Thursday, July 24, 2008

Bagaimanakah rasanya menjadi kakak???

Dua-tiga minggu lalu perasaan itu berkelebat, satu dua kali memenuhi dada, terngiang-ngiang dalam pikiran. Membayang. Bagaimanakah rasanya mempunyai adik itu. Atau dengan bahasa lain, bagaimanakah menjadi kakak itu. Sebagai anak kelima dari lima bersaudara, sebagai lelaki keenam yang muncul setelah bapak dan keempat kakak saya, saya hanya mengenal satu sebutan untuk saudara saya : kakak. Dan itu kemudian berarti banyak. Mungkin kakak-kakak saya pernah menjadi seseorang yang special dalam keluarga karena sebagai anggota termuda keluarga, tapi toh tak lama kemudian mereka sudah harus perlahan menanggalkan keistimewaan itu menyusul kelahiran anggota baru : adik. Begitulah seterusnya hingga kemudian saya lahir. Lahir sebagai anggota termuda keluarga , yang tak seperti kakak-kakak saya sebelumnya,  kali ini berlangsung terus. Selamanya. Karena setelah itu tak ada kelahiran lagi. Saya pun kemudian menjadi adik abadi.

Maka sayalah yang dalam jangka waktu yang lama menjadi yang terspesial. Menjadi seorang yang nyaman, aman, karena di depan saya akan selalu berdiri kokoh yudistira hingga nakula saya. Maka jangan sampai ada yang mengganggu saya. Jikapun saya sedang tak ada di rumah, sayapun pasti masih mendapat bagian makanan terlezat saat orangtua saya mendapat makanan karena itulah memang aturannya. Sisakan buat adik kalian! Begitulah kalimat yang sering berulang. Dan ”sisakan” itu bukan bermakna saya bakal mendapatkan sisa-sisa. Sama sekali tidak. Itu berarti jika bapak pulang dari syukuran di tetangga maka bagian saya adalah telurnya sedang yang lain kebagian tahu tempe sama perkedel kentang. Begitupun ketika saya berada di rumah, sayalah yang pertama kali ditawari. Mau memilih roti atau donat. Itu berlaku ketika orang tua saya pulang dari kondangan.

Dan begitulah. Saya berada dalam posisi nyaman. Terlindungi. Hingga ketika waktu kian beranjak matang, kadang perasaan itu hadir. Ternyata saya butuh melindungi, tak hanya dilindungi. Saya juga ingin sekali waktu ada yang mengadu ke saya dengan suara terbata: ”kak, saya dipukul si anu”. Lalu saya membelai kepalanya. Menenangkan. Mengucapkan kata-kata bijak. Mengajarkan nilai-nilai. Ah, sesorang akan selalu butuh untuk dibutuhkan.

Maka tak pelak lagi, 2-3 minggu yang lalu perasaan itu hadir lagi. Lebih deras dari biasanya. Perasaan yang muncul saat saya melihat, mendengar, dan ikut merasakan bagaimana teman saya begitu luar biasanya memperlakukan adiknya. Teramat spesial (lepas dari baik tidaknya cara dia memperlakukan adiknya itu). Telaten, perhatian, seolah semuanya demi adiknya. Kebahagiaan adiknya adalah kebahagiannya, urusan adiknya pun mau tak mau bakal menajadi urusannya juga. Dan tak heran, ia nampak begitu perkasa bagi adiknya itu.

...........

Kawan! Begitukah menjadi kakak itu? Ketika senyum sang adik adalah seringai kemenangan baginya. Ketika masalah sang adik adalah palu godam yang menghantam kepalanya, yang memaksanya untuk ikut berpikir mencari penyelesaian gemilang. Dan, ketika tawa sang adik adalah bulir-bulir air mata haru yang seketika menyejukkan hatinya.

Saya tak punya adik. Dan mungkin tak akan punya adik. Tapi saya, akan terus mencoba mencari adik-adik lain. Dimana saja. Untuk menjadi partner sejalan. Dan bukan untuk merasakan bagaimana berkuasanya saat memerintah, menyuruh-nyuruh itu.


