Sunday, March 30, 2008

Simalakama

Entahlah.

Pagi hari sekali aku mendapat sebuah SMS yang mengejutkan. Setelah dua hari sebelumnya aku sempat kecewa karena ternyata aku tak masuk dalam pemenang lomba cerpen yang diadakan perpusda Jatim, pagi hari itu panitia lomba membayar tuntas kekecewaanku. Ternyata walaupun aku tak jadi pemenang, cerpenku masuk dalam 10 cerpen terbaik lomba tersebut. Sepuluh cerpen tersebut rencananya akan direkomendasikan ke penerbit untuk diterbitkan. Uigh pagi itu hatiku berbunga-bunga sekali. Inilah mimpiku. Walaupun hanya sebuah kumpulan cerpen dari banyak orang dan belum tentu juga kumpulan cerpen itu diterbitkan, tapi itu sudah cukup besar memotivasiku mengingat inilah kesempatanku untuk bisa memublish karyaku.


Dan yang lebih membuatku terkejut adalah SMS kedua dari panitia lomba setelah aku SMS balik panitia tersebut. Isinya dalah pemberitahuan bahwa empat cerpenku masuk dalam 10 cerpen terbaik lomba. Aku memang mengirim enam cerpen ke lomba tersebut. Pikirku kala itu adalah dari pada cerpen-cerpen tersebut ngendon di komputer ya lebih baik sekalian aja diikutkan, toh temanya sesuai dengan persyaratan lomba. Di luar pikiran bahwa mungkin saja cerpen-cerpen yang ikut di lomba tersebut tidak bagus-bagus amat sehingga cerpenku yang biasa-biasa saja (*soalnya sudah kuikutkan beberapa lomba dan selalu saja nggak menang*) bisa masuk sepuluh besar, itu sudah lebih dari cukup membuatku bahagia seharian. Semangat menulisku kembali tumbuh. Dan hari itu, aku baru sadar kalau aku terakhir kali menulis cerpen sekitar sebulanan yang lalu. Itupun hanya  satu. Cerpen yang aku kirimkan ke lomba tersebutpun paling baru adalah cerpen yang aku tulis pada lebaran kemarin.


Tapi sayang, sayang , dan sekali lagi sayang, semangat ini bangkit tatkala aku harus konsentrasi seratus persen pada tugas akhirku yang memasuki bulan dimana kita (maksudnya sama partner TA-ku) paling tidak sudah menyelesaikan 50 % dari TA tersebut. Ideku tercekat. Semangatku beradu. Aku seolah makan buah simalakama apakah akan membuka folder ”tulisanku” atau membuka folder ”tugas akhirku” tiap kali menghidupkan komputer.


Dan sekarang, aku hanya bisa menuliskan ini setelah jenuh memelototi apendiks neraca massa dan panas dari  tugas pra desain pabrikku. Semoga ini cepat selesai dengan hasil yang akan memunculkan sesungging senyum dari orang-orang yang mencintaiku, karena di depan, ada dunia yang akan menantangku.

 

27 maret 2008

Wednesday, March 26, 2008

Apakah yang menghalangimu untuk berjalan?

Saat itu saya naik angkot. Sudah hampir sampai.   sudah sampai swalayan Sakinah. Tiga orang penumpang, seorang ibu dan dua orang anaknya turun di sana. Sejenak angkot jadi longgar, tak perlu berdesakan lagi. Namun kemudian ternyata ada dua orang perempuan (kalau tidak dibilang gadis) masuk. Saya, yang merasa 300  meter lagi sudah harus turun, agak sedikit menggeser posisi duduk. mempersilahkan kedua perempuan tersebut duduk di posisi lebih dalam dari pintu angkot. Kelakuan saya ini mungkin sudah menjadi kelakuan umum seorang penumpang yang mau turun apabila ada penumpang lain yang baru masuk.

