Sunday, June 29, 2008

Masih sama

Tak Ada berita. Masih itu-itu saja. Mungkin kemarin ada titik-titik pencerahan, tapi semuanya masih berserakan tak jelas. Belum berhimpun menjadi sebuah berita melegakan.

Masih saja seperti kemarin-kemarin. Hanya saja semuanya sudah terkondisikan. Maksudnya hati ini, pikiran ini. Bukan, bukannya saya sudah siap atas konsekuensi terburuk dari keadaan ini. Sesak mungkin saat sekali dua itu kembali membayang. Hanya saja saya mencoba untuk tetap tersenyun atas setiap apa yang Allah berikan. Berat mungkin, tapi insyaAllah akan menjadi ringan saat kita percaya akan ada rahasia lain dari kejadian ini. Rahasia yang mungkin hanya bisa diterawang oleh sebuah kebesaran hati.(*bisa nggak ya?*)

”Allah tahu yang terbaik bagi kita. Pasti ada rahasia dibalik skenarionya. Kadang kita harus mengalah dengan kondisi yang memberatkan kita karena Allah hendak memberikan sesuatu yang lebih.”.

Demikianlah salah satu SMS taujih dari seorang teman. Menyejukkan. Betapa saat menerimanya saya ingin memeluknya dan berucap : terima kasih akhi. Terima kasih untuk selalu ada saat saya membutuhkan antum, kata-kata berenergi antum .

Dan sekarang. Hanya menunggu. Ya hanya itu yang bisa dilakukan setelah semua usaha itu. Lalu berdo’a. Berdo’a untuk sesuatu yang terbaik, walau itu meski kadang begitu menyesakkan. Membiarkan waktu perlahan membuka lembar-lembar keputusan itu, dengan degup yang berpacu.

”Usaha sudah. Belajar sudah. Ya sekarang kita serahkan semuanya pada yang di atas. Kalau Allah menghendaki semuanya baik-baik saja, meski dijungkir balik bagaimanapun, ditelikung model bagaimanapun, insyaAllah semuanya akan baik-baik saja.”.

Itu adalah nasehat terakhir yang diberikan pembimbing saya di akhir progress pabrik kita. Terima kasih bu, untuk kata-kata indahnya itu.

****

Ke Jogja!!!!

InsyaAllah, dalam ketidakpastian ini, saya akan pergi ke jogja. Burukkah? Ah rasanya tidak, kadang kita butuh hal baru untuk bisa sedikit melupakan hal yang lama.

Do’akan ya kawan! Do’akan yang terbaik yang bakal jadi ketetapan.

Wednesday, June 25, 2008

Ternyata........................!!!

Ternyata, ternyata ingatan yang tiba-tiba menyeruak di maghrib itu, ingatan yang seketika mengaduk-aduk emosi, melumerkan hati, perasaan yang seketika saja menancap masuk, seolah langsung begitu saja turun dari langit, ternyata........ itu ada kelanjutannya. Kelanjutan yang begitu menggetarkan, amat menggetarkan. Mereposisi semuanya. Semuanya. Sontak mengepingkan segalanya.

Ya Allah. Hamba lemah, Kaulah yang kemudian menguatkan, hamba bodoh Kaulah yang kemudian memasukkan setitik pengetahuan. Hambapun tak punya apa-apa, tapi Kaulah yang kemudian menyematkan apa-apa itu. Ya Allah. Setitik. Setitik dari tak terhingga punyaMu. Maka Ya Allah, demi kekuasaanMu yang menjangkau segalanya, berikanlah! Berikanlah kekuatan itu. Kekuatan untuk memanggul yang membebani. Sedikit saja, dari bertakhingga kekuatanMu.

Tiba-tiba, maghrib itu....

Entah Apa karena ini sudah memasuki hari-hari akhir perjuangan, hari-hari terakhir arti empat tahun itu dirangkum.Apakah saya akan lulus empat athun apa tidak. Hari pengumpulan skripsi dan pra desain pabrik. Maghrib tadi tiba-tiba saya teringat bapak ibu. Mudah-mudahan ini bukan bagian dari godaan karena ingatnya justru ketika saya sedang sholat berjamaah di masjid. Dan selalu, ketika saya teringat orang tua saya, maka saya akan tertegun. Lama. Wajah keduanya akan silih berganti melintas. Memenuhi bayangan, menyesaki otak dan pengharapan. Kebaikan-kebaikannya, kelancangan-kelancangan saya. Ah semuanya akan seketika berputar-butar. Mengaduk emosi. Maka saya akan sekuat tenaga untuk tidak menitikan air mata.

