Tuesday, November 25, 2008

Catatan Perjalanan : jogja maneh..jogja maneh



KEMBALI KE JOGJA!!

Entahlah jodoh amat saya dengan kota ini. Ini adalah kunjungan yang ketiga saya ke kota ini dalam range waktu yang tidak terlalu jauh. Ke UGM. Tidak! Tentu saja motif ke jogja kali ini berbeda jauh dengan kunjungan sebelumnya. Sangat jauh. Kali ini urusannya bukan masalah kuliah, tuigas akhir, atau sejenisnya, tapi kali ini tujuannya untuk satu kata (ralat: dua kata) : mencari pekerjaan. Adalah pertamina yang menjadi magnet belasan teman-teman saya berbondong-bondong ke kota ini. Ikut Job Fair di UGM.

Sudahlah, nggak enak rasanya kalau membicarakan masalah mencari pekerjan itu (yang oleh mbak Ari Nur disindir dengan : singkirkanlah amplop coklatmu itu, be entrepreneur). Saya akan bercerita hal lain. Dulu, dalam postingan MP ini juga, saya pernah bercerita mengenai keindahan UGM, tentang arsitekturnya, juga tentang tanaman dan pepohonannya yang enak dipandang mata. Tapi, setelah kembali melihatnya, citra itu sedikit banyak ternoda. Tahu kan beberapa waktu lalu UGM terkena puting beliung? Saya sih tak melihat beritanya langsung di TV, hanya seorang teman saja yang memberi tahu. Jadi kurang begitu tahu efek yang ditimbulkan. Seberapa parahkan atau daerah mana saja yang rusak. Nah, baru pas saya melihatnya langsung, kesemuanya itu terjawab. Lumayan mengerikan ternyata. Bekas pohon-pohon tumbang, benar-benar tumbang dengan beberapa bagian akar tercerabut keluar. Ada juga bagian bangunan yang rusak. Gentengnya sebagian mungkin berhamburan kala itu, juga atapnya yang ambruk. Mengerikan mungkin kalau pas kejadian ada di dalamnya.

Namun, dari sekian itu, yang paling menarik perhatian adalah dua pohon beringin depan graha sabha yang kini jadi gundul. Ya, pohon besar nan tinggi itu juga jadi korban. Bahkan yang satu sempurna terpotong menyisakan batangnya. Tinggal tak lebih dari ketinggian semula. Padahal, tempat dibawah kedua beringin itulah tempat favorit saya. Teduh, menenangkan, nyaman, serta ada penjual kaki lima di sekitarnya. Pas sudah menyantap amakanan disana. Tapi, ah apa daya kayaknya keinginan itu nggak bakal terwujud. Dulu saya nggak sempat merealisasikannya, dan sekarang…perlu waktu lama untuk membuatnya menjadi sedia kala.

Memasuki arena job fair!!! Tenang, saya tak akan mengingkari kalimat saya di awal-awal tadi. Saya sedang tidak bicara pekerjaannya. Saya akan menceritakan sepotong kejadian ”unik” yang menimpa saya. Saat itu jam dua-an. Sudah selesai entry data pertamina. . capek, lapar, dan kebelet pipis. Kemudian ada jajaran kursi yang kosong, maka ringan saja saya mendudukinya. Mencoba mengurangi rasa capek. Tapi rasa lapar nggak mungkin diminimalisir karena tak ada sama sekali yang berjualan di dalam gedung. Hanya bisa mengedarkan pandangan. Kebetulan sekali. Ternyata tak jauh dari tempat saya duduk ada toilet. Jadilah saya meringis menyadari satu lagi permasalahan bakal teratasi. Tapi, kemudian satu persoalan lain timbul. Dimanakah saya harus menitipkan tas ini? Layakkah saya percaya dengan meninggalkan tas di tempat duduk ini? Berpikir sebentar. Hingga kepuitusan diambil. Saya akan mengambil al-Qur’an-nya dari tas dan meletakkannya di atas sebuah hidran yang kebetulan ada di luar toilet, sementara tasnya saya bawa masuk ke dalam. Asumsinya adalah, mana mungkin ada yang ”mengambil” al-Qur’an meski itu terlihat medheng-medheng? Buat apa? Mau dipakai sendiri ya mana mungkin. Al-Qur’an kok curian.

