Sunday, December 14, 2008

Hujan...hujan..hujan

Hujan, hujan, dan hujan. Hari-hari belakangan ini surabaya hujan terus. Tak hanya hujan biasa, tapi lebat disertai angin. Jika tak hujan maka bawaanya mendung, matahari tak segarang biasanya. Sebenarnya ini baik karena surabaya yang begitu membara menjadi adem ayem. Hawanya bersahabat. Enak dipakai ke luar ruangan. Tapi ini sama sekali tak bersahabat buat kamar saya. Karena, kalau hujan sudah deras-derasnya maka atap kamar saya akan tempias. air hujan menerobos. Membentuk falling film di tembok. Semakin lebat hujan, maka tak hanya menggerayang di tembok saja tuh air, bahkan  mulai menetes. Jadilah saya menyediakan toples bekas kue lebaran sebagai penampung.

Bila hujan disertai angin, maka masalah kamar saya jadi tambah. Karena air akan memaksa masuk melalui jendela yang memang langsung berhubungan langsung ke dunia luar tanpa sekat apapun. Jendela itu sudah lapuk, maka tentu saja tak mampu menahan gempuran air yang dibawa angin. Antar sambungan kayunya sudah merenggang karena  terlalu sering terpapar sengatan matahari. Lalu hujan. Esoknya panas. Bertahun-tahun seperti itu maka jendela itu tak lagi sempurna menjalankan fungsinya. Maka jadilah saya akan sibuk menyusupkan potongan koran di sela-sela bagian jendela tempat air merembes.

Hujan, alhamdulillah di sekitar kos saya bukanlah suatu hal yang terlalu menjengkelkan. Menjadikan banjir misalnya. Empat tahun di sini belum pernah saya saksikan ada banjir . Minimal hanya genangan-genangan air saja yang banyak tercipta. (ngomongin genangan air, saya sering kali jengkel pada pengendara kendaraan yang seenaknya sendiri memacu kendaraannya melewati genangan air tanpa perlu memperhatikan pejakan kaki di sekitar. Cuek meski kemudian ia berhasil meninggalakan cipratan air keruh di wajah pejalan).

Waktu kecil saya dulu, hujan adalah kesenangan. Waktu untuk bermain. Berlarian. Main bola . Mencari mangga jatuhan. Atau sekedar bermain air yang mengucur deras dari talang-talang rumah. Tak ada teriakan orang tua yang khawatir anaknya sakit, tak ada pula ketakutan bahwa air hujan itu mungkin saja mengandung asam yang berbahaya bagi tubuh. Pokoknya gembira. Hingga tubuh mengisut. Badan menggigil. Tapi senyum akan segera mengembang membayangkan bakalan ada nasi liwet hangat di rumah, dengan sambel yang pedas tentunya. Duh nikmatnya, meski lauk seadanya.

Ketika dewasa, hujan mungkin bukan lagi kesenangan seperti halnya sewaktu bocah. Tak ada lagi teriakan bersemangat tatkala hujan mulai turun. Berlari keluar rumah sambil terlebih dulu melepas kaos. Bertelanjang dada. Tak ada! Tapi terkadang hujan masih  menciptakan kesenangan lain. Meski tak selalu. Saat sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Masing-masing berbicara. Panganan seadanya terhidang di meja. Sesekali memandang kaca depan yang mengembun. Rintik-rintik air yang menderas di halaman. Tak tik tuk suara genteng tertimpa air. Juga sesekali terdengar suara pepohonan dipermainkan angin. Syahdu. Romantis. Melankolis.

Hujan, akan banyak kesenangan, meski ada banyak juga terselip kesusahan. Tinggal sekarang kita. Selalu.
 

Sunday, December 7, 2008

BERKORBAN (Diilhami novel Bidadari-bidadari Surga)

Berangkat ke masjid kampus untuk sholat ied, entah mengapa  mengapa pikiran ini datang. Ternginang-ngiang. Tentang sepenggal kisah dalam novel bidadari-bidadri surga karya tere liye. Pingin nuliskannya lagi, dalam bahasa saya sendiri. Maka jadilah, sepulang sholat langsung ngidupin komputer. ngetik tak tek tok. hingga jadilah ini.