Hanya sebentar saya berdzikir. Bergegas keluar, setengah berlari melangkah menahan buncahan perasaan. Ada apa ini ya Allah, mengapa perasaan itu tiba-tiba saja datang. Menyeruak begitu saja.

Tak lama, saya sampai di pintu kontrakan. Mengucap salam. Tapi tak ada yang menjawab. Tentu saja, karena semuanya telah pulang kampung menikmati masa liburan. Bergegas masuk kamar. Menggelar sajadah, siap melaksanakan sholat ba’diyah. Alhamdulillah perasaan itu semakin reda, bahkan semakin menghilang di awal rokaat pertama. Tapi ah, tiba-tiba perasaan itu kembali hadir. Jauh lebih mengaduk-ngaduk emosi. Mungkin melebihi pelatihan ESQ. Di sujud rokaat pertama. Dan sudahlah, pertahanan ini roboh, hati ini melumer. Saya tersedu. Tersengal-sengal. Mata ini memanas. Oh Gusti, pertanda apa ini. Mengapa ingatan itu begitu saja muncul. Adakah ini bagian dari peringatanmu? Adakah yang ingin Kau sampaikan dari ingatan itu? Adakah?

Selesai sholat saya langsung SMS kakak saya. Bukan orangtua saya, karena orangtua saya tak bawa HP. Juga tak bisa mengoperasikan HP. Saya ketikkan beberapa kata. Kira-kira isinya begini.

”Assalamu’alaikum. Entahlah, tiba-tiba aku ingat bapak ibu. Tolong mintakan maaf ya? Ke nenek juga”.

Saya kirimkan. Bergerak mengambil mushaf, memulai tilawah. Biasanya pada kondisi semacam ini adalah saat saya begitu nyamannya membaca Al-Qur’an. Sejuk saja. Lalu baru beberapa ayat, kakak saya telepon. Ah pastinya ia bingung. Aneh saja mendapat SMS tak biasa dari saya itu. Tak saya angkat, langsung saya tutup. Ganti saya yang SMS. Maksudnya ingin memberi tahu kalau tak ada apa-apa. Tapi belum tuntas mengetik kakak saya nelpon lagi. Saya tutup lagi. Melanjutkan mengetik lagi. Kali ini selesai. Langsung saya kirim. Berharap kakak saya menjadi tenang. Tapi perkiraan saya meleset, beberapa menit kemudian kakak saya masih bandel menelpon. Maka kali ini saya angkat. Dan benar, kata pertama yang ia tanyakan adalah: ada apa, kok tiba-tiba ingat bapak? Maka mau tak mau sayapun harus menceritakan semuanya. Pembicaraanpun mengalir, melebar ke urusan lain. Namun sayangnya, saat itu kakak saya sedang tidak ada di rumah, jadinya tak bisa ngobrol dengan bapak ibu.

Entahlah ya, apakah karena saya saja yang terlalu mendramatisir. Selalu! Selalu ketika saya teringat kedua orang tua saya, tak peduli sekokoh apa saya kala itu, setegar apapun keadaan saya waktu itu, maka seketika itu saya akan terkulai lemah. Mengingat-ingat begitu banyak kebaikan yang sudah mereka tanamkan pada saya, menghitung bakti yang begitu kecil yang telah saya tunaikan. Dan saat itu..... ah akan bisa ditebak sendiri kelanjutannya.

Tapi, hikmahnya adalah : tiap kali saya teringat orangtua saya, maka tiap itu pula semangat saya naik kembali. Mencapai puncak. Menggebu-gebu lagi. Sangat ampuh untuk mencharge kembali energi.

Semoga! Semoga ini bertahan lama.