******

ubtuk kakak-kakakku, terima kasih untuk menjadi kakakku

********** 

 

Friday, July 18, 2008

Susahnya Menerima Penjelasan

Dulu, saya kira itu tak pernah nyata. Saya kira itu hanya ada dalam cerita-cerita saja, dalam adegan sinetron-sinetron picisan, hanya akal-akalan sutradara, hanya sebagai upaya mendramatisir cerita. Biar serulah, biar ada gregetlah, atau bahkan biar membuat orang yang nonton marah-marah.

Si cewek berjalan cepat. Si cowok mengejar. Meraih pundak si cewek. Membalik badannya .  Memaksanya untuk saling bertatapan (tapi sia-sia karena si cewek sudah keburu melempar muka ke sisi lain). Menarik nafas sebentar. Lalu dengan wajah sedikit memelas berucap, “Tolong dengarkan dulu penjelasanku. Itu semua yang kau lihat--?”.

Memotong. Belum selesai si cowok berucap, si cewek sudah memotong, Kali ini menatap tajam wajah si cowok “Tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah jelas. Dengan mata kepalaku sendiri. Aku sudah melihatnya sendiri. Teramat jelas. Seharusnya sejak dulu aku percaya dengan berita itu. Desas-desus itu. Ah sudahlah!!”.

Si cowok hanya hanya bisa memandang, tak percaya bahwa itu bisa serumit ini, “Tapi, tidak semua yang kau lihat benar. Biarkanlah aku memberi penjelasan. Sedikit saja. Setelah itu, terserah kau ingin menilaiku bagaimana”.

“Apa bedanya? Itu tak akan merubah apa-apa”

“Tapi…..”

“Sudahlah!!! Aku masih banyak urusan. Jangan pernah mencoba menghubungiku”

“Tapi…….”. Hanya suara menggantung. Hanya menandai sebuah kekalahan. Padahal, ah bahkan  penjelasan itu belum terucap.

 

Sangat sering sekali bukan adegan seperti itu kita lihat di sinetron-sinetron kita. Adegan yang seringkali membuat yang nonton jadi gregetan (apalagi kalau memang prasangka si cewek keliru). Ikut-ikutan mengumpat dalam hati “apa susahnya sih menyediakan beberapa menit untuk menerima sebuah penjelasan”.

Baiklah saya tak ingin membicarakan panjang lebar hal itu. Itu semua hanya rekaan. Sedang yang terjadi ini benar-benar nyata. Ternyata hal seperti itu juga banyak sekali di dunia nyata. Benar mungkin kalau dikatakan kalau fiksi itu terkadang lebih fakta dari kenyataan itu sendiri.

Ternyata, memang ada orang yang begitu bebal untuk sekedar memperoleh sebuah penjelasan. Terlalu percaya dengan apa yang dilihat, apa yang dirasakan. Lebih suka hidup dalam anggapan-anggapannya sendiri, nyaman dengan penjara prasangka yang ia bangun sendiri. Tak boleh ada yang memberi penjelasan apa-apa. Semuanya salah. Sepatah katapun tak boleh.

Maka tak ada yang bisa diperbuat ketika kau menghadapi orang semacam ini. Mengalah, atau kalah. Bahkan saat kau diberi sedikit waktu untuk berucap, mencoba memberi sedikit penjelasan, ia sudah terlebih dahulu menembok rapat dirinya dengan sebuah anggapan, “apa sih yang kalian omongkan?”. Dan, penjelasan itupun tak akan pernah sampai. Sampai kapanpun tak akan pernah.

Mungkin mudah, saat orang ini adalah orang kebanyakan. Orang-orang kebanyakan yang nyaman dengan sangkaannya sendiri. Cukup ditinggal saja, itu mungkin alternatif terakhir yang bisa dilakukan. Tapi, bagaimana jika orang itu adalah seorang yang terhormat, yang begitu wah dengan sebutan-sebutan yang disandangnya. Sedangkan kau hanyalah seorang anak bau kencur yang mencoba mengutarakan sedikit pengetahuan yang dimiliki. Sedikit penjelasan saja. Mencoba mengajak untuk merekonstruksi sebuah kebenaran. Kebenaran bersama.

“Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan!”. Terasa sekali, petuah sederhana ini kian asing dimakan zaman. Keangkuhan.

