbengong sesaat. Berbagai macam pikiran berkelebat. Sudah sebulan lebih teman saya itu diopname di RS. Dengan hasil diagnosa penyakit yang gonta-ganti mulai dari amnesia plastis, leukimia, hingga MDS. Sudah berbagai macam SMS dan perbincangan mengenai dia selama ini. Sebelum-sebelumnya saya tak seperti ini.Tapi sms kali ini..sangat berbeda. Saya galau.  Kontrakan sepi, semua sudah berangkat ke kampus. Saya kemudian menghubungi seorang teman. Mengabarkan ini. Mengajaknya untuk ke RS. Tak bisa. Ia ada keperluan ke Dosen. Saya hubungi teman satunya. Tak bisa juga. Ada kuliah sebentar lagi. Teman saya yang ketiga kemudian saya hubungi. Alhamdulillah bisa.

Tapi kemudian ia tak kunjung datang menjemput saya. Hati ini sudah galau, tak sabar lagi. Entah apakah ini efek relativitas waktu atau tidak. Yang pasti menunggu kali itu terasa lama sekali. Saya coba menenangkan diri dengan membaca Al-qur’an. Tapi suara saya bergetar. Ya Allah...ada apa ini.

Alhamdulillah kemudian suara motor terdengar. Teman saya datang. Saya pun bergegas mengambil helm. Segera meluncur ke RS Dr Soetomo.

Baru saja keluar dari area ITS, teman saya SMS. ”Bal, bawa teman-teman yang banyak ke RS”. Ya Allah, ini pasti serius. SMS pendek seringkali dikirimkan oleh seseorang yang sudah tak tahu lagi harus menuliskan apa. Entah apa yang terpikirkan saya kala itu. Tak tahu sudah. Semuanya berebut memenuhi pikiran. Mata saya  mulai memanas.

Hanya tiga orang teman lelaki yang ada di luar ruangan ketika kami tiba di RS itu. Tak ada muka optimis sama sekali di wajah mereka. Saya bergegas masuk. Suasana sebenarnya sepi, sudah sedikit pasien yang diopname di ruangan lebar itu. Tapi seketika itu menjadi tidak. Ada badai yang mengguruh. Hanya ada bapak dan ibunya disana. Mengapit di kedua sisi. Ah saya tak mampu menatap, tak mampu lagi menatap ibu yang sudah sebulan lebih menjaga anaknya di RS ini. Ya Allah, matanya merah. Merah dan berair. Apa gerangan yang sedang berkecamuk di dadanya? Apa kiranya harapan yang mulai perlahan terhapus dari hatinya. Ah, siapakah orang yang tahan melihat seorang ibu yang menangis untuk anaknya.

Dan teman saya, Bustari, nampak tersengal kesulitan bernafas. Berbagai peralatan medis memenuhi hidungnya. Sang bapak, ya sang bapak yang terlihat pendiam di tiap kali kunjungan saya ke situ, nampak telaten membisikkan kalimat tauhid di telinga teman saya itu. Duhai, apakah yang kau bayangkan saat seseorang sudah membisikkan kalimat itu. Persis di dekat telinga. Dengan sura perlahan. Dengan suara yang dipenuhi sesenggukan. Dan di depanmu, penuh oleh pemandangan yang teramat menggetarkan. Seorang bapak yang dulu mungkin telah mengumandangkan adzan di hari pertama teman saya itu (dalam nuansa yang diliputi keharuan mungkin), hari ini....... membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya itu dengan nuansa berbeda.

Tapi kemudian saya mencoba mendekat. Menyentuh tangan kanannya. Pias. Dingin. Sudah teramat dekat mungkin. Kedua orang tuanya menoleh. Menggumamkan sesuatu. Tapi suaranya gentar. ”Perutnya kembung dan keras”. Saya raba perutnya. Benar. Kenapa jadi begini? Saya pegang kembali tangannya. Mencoba menggenggam. Mencoba berpartisipasi memenuhi kebutuhannya. (*saat itu, saat itulah Ya Allah. Hamba merasa begitu tak berdaya. Merasa kecil. Merasa hina. Apalah artinya kami. Betapa sombongnya kami,....yang baru saja ini, atau kemarin, atau seminggu yang lalu, atau setahun yang lalu, atau bahkan di setiap hari kami, kami melupakanMU*).

Saya lalu beringsut mundur. Mencoba mencari keterangan dari teman yang lebih dulu datang.