 

Saturday, June 21, 2008

Wajah ITS-ku

Entah mengapa saya ingin menampilkan tulisan ini lagi. Ada semacam yang mengusik dalam diri saya.Tulisan dibawah yang saya cetak tebal adalah tulisan saya sekitar lebihdDua tahunan yang lalu. Tulisan ini saya buat sambil antri di loket pembayaran SPP semester lima waktu itu.

 

Yang Terbersit Dari Kegiatan Pamaba

 

Surabaya, Di Kejauhan

 

Apakah semuanya mesti berhenti di sini

Mencermati kembali harapan itu, mimpi itu

Seakan dunia telah melaju sendiri

Dan separuh hati ini runtuh di pertengahan jalan yang masih panjang

             Ah, jangan pernah patahkan mata pena yang terlanjur tajam

            Berikan kami sebidang ruang untuk kami hirup udara kami

           Kami tak mampu lagi penuhi apa yang kau minta

          Kami tak cukup kaya untuk kenakan almamatermu

 

 

Dua bait di atas saya tulis sekitar 2 tahun yang lalu. Tepat seperti hari-hari sekarang, hari disaat saya begitu bahagia mendapati nama saya tercantum dalam deretan nama-nama yang diterima dalam pengumuman SPMB 2004, namun juga hari dimana impian untuk melanjutkan pendidikan  hampir berantakan mengetahui orang tua saya tak mampu membayar biaya daftar ulang yang selangit kala itu. Saya tercenung, gelisah. Impian masa SMA, wajah sendu bapak dan kakak yang meminta keikhlasan saya melepas kesempatan ini, cita-cita masa kanak-kanak, dan wajah polos ibu saya bergantian menyeruak dalam memori saya. Saya masih ingat kalimat bijak yang diucapkan kakak kala itu yang saya tahu dengan berat hati beliau ucapkan : Dik masa depan tak akan terberangus hanya karena kau melepas kesempatan ini, akan ada kesempatan-kesempatan lain yang jauh lebih baik dari ini.

Kala itu saya hanya bisa pasrah, berdo’a memohon yang terbaik. Dan (semoga anggapan saya ini benar) kelihatannya inilah jalan terbaik saya. Bersamaan dengan datangnya rezeki, setelah melalui perjuangan, saya mendapat keringanan membayar biaya daftar ulang. Dan Surabaya itupun tak lagi di kejauhan.

Kini, setelah dua tahun berlalu, melihat biaya daftar ulang yang gila-gilaan, bayangan yang cukup menyesakkan itu kembali muncul . Saya tak bisa membayangkan berapa banyak orang-orang yang bernasib seperti saya, atau malah  yang hanya termenung di rumah memandang kosong namanya dalam pengumuman SPMB, menyadari dirinya tak akan mampu membayar biaya daftar ulang. Atau kalau mau lebih parah lagi, berapa banyak orang yang jauh-jauh hari terpendam impiannya menyadari biaya kuliah yang tinggi.

Saudaraku, lalu apa yang sudah kita perbuat untuk hal ini. Pernahkah kita bersyukur bahwa kita telah dijadikan bagian dari segelintir orang beruntung yang bisa menikmati kuliah. Bahwa diluar sana, ada orang-orang yang mungkin lebih baik  dari kita tak dapat mengenyam bangku kuliah.Pernahkah kita menyadari bahwa pada bahu kita, tak hanya tas penuh buku tebal saja yang kita sandang, tapi di sana jugalah mimpi jutaan manusia lain digantungkan. Mengharap ada generasi pencerah bangsa.

 

 

Tulisan di atas sekitar dua tahun yang lalu juga saya tempel di mading kajian jurusan saya. Tak tahu berapa orang yang membaca, berapa orang yang terinspirasi, atau berapa orang yang kemudian mengerti. Tapi minimal saya sudah mencoba untuk menyampaikan apa yang mengganjal di benak saya.

Kini,  perasaan dua tahunan yang lalu itu kembali bangkit. Memenuhi ruangan kepala saya. Ada sesuatu yang berseliweran dalam otak saya melihat keadaan kampus saya kali ini. Katanya, dulu, kampus saya ini, Institute Teknologi Sepuluh Nopember, terkenal sebagai kampus rakyat. Artinya orang-orang yang kuliah di sini kebanyakan adalah memang orang-orang yang merakyat, rakyat kecil. Dulu bukanlah sesuatu yang mengherankan melihat sepeda berjajar rapi di tempat-tempat parkir, atau melihat sebagian besar mahasiswanya berduyun-duyun jalan kaki.