Tak sampai lima menit, saya kemudian memencet bel pada angkot, memberi tanda padasopir kalau mau turun. Angkot berhenti, dan saya turun. Saat merogoh saku celana dan mengeluarkan uang 2500 rupiah sebagai ongkos itulah kemudian saya terkejut. ternyata kedua perempuan tersebut ikut turun juga. sempat sebentar saya heran, namun segera saja saya sadar bahwa kedua perempuan itu memang naik angkot tersebut hanya untuk menempuh 300 meter tadi. sama sekali tak ada tanda di wajah kedua permpuan tadi kalau ia telah salah naik, atau ada barang yang ketinggalan di tempat ia pertama kali naik tadi. ia biasa-biasa saja, bahkan lebih biasa dari saya. merogoh saku (atau mengambil dari dompet kali. saya lupa). mengulurkan sejumlah uang pada sopir.

Olalah!

Lepas dari angkot tadi, sewaktu berjalan menuju kostan, saya masih saja tak percaya

Monday, March 24, 2008

mulaiiiiiiiiii

Rating:
Category:Other
bismillah.
insyaAllah mulai sekarang dan seterusnya saya akan mulai mengisi halaman ini dengan review buku-buku yang saya baca, tentunya dengan cara penuturan dan gaya saya sendiri. Ntar kalau saya sudah sering wisata kuliner saya kasih review tentang restoran juga. Untuk film? kayaknya belum deh

Saturday, March 22, 2008

Cerita Seorang Kenek


Cerita ini terjadi tiga mingguan yang lalu. Saat itu saya pulang kampung, sebuah rutinitas yang jarang sekali saya lakukan di semester akhir perkuliahan. Sibuk dengan tugas akhir. Tapi saat itu saya harus pulang, karena pada akhir pekan itu kebetulan keluarga besar saya janjian untuk berkumpul. Dan ini momen yang mulai jarang ditemukan.

Kampungku lumayan pedalaman, walaupun tidak pedalaman-pedalaman amat. Untuk menjangkaunya harus naik sebuah angkutan umum kelas bawah yang oleh orang-orang biasa disebut colt. Disebut demikian karena pada mulanya mobil yang digunakan untuk angkutan umum ini adalah merk colt.

Saat itu minggu sore, sehabis sholat ashar saya diantarkan kakak naik motor ke jalan raya untuk menunggu colt tadi. Saya sudah harus balik ke Surabaya lagi hari itu. Masih banyak tugas yang menumpuk untuk saya selesaikan di sana. Langit mendung dan saya sudah sampai di pinggir jalan menunggu colt tadi. Jalanan tidak terlalu ramai karena memang hanya sebuah jalan kecamatan. Kebanyakan hanya orang-orang bermotor, yang terlihat baru pulang dari menghabiskan akhir pekan di Banyu Biru, sebuah objek wisata satu-satunya yang ada di sekitar daerah saya.

Lama ditunggu akhirnya yang ditunggu dating juga. Angkutan itu berhenti tepat di depan saya, dan saya masuk. Saya sedikit terkaget karena untuk range waktu yang cukup lama menunggu ternyata colt tadi hanya berisi dua orang, tiga sama saya. Di masa yang serba sulit begini tak banyak orang desa yang bepergian. Mobilitas penduduk sangat rendah, kalaupun harus bepergian lebih banyak memakai motor yang memang sangat luat biasa banyaknya memenuhi jalanan, terutama di pagi hari.

Kenek angkutan tersebut adalah seorang yang sudah sangat familiar bagi saya karena sejak saya masih sekolah dimana tiap hari harus naik colt untuk menjangkau sekolah, ia sudah menjadi kenek colt. Pelajaran yang bisa saya ambil adalah di saat semua sepertinya telah berubah ternyata masih banyak hal yang masih sama seperti dulu. Ada banyak kenek yang saya kenal waktu sekolah dulu yang kini sudah naik pangkat jadi sopir, namun tak sedikit yang masih setia dengan posisi lamanya. Dan pak kenek ini, adalah salah satu kenek favorit saya sewaktu sekolah dulu karena ia adalah satu dari sedikit kenek yang cukup baik kepada anak-anak sekolah. Ia selalu memberi tarif  buat saya di bawah tarif rata-rata.