Bagi yang belum baca novelnya, silahkan baca. Pasti akan nemu sepotong pengorbanan Laisa.


********************************************************************



Bagi sebagian orang, malam ini mungkin telah larut. Saat dimana segala kerja dan pengharapan seharian tadi berkesudahan. Mungkin mengendap di alam mimpi. Berlanjut esok hari, saat embun berkilauan jernih di rimbun dedaunan. Lihatlah, di sana, di pemukiman seberang, sempurna senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sunyi. Tak ada suara. Hanya suara jangkrik saja yang sesekali bersautan, atau katak berkotek, atau mungkin kelebat kelelawar berebut jambu ranum di halaman. Semuanya telah bermimpi. Mimpi dalam sebenar-benar mimpi, dalam pengertian denotatif. Semuanya tertidur. Menghimpun tenaga untuk kerja esok hari, mengumpulkan energi yg tergerus penat seharian tadi.

Bagi sebagian orang yang lain, malam larut bukanlah kesudahan. Buktinya, lihatlah, di sana, di satu pemukiman yang lain, di satu rumah besar nan megah, nampak lampu masih menyala terang. Suara benda-benda yang digerakkan terdengar jelas. Menunjukkan eksistensi manusia-manusia yang masih terjaga. Kerja, kerja, dan mungkin kerja yang masih ada di benak. Tidak, bagi mereka malam bukanlah sebuah kesudahan, atau penundaan, malam hanyalah malam. Seperti waktu yang lain. Hanya masalah rotasi bumi. Hanya masalah pergiliran waktu antara bagian bumi yang satu dengan bagian yang lain. Mimpi-mimpi belum saatnya untuk diendapkan barang sejenak, dalam tidur lelap mungkin, untuk berganti dengan mimpi-mimpi yang lain. Tidak! Harapan masih terus saja bergelanjut manja di tangan-tangan, kaki-kaki, dan juga mata-mata mereka. Menggerakkan. Mengenergi.

Sedang di sebuah rumah yang lain, di perkampungan yang lain, di sebuah rumah yang terbilang serderhana (untuk tidak dikatakan jelek), mungkin tersederhana di pemukiman asri lereng gunung itu, seseorang juga sedang terjaga. Memang tak ada nyala yang menerangi, tak juga ada bunyi-bunyian yang berceloteh. Seseorang itu terduduk dalam kegelapam nan sunyi. Sendiri. Hei, apakah ia termasuk orang yang menganggap malam bukanlah sebuah kesudahan. Ah, rasanya tak juga. Kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi, seseorang itu, atau mungkin lebih tepatnya seorang perempuan itu , malam-malam begini telah tertidur. Rasa lelah bekerja seharian di areal persawahannya, tersengat matahari sesiangan, membuat ia lebih mudah terlelap, meski mungkin linu-linu di badannya sedikit mengganggu. Apalagi ranjangnya hanya balai-balai bambu tak berkasur.Ia sebenarnya percaya, bahwa malam laksana selimut, sebagai pelindung, tempat segala gundah itu mesti ditanggalkan sejenak, tempat pengharapan itu diletakkan sesaat. Dalam tidur-tidur lelap. Tapi tidak malam ini. Bagaimanalah, bagaimana mungkin ia bisa tertidur jika pikiran itu masih terus mengganggunya. Tak mampu ia letakkan barang sejenak. Bagaimana mungkin ia mampu terpejam jika seharian tadi bungsunya, Yashinta namanya, merajuk ingin sekolah. Ah, memang sudah waktunya gadis mungil itu memasuki bangku persekolahan. Bergabung dengan teman-teman sebayanya yang lain. Tapi konsekuensi dari itu semua sungguh berat. Bersekolah artinya tambahan biaya baru. Uang pendaftaran, seragam-seragan baru, sepatu-sepatu baru, dan nanti pada akhirnya SPP-SPP baru. Dan ia harus menangungnya sendiri. Ah andai suaminya masih berada di sisinya, masih diberi kesempatan menemani malam-malam panjangnya, mungkin keadaannya bisa lebih mudah. Sebenarnya mungkin keadaan tidak lebih baik, ekonomi mereka juga mungkin masih begini-begini saja, tetap mengandalkan sepetak sawah dan juga kerja keras mencari rotan di hutan, tapi setidaknya ia masih punya tempat untuk berbagi. Mentransfer kegelisahan, menyerap kedamaian dari tatap berwibawa suaminya. Tapi kali ini, ia hanya bisa bermonolog, atau berdialog dengan Robbnya. Menangis tanpa air mata. Meneguhkan diri sendiri.