Lalu kapankah penjelasan-penjelasan akan sampai pada orang semacam ini. Kebenaran-kebenaran lain, yang mungkin jauh lebih benar. Semuanya serba menurutnya, bahkan kebenaran itu sendiripun adalah kebenaran menurutnya.

Tuesday, July 1, 2008

Di UGM

Mari sejenak tidak membicarakan postingan sebelumnya. Bercerita tentang perjalanan. Perjalanan yang di awal keberangkatan sempat membuat tak enak. Gusar. Hal aneh untuk sebuah keberangkatan mungkin. Bukankah sebelum-belumnya perjalanan ke daerah baru akan selalu menyenangkan? Selalu tak sabar menunggu keberangkatan. Entahlah.....Tapi yang pasti, jam sebelas malam kala itu, saya sudah terduduk di bus patas Eka jurusan Magelang  Memandang jauh. Pada akhirnya saya pun harus berangkat. Sendiri.

****

Hari kedua di Joja. Wuihhh ada banyak sekali yang sebenarnya ingin saya tulis sejak saya pertama kali sampai di sini. Saat itu masih subuh, turun di perempatan Janti. Dingin, kontras sekali dengan Surabaya yang kayaknya selalu panas. Menghubungi teman untuk  minta dijemput. Agak lama juga menunggu, namun akhirnya sang temanpun muncul. Sudah lama sekali kami tak berjumpa, dan satu perbedaan yang amat mencolok yang langsung bisa saya tangkap dari teman SMA saya ini adalah : ia nampak gemuk kali ini. Semoga saja itu pertanda baik.

Sepintas melihat UGM sambil berkendara motor. Emmh ...lumayan. Lumayan bagus dan lumayan dingin ini badan.

Dan pembuktiannya adalah keesokan harinya. Kos teman saya ini lumayan jauh dari tempat yang ingin saya tuju di Jogja ini. Entah berapa ratus meter saya tak bisa menerkanya, tapi cukup melelahkan juga bagi yang ingin menempuhnya dengan jalan kaki. Perkecualian bagi saya. Sudah pernah saya ceritakan sebelumnya kalau saya adalah pecinta jalan kaki. Pejalan kaki yang tak menemukan kesunyiannya selama kuliah di ITS. Homogen, begitu kemarin saya bilang. Dan di Jogja ini, saya menemukan kembali indahnya berjalan kaki itu. Ah pertama kali saya melihatnya saya langsung suka dengan kota ini (minimal sekitar UGM ini). Saya menemukan apa yang tak bisa saya temukan di Surabaya. Saya bisa menatap apa yang hampir mustahil saya tatap di Surabaya. Dan sayapun kembali merasakan apa yang sudah sangat lama sekali tak saya rasakan.

Indah. Eksotis. Bagimana bisa ada hutan di tengah kota. Ya, benar-benar hutan. Karena terlihat kotor penuh dedaunan kering dasarnya. Pohon-pohon yang menjulang tinggi. Rapat. Ada beberapa bangau malah terlihat nangkring di salah satu puncak pohon tertinggi. Bersuara aneh. Pemandanga yang agak ganjil mengingat tak jauh di bawahnya adalah sebuah jalan yang cukup ramai dan penuh deru kendaraan bermotor. Itu semua adalah pemandangan yang terlihat di Fakultas Kehutanan UGM.

Trotoar yang lebar. Saya suka yang satu ini. Amat nyaman bagi pejalan kaki, terlepas saat sore hari saya sadari ternyata trotoar itu jadi tempat jualan PKL. Khusus hal ini memang kayaknya terjadi di semua kota. Ya, trotoar tadi, memang enak buat pejalan kaki. Pagar-pagar pinggir trotoar pun enak dipandang. Nampak kusam, tonjolan-tonjolan batu hitam; tapi terasa antik dan berkelas Belum pernah saya temui di Surabaya (atau memang karena saya belum keliling kota) trotoar yang senyaman ini. Trotoar di Surabaya sudah sempit, pavingnya banyak yang lepas pula. Terjungakat keatas dan rawan tersaruk. Membahayakan yang berjalan.