Adalah suatu yang alamiah memang bahwa suatu jaman itu terus berubah, terus melaju mengikuti dinamika kehidupan, tapi tidaklah menjadi benar kalau sampai harus meninggalkan hal-hal atau orang-orang yang belum bisa menyeimbangi perubahan itu. Kini lihatlah! Lihatlah beberapa atau bahkan seluruh parkiran jurusan yang ada. Amati seksama, betapa parkiran itu penuh berjejal motor. Tak muat. Berbagai jenis ada disana. Lalu coba alihkan pandangan. Ganti ke parkir mobil. Ah mobil-mobil yang terparkir itu bukan semua milik dosen, itu milik mahasiswa. Yang lebih bagus malah.

Kampusku berubah. Benar mungkin apa yang pernah tertulis dalam sebuah kaos perlawanan yang dibuat setahunan yang lalu : ”orang miskin terakhir yang kuliah di ITS”. Memang semakin tak ada tempat bagi orang miskin. Harus ada sekian juta yang harus kau bayar untuk kuliah disini, meski kau telah mencapai grade tertinggi dalam seleksi masuk nasional. Tanpa tawar. Saat itu juga. Temuilah rektor jika ingin minta keringanan. Dan saya tak yakin itu akan didapat.

Dan keadaan semakin sulit ketika kuota buat ”OTAK” masuk sini semakin mampet. Ketika kran masuk insttitusi ini lewat jalur lain sempurna dibuka. Dengan bukaan penuh. 30 juta, atau bahkan di jurusan tertentu mencapai angka 40 juta. Dan itupun mudah sekali menjaring hampir seratus calon mahasiswa. Maka perubahan demografi mahasiswa tak terelakkan.

Ah bagaimana saya harus menulisnya. Ketika banyak cowok cantik di jurusan, ketika makin banyak model pakaian yang lalu lalang di plaza jurusan yang dulunya mungkin hanya terlihat di Tunjungan Plaza, ketika semakin jarang terlihat baju kotak-kotak dan celana bahan hitam ciri khas mahasiswa ITS yang terpakai mahasiswa, berganti dengan jeans dan kaos berkerah kecil nan ketat yang apabila duduk bersila maka akan terlihat (*maaf*) sedikit celana dalamnya. Atau ketika sepeda kayuh begitu tak terhormat terpinggirkan dan menjadi amat sangat minoritas di parkir jurusan. Atau bahkan ketika simbol-simbol kemewahan itu telah menyudutkan kesederhanaan dalam ruang pengap dunia mereka sendiri. Atau....dalam sebuah rapat angkatan ....akan sangat mudah sekali menyepakati acara berbudget besar. Ah mudah kok, bisa diatur, demikian suara terdengar lirih.

Maaf kawan, saya tak hendak menyudutkan teman-teman yang masuk lewat jalur lain tersebut. Maaf. Saya hanya ingin bertanya: tak adakah tempat bagi Lintang, Isaac Newton-nya Ikal, untuk merasakan bangku kuliah.

      

Thursday, June 19, 2008

Pejalan Sunyi : tulisan g jelas yg melebar keman-mana

Pejalan Sunyi. Saya suka sekali mengunakan kata ini. Terserah mau dikatakan  sok romatis, sok puitis, atau sok melankolis, tapi yang penting enak saja saya mendengarnya. Beberapa akun di dunia maya saya pakai kata ini. Terakhir, saya memakai kata ini untuk nama yang ditulis pada pin yang saya pesan baru-baru saja, juga rencana nama yang akan tertera pada jaket laboratorium yang bakal dibuat.

