Tuesday, January 29, 2008

Sesuatu di hari ulang tahun saya

Sesuatu di hari ulang tahun saya

 

Entah apa yang sebenarnya ingin saya tulis, saya hanya mencoba menggerakkan jemari.

Saya, ataupun keluarga saya, tak mempunyai tradisi merayakan ulang tahun. Sampai seusia ini saya tak pernah merayakan ulang tahun dengan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai perayaan ulang tahun. Ulang tahun bukanlah suatu hal yang special. Paling-paling, dulu, ketika saya masih kanak-kanak ibu sering membuat bubur merah di hari ulang tahun saya. Tentu saja ibu saya memakai penanggalan hijriyah untuk menentukan ulang tahun saya waktu itu. Bubur merah itu diberi wadah daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa hingga mirip mangkuk , kemudian dibagikan ke teman-teman sepermainan saya yang kala itu hanya belasan orang (waktu itu anak-anak seusia saya sekampung memang hanya segitu).

Maka jarang sekali ada hadiah ulang tahun bagi saya. Bahkan tak pernah ada hadiah ulang tahun buat saya hingga saya besar. Hadiah ulang tahun pertama saya dapat ketika saya kelas dua SMP dari seorang perempuan teman sekelas saya. Saya masih ingat hadiah itu berupa buku kecil semacam buku diary bergembok. Sampai sekarang masih ada. Hadiah kedua saya dapat ketika saya SMA, waktu saya kelas dua. Yang memberi adalah seorang perempuan yang katanya memang naksir saya. Di luar pergulatan pikiran apakah saya memang seharusnya menereima atau tidak hadiah itu, saya tak bisa bohong kalau saya senang menerima hadiah itu. Seseorang akan selalu senang saat mendapat hadiah, siapapun itu yang memberi. Saat itu saya di beri sekotak tango besar dan biore. Saya diberi biore karena di saat kelas dua itulah wajah saya mulai dipenuhi jerawat.

Dan hadiah ketiga ultah saya adalah pas saya kelas tiga. Ini adalah hadiah ulang tahun yang paling saya kenang. Hadiah itu diberikan oleh temanp-teman dekat saya, berupa kaos biru merek sophie martin (bagi yang kenal saya pasti pernah tahu saya memakainya) dan juga sebuah buku tebal soal-soal UAN dan pembahasannya. Hadiah itu terasa special karena mereka, teman-teman dekat saya itu, membelinya secara patungan. Ah saya akan selalu ingat teman-teman saya itu.

Hadiah memang bukanlah sebuah hal yang mesti, tapi lewat hadiahlah setidaknya kita menunjukkan kepada orang yang kita beri hadiah itu bahwa kita ada untuk dia. Maka sebenarnya hadiah bukanlah melulu sebuah barang. Hadiah bisa berwujud immaterial. Apapun itu, tergantung kreatifitas kita. Yang pernting adalah tersampainya perasaan kita itu, perhatian kita itu.

Sebenarnya saya tak ingin membahas masalah hadiah itu. Saya hanya ingin membalas hari ini, tanggal 29 januari ini. Apa sebenarnya saya rasakan hari ini, saya tak tahu juga. Hanya saja sejak seminggu yang lalu saya berjanji untuk menuliskan apa yang sudah saya laksanakan di hidup saya ini, hari ini, di hari ulang tahun saya. Ah waktu begitu cepat berlari, melesat, zig zag, mengajaa adu sprint. Meninggalkan mimpi yang terengah-engah di belakang. Menyalip jauh pengharapan yang mulai terjungkal-jungkal mencoba menyamai langkah. Dan tentu saja cita-cita, yang mulai terseok-serok, entah dimana. Ya, waktu seumpama meteor, seumpama cahaya yang kau lepas dari sebuah sumber. Tak terkejar. Meninggalkan semuanya.