Dan bangunan-bangunanya. Inilah yang paling saya suka dari rangkaian perjalanan ini. Tinggi, megah, besar , kokoh. Tapi sekaligus artistik. Jauh dari kesan angkuh model bangunan-bangunan baru sekarang, tidak kakuh seperi kebanyakan bangunan di ITS. Semua bangunannya hampir begitu. Kantor pusatanya: wuih kereeen, pilar-pilar besar tinggi nan angun. Grahanya: ckckckck......, arsitekturnya, tangga-tangga tingginya, halaman luasnya. Masjid kampusnya: subhanallah sekali. Masjidnya mungkin kalah besar dengan masjid Manarul ’ilmi ITS, tapi untuk hal lain kayaknya MMI kalah telak. Masjid ini artistik, banyak warna dengan komposisi pas yang bisa kita lihat di dalam. Halamannya, pot-pot besar yang juga ternyata ada kran air, penataan bangunan pendukung, cara memasang tekel, bazar buku yang ternyata  setiap hari ada disana; itu semua keindahan yang bisa dinikmati di sana. Betah pokoknya berlama-lama. Bisa juga tiduran sambil menikmati semilir angin, berbantalkan jaket (*kebiasaan di ITS*)

 Banyak, banyak hal lain lagi yang mendukung saya untuk menyukai tempat ini. Tidak hanya tiga hal tadi. Banyak sekali pohon, di mana-mana pohon. Beraneka macam pohon. Tidak melulu pohon sono seperti di ITS. Bervariasi. Tapi yang sempat membuat saya berhenti sejenak untuk memandangnya lamat-lamat adalah dua pohon beringin yang saya temui saat saya berjalan menuju masjid. Pohonnya besar, rindang dengan akar gantungnya yang menjuntai. Bagian yang paling saya sukai adalah tempat duduk-duduk yang ada dibawah beringin itu. Ah nyaman sekali kelihatannya bisa duduk-duduk di sana. Teduh, lebar, pandangan luas, semilir angin membelai. Lain waktu akan saya coba., sambil makan dagangan kaki lima. Segera.

Yang terakhir dari keindahan yang bisa saya sebutkan adalah warung-warungnya. Menarik sekali. Unik-unik. Tidak namanya, tidak pula interiornya. Menunya juga. Sego macan-lah, sambel mercon-lah, oseng-oseng tulang ayam-lah, sego kucing-lah, serta lah-lah  yang lain. Tidak seperti di keputih, kayaknya saya tak akan kebingungan mencari menu yang sesuai. Tapi tidak tahu juga harganya, mahal atau tidak. Yang jelas kalau warung model angkringan kebanyakan murah. Saya sudah membuktikannya, satu porsi kecil nasi (karena porsinya kecil maka sering disebut nasi kucing) seribu rupiah. Tinggal pilih lauknya kemudian: telur seribu, sedangkan gorengan tiga ratus. Murah meriah. Bayangkan dengan mengambil lima macam lauk gorengan kita cukup bayar dua setengah. Tapi tentu saja gorengannya paling banter cuma tempe tahu tadi. Rasanyapun enak, tak semengerikan cerita-cerita yang dulu saya dengar.

 Upps, hampir kelupaan, ngomongin makanan, kemarin dan tadi saya melihat ada penjual kacang godok mangkal di sebuah pertigaan. Bukan kacang godoknya ini yang penting, kalo itu ma di depan Sakinah ada, tapi ternyata bapak penjual kacang godok ini juga menjual ketela rambat rebus. Lima ratus perumbi. Wah saya jadi berandai-andai jika saja bapak ini berjualan di keputih maka bakal jadi alternatif yang cukup jitu saat persediaan uang sedang sekarat. Saya telah mencobanya, satu umbi saja sudah kenyang. Dan, cukup lima ratus perak tadi. Sehat pula, kan tak digoreng?

Sebenarnya ini bukan kunjungan pertama saya ke Jogja. Kira-kira ini yang ketiga, terakhir kali pas rekreasi kelulusan SMP. Tapi ya itu tadi, baru kali ini saya tangkap keindahan Jogja, yang jauh dari kebisingan deru industri. Ah jadi ingat lagunya Katon. Pulang ke kotamu......ada...