Saya tak lama di toilet. Merapikan kembali pakaian dan kembali keluar. Dan, betapa kagetnya saya ketika asumsi saya tak berlaku di sini : al-Qur’an saya raib. Berkali-kali saya menerapkan asumsi ini, dan baru kali ini saja tertolak. Saya tercengang, sibuk mendengungkan kata ”mana mungkin”. Tak percaya dengan kjadian ini. Saya coba tanya ke seorang yang duduk tak jauh dari TKP, juga tak tahu. Saya terdiam, berharap sound yang ada di depan mengumumkan sebuah penemuan al-Qur’an. Tapi itu tak terjadi.

Olala!! Ternyata al-Qur’an saya benar-benar hilang. Mudah-mudahan saja menjadi amal kebaikan.

 

 

* pertama kali kutulis di balik berkas CV. Saat terperangkap  di masjid UGM. Menjelang malam. Dingin. Sendiri. Sementara hujan mendayu-dayu di halaman.

Wednesday, November 19, 2008

Cerita Tentang Partneran Tugas Akhir

Dulu, ketika masih aktif bersama-sama teman lab mengerjakan tugas akhir, salah seorang teman laboratorium tiba-tiba ngomel-ngomel. Saya yang sedang ngenet tentu saja kaget. Sempat tersenyum sambil menggoda teman saya itu. Tapi nggak mempan. Saya pun diam.

Ternyata temen lab saya itu sedang marah-marah pada partner tugas akhirnya yang notabene teman lab saya juga. Tak perlu saya sebutkan alasan marahnya, tapi yang pasti, setahu saya ini adalah kemarahannya yang pertama  pada partnernya semenjak kami bekerja bersama di lab ini. Sebelum-sebelumnya tak pernah saya lihat ia mengeluh meski lebih sering kerja sendirian. Jarang sekali terlihat ia murung, tertekan atau yang lain ketika ia harus mengerjakan rangkaian tugas akhir sendiri, sementara saya dan teman yang lain bisa mengerjakannya berdua. Ada satu hal memang yang membuat partnernya tidak bisa intens mengerjakan tugas akhir di lab.

Berpartner adalah sebuah keniscayaan di jurusanku  bagi seorang mahasiswa yang mengambil tugas akhir. Dan ini terserah. Artinya terserah, kita bebas menentukan partner kita sendiri. Maka tak heran, jauh-jauh bulan sebelum seseorang mengambil tugas akhir, sudah bisa diketahui kalau ini partnernya ini, kalau itu partnernya itu. Ini tentu saja sangat baik karena sedari awal kita sudah bisa berkomitmen, sudah bisa menjajaki, melakukan penyesuaian-penyesuaian...pemahaman-pemahaman. Setahun selanjutnyalah medan tarung sebenarnya. Saat kita berkolaborasi mengerjakan tugas akhir..melewati malam-malam bersama penuh tekanan..menjalani dan menyelesaikan konflik-konflik kecil.

Dulu, saya sempat bingung juga harus berpartner dengan siapa. Bukan karena saya tak punya pilihan atau tak seorangpun yang mau berpartner dengan saya. Tapi justru karena saat itu dihadapkan pada tiga pilihan sekaligus. Ceritanya begini : bayangkanlah ada empat orang mahasiswa yang mau tugas akhir. Mereka berteman, erat bahkan. Bukan suatu hal yang aneh jika keempatnya berkumpul bersama dan asyik bercanda. Antar individunya pun berteman. Si ini sering jalan dengan si ini, tapi juga sering makan bareng si itu, tapi juga nggak jarang belajar bersama si satunya. Pokoknya mereka berteman akrab. Saling tahu pribadi masing-masing. Dan insyaallah sudah saling mngerti.