Apakah hanya masalah Yashinta itu yang membebaninya? Sayang sekali tidak. Ia punya lima orang anak. Lima kilau permata buah cinta dia dengan suaminya. Dan semuanya masih bersekolah. Si sulung Laisa yang kelas lima SD, Dalimunte kelas tiga SD, juga Ikanuri dan Wibisana yang sama-sama kelas dua SD. Maka arti itu semuanya adalah : mereka juga butuh biaya. Sudah semingguan ini Ikanuri dan Wibisana merajuk minta uang SPP yang entah sudah menunggak berapa bulan. saat itu, ia hanya bisa memandang teduh, menjanjikan sebuah waktu dimana ia akan melunasi semuanya. Tapi tidak untuk saat ini. Panen jagungnya sedang tidak bagus, rotan pin tak banyak yang diperoleh. Sedang Laisa dan Dalimunte memang tak merajuk, tak mendesak-desak , tapi ia tahu, uang SPP mereka juga menunggak. Hanya karena keduanya memang anak yang baiklah (tapi bukan berarti Ika dan Wibi bukan anak yang baik), sudah mau mengerti bahwa itu tak ada gunanyalah, yang membedakannya. Mereka sadar bahwa itu hanya akan menambah beban ibunya. Suatu saat, saat rizqi itu datang, kata-kata manis ibunya itu pasti dengan sendirinya datang. Mengabarkan pembayaran SPP dengan mata berbinar. Saat ini yang dibutuhkan hanyalah bersabar.

Pffuhhhhh. Ia mendesah. Pelan, pelan saja. Tak akan ada yang mendengar. Dan mungkin tak akan ada yang sadar bahwa ada sesorang yang terduduk di ruang belakang itu. Tapi....., ppfffiihhh, ternyata ada juga desah lain. Di balik pintu.

emak belum tidur?”

oh kamu Lais, kok nggak tidur?” tergeragap

emak belum tidur?”

Menggeleng lemah. Tapi siapa yang mampu melihat gelengan itu dalam gulita seperti ini.

Mendekat, “emak mikiran yashinta ?”

Diam. Kelebat kelelawar sekali lagi terdengar di luar.

emak memikirkan seragam buat yashinta ya? Tentang darimana uang buat pendaftaran yashinta . Tentang cukupkah uang yang didapat untuk membiayai kami berlima kelak”

sebaiknya kita tidur Lais?”

Menggenggam tangan emaknya, diam sesaat, ingin mencoba berucap. Tapi urung. Kelu. Mencoba menatap lembut mata emaknya.

Ada apa Lais?”

mak...” menghela napas, “ jika memang inilah jalan yang terbaik, biarlah, biarlah Lais yang berhenti sekolah. Biar Lais yang akan membantu Mak bekerja di sawah, membantu Mak mencari rotan di hutan. Mungkin dengan itu keadaan bisa lebih baik. mungkin dengan ini beban yang ditanggung Mak bisa jauh berkurang”

TIDAK LAIS!” keras memotong.