”Hati dan limpanya dipenuhi darah kotor. Itu darah kotornya sedang disedot lewat selang yang merah muda. Semakin banyak yang dikeluarkan semakin baik. Tekanan darahnya 90/60. Nadinya 40, padahal normalnya itu sekitar 16-25.”

Apa artinya itu? Tak banyak yang terpikirkan. Tapi kemudian yang terlihat para medis terlihat bergegas menghampiri. Menyuntikkan sesuatu. Mengambil sampel darah. Tiga sampai empat orang yang menangani. Bersamaan dengan itu ketua jurusan dan rombongan datang. Keadaan tak banyak berubah. Menit-menit berjalan mencekam. Aura murung menyelimuti.

Satu persatu kemudian teman-teman datang. SMS-SMS itu telah menyebar dengan cepat. Sementara keadaan kian memburuk. Mata-mata mulai memerah. Air mata mulai banyak merembes. Ya Allah!!! Dia teman kami. Bagaimanakah ini?

Dan tiba-tiba suara mengeras. Suara ibu teman saya itu. Tak jelas lagi yang dia ucapkan. Tangis telah mengaburkan semua. Teman saya itu mulai tak tersengal lagi. Tapi ini pertanda yang sangat buruk sekali. Dan tangis itu....amat memilukan mendengarnya, amat menyesakkan melihatnya. Bagaimanalah? Ia seorang ibu, seorang ibu yang telah melahirkannya, yang telah merawatnya dengan cinta, yang pastinya telah betapa merindunya tahun-tahun belakangan ini menanti bungsunya pulang membawa gelar ST. Dan hari ini.........

Lalu tangis itu pecah sempurna sudah. Innaa lillahi wa innaa ilayhi roji’un. Teman kami , saudara kami yang bersahaja, sie perijinan tangguh kami, pemain futsall kami yang selalu bersemangat, komting thermodinamika I kami, teman begadang mengerjakan laporan, koordinator latihan bulu tangkis kami, tempat kami ngutang beli pulsa, menghembuskan nafas terakhirnya. Di sepuluh hari ramadhan ini.

SMS duka bergerak cepat. Suara-suara bergetar mengabarkan berita. Berita cepat terkirim. Forward! Forward! SMS yang sama memenuhi inbox. Dihapus, datang lagi. Ah siapa lagi yang peduli pulsa. Semua dikabari. Entah sudah tahu atau belum, entah sudah mendengar atau tidak. Berita duka itu menyerbu.

Mata kamipun basah. Sakit. Tertunduk.

Ya Allah, sungguh! Di bulan ramadhan ini, seperti halnya berita itu yang deras menyerbu, maka begitupula deraskanlah ampunanMu. Atas mungkin kelalaian yang ia lakukan. Atas kesalahan yang ia perbuat. Bukankah ini adalah bulan penuh maghfiroh ya Allah? Bukankah ampunanmu deras menyerbu bumi? Jika toh, jika toh memang ia punya salah pada kami, kami ikhlas Ya Allah. Kami ikhlas. Mudahkanlah jalannya! Sama halnya ia dulu telah banyak memudahkan urusan kami.

Selamat jalan kawan! Sungguh, tekkim 2004 kehilangan salah satu komponen terbaiknya.

 

 

 

Monday, September 22, 2008

Catatan hidup, catatan mati

Bukan hal mengagetkan sebenarnya, bukan hal yang luar biasa memang, tapi entah mengapa, tiap kali itu tersampaikan, akan selalu sukses menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri. Kadang menggelora, kerap pula menyayat, atau mungkin sekedar menimbulkan perenungan dalam. Tergantung kronologisnya, tergantung pula individunya, bahkan juga tergantung timingnya.

 Cerita kematian. Ya, sadar ataupun tidak, informasi inilah yang lumayan kerap mengetuk-ngetuk gendang telinga saya tiap kali pulang. Lebih kerap hidup di kota orang dan lumayan jauh dari kampung halaman, mau tak mau akan membatasi akses saya terhadap informasi yang terjadi di kampung halaman. Info-info penting saja mungkin yang lumayan ter-update. Lewat SMS, lewat YM. Semacam dinamika keluarga, ataupun segala yang terjadi di tetangga-tetangga dekat. Dan cerita kematian ini, adalah catatan penting yang kerap terlewatkan untuk  tersampaikan.