Masalahnya adalah, sampai menjelang akhir-akhir semester enam (artinya mendekati tugas akhir), keempatnya tak pernah menegaskan diri siapa partnernya siapa. Desas-desus di luar mungkin menyebutkan kalau A partnernya B, sedang C partnernya D, tapi di antara kami berempat belum ada ketegasan itu. Rumit jadinya. Jika diperbolehkan partnerannya empat orang ya mungkin lebih baik kita berempat saja.

Lalu jalan keluar muncul. Harus ada ketegasan. Kita kemudian syuro. Berempat saja. Lucu mengingatnya saat semua dari kami sama-sama berucap : tak masalah saya berpartner dengan siapa. Maka tambah rumitlah jadinya. Tak mungkin apabila serta merta langsung diputuskan begitu saja. Bingung..sempat buntu, hingga kemudian kita menganalisa plus minus apabila A sama B, A sama C, A sama D, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Sempat alot. Bahkan sampai perlu jeda sholat. Sebenarnya masalahnya adalah pada ketidakenakan. Satu sama lain tak enak untuk langsung menegaskan akan berpartner dengan siapa. Semuanya hanya bisa menunggu. Maka waktu sholat itulah, sebelum syuro lagi, diadakan lobi. Pembicaraan dua orang saja. Ngomong baik-baik dan apa adanya.  Tapi omong-omongan santai inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah keputusan, yang selanjutnya diomongkan resmi. Sampai terjadilah kesepakatan itu. Saya berpartner dengan partner saya yang sekarang (atau mungkin dulu, karena sekarang sudah lulus).

Sungguh, masa-masa berpartner adalah masa-masa saling memahami. Memahami kalau seandainya partner kita nggak bisa setiap saat di lab, memaklumu setiap kali partner kita nggak bisa bareng-bareng mengerjakan tugas akhir karena harus ngelesi mungkin. Maka kedekatan sedari awal menjadi penting. Agar kita mengenal partner kita, bukan hanya luar-luarnya saja. Tapi luar dalam. Agar kesepahaman itu tercipta. Minimal kita sudah pernah bepergian, menginap, dan melakukan transaksi ekonomi dengan dia.

Lalu keterbukaan. Kita paham karena kita tahu. Dan kita tahu tentang partner kita karena partner kita terbuka. Maka apabila terjadi apa-apa pada kita, yang langsung ataupun tidak langsung bakal berimplikasi (buruk) pada tugas akhir, partner kitalah yang pertama kali harus tahu. Jangan sampai ia menyimpulkan sendiri, jangan sampai ia tahu dari orang lain. Bakal buruk jadinya. Hal-hal kecil macam keterlambatanpun kita beritahukan. Agar tak muncul prasangka lebih dulu.

Dan pada akhirnya kebersamaan. Kebersamaan yang harus senantiasa dipupuk. Bukan hanya sebuah kebersamaan kaku sebuah hubungan kerja, tapi lebih dari itu. Kebersamaan dalam keseharian. Bersama untuk makan malam, bersama sholat berjamaah ke majid, atau bersama belanja ke mall. Karena, kalau itu hanyalah sebuah kebersamaan kerja, maka prinsip untung rugi lah yang sering berlaku. Aku lebih banyak kerja dari pada kau. Kau lebih sering ngempi dari pada ngerjain tugas akhir. Tadi giliranku, sekarang giliranmu. Serta ungkapan-ungkapan sejenis. Buruk jadinya. Tak ada kesenangan dalam mengerjakan. Nggak ikhlas.