demi Dali Mak, demi Ika dan Wibi, dan juga demi Yash. Biarlah seragam Lais dipakai Yashinta. Mungkin agak kebesaran, tapi Emak bisa mengecilkannya. Hanya ini mungkin yang bisa Lais berikan. hanya ini yang bisa Lais lakukan untuk mermbantu emak”

tak boleh ada anak emak yang berhenti sekolah Lais. Tidak juga kau! Biarlah hanya emak yang tak berpendidikan,. Biarlah hanya emak yang bodoh. Tapi tidak kalian Lais! Kalian harus sekolah. Karena dengan itulah janji kehidupan lebih baik akan berbaik hati menyapa”

tidak mak. Lais akan tetap bisa sekolah. Meski bukan dalam pengertian sekolah sebelumnya. Lais masih bisa baca-baca. Masih bisa pinjam buku dari teman-teman lais. Tentu saja lais masih bisa belajar di sela-sela membantu emak.” mendesah, “lagipula Lais perempuan Mak, biarlah Lais yang mengalah. Toh Lais sudah kelas lima. Sudah cukup. Sudah lebih dari Mak. Mungkin dengan melanjutkan pun Lais tidak akan bisa menjadi apa-apa. setidaknya dengan begini Lais bisa lebih bermanfaat”

Jangan berkata sepeti itu Lais. Setidaknya dengan kau tetap sekolah, kesempatan itu masih ada”

Mentap teguh kedua bola mata ibunya “biarlah satu kesempatan itu hilang mak. Tapi empat kesempatan lain serentak terbuka. Kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik untuk adik-adik Lais”

Tidak lais. Biarlah hanya emak yang berkorban. Biarlah hanya emak yang akan bekerja lebih keras. Untuk kalian berlima”

Tidak mak. Ijinkan Lais. Demi adik-adik”

Lais—“. Terisak.

Ijinkan Lais Mak?”

Sunyi. Sepi. Hanya getar suara tertahan.

Maafkan Emak Lais? Maafkan emak?”

Malam itu. Di sepertiga malam-Mu Ya Allah. Di saksikan ribuan malaikat yang mengungkung langit desa, ibu anak berpeluk bertangisan. Sang Ibu menangis. Laisa terisak. Laisa memang sedih, sedih pada akhirnya harus meninggalkan bangku sekolah, tapi Laisa tak menyesal mengambil keputusan itu. Berat mungkin sebelum akhirnya keputusan itu terucap malam ini. Berhari-hari ia menimbang. Memikirkan baik-baik. Menjadi dewasa sebelum waktunya. Ya Allah, sebenarnya Lais ingin terus sekolah, merajut mimpi kanak-kanaknya, sekolah setinggi-tingginya. Tapi jika harapan itu harus mengorbankan mimpi-mimpi yang lain, jika keinginan pribadi itu membuat cita-cita adik-adiknya terbengkalai, biarlah, biarlah Lais yang pada akhirnya mengalah. Biarlah Lais yang berkorban demi bakat-bakat menjulang adik-adiknya. Sungguh, tak ada janji kehidupan yang lebih baik, tak ada harapan yang lebih memesona, selain melihat adik-adiknya tumbuh berkembang menjemput cita-cita megah mereka.

Masih lama menuju subuh. Tapi entahlah, di langit desa, tiba-tiba semburat keemasan menyala.Hewan-hewan malam serentak terpekur.








Saturday, December 6, 2008

Koin-koin dalam Botol

Di kamar kos sempit saya, biasanya terletak di pojok, ada sebuah botol air mineral ukuran 1,5 liter berdiri tegak. Memang tak jarang terguling, menggelinding kesana kemari, ke kolong ranjang dan tak kelihatan, tapi berdiri di pojoklah favoritnya. Akan selalu saya berdirikan kembali jika terguling, akan saya tempatkan kembali jika menjauh. Namun akhir-akhir ini, ia jarang terguling, tidak juga mudah goyah, karena titik beratnya sudah terpusat di dasar. Sejak isinya mulai banyak.