Sepanjang perjalanan tak banyak penumpang yang bisa diangkut oleh colt tadi. .Ada sinar mata yang sulit saya artikan dari tatapan pak kenek tadi tiap kali ada seseorang yang mirip calon penumpang sedang berdiri di pinggir jalan. Sepanjang perjalanan tak banyak percakapan antara sopir dan kenek seperti kebiasaan orang-orang seperti mereka sebelumnya. Sampai kemudian di separuh perjalanan, ketika colt benar-benar melompong dan tinggal menyisakan saya terjungkal-jungkal oleh jalan yang berlubang, si sopir angkat bicara. Tentu saja ia bicara dengan keneknya. Isinya jelas sekali tertangkap oleh telinga saya, sebuah keluhan khas orang-orang kecil. Ia mengeluhkan penumpang yang sepi, yang sampai sesore itu uang setoran belum ia dapat. “masih mending kemarin, masih bisa dapat uang setoran. Sedang sekarang?”, begitulah kurang lebih gumaman si sopir. Saya hanya bisa terdiam di antara percakapan dua orang itu. Ada hati saya sakit tapi tak tahu apa yang bisa saya lakukan untuk ini. Tidak dapat uang setoran adalah kata lain dari rugi, dan siapakah orang yang mau bekerja untuk rugi. Ekonomi sedang sepi. Sempat tercetus di pikiran saya untuk membayar lebih untuk ongkos saya yang tiga ribu rupiah

Tapi kemudian ada satu orang penumpang masuk. Saya ikut bahagia. Sungguh jarang sekali saya ikut bahagia untuk sunggingan senyum si kenek. Lima ratusan meter kemudian tiga orang penumpang masuk. Si kenek mulai terlihat sumringah wajahnya. Tiga orang penumpang adalah jumlah yang cukup berarti untuk menutupi kejaran uang setoran. Penumpang yang baru masuk itu kelihatannya bukanlah orang sini terbukti ia harus bertanya pada sopir dimana ia seharusnya berhenti untuk ganti naik bus ke Surabaya. Salah seorang dari tiga penumpang itu kemudian terlihat akrab dengan sopir. Mengobrol. Saya sesekali ikut menikmati obrolan mereka. Sampai seorang yang akrab dengan sopir tadi menanyakan tariff. “ berapa pak tiga orang?”, ia tidak menyebutkan tujuannya karena si kenek pastilah sudah tahu tujuan dia dari pertanyaan yang pertama tadi. Sejenak kenek terdiam mendapat pertanyaan itu. Adalah suatu yang sangat tidak biasa bagi si kenek untuk berpikir dulu berapa tarif yang harus dibayar penumpang mengingat ia sudah menjalani profesinya hampir satu dasa warsa. Saya menduga pasti ada perang batin pada diri sang kenek. Penumpang yang bertanya berapa tarif yang harus dibayar adalah orang yang tidak tahu berapa patokan harga naik colt. Colt adalah salah satu jenis angkutan yang tarifnya bergantung pada jarak tempuh.

Dan jawaban si kenek betul-betul mengagetkan saya, “enam ribu pak”. Saya kaget. Duh hilang sudah simpati buat si kenek itu. Saya tahu, tahu dengan pasti bahwa ongkos untuk jarak segitu hanya seribu rupiah perorang.

Sungguh ia telah kalah dengan terpaan hidup yang mungkin begitu keras menggerogotinya.  

Dan hati saya tambah ngilu membayangkan betapa dulu ia adalah kenek yang suka menerapkan tarif yang rendah buat pelajar.