Apakah saya memang pejalan yang kesunyian? Oh, mungkin saja  iya. Dalam beberapa kasus saya lebih suka berjalan. Sendirian. Sunyi. Dulu, selama hampir 12 tahun, berjalan adalah rutinitas keseharian saya. Tidak pagi, siang , ataupun malam, saya berjalan. Melewati jalan yang sama. Menyusuri delapan ratus meter yang itu-itu saja, pemandangan yang itu-itu pula.  Tapi aneh, tak pernah sekalipun membosankan, tak pernah ada keluhan. Itulah jalan yang menghubungkan antara rumah dan jalan raya. Jalan yang harus saya lewati tiapa kali akan berangkat sekolah. Kaki-kaki saya ini mungkin saksi hidup metamorfosa jalan itu mulai dari jalam berdebu bila kemarau dan becek jika datang hujan, sampai kemudian diaspal dengan kualitas ala kadarnya, hingga akhirnya rusak lagi dan berlubang disana-sini.

Orang mungkin sering kali kecapekan saat berjalan, tapi saya selalu menikmati saat-saat tiap kali berjalan. Tapi itu  tadi syaratnya: sendiri. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan saat berjalan . Sesuatu yang hanya bisa dilakukan saat sendiri.  Murojaah hafalan, merenung, memandang pucuk-pucuk tebu, menyapa pencari rumput yang datang berduyun-duyun dengan sepeda kebonya, mengingat-ngingat hasil belajar yang bakal diujikan, meringis menatap matahari di timur jauh, atau : membuat puisi (*dulu pas SMA saya produktif sekali nulis puisi*). Maka dulu saya memang sempurna seorang pejalan sunyi. Apalagi pas SMA, pulang pergi sekolah selalu sendiri (*tak banyak memang yang sekolah sampai SMA di desa saya dulu*), berjalan sendiri. Kadang kala saya terlihat aneh juga, di malam hari menjelang isyak saya berjalan seorang diri , berseragam sekolah, dalam remang-remang, melintasi orang-orang yang sudah rapi dengan sarungnya. Pastinya sudah mandi. (*kebetulan kelas satu SMA saya masuk siang*)

Kini, ketika kuliah, kadang kala saya merindukan momen-momen seperti dulu itu. Saya memang masih berjalan ke kampus, tapi saya tak pernah sampai dalam taraf pejalan sunyi seperti saat SMA dulu. Banyak hal yang membuat itu tak pernah tercapai. Yang pertama ramai, ah tak ada jalan di keputih ini yang bebas dari erungan motor, membuat pejalan harus ekstra hati-hati. Semua orang bermotor, kemana saja bermotor, tidak dekat tidak jauh, tidak penting tidak gak penting, tidak mendesak tidak tak. Lihatlah! apakah kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap penggunaan motor, apakah kenaikan itu membuat orang jadi bijak menggunakan BBM. Saya yakin jawabannya sebagian besar tidak

Berjalan menjadi suatu hal yang aneh. Sekali lagi: ANEH. Dan itu cukup untuk tidak membuat nyaman aktivitas berjalan, apalagi sendiri.

Yang kedua tak ada jalan di keputih ini yang mendukung untuk saya bisa menikmati momen berjalan. Ya , karena yang saya temui di jalan hanyalah wajah-wajah itu saja. Wajah para mahasiswa..... , mahasiswi......, mahasiwa lagi....., mahasiswi lagi. Homogen. Tak ada lagi wajah beragam yang dulu saya temui tiap kali berangkat sekolah. Ada wajah pak tua pencari rumput yang terlihat tak kokoh lagi mengayuh sepedanya (tapi tetap ramah menyapa), ada wajah anak-anak SD yang sudah berangkat sekolah sepagi itu (mungkin berpikir akan banyak waktu untuk bermain-main dulu dengan teman-teman), ada wajah ibu-ibu yang pulang dari menjual dagangannya di pasar (kadang sumringah, kadang tak), atau wajah penduduk yang berangkat ke sawah, ada wajah ini wajah itu, wajah begini wajah begitu. Banyak sekali. Beraneka senyum, bermacam ekspresi. Warna warni. Dan sekarang.....mungkin ekspresi orang yang saya temui beraneka, lebih banyak lagi, tapi saya tak melihat kebeningan ekspresi yang dulu saya lihat dari orang-orang desa nan lugu itu. Apanya yang berbeda? Saya juga bingung menjawabnya.