Lalu pada akhirnya kemarin, saat saya pertama kali menikmati momen ramadhan bersama keluarga, informasi itu datang lagi. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya info itu sudah datang dari kakak saya lewat perbincangan di YM. Tapi hanya pemberitahuan, tak begitu lengkap. Tak datang dari sumber yang paling dekat, karena memang kakak sayapun juga tengah berada di kota orang.

Orang itu adalah tetangga saya. Lumayan jauh sebenarnya bagi kaca mata orang kota. Tapi, berhubung saya tinggal di pedesaan dimana kita saling mengenal satu sama lain, bahkan sampai satu desa, maka jarak segitu adalah jarak yang teramat dekat. Orangnya sudah tua, mungkin lelaki tertua disana. Sudah teramat sering sakit-sakitan, dan mulai jarang terlihat beraktivitas di luar rumah. Karena itulah, cerita kematian orang ini kemudian menjadi sesuatu yang biasa, tak ada yang terkejut. Lumrah, wong memang sudah tua.

Tapi kematian akan selalu menjadi nasehat terbaik. Selalu, bagi siapa saja yang mau mengambil pelajaran. Entahlah, saat itu, ketika saya tengah kumpul dengan keluarga sehabis berbuka, perbincangan itu dimulai. Awal mulanya hanya ingin menyampaikan berita kematian tetangga saya itu. Saya jawab sudah tahu. Kemudian melebar. Ganti membicarakan sang almarhum. Tentang aktivitasnya, tentang semasa hidupnya.

Dan, catatan kehidupan sang almarhum yang justru baru saya ketahui ketika ia telah menemui kematiannya adalah : ternyata ia seorang penyayang binatang. Tentang bagaimana ia begitu sukanya memelihara binatang, sejak dulu mungkin sudah saya ketahui. Tapi kenyataan bahwa ia lebih dari sekedar suka memelihara, ini yang baru saya pahami. Berbagai binatang yang lazim dipelihara ternyata pernah ia pelihara. Mulai dari sapi, kambing, ayam, angsa, entok, sampai jenis burung. Dan uniknya, ia melakukan itu bukan lantaran ingin memperoleh keuntungan ekonomi; dari penjualan binatang itu kelak, atau dari berkembang biaknya peliharaannya itu. Ia memelihara binatang-binatang tersebut karena ia suka memelihara, karena ia begitu menyayangi binatang itu. Hanya itu. Maka jadinya, bahkan binatang peliharaan yang memungkinkan untuk ia konsumsi, tak pernah ia konsumsi. Menjualnyapun tidak. Ia memelihara seumur peliharaannya itu. Hingga, (kalau memungkinkan) sampai peliharaannya itu mati secara alamiah.

Itu cerita tentang bagaimana ia mencintai binatang peliharaannya. Ternyata ia memilki catatan lain; ia ternyata juga penyayang binatang liar yang hidup di sekitarnya. Dulu, bahkan teramat dulu hingga memori saya tak mampu mengingatnya, ketika burung gelatik masih banyak beterbangan di lingkungan desa, ia dengan senang hati membuatkan burung gelatik itu rumah-rumahan di pepohonan sekitar rumahnya. Tujuannya hanya satu : agar burung-burung itu kerasan tinggal di sana, berharap tak berpindah tempat. Dan benar saja, burung-burung gelatik itupun berkembang biak dengan pesat. Rumah-rumahan yang ia buat itupun, tak butuh waktu lama, telah menjadi rumah beneran bagi gelatik-gelatik liar itu. Inilah mungkin sentuhan seorang yang mencintai binatang dengan hatinya. Maka burung-burung itu, seakan mengerti, menjawab sentuhan itu dengan kicauan merdunya tiap pagi.

Kawan, cerita itu, tentang sepenggal kisah tetangga saya itu menjalani kehidupannya, tiba-tiba menyadarkan saya. Kelak, ketika kita tak mampu lagi mengadakan konferensi pers untuk menglarifikasi opini yang terlontar mengenai kita, ketika kita tak akan bisa lagi membantah celaan yang menerpa kita, atau saat kita tak akan sanggup lagi berbangga hati kala seseorang memuji kita..... saat maut itu telah sempurna menjemput..... saat itulah.... apa yang sudah kita lakukan semasa hiduplah yang bakal tersuarakan. Mungkin jelek, mungkin bagus. Tergantung dengan catatan kehidupan yang telah kita torehkan sepanjang periode hidup. Catatan yang mungkin teramat dalam membekas pada diri tetangga-tetangga kita, keluarga kita, teman-teman kita, atau pada lingkungan kita....pada alam. Tak mampu lagi kita untuk membantahnya, pun juga tak kuasa lagi kita untuk menambah-nambahi. Sebab, apa yang telah kita tulis semasa hiduplah yang bakal terbaca. Bila itu adalah sebuah keburukan, maka terlambat sudah untuk menghapusnya, lalu menulisinya dengan tulisan-tulisan kebaikan. Pun juga, bila itu adalah kebaikan-kebaikan, maka tak ada waktu lagi untuk menstabilonya, menggarisbawahi, atau sekedar mempertegas tampilannya.