 

 

 

Tuesday, March 18, 2008

perjalanan menuju masjid

kemarin, hampir seperti jam sekarang (*jam di tempat saya menunjukkan pukul 17.50*), saya sempat sedikit mengelus dada (walaupun ini kiasan saja). saat itu maghrib, saya masih ada di lab kampus. saya minum sebentar, lalu melangkah keluar. turun ke lantai satu dan mengambil air wudhu di salah satu kamar kecil di sana.kumandang maghrib masih terdengar bersahutan tatkala saya selesai mengambil air wudhu.
     
    saya menuju ke masjid. pertama yang saya lewati adalah plasa jurusan. saya         menggeleng pelan karena disana masih banyak mahasiswa-mahasiswi adik             angkatan saya masih asik dengan laptopnya masing-masing (kebanyakan satu         laptop berdua). tertawa-tawa kecil, asik bercanda, asik menggerakkan kursor.     uigh wabah hotspot begitu merasuk hingga tak ada lagi batas waktu.

melangkah lebih jauh sampai akhirnya sampai juga di depan BAAK. tak beda dengan yang ada di jurusan, ditempat-tempat duduk juga masih dipenuhi muda-mudi. terlihat  mendiskusikan sesuatu. tak jelas apa. padahal hari sudah remang-remang(*jadi ingat masehat ibu untuk melarang saya dulu keluar maghrib2 nanti ada wewe*). dan puncaknya ketika saya sampai masjid. sholat sudah dimulai, sudah masuk rokaat kedua, tapi yang saya lihat, di salah satu serambi, ada dua orang mahasiswa sibuk  bermain dengan laptopnya. sama sekali tak terusik dengan lantunan al-fatihah imam. sekali lagi saya hanya bisa menggeleng, menolaknya dalam hati.

Sunday, March 16, 2008

Catatan Seorang Pengader (Episode menjadi maba)


Awal mulanya, postingan saya sebelumya sebenarnya saya gunakan sebagai intro tulisan saya yang ini, tapi entah mengapa saya kok berpanjang-panjangan. Itu malah jadi cerita sendiri. Jadinya saya sendiri yang kebingungan melanjutkannya. Saat itu entah mengapa saya begitu emosi menuliskannya. Marah, kecewa, tertawa, sedih, dan entah apalagi semuanya teraduk sempurna menyertai ingatan menyusuri  potongan-potongan kejadian tahunan yang lalu itu. Saya berkeinginan menuliskan itu semuanya sudah sejak dulu, sejak saya menjadi instruktur. Tahun 2006 yang lalu tepatnya. Tapi entah mengapa itu tidak terlaksana juga, tak ada energy untuk memulai, dan tak cukup bekal untuk melanjutkan. Sampai pada akhirnya saya (secara tak terduga) menjadi SC.

Saya pernah menjadi keempat komponen dalam pengaderan (di jurusan saya disebut Chemical Student Day). Di tahun pertama tentu saja saya seorang maba yang menjadi objek dari pengaderan ini. Berangkat pagi-pagi dengan tas kresek merah di tangan (dalam kresek merah ini berjejal barang penugasan, mulai dari peralatan sholat sampai botol air mineral berlogo HIMATEKK) serta  berjalan berduyun-duyun karena memang tak boleh membawa kendaraan. Seragam saya kala itu adalah blue jeans dan kaos dominan putih dengan pita oranye selebar 3 cm diikat di lengan sebelah kanan. Satu lagi : kami juga harus memakai topi berlogi HIMATEKK hand made.  Yang saya rasakan kala itu hanyalah betapa susahnya untuk hanya menjadi seorang mahasiswa. Setelah melewati perjuangan menghadapi soal-soal SPMB, terus harus daftar ulang dengan nominal rupiah yang cukup mencekik kala itu, ternyata saya masih harus menghadapi seringai mengejek senior-senior. Bentakan, hardikan, cemoohan serta hal lain yang pastinya bukanlah sebuah penghargaan buat kami adalah makanan sehari-hari saya (dan tentu saja maba lain) kala itu. Sang tokoh yang memerankan ini disebut instruktur comitee. Kami para maba menyebutnya dengan sebutan instruktur saja.