Yang ketiga: tak ada lagi pucuk-pucuk tebu yang bisa dipandang, tak ada pula jajaran gunung kokoh membiru di kejauhan yang bisa ditatap, tak sempat lagi menatap matahari (mungkin kita tak pernah lagi merasa perlu menatap matahari barang sekali dalam sehari). Langkah harus selalu tergesa.

Hingga..... ketika saya sadar tak lagi bisa menjadi seorang pejalan sunyi, saya menemukan pejalan-pejalan sunyi dalam bentuk lain. Pejalan yang begitu santun menyusuri jalan. Tak terusik tan tin tun sepeda motor. Runduk menatap tanah, tapi akan  selalu menyediakan senyum untuk orang-orang yang menyapa. Tak tersentuh panas matahari. Pejalan...., yang pada akhirnya memunculkan kosakata itu untuk pertama kali dalam pikiran ini. Dalam sebuah cerpen.

 

Monday, June 2, 2008

Tulisan Iseng (BBM, AC, dan Rakyat Kecil)

Hampir tiap hari saya melewatinya. Sekitar jam setengah duabelasan dan setengah tigaan. Laboratorium bahasa, begitu kiranya yang tertulis dalam sebuah tulisan yang menempel di tembok bangunan itu, menunjukkan tempat apakah itu. Letaknya dekat dengan jurusan saya yang memungkinkan saya untuk sering-sering melewatinya.

Tiap kali melintasinya saya hamper selalu melirik sebuah titik, atau lebih tepatnya sebuah benda. Atau kalau melirik kurang , maka saya sering menoleh objek itu. Selalu sama keadaanya. Sebuah pintu, pintu yang terbuka. Hampir selalu begitu.. Beberapa kali ada petugas tempat itu keluar masuk, tapi tak pernah ada yang mencoba menutup pintu itu. (*kenapa? Pertanyaan saya yang pertama*)

Saat saya tepat melintas di depan pintu terbuka itu, saat saya membutuhkan tolehan kepala 90o untuk tepat menatapnya, saya selalu merasakan ada udara yang sejuk berhembus. Sekitar 20o C.  Kontras sekali dengan udara sekitar Surabaya yang lebih sering panas. Tapi hanya sesaat, sejarak dua langkah kaki. Sensasi dingin itu akan cepat menghilang saat saya telah melewati pintu itu.

Maka logika sederhana mengatakan : suhu dalam ruangan itu lebih dingin daripada suhu di luar. Pasti ada AC di ruangan itu. AC yang seharusnya untuk mendinginkan ruangan saja. AC yang didesain hanya untuk mendinginkan ruangan dengan luas atau volume  tertentu. Tapi tidak kenyataannya, AC itu harus bekerja lebih keras, melebihi yang seharusnya. Ada yang tidak mau menutup pintu. Ada yang tidak mau repot. Lebih enak dibuka saja, lebih mudah untuk keluar masuk.

            (*Pertanyaan saya yang kedua : berapa energi sia-sia yang harus terkeluarkan akibat kerja berlebih AC, akibat kebocoran itu. Dan berapa akhirnya uang listrik yang harus dibayar institut akibat tindakan tak perlu karyawannya*)

            Lepas dari ruangan itu saya sering kali berpikir, betapa mudahnya orang-orang itu menghambur-hamburkan energi untuk suartu hal yang tak perlu. Sedang di tempat lain ada orang-orang yang sampai bentrok demi memperjuangkan harga sebuah energi, BBM. Atau di tempat-tempat yang jauh, di pelosok negeri, di desa-desa, orang-orang mengais energi dari kebun-kebun, dari patahan ranting. Mencari kayu bakar untuk menanak nasi, atau menjerang air. Mereka yang tak mampu membeli energi made in pertamina, tapi tak pernah mengeluh, tak pernah berkoar-koar di televisi. Hanya sebuah tindakan nyata, bahwa sabuk harus lebih dikencang erat, bahwa jurigen minyak saatnya digantung di dinding bambu . Bahwa saatnya kembali memakai tungku.

Ah!