Maka sekarang, setelah setahun melewati masa-masa berpartner itu, saya menyadari gejolak di sana-sini itu dulu juga sering terjadi. Sering juga iri masalah pembagian kerja, berdebat panjang, atau ketidaksukaan pada beberapa kebiasaan partner.Tapi minimal dengan tiga prinsip di atas, itu semua bisa diredam. Bisa diminimalisir. Sebisa mungkin kita tak marah, tak pernah juga membicarakan keburukan-keburukan partner dengan teman yang lain. Biarlah itu kita simpan sendiri. Kita komunikasikan dengan bahasa-bahasa kita sendiri. Saling menyemangati. Juga sebisa mungkin untuk senantiasa menyeimbangi. Di saat partner sedang down, maka mau tak mau, kitalah yang harus tetap semangat. Seberat apapun itu.

Lalu teman laboratorium saya yang marah tadi, mungkin sudah sangat keterlaluan sekali. Tak bisa dibendung dalam tekanan yang kian menikam. Tapi saya yakin, waktu itu, itu tak bertahan lama. Sebentar lagi mereka akan baikan kembali. Lewat penjelasan-penjelasan, ucapan maaf, serta genggaman tangan mungkin. Dan benar saja, tak perlu lama setelah kejadian itu, mereka sudah terlihat tertawa-tawa bersama.

 

Wednesday, November 12, 2008

Cerita Kepulangan I : Kehilangan Kedua

Lagi-lagi cerita kepulangan. Entahlah..akan selalu banyak hal yang saya temukan saat pulang. Cerita-cerita menarik. Kadang lucu, kadang menjengkelkan, tak jarang pula mengharukan.

Seperti kepulangan baru-baru saja.

Saat itu habis maghrib. Tak ada aktivitas berarti yang saya lakukan. Hanya duduk-duduk saja di ruang tamu menikmati suasana malam kampung halaman. Bengong, baca-baca buku yang sengaja dibawa, beralih ke koran, bengong lagi, hingga kemudian ponsel saya berbunyi. Sebuah sms masuk.

“Bal, ntar jam tujuh Ahmad ke rumah ngambil sarung tangan sama kaca mata”. Dari kakak saya. Kakak saya saat itu sedang berada di malang, dan ahmad (*sebutlah namanya demikian*) tadi adalah salah satu teman sma-nya dulu yang kebetulan saat berkunjung ke rumah piranti bermotornya tertinggal. Semingguan lewat kira-kira tertinggalnya.

Tidak saya balas tapi saya ok-kan dalam hati. Jam tujuh...berarti tinggal beberapa saat lagi.

Entah jam berapa tepatnya tapi ternyata memang Ahmad datang juga. Bukan saya yang mempersilahkan karena waktu itu saya sedang di ruang tengah. Kakak saya yang lain yang kebetulan sedang di ruang tamulah yang mempersilahkannya. Meskipun begitu, percakapan di antara keduanya terdengar cukup jelas di telinga saya.

“Eh ahmad!!! Mari..mari masuk! Mau ambil kaca mata ya??”

“iyah nih”

“Kok pakaiannya lengkap berkendara begini. Langsung dari surabaya atau...?”. Ahmad ini kebetulan kerjanya di surabaya.

“iyah..langsung dari kerjaan.”

Kakak saya kemudian mengambil barang yang dimaksud. Kebetulan memang sudah dipersiapkan, karena rencananya memang sudah dua tiga hari yang lalu mau diambil. Bergegas kembali ke ruang tamu. Menyerahkannya.

Saya nggak tahu bagaimana kronologis lengkapnya karena kemudian memang tidak terlalu memperhatikan, yang saya tahu tiba-tiba saja terdengar Ahmad tadi permisi mau balik.

“kok buru-buru. Mbok duduk-duduk saja dulu, pasti capek habis perjalanan jauh”

“maaf. Terima kasih. Tadi bapak sms katanya adik kecelakaan di Wono rejo saat mau pulang dari Malang”.

Kakak saya tak terlihat berkata-kata. Mungkin kaget. Saya pun ikut-ikutan kaget. Tapi tak berpikiran macam-macam. Saya tahu adiknya Ahmad tadi. Dulu adik kelas saya ketika smp. Memang, seperti cerita yang pernah saya dapatkan ia sedang menempuh pendidikan di malang.