Lalu apa sebenarnya yang telah saya lakukan sampai usia saya sekarang ini. Adakah cita-cita saya telah tergapai.Dulu, waktu saya kecil, saya kebingungan tiap kali ditanyakan apa cita-cita saya. Bukan kenapa, karena memang saya tak punya gambaran sosok ideal yang bisa saya idolakan, atau sebatas saya ingini. Dalam kehidupan yang serba sederhana, tiap harinya saya hanya diberi gambaran tentang orang-orang di sekitar saya yang serba homogen. Kebanyakan adalah petani atau pedagang. Saya kurang begitu tahu bagaimanakah dokter itu, polisi itu, insinyur itu, atau astronot itu. Gambaran yang paling dekat dalan diri saya kala itu hanyalah seorang guru. Tapi saya tak ingin menjadi guru. Saya ingin menjadi lain, sesuatu yang lain. Yang sayangnya gagal untuk saya definisikan sendiri.

Apakah itu salah? Ah saya tak tahu juga. Hanya saja pas kelas enam SD ketika saya disuruh membuat essay mengenai cita-cita, saya menuliskan ingin menjadi pemain sepak bola top. Mungkin nyleneh kala itu, tapi saat itu sepak bolalah hal yang terdekat dalam diri saya. Pemain sepak bola adalah tokoh ideal dalam benak saya kala itu. Saat itu memang adalah saat saya mulai menyukai sepak bola di TV, ataupun radio. Bisa dikatakan saat itu saya sedang dilanda gila bola.

Keinginan itu tak bertahan lama. Temporal saja. Ketika saya SMP saya sempurna sudah tidak menginginkan menjadi pemain bola. Walaupun saya masih tetap gila bola, tapi ketika SMP saya mulai menyadari bahwa sepak bola bukanlah hal yang ideal bagi saya. Maka cita-cita (kalau itu bisa disebut sebagai cita-cita) saya pun berubah. Di saat SMP itulah ada semacam keinginan untuk menjadi penulis. Entah ini muncul dari mana mulanya. Tiba-tiba ingin saja. Saya merasaa nyaman sekali ketika guru bahasa Indonesia saya memuji kepintaran saya membuat kalimat ataupun paragraf yang sebelumnya beliau tugaskan. Namun begitu keinginan ini tak selamanya kuat dalam diri saya, lebih sering timbul tenggelam. Bahkan ketika ditanyai guru bahasa inggris saya (dengan bahasa inggris tentunya) tentang apa-apa cita saya, saya hanya menjawab enteng ingin menjadi dokter, karena seingat saya waktu itu kata dokterlah yang paling mudah ditranslate ke bahasa inggris : sama.

Saat SMA, keinginan untuk menjadi penulis itu tetap ada , tapi tidak terlalu kuat. Menulis hanyalah hobi, pikir saya kala itu. Saat itu dalam pikiran saya, saya hanya ingin menjadi seseorang yang berhubungan dengan teknik. Alasnnya sederhana saja, karena saya lebih pintar dalam bidang sciene seperti fisika, matematika ataupun kmia. Saya sama sekali tak ahli dalam ilmu social maka saya tak ingin jadi seseorang yang berhubungan dengan ilmu social. Saya juga sama sekali tak berminat untuk menjadi dokter karena mata pelajaran biologi saya yang jongkok.

 Sampai akhirnya saya terdampar di jurusan teknik kimia ini. Terdampar? Ah bukankah itu sebuah kosakata yang kurang mengenakkan. Tapi tunggu dulu. Bagaimanakah jika saya itu terdampar di sebuah  pulau impian. Indah sekali bukan.

Saya cinta jurusan saya ini, karena di sinilah saya belajar banyak hal. Di sini pulalah saya mulai diperkenalkan banyak hal. Teman-teman, keadaan-keadaan, pergerakan-pergerakan, dinamika, uang, kerasnya hidup, indahnya ukhuwah, romantika, IPK, novel, cerpen, futsall, tausiyah, halaqoh, syuro’, kajian, praktikum, begadang, ngenet, mak dami, BNI, nikmatnya pulang, pertemuan-pertemuan, perpisahan, sedih, senang, ah, oh, yes, alhamdulillah, hidup, mati, kehidupan, mimpi, masa depan, keluarga, hari esok, tanggung jawab. Semuanya, semuanya membalut sebuah wadah bernama kehidupan perkuliahan, yang sayangnya hanya ada satu kata yang saya temukan untuk bisa mendefinisikannya : indah.