(*pertanyaan saya yang ketiga: benarkah memang orang-orang yang kekurangan sering kali lebih pandai bersyukur daripada orang-orang yang mapan?*)

 

Sunday, June 1, 2008

Catatan Akhir Asisten (Bagian I : BLT saya cair)

Ternyata rizki datangnya memang sering kali tak diduga-duga. Hari itu saya tak ada firasat apa-apa, mimpipun semalam tidak. Biasa saja, seperti hari-hari yang lain, malah lebih sibuk karena saya sudah harus konsen seratus persen ke Tugas Akhir yang sudah mulai memasuki masa-masa akhir. Hanya saja, pas pagi harinya kok saya masih sempat-sempatnya menanyakan proses pencairan BLT di desa saya ke kakak saya. Apakah lancar atau terlihat ada penyelewengan, begitu kiranya pertanyaan dalam SMS saya. Saya patut khawatir karena saya sudah terlalu sering dikabari hal-hal semacam itu saat saya pulang kampung. Kurangnya transparansi, pemotongan sana-sini, serta bentuk penyelewengan yang lain adalah hal yang sudah amat lumrah terjadi di desa saya. Parahnya saya tidak bisa berbuat banyak melihat hal itu. Bayangkan, sabtunya saya diberitahu kakak-kakak saya tentang itu semua, eh ahadnya saya sudah harus balik ke Surabaya (*meski ini seharusnya tidak dijadikan alasan*). Tugas-tugas perkuliahan sudah menunggu untuk saya jamah.

Kembali ke masalah rizki tadi, ternyata bukan hanya warga tidak mampu saja yang dapat BLT, sayapun juga. SMS dari teman saya yang mewartakan itu, “eh bal, kumpul di lab nano, ada pencairan gaji”. He…he…. sayapun sumringah. Sebenarnya saya sih sedang tidak mengharap gaji itu keluar sekarang, karena memang saya masih punya uang. Saya mengharapkan gaji itu keluar di saat tak ada lagi uang sepeserpun dimana saya sudah bersiap-siap ngutang untuk makan esok harinya. Efeknya jelas akan jauh lebih berrbeda. Lebih ngena, begitu kata orang. Tapi yang namanya rizqi ngapain ditolak. Lagipula itu sudah jadi hak saya.

Gaji itu adalah gaji untuk selama kurang lebih dua bulan saya ngasisteni praktikum Kimia Analisa. Jangan berharap nominalnya cukup besar (*walaupun besar kecil sendiri adalah sesuatu yang sangat relative tergantung besar kecilnya seseorang*) karena hampir separuhnya sudah saya habiskan untuk membeli tiga novel : Istana Kedua, Sang Penandai, dan Janda dari Jirah. Anda yang biasa membeli buku pasti tahu harga rata-rata sebuah novel.

Maka saya akan bercerita bagaimanakah menjadi asisten selama dua bulanan itu.

Dulu, ketika masih semester dua, sama halnya waktu menjalani orientasi mahasiswa baru saya menganggap betapa enaknya menjadi SC apalagi instruktur, saya juga menganggap betapa nyaman dan terlihat berkuasanya dengan menjadi asisten. Kata teman-teman, semester dua adalah saat paling berat selama kuliah di TEkkim, barang siapa yang dengan memuaskan melewati fase itu maka dapat dikatakan ia sudah lulus uji, tahan banting, dan sudah amat layak mengikuti pertarungan akademis di Tekkim yang teramat keras benturannya. Yang membuat begitu berat adalah dua buah makhluk yang masing-masing bernilai satu SKS tapi implementasinya berSKS-SKS. Ketika menghadapi kerasnya ORMABA kita hanya menghadapi makhluk-makhluk nyata yang dapat dengan mudah tidak kita prioritaskan karena tak ada sangkut pautnya sekali dengan kegiatan akademis, tapi dua makhluk ini adalah dua makhluk mengerikan yang menjadi bagian dari kegiatan akademis itu sendiri. Dua makluk itu tercantum di papan pengumuman akademis jurusan dan terhormat sekali bersanding dengan makhluk-makhluk hebat lain semacam Kimia Fisika ataupun kalkulus. Makhluk itu tak bergigi (meski gigitannya seringkali mengilukan hati), tak berkaki (meski sepakannya akan mampu membuatmu pontang-panting), tak juga bermata (meski tatapannya akan mampu membuatmu tekun sampai larut malam menghadapi lembar-lembar kertas). Makhluk itu tak terlalu hebat namanya, hanya terdiri satu suku kata, tidak juga terlalu keinggris-inggrisan walaupun diserap dari bahas inggris. Makhluk itu bernama praktikum. Ada dua di semester dua itu : mikrobiologi dan Kimia Analisa.