Maka, jika saat itu tiba-tiba kami membicarakan tentang begitu sayangnya tetangga saya itu pada binatang, itu bukanlah sebuah kebetulan belaka. Tak ada tendensi apapun saat kami melakukannya. Jelas sekali, karena catatan kehidupannya tentang hal ini teramat tebal ia tulis, teramat indah ia lukis. Maka jadinya, teramat tebal pula catatan itu terekam dalam memori orang-orang sekitarnya, teramat indah catatan itu tersimpan dalam hati tetangga-tetangganya. Hingga tersuarakan. Atau mungkin juga tidak. Hanya hidup dalam kenangan individu di sekitarnya. Tapi meski begitu, itu sudah lebih dari cukup sebagai kesaksian : bahwa ia adalah seorang manusia baik.

Kini, tinggal kitalah yang menentukan. Catatan kehidupan itu belum tertutup. Lembar-lembar kehidupan itu juga masih tersisa. Dan tentu saja, karet penghapus untuk memperbaiki catatan yang telah lalu itupun juga masih di tangan.  Masih ada waktu. Masih ada kesempatan untuk menentukan catatan yang mana yang bakal kita perbanyak, kita ulang-ulang, atau kita pertegas adanya. Bukan hanya agar catatan-catatan itu hidup dalam sanubari orang-orang sekitar kita—seperti yang saya ungkapkan di atas, bukan pula semata agar orang lain menyaksikan kita sebagai orang baik. Sungguh, itu akan menjadi tak penting dan hanya akan menjadi ekses belaka. Tapi oleh sebab kita telah meyakini akan adanya pembacaan catatan kehidupan yang jauh lebih fair, lebih adil. Untuk menentukan masuk golongan manakah kita : golongan orang berimankah, atau golongan yang ingkarkah. Dan konsekuensi di antara keduanya, sungguh amat berbeda..

 

Pasuruan,19 sep -08

 

Friday, September 12, 2008

SMS menjelang maghrib

SMS itu datang persis menjelang maghrib. Saat saya sedang mengikuti acara buka bersama yang diadakan angkatan 2008. ketika seorang teman menyampaikan sebuah materi di depan. Namun seketika itu…

“Bismillah. Mohon doanya, insyaAllah besok jam 7 pagi saya operasi Caesar untuk melahirkan dua janin saya. Semoga Allah memberi kekuatan, kesehatan, dan kemudahan dalam menjalani persalinan ini’.

Saya tergugu. Menunduk dalam. Sejenak tak berkata-kata memandang layar ponsel saya. Dulu, ketika usia kehamilan masih beberapa bulan, ketika kami masih sering kumpul bareng dalam satu laboratorium untuk mengerjakan tugas akhir, mbak Hikma, sang pengirim SMS tersebut, pernah mengungkapkan keinginanya untuk melahirkan secara normal. Ingin merasakan perjuangan menjalani persalinan. Namun tiba-tiba, SMS itu. Pasti, pasti ada alasan tiba-tiba operasi caesar itu harus dilakukan. Pasti, mengingat dua janin yang dia kandung.

Ah saya tak bisa memungkiri kalau SMS itu adalah satu dari sedikit sms yang seketika itu mengaduk-aduk emosi saya. Inilah sms yang saya yakin ditulis dengan tulus. Ditulis oleh seseorang yang akan menghadapi pergulatan antara hidup dan mati. Untuk memperjuangkan dua kehidupan yang lain. Saya tak sanggup membayangkan saat-saat itu. Sangat berat pasti. Teramat berat.

Dan sore itu, mungkin saat maghrib persis berkumandang, saya hanya mampu mngetikkan kalimat ini sebagai balasan :

”Selamat berjihad mbak! Bahwa Allah bersama mbak, bahwa ada tangan-tangan lain yang menengadah, yakinlah!”



*sampai saat ini belum tahu kabar persalinan mbak Hikmah*