Bayak sekali pencerahan yang saya dapatkan saat kuiah ini. Di saat kuliah inilah keinginan untuk menjadi penulis semakin menguat. Tapi tidak hanya sekedar penulis, saya ingin menjadi seorang engineer yang penulis. Itulah sampai saat ini hal ideal yang ingin saya gapai.

Maka saat ini, di tanggal 29 januari ini, sudahkah jalan menuju mimpi itu telah saya lapangkan. Di saat usia yang semakin menua, dan nafas yang kian sesak, sudah banyakkah hal yang konstruktif telah saya lakukan. Beberapa kali saya merenung panjang, sudah adakah hal besar yang telah saya lakukan. Di usia saya sekarang ini, Muhammad Al-Fatih telah berhasil menaklukkan konstantinopel, Jokovik telah mampu menjuarai grand slam, Cristiano Ronaldo telah menjadi bintang di MU, atau anak-anak Palestina telah memanggul senjata mengusir zionis Israel. Sedang saya? Butuh malam-malam panjang untuk merenungkannya saya kira.

Bertambahnya usia mungkin juga berarti semakin bertambahnya waktu yang telah saya sia-siakan. Bertambahnya usia juga mungkin berarti bertambahnya peluang yang telah lewatkan begitu saja. Bertambahnya usia juga  berarti semakin bertambahnya hal yang harus saya pertanggungjawabkan. Dan bertambahnya usia itu yang pasti juga berarti rantang waktu menuju kematian itu kian merapat.

Allah, banyak sekali kehendak-kehendak, keinginan-keinginan, cita-cita. Tak terhitung pula harapan-harapan yang ingin tergapai. Semuanya menyesaki, menghimpit. Semuanya seolah ingin segera terengkuh. Semuanya indah, semuanya ideal. Tapi saya yakin ya Allah, Kaulah yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.

Kini, cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdo’a. (diambil dari petikan buku 5 cm karya Donny Dhirgantoro).

Selamat ulang tahun diriku, semoga akan ada hal indah yang bisa kau  lakukan setelah ini. Amin.

 

BNI,29 januari 2008

Sunday, January 27, 2008

SURAT BUAT IBU

Surat Buat Ibu


Bu, entah mengapa aku menuliskan ini. Aku tahu ibu mungkin tak akan pernah membacanya. Kalaupun ibu membacanya, aku tak yakin ibu akan bisa memahaminya. Entahlah, aku ingin saja. Ada desakan dari dalam. Keinginan, itu saja. Bukankah sesuatu kita lakukan tak perlu selalu ada penjelasannya. Iya kan bu?

Bu, saat ini aku terpuruk. Aku merasa bersalah sekali, berdosa. Merasa bukanlah apa-apa, atau siapa-siapa. Aku remuk bu. Dan entahlah, mengapa di saat seperti itu aku akan selalu ingat kau Bu. Aku rindu kau. Selalu saja, selalu begitu. Selalu jika aku ingat kau, aku tak kuasa untuk tidak menangis Bu. Sampai saat ini aku belum bisa memberi sesuatu untuk ibu, aku belum bisa menjadi sesuatu (meski kau tak pernah minta sesuatu dariku bu).

Bu, waktu semakin berjalan ya. Entah sudah berapa umur ibu. Kau dulu cuma bilang kalau kau lahir di tahun 1955, itupun kau ragu. Itu berarti 53 tahun yang lalu . Ah ibu semakin menua, tapi ibu tak pernah mau berhenti menjadi ibu. Menjadi ibu adalah karunia terbesar yang diberikan Allah , mungkin itu pikiranmu bu. Kami kini semua beranjak dewasa bu. Dan bungsumu, aku, telah menginjak semester kedelapan perkuliahannya. Do’akan ya bu, do’akan ini semester terakhir bungsumu ini. Do’akan semoga dengan itu bungsumu ini bisa lebih bermanfaat.