Masa paling dag dig dug dari kegiatan pengaderan adalah saat jam enam pagi. Jam enam pagi adalah waktu ketika portal masuk menuju kampusku dibuka oleh pasukan jaket oranye, seragamnya para instruktur. Jalan kami pelan, baris sesuai kelompok. Sementara celotehan instruktur sudah mulai meningkahi pagi. Kami dag dig dug demi membayangkan sarapan apakah gerangan yang bakal kami dapatkan hari ini. Tentu saja kami sudah menggambarkan bahwa kami akan dijemur hidup-hidup karena kami belum berhasil menyelesaikan tugas yang sudah diberikan kemarin sore. Dan kemudian instruktur maju ke depan, mengabsens kami. Pemimpinnya adalah seorang dengan perawakan kecil tapi kekar. Rambutnya gondrong tapi rapi. Dan apabila berteriak akan menyiutkan nyali siapapun yang mendengarkan. Berat dan dalam. Dialah yang di kemudian hari akan menjadi orang pertama yang mengajariku sebuah arti kata profesionalisme.

Sedangkan masa yang paling melegakan dari rangkaian pengaderan itu adalah ketika para SC turun. SC adalah kependekan kata dari Steering Comitee. Seragamnya adalah jas biru, almamater kami. Nampak berwibawa dengan senyum manis yang mengembang. Sesekali mereka juga mengungkapkan kekecewaan tatkala kami tak juga berhasil menyelesaikan penugasan, mirip sekali dengan kekecewaan seorang ibu mendapati anaknya pulang kesorean. Tiap kelompok dipegang oleh satu SC. Kami biasanya duduk melingkar. Dan saat seperti inilah kami baru bisa tertawa-tawa, mengadu, mengeluh, mengutarakan segala kendala yang menghambat kami. Kami curhat sepuasnya, tanpa sadar itulah yang justru menjadi titik lemah kami.

Dan begitulah rangkaian dari pengaderan ini. Instruktur, sc, instruktu, sc. Bergantian. Setelah dimarahi maka kami akan bisa tertawa-tawa. Terus dimarahi lagi. Ketika sesi SC kami berat untuk mengakhiri karena tahu setelah ini pasti giliran para jaket oranye yang beraksi. SC tak ubahnya adalah malaikat pelindung kami dari kejaran setan oranye. Tatkala SC tak ada di sisi kami maka orang-orang berjaket oranye itu akan dengan leluasa mengahardik kami. Entah mengapa saya kok waktu itu lugu sekali, tak bisa menalarnya secara sehat. Mana mungkin semuanya berjalan sedemikian teratur, bahwa setelah SC selesai maka instruktur datang. Tak mungkin tak ada sebuah koordinasi rapi untuk mendisein ini semua. Tak mungkin instruktur tahu sedetail itu tentang kelemahan kami tanpa diberi tahu SC. Dan pada akhirnya tak mungkin SC tak berkomplot dengan Instruktur.

Sore hari, jam lima, kami baru bisa menarik nafas lega. Itu adalah akhir untuk hari ini. Tapi walaupun begitu kami tak bisa membayangkan untuk pulang ke kostan untuk merebahkan badan di kasur. Hari esok sudah membayang. Dan waktu menuju kesana tak lebih dari 12 jam. Setumpuk penugasan sudah memenuhi otak. Tak ada istirahat. Kami berjalan pulang dengan langkah gontai terbayang kata-kata komting untuk berkumpul kembali setelah isya’. Dan tentu saja itu tak lain untuk kembali mengerjakan tugas. Dalam pikiran saya kala itu: enak sekali menjadi mas dan mbak panitia itu, tak perlu mengerjakan tugas. Sedang kami, oh mana mungkin tugas sebanyak itu bias kami kerjakan dalam waktu semalam.

Semuanya kemudian berulang-ulang.

Demikianlah garis besar hari-hari kami menjalani pengaderan hampir empat tahun yang lalu itu. Mengingatnya kembali sungguh membuat saya menyunggingkan senyum. Ada banyak hal konyol yang terjadi. Ada banyak lelucon yang tidak pernah basi untuk kami bahas lagi. Ada kejutan, ada tangis, ada sikap kanak-kanak kami. Entahlah apa hanya itu yang kudapatkan dari kegiatan itu. Tapi yang pasti yang sering aku dan teman-teman ingat kala berkumpul hanyalah itu. Kami tak pernah membahas materi yang disampaikan dalam pengaderan itu. Jarang sekali kami membahas team work building, peran fungsi mahasiswa, hakekat manusia, loyalitas pada himpunan, atau kebanggaan. Kalaupun toh dibahas pastilah kelucuan-kelucuan yang terjadi yang kami bicarakan.