Botol ini seperti botol air mineral pada umumnya, dan amat mungkin ada di setiap kamar anak kos. Pembedanya hanya pada perlakuan yang saya berikan padanya. Pada bagian tutupnya, tempat segala yang mengisi botol tersebut keluar masuk, saya bakar. Bukan dibakar sampai hangus. Hanya disulut saja. Biar antar bagian plastik yang berdempetan tapi tak menyatu itu bisa saling melebur. Melekat. Dan pada akhirnya tutupnya tak bisa dibuka karena sudah lengket. Buntu. Tapi kemudian saya tidak membuatnya benar-benar buntu. Di leher botol tersebut saya buat irisan melintang dengan menggunakan cutter. Tidak lebar, hanya beberapa centi saja. Beberapa centi yang saya perkirakan terlebih dahulu agar sebanding dengan diameter terbesar uang koin yang beredar saat ini.

Orang-orang menyebut benda ini dengan celengan.

Sebelum akhirnya benar-benar menjadi celengan, mulanya saya membuat botol ini sebagai penampung uang koin yang saya dapat dari kembalian warung makan atau swalayan. Biasanya saya meletakkan uang kembalian itu di meja atau di tas. Tak terurus. Kadang berceceran di kolong ranjang karena tak sengaja terjatuh dari kantong celana saya ketika tidur. Tak ada yang menghiraukan. Hanya saat butuh uang kecil saja, atau saat uang saya benar-benar habis dimana uang pecahan sekecil apapun jadi berharga, saya baru mencari-carinya. Lumayan, pikir saya kala itu. Bukankah koin-koin itupun bisa banyak. Bukankah sejak kecil kita sudah amat familiar dengan peribahasa “sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit”. Kapan lagi bisa menerapkannya. Kapan lagi membuat kalimat itu tak hanya berhenti menjadi kalimat sok bijak yang indah sekali diucapkan tapi hanya sedikit yang benar-benar menginginkan untuk diterapkan di hidupnya.

Kelak, pikir saya kala itu, ketika koin-koin itu sudah berbilang puluhan ribu, ketika nilainya sudah sebanding dengan uang kertas licin itu, ia harus bisa berbentuk. Sesuatu yang bermanfaat. Yang benar-benar terlihat. Benar-benar bukit. Dan saat itu, benda yang terpilih adalah buku. Akan saya gunakan koin-koin itu untuk membeli buku ketika nilainya sudah memadai. Hingga saya tak perlu mengeluarkan uang kertas untuk memnuhi hobi saya itu. Memang tidak signifikan untuk mengimbangi rate saya membeli buku. Hanya bisa sekali dalam beberapa bulan. Tapi tak apalah. Yang sekali ini yang akan lebih bermakna. Lebih membekas.

Kini, tiap kali membuka pintu kamar kos, botol itu akan selalu memaksa saya melihatnya. Memaksa pula tangan saya untuk merogoh kantung celana. Mencari koin yang terselip. Gembira sekali saat menemukannya (maka dengan adanya ini saya jadi jengkel kepada warung-warung yang seenaknya sendiri ngasih kembalian permen. Aneh, bagaimana bisa mereka menyediakan permen-permen itu padahal tak jualan permen, tapi tak mampu menyediakan koin-koin yang sudah jelas kebutuhannya). Bahagia pula saat mencemplungkannya ke botol transparan tersebut. Ya, memang transpran. Tidak saya beri penutup hingga tak kelihatan dalamnya seperti celengan pada umunya. Saya rasa saya bukanlah anak kecil lagi yang butuh kejutan tentang ketiba-tibaan, tentang tiba-tiba banyaknya uang celengannya. Biarlah saya menatapnya tiap hari. Menyaksikan koin-koin dalam botol itu meninggi. Merasakan botol itu semakin tak mudah terguling kala tersenggol. Hingga kebahagiaan itu datang, ketika masanya memecah celengan itu, ketika pada akhirnya kumpulan keremehtemehan itu mampu membeli kemewahan. Ah bahagia sekali rasanya. Amat bahagia. Sebahagia anak kecil memecah celengan yang lain. Tapi beda!