Bu, aku ingin membahagiakanmu. Aku ingin kau tersenyum di hari wisudaku, menatap bangga anakmu memakai toga kebesaran. Dan ibu menciumku, menggumamakan sesuatu, yang pasti do’a ,yang kutahu tak pernah lupa untuk ibu panjatkan.

Bu, aku tak ingin menangis. Tapi entah mengapa aku menangis menuliskan ini. Apakah karena aku belum bisa memberi yang terbaik buat ibu. Bu, aku cinta ibu, aku cinta ibu karena Allah. Tahukah ibu, itu kalimat siapa? Itu adalah kalimat Delisa yang ia ucapakan pada ummi dan abinya. Ah, ibu tak akan tahu siapa delisa itu. Dia anak-anak yang masin berusia 6 tahun bu. Ia hanyalah tokoh rekaan dalam sebuah novel (ibu tahu novel tidak?). Tapi mengapa ia terasa begitu nyata bagiku, ia terasa hidup, ia seolah anakku, seolah adikku, dan seolah diriku sendiri. Saat itu bu, aku tak kuasa untuk tak menangis saat membacanya. Aku ingat ibu, betapa dulu aku tak terpikirkan mengucapkan kalimat seindah itu pada ibu. Saat aku seusia Delisa.

Bu, bagaimana kabar ibu sekarang, di saat aku jauh dari ibu aku justru selalu ingat ibu. Mungkin ini semua wajar, tapi tidak bagiku, ah akan sangat sulit menjelaskannya bu.

Bu, kadang aku rindu masa kecilku . Aku rindu saat ibu mengangkatku tinggi tiap kali ibu selesai memandikanku. Aku rindu saat ibu mengajakku bepergian, di sebuah angkutan umum, ibu begitu bangganya bercerita tentang aku pada penumpang. Ya memang tiap kali di angkutan umum bersama ibu, banyak penumpang yang sering tanya tentang aku. Aku memang mirip anak cina, putih dan sipit. Tapi ibu selalu bangga dengan itu. Ibu tak pernah berkeberatan apabila ada orang yang belum begitu ibu kenal memegangiku.

Bu, menjadi dewasa adalah menjadi seseorang yang harus berani bertanggung jawab. Dulu sewaktu kecil aku selalu meminta pembenaran dari ibu tiap kali melakukan sesuatu yang tidak biasa. Ah masih ingatkah ibu, dulu tiap kali aku ingin membatalkan puasa (setelah bandel di siang bolong ramadhan bermain dan berlarian bersama teman-teman yang membuatku kehausan) aku selalu meminta pertimbangan ibu. Lama waktu itu aku merajuk, sampai akhirnya ibu luluh dan berkata : ya sudahlah. Aku tak pernah berani untuk sembunyi-sembunyi membatalkan puasaku, karena ibu tak pernah mengajarkan seperti itu . Dan sekarang bu, aku harus memutuskan sendiri tindakanku. Lalu akupun harus mempertanggungjawabkan sendiri tindakanku itu. Sekarang aku harus bisa menjaga diriku sendiri bu. Berat, berat sekali bu. Aku harus bisa menopang kedua kakiku agar tidak tergelincir, menjaga mulutku agar tidak kebablasan. Menjaga semuanya bu. Aku membayangkan begitu beratnya ibu harus menjaga kelima anak ibu.

Bu, kemarin saat terakhir kali aku pulang, ibu mengeluhkan kaki ibu yang linu-linu. Sekujur kaki (entah yang kanan atau kiri, aku lupa). Ibu bilang bahwa ibu sudah keliling ke berbagai dokter tapi belum juga ada hasilnya (sekarang sudah baikan tidak bu?). Saat itu aku terdiam bu, aku tak punya jawaban untuk itu, aku hanya menduga-duga apa penyebabnya itu. Ah andaikan aku dokter bu, mungkin aku bisa menjadi lebih bermanfaat bagi ibu kala itu, tapi aku hanyalah seorang chemical engineer , yang pekerjaannya mengotak-atik reactor, memformulasikan senyawa kimia. Tak begitu tahu masalah linu-linu.