 Apakah saya mahasiswa yang buruk?

Entahlah.

 

NB: untuk temen2 satu kelompokku dulu (Diniyah, gape, fajar, panca, diah KR, ical, kardut),  katanya SC kita mau menikah ya?

Wednesday, March 5, 2008

catatan seorang pengader

sudah lama sebenarnya saya pingin nulis tentang ini, namun entah mengapa baru terealisasi sekarang. insyaAllah ini akan berlanjut.


Agustus 2004.

Aku berjalan dalam tergesa. Mataku berat, semalaman penuh aku tak tidur. Tapi aku tak mengantuk, mana mungkin dalam suasana seperti ini aku bisa mengantuk. Ini hari kedua, hari yang selalu dituntut harus lebih baik dengan hari pertama. Aha, aku tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi beberapa saat lagi, kata-kata apa lagi yang bakal terucap, hukuman apalagi yang bakal tercipta,dan teriakan-teriakan itu. Beberapa saat lagi aku sampai, dan beberapa saat lagi aku tahu jawaban dari semua itu. Ya, saat portal pembatas antara kekuasaan dan ketidakberdayaan itu dibuka. Saat aku (dan juga teman-teman) berjalan dag dig dug menuju ladang pembantaian bernama lapangan parkir.

Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya ada teriakan. Apa sebenarnya yang salah. Mengapa tak ada satupun dalam diri kami yang benar. Mengapa semua kerja keras itu hanya berbuah cacian, tanpa penghargaan. Mengapa, mengapa dan mengapa waktu yang sudah kualokasikan semalaman (tanpa tidur) untuk menyelesaikan itu semua (yang pada akhirnya mentok tak bisa kami selesaikan)hanya menghasilkan sebuah ketidakberdayaan dari kami untuk mempertahankan apa yang sudah kami buat. Dimanakah letak semboyan bahwa semuanya itu tergantung pada proses, bukan hasil. Omong kosong itu semua. Aku ingin ngomong, berbicara apa yang kuyakini, tapi mana mungkin bisa, karena sebelum aku selesai menyelesaikan kalimatku, tiga mulut lain akan sempurna mencecarku dengan kalimat sarkasme. Menusuk. Membungkamku, menyisakan kalimat pembelaan yang menggantung dalam bibirku. Tak akan ada yang benar dalam diriku (juga teman-temanku).

Monster itu bernama instruktur, berjaket oranye menyala. Sedang aku hanyalah maba, berkaos putih polos.

Sedang nanti akan ada orang bijak dengan senyum selalu mengembang. Dialah SC.

Ada satu lagi : OC. Komponen nggak jelas dari episode pembantaianku ini.

 

Agustus 2005.

Episode setahun yang lalu seolah diputar kembali.  Di depanku. Aku seolah melihat kembali diriku yang setahun lalu berjalan takut-takut. Merasa bersalah apakah bergerak atau stagnan, tak tahu apakah harus bicara atau diam. Ya, itu aku yang dulu.

Ini masih pagi, baru jam enam lewat. Tapi tadi aku tak tergesa. Iya, mungkin saja aku tadi tergesa, tapi ketergesaan tanpa ketakutan, tanpa kekhawatiran. Justru sebaliknya, ada antusiasme. (Apakah ini balas dendam?). Karena sesaat lagi aku akan bisa menyaksikan pembantaian itu.

Benar saja, teriakan-teriakan itu masih sama. Kosakata-kosakata sarkasme itupun tetap saja. Aku masih hafal, masih hangat dalam telingaku. Tapi aku menikmatinya kali ini, ada sensasi . Karena aku hanyalah penonton saja, tinggal asyik menyaksikan pembantaian itu, pembelaan-pembelaan tak berarti itu. Ah sekarang aku bisa berkomentar mengapa maba-maba itu banyak sekali salahnya, mengapa banyak pula  yang pingsan (*badan aja yang gede*) atau bahkan mengapa para instruktur itu kok begitu, harusnya begini, alurnya kan bisa  lebih terjaga, lebih cerdas, lebih natural, dan tidak sekedar mengada-ada.