Kau tak akan pernah lulus jika tak mampu menaklukkan makhluk ini.

Persangkaan saya dulu (dan entah apa masih berlaku hingga sekarang) yang membuat praktikum begitu berat bukanlah praktikum itu sendiri, kata praktikum adalah kosakata indah yang akan melambungkan ghiroh kepenilitian seorang mahsiswa sejati. Makluk-makhluk lain yang berdiri di belakangnyalah yang membuat itu kadang terasa begitu memuakkan. Makhluk-makhluk itu akan berdiri kokoh di depan saat bel praktikum dibunyikan laksana Munkar Nakir memeriksa seorang manusia yang baru memasuki alam kubur. Memeriksa setiap detail isi laporan praktikum minggu sebelumnya dengan tiga mata. Tak lengkap, maka ‘nerakalah’ yang menanti. Akan dengan sangat berbesar hati makhluk-makhluk itu mempersilahkan kau menutup pintu laboratorium dari luar untuk melengkapi laporan di luar, atau kalau sedang sial maka hilanglah kesempatan untuk mengikuti praktikum hari itu (dan bayangan tidak lulus praktikum seketika menyergapmu). Selama jalannya praktikum, makhluk-makhluk itu adalah mandor ulung yang begitu piawai mengawasi kerja bawahannya, jangan sampai mempergunakan pipet dengan menghisapnya pakai mulut, maka kau akan habis di sesi evaluasi nanti. Sesi evaluasi? ya sesi inilah sesi terdagdigdug dari rangkaian semuanya. Saat itu kau hanya bisa tertunduk lemah membiarkan sang makhluk-makhluk tadi mejadi evaluator ulung menjengkali tiap kerjamu yang payah. Dan bersiap-siaplah, paper 100 halaman mulai membayang (*saat itu, jangan pernah menyalahkan siapapun, bukan makhluk itu, bukan orangtuamu yang memasukkanmu ke jurusan ini, dan tentu saja bukan kajur yang tak peka terhadap deritamu. Marilah kita mencoba bijak, melihat diri ini, ke dalam, merenung, akan selalu ada yang terserak indah dari percikan luka*). Maka izinkalah, dengan segala kerendahan hati, saya perkenalkan makhluk kita yang satu ini, ASISTEN.

Begitulah kawan, wajah asisten kita. Selanjutnya ternyata asisten tak hanya ‘menemanimu’ seharian tadi, seringai dan senyumnya akan masih membayangimu di hari yang lain. Ada yang namanya tes awal yang menjadi ajang saat kau hanya senyum-senyum gak jelas saat asisten menanyaimu tentang berbagai hal yang berhubungan dengan praktikum yang akan terjalani. Tiba-tiba saat itu kita miskin kosakata, hanya bilang oh, ya, mengerti, belum, serta lebih banyak menggunakan bahasa tubuh yang entah diartikan apa oleh para asisten. Lemot, bodoh, males, atau apalah.

Dan….itu dulu.

Lalu tiba-tiba kenangan itu tergerus, kesan itu memudar, lalu tiba-tiba saya memasuki semester tujuh, tiba-tiba ada keinginan untuk menjadi asisten, dan (tidak) tiba-tiba saya tidak diterima menjadi asisten.

Lalu waktupun meloncat ke semester delapan. Sayapun mendaftar menjadi asisten. Mulanya saya mendaftar asisten KF karena memang letaknya lebih dekat dengan lab penelitian saya. Iseng-iseng mendaftar juga di lab KA. Tapi Allah jualah yang menetukan segalanya, yang iseng-iseng tadi justru yang diterima.

Maka makhluk kita itupun berwujud saya. Hi…hi…hi (*bergaya kunti*)

(bersambung, insyaAllah saya lanjutkan. insyaAllah lo!)