“tapi saya sms balik nggak dibales-bales sama bapak. Makanya ini buru-buru pulang”.

“owh”.

Begitulah. Dan kami sekeluarga tak berpikiran jauh. Hanya mendiskusikannya sebentar. Bertanya ke saya apakal kenal atau tidak. Ini itu. ini itu lagi.Selesai. Sudah. kemudian tak ada lagi perbincangan. Saya pun beranjak ke kamar (*kayaknya ini penyakit yang selalu menjangkiti saya ketika pulang : ngantukan*).

Dapat diduga; saya tertidur. Baru terjaga saat ponsel saya yang sedang saya charge berbunyi. Kakak saya yang sedang ada di malang yang nampak tertulis di layar. Kali ini ia telepon.

“yah?”

“bal, tadi ahmad waktu ke rumah nggak bilang apa-apa ta?”

“emang ada apa?”

“barusan sms aku katanya adiknya meninggal kecelakaan di wonorejo”

Saya tergetar; ya Allah. “iyah sih tadi cuma bilang katanya adiknya kecelakaan. Tapi belum tahu keadaannya karena cuma di-sms”.

“ya itu, tadi sms aku. Tapi pas aku telpon balik gak diangkat-angkat. Tadi SMS ‘ya semoga khusnul khotimah’ gitu. Padahal senin besok bapaknya mau berangkat naik haji”.

Bla bla bla

Bla bla bla

tekepon ditutup.

 

Dan tiba-tiba saja... Ya Allah! Saya pernah dalam posisi itu. Pernah dalam posis begitu sulitnya bersuara untuk mengabarkan berita menyakitkan itu. Tergetar. Lebih mudah mengabarkannya lewat huruf-huruf SMS. Meski tak jelas lagi apa yang mau diketik.

Namun kesadaran itu, secepat kilat berganti hal lain : Kehilangan untuk kali kedua berurutan. Ramadhan kemarin, ya baru saja kemarin, si ibu teman kakak saya tadi, yang sudah berencana berhaji bersama si bapak, menghadap sang khalik. Menyisakan tiga lelaki dalam keluarga itu : Bapak dan dua orang anak. Tapi kini....dua dari tiga laki-laki itu, harus mengikhlaskan kepergian lelaki satunya. Yang termuda.Saya tak bisa membayangkan apa yang sedang dirasakan oleh Ahmad tadi. Lebih-lebih bapaknya. Ya Allah.... bahkan ia akan segera berangkat haji hanya dalam hitungan hari. Harapan apa gerangan  yang tiba-tiba saja terampas dari imajinya.

Lau tinggallah saya yang hanya bisa mengiang-ngiangkan pertanyaan bodoh: Mengapa harus mereka? Mengapa itu harus sekali lagi menimpa mereka? Mengapa, mengapa itu terjadi saat mereka bahkan belum mampu mengatasi rasa kesepian pada diri masing-masing yang memang berpencaran antara Pasuruan, Malang, dan Surabaya? Bukankah..bukankah mereka hanya bertiga. Bukankah mereka sedang akan merencanakan pertemuan kecil di rumah mereka yang mulai terasa sepi. Mau berkumpul menikmati momen-momen kebersamaan untuk terakhir kalinya. Ya....terakhir kali sebelum sang Bapak harus pergi jauh untuk berhaji.

Ya Allah, kami bahkan tak tahu apa yang terbaik bagi kami. Kami hanya sibuk protes. Merasa pintar. Merasa lebih tahu. Merasa sok dengan karapan-harapan kami sendiri. Padahal pengaturanmu lah yang terbaik, padahal pembagianmu lah yang teradil. Kamilah yang bebal. Kamilah yang tak pernah mensyukuri apa yang terjadi. Kamilah yang tak mampu menangkap apa yg terkandung dari semuanya. Kami hanya sibuk berkeluh kesah atas semuanya.

Ajari kami Ya Allah... Untuk mengerti. Untuk bisa memahami. Hingga rasa syukur itu senantiasa memenuhi dada kami.