Tapi ibu tak pernah sedih kan. Ibu menerima semua penyakit yang diberikan Allah itu dengan (ah sekali lagi) senyuman. Bahwa itu ujian Allah. Ibu tak pernah menyerah, itu bukanlah sebuah alasan untuk ibu menghentikan aktifitas ibu (walaupun ibu semain kesulitan berjalan). Tak ada yang bisa menghentikan ibu. Ah kemarin aku pun tak bisa menghentikan ibu yang sampai terhuyung-huyung memanen salak sendiri di kebun belakang rumah . Kenapa? Karena kau tahu salak itulah yang biasa aku bawa balik ke Surabaya setiap kali aku pulang. Bu, aku terenyuh memandangnya kala itu, memandang langkahmu yang tidak lagi tegap karena lebih banyak bertumpu pada satu kaki.

Aku takut bu, aku takut saat itu tak dapat kutemui. Aku takut aku belum sempat membahagiakan ibu. Aku takut ibu tak sempat menikmati buah dari perjuangan ibu itu. Aku tahu bu, ketakutanku tak beralasan sekali. Karena mungkin aku bisa saja mendahului ibu, tapi ah tetap saja bu, ketakutan itu, ketakutan melihat kerut diwajah ibu yang kian rata, ketakutan melihat gigi ibu yang semakin banyak yang tanggal, dan kemarin, ketakutan melihat langkah ibu yang semakin terhuyung-huyung digerogoti rematik. Ah aku takut bu. Bahkan semakin takut tiap kali aku mengingat dulu tiap kali ibu mengeluhkan kaki ibu yang sering linu dan meminta diolesi balsem sambil dipijiti, aku melakukannya dengan malas-malasan sambil bilang : dibuat tidur juga sembuh (yang langsung kau balas: mana mungkin bisa tidur nak kalau kaki linu begini). Padahal bu, padahal kau selalu ikhlas tiap kali mengurut kakiku yang keseleo setelah main sepak bola di lapangan.

Bu, apa yang ibu lakukan sekarang. Sudahkah ibu istirahat, sudahkah ibu sejenak mengistirahatkan kaki ibu. Ah kau memang tak pernah istirahat bu. Tiap kali kau merebahkan badan, ada saja yang menganggumu (termasuk aku), menanyakan hal-hal kecil, mengadu hal-hal kecil, meminta pertimbangan-pertimbangan. Kau memang muara segala hal bu. Semuanya akan menjadi ringan bila dilaporkan padamu. Kau selalu menenangkan . Entahlah, mungkin itu senjata yang diberikan Allah pada semua ibu di muka bumi. Kau tak perlu banyak berkata-kata, kau cukup memandang, dengan wajah teduhmu, dan subhanallah, semuanya terasa ringan kembali. Semuanya seolah bukanlah beban. Semua itu bu, semuanya, membuat aku bertambah sayang pada ibu.Aku mencintaimu bu, walau itu tak pernah terucap. Sama halnya kau tak pernah mengucap kata cinta pada anak-anakmu , tapi aku tahu kau mencintai kami bu. Kecintaanmu bahkan tak terwakili oleh kata cinta itu sendiri.

Akhirnya hanya itu yang mungkin bisa kuberikan bu. Semuanya menguap. Aku tergugu. Aku tak bisa berkata-kata lagi. Terlalu banyak kasih sayangmu yang coba aku ceritakan. Terlalu beragam senyummu yang coba aku terjemahkan. Semuanya terlalu sesak. Tak akan muat dalam lembaran kertas.

Maafkan anakmu ini bu, karena bahkan sampai segede ini masih sering merepotkanmu.

Dan jika waktu bisa berputar ke belakang, sungguh bu, aku ingin kembali terlahir dari rahimmu.
                                                                                                           27 januari 2008,
                                                                                                                     Bungsumu
                                                                                                                              Iqbal.