Aku kini menjadi OC. Kata orang ini kepanjangan dari orang curuhan, karena pekerjaannya memang hanya disuruh-suruh. Setahun kuliah di sini sedikit banyak aku telah tahu apa di balik layar pengaderan ini.

Orang-orang bijak berjas biru juga masih tetap ada. Kini aku jadi tahu, ternyata mereka sering sekali ngobrol intens dengan orang-ortang berjaket oranye. Ada apa ini. Apakah ternyata... ah kukira aku mendapatkan sedikit kesimpulan.

 

Agustus 2006.

Aku harus datang pagi sekali, bahkan lebih pagi dari orang-orang berbaju putih polos itu. Sekarang tak ada rasa takut, tak ada kekhawatiran, tak ada dendam, tak ada rasa hanya untuk sekedar main-main. Yang ada hanya tanggung jawab. Titik. Dedikasi. Dan jaket oranyeku tak begitu menyala. Hanya warna oranye lembut.

Tapi mengapa harus ada gentar. Mengapa jantung ini berpacu. Dag dig dug. Padahal semuanya sederhana saja : tinggal teriak (*bukankah itu yang dulu aku pikir*). Atau cuma tinggal pasang tampang serem, atau berlagak marah. Aku tinggal memencet salah satu tombol dalam megaphone ini, mengitung hingga sepuluh, lalu pasukan biru putih itu akan tunggang langgang menghampiriku. Tapi aha, itu tak sesederhana kelihatannya, itu tak segampang kedengarannya, dan itupun tak seindah cerita-cerita dulu. Saat kau berdiri di depan, saat kau harus bisa menjadi apa yang kau cekokkan pada mereka, saat kaulah penentu alur dari episode marah-marah ini, maka saat itu kau barulah tahu bahwa ini bukanlah main-main kawan! Ada tanggung jawab abstrak yang menekan pundakmu. Bertarung melawan rasa dendam. Dan mengapa dalam posisi ini aku berpikir lebih enak jadi pasukan biru putih saja (*padahal... padahal dulu aku berpikir betapa enaknya menjadi mas-mas berjaket oranye itu, diriku saat ini*).

****

Aku sudah teriak, aku sudah marah, aku sudah mengeluarkan semua kata-kata provokatif yang aku punya. Tapi mengapa semuanya hanya diam, mengapa semuanya mematung seolah menunggu apa yang ingin kami lakukan selanjutnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Dan semua teman-temanku sepertinya juga sudah kelelahan, tak tahu ingin berbuat apa lagi untuk mengatasi ini semua. Satu lagi: mereka juga sudah panas, emosi sudah sampai ubun-ubun (*padahal itu tak boleh*). Maka, maka beberapa saat kemudian ketakutan itupun terjadi, tiba-tiba saja semauanya tak terkontrol, tiba-tiba saja buku-buku berhamburan, tiba-tiba semua buku terinjak-injak. Oh tidak, ini tidak ada dalam rencana, ini tak ada dalam pembahasan kita semalam dan pagi tadi. Dimana penghargaan itu, dimana tanda tanya yang dulu menggantung dalam kepalaku itu. Bagaimankah aku harus mempertanggungjawabkan ini semua. Tuhan, aku ingin menangis. Aku gagal.

Saat ini aku jadi pemimpin orang-orang berjaket oranye itu, kini aku tahu semua yang ada di balik pengkaderan ini. Orang-orang berjas biru itu (*yang teman-temanku juga*) tetaplah jadi orang yang penuh senyum di depan pasukan putih itu. Mengeluarkan kata-kata bijak yang memotivasi. Menginspirasi. Ah berkebalikan sekali dengan kami, bertampang galak, tanpa senyum, yang bahkan dalam pikiran maba-maba itu pasti kami tak ubahnya monster yang tak punya sisi kebaikan dalam diri (*minimal itu yang tergambar dalam aku dulu*). Padahal merekalah di balik ini semua, merekalah yang selalu cerewet menguliahi kami tentang ini itu, tentang ketidakbisaan kami membawakan alur, tentang ketidaknaturalan marah-marah kami, tentang semua. Bahkan mereka jugalah yang sebenarnya mengajari kami cara untuk menjadi diri kami saat itu. Saat siang hanya dipenuhi teriakan-teriakan memekakkan. Itu tak ubahnya SC berwujud kami.

Dan di sore hari, kamilah yang paling banyak dievaluasi. Kadang sedikit menusuk. Kami kurang ini kurang itu. Harusnya begini harusnya begitu. Seolah kami tak pernah benar. Aku muak, mereka yang bicara itu belum pernah berada di posisi kami. Mudah sekali kalau sekedar bicara. Coba turun langsung. Hadapi langsung. Ciumi aromanya. Setelah itu bicara.

Bahkan untuk marahpun tidak gampang kawan! Lebih mudah untuk mengulum senyum.

 

Agustus 2007.

Dan entah takdir apa yang masih membawaku tetap di sini. Aku sudah terlalu tua untuk masih berada di sini sebenarnya.

Aku datang begitu pagi. Berpakaian anggun. Berjas biru. Sang orang baik. Si tukang senyum.Orang yang tiga tahun lalu kuanggap sebagai malaikat penolongku, dua tahun lalu kuanggap (*masih meraba-raba*)perencana ini semua, serta setahun lalu kucap sebagai actor intelektual dibalik pembantaian ini. Tapi kini, aku mencap diriku sendiri sebagai sekumpulan orang-orang yang mempunyai idealisme, yang menginginkan adik-adiknya berkembang, yang berjuang mencetak kader-kader tangguh pewaris peradaban. Penerus generasi oranye.

Maka kemudian entahlah. Anehnya, semuanya tidak lagi punya greget. Tak ada dendam, sumpah tak ada. Aku mengikuti alur ini semua dengan kedewasaan, tak ada lagi gerutuan tentang maba yang begitu banyak salahnya (*aku juga begitukan dulu*), tak begitu ada cemoohan bagi instruktur yang kurang sempurna menjalankan instruksi (*aku juga tahu betapa sulitnya menjadi instruktur*), dan OC, ah mereka hanyalah sekumpulan orang yang baru saja merayakan euphoria terbebas dari julukan maba.

Aku hanya perlu senyum. Duduk manis dikitari wajah-wajah polos yang mengharapkan naungan. Seperti itukah wajahku dulu. Oh betapa mereka sebenarnya putih bersih. Aku, atau kamilah yang kemungkinan menjadi goresan pertama dalam lembar itu. Bagaimanakah kalau goresan itu kemudian adalah goresan buruk. Bagaimanakah kalau seandainya mereka mempersepsikan ini semua dengan sebuah kesia-siaan, hanya main-main para senior. Bagaimanakah aku selanjutnya harus mempertanggungjawabkan setiap tinta yang kugoreskan itu. Bukan pada manuasia.

Mereka tulus berbagi. Mereka tulus tersenyum. Mereka percaya padaku. Mereka tak punya pikiran buruk padaku. Mereka putih ya ALLah.

Tapi aku  (atau kami), menyuruh kumpulan jaket oranye memarahi mereka. Aku membocorkan segala keluh kesah mereka. Aku musuh dalam selimut. Aku pagar makan tanaman. Benarkah begitu?

Teriakan-teriakan menguar dalam panas yang membakar. Aku hanya memandang nanar dari kejauhan. Seperti itukah aku setahun yang lalu?

 

Maret 2008.

Banyak sudah yang telah kupelajari. Kadang, untuk menjadi arif kita memang harus mampu memposisikan diri dalam berbagai posisi. Dan aku baru menyadarinya saat aku telah menjadi keempat macam dalam komponen pengaderan. Aku pernah berseragam kaos putih, seragam bebas, berjaket oranye, serta terakhir berjas biru.

Terima kasih kepada semuanya yang telah memberiku kesempatan menjadi itu semua.