Wednesday, May 28, 2008

"Bersama Istri Tercinta"

kemarin sore, saya dapat berita yang benar-benar mengejutkan saya. Cerita bermula ketika saya lagi online di yahoo messenger (*kalau ini sih memang kebiasaan*). Kebetulan sore itu banyak yang on line, dan salah satunya adalah teman SMA saya yang kabar terakhir yang saya dengar sedang bekerja di Batam. Sudah lama kita tidak ketemuan (*kalau dihitung sudah dua tahunan lebih*) dan mungkin saja kita sudah saling pangling apabila bertemu. Tak pelak pertemuan di dunia  maya kemarin itu benar-benar barang langka yang cukup lumayan mengobati kerinduan kami. Kami pun mulai ngobrol. Hal pertama yang diobrolkan seperti biasa adalah masalah kabar masing-masing. Ia tanya kapan saya lulus, dan saya balik tanya hal lain tentang dia. Pembicaraan pun merembes ke teman-teman kami yang lain. Mulanya saya minta kontak teman-teman SMA kami yang lain, kali saja ia punya, karena sudah sangat lama saya tidak berkomunikasi dengan mereka. Saya kemudian menyebutkan beberapa nama yang ingin saya tahu kontaknya, baik no hp maupun alamat email. Saat itulah, berita besar itu keluar lewat huruf-huruf yang terpampang dalam computer saya.

“Bal, udah denger belum? Firdaus sudah nikah”.

(*kaget*)”udah nikah? yang bener pras” (pras adalah nama teman chat saya itu)

“kalau g percaya coba saj lihat fs-nya”

“lihatnya?”

“masuk aja ke f s-ku, Liat di friendsku”

Secepat kilat, tanpa ba bi bu, saya langsung meluncur ke alamat fs yang dimaksud. Hati dag dig dug. Entahlah, ada sesuatu hal yang membuat saya begitu penasaran. Saya masuk alamat fs Pras. Sukses. Saya klik view all untuk friends. Sukses. Halaman pertama untuk friends terbuka, tapi saya belum mendapati nama teman saya yang katanya menikah itu. Saya klik next, halaman terakhir. tapi lagi-lagi tak ada nama yang saya curigai sebagai teman saya itu.

“Pras jenenge firdaus nang fs opo?”

“firdaus”

“g ada tuh di fs-mu”

“iyo ta?sek, aku tak mbuka fs-ku”

Tapi diri ini terlanjur tak bisa menunggu. Saya kemudian klik salah satu teman di fs Pras yang juga teman saya pas SMA dulu. Mungkin saja firdaus jadi friendsnya di fs.

Singkat cerita, Firdaus memang jadi friendsnya teman saya itu. Cepat saya klik kanan lalu klik open link in new tab. Terhubung, tapi lambat terbukanya. Tak tahu kenapa koneksi internet di jurusan saat itu begitu lambat. Saya jadi tak sabar. Lalu beberapa tulisan terlihat,  foto-foto belum. Namun, namun itu sudah cukup mengurangi rasa penasaran saya. Kalimat pembuka dalam fs itulah jawabannya: bersama istri tercinta. Olala!!! Yang ia maksud bersama istri tercinta tentunya adalah penjelasan dari foto yang belum sempurna terbuka itu. Satu jawaban saya dapatkan : Firdaus, teman sebangku saya sekaligus teman curhat merangkap teman ngobrol itu, memang benar-benar sudah menikah. Ini benar-benar kejutan yang teramat mengejutkan buat saya. Saya tak meragukan kapabilitasnya, ilmunya, maupun pandangannya ke depan. Berteman dengannya selama tiga tahun di SMA sudah lebih dari cukup untuk mengetahui kekokohan kepribadiannya (*meski saya tak pernah tahu perkembangan dia setelah kuliah*). Tapi yang tiba-tiba inilah yang membuat saya terkejut. Rasaanya baru beberapa bulan yang lalu saja ia mampir ke rumah saya, lalu mengajak saya menginap di rumahnya, ngobrol sampai pagi, lalu paginya memancing di kolam samping rumahnya. Bercanda, meski sekali-kali diselingi pembicaraan yang lumayan berat: tentang umat. Ia terlihat berhati-hati berbicara tentang masalah itu dengan saya karena iapun tidak tahu banyak saya pasca SMA. Tak ada sama sekali gelagat ataupun rencana ia akan menikah. Sama sekali tidak.Tapi nyatanya, kini, ia sudah menikah, bahkan sudah dalam hitungan bulan.

Belum selesai keterkejutan ini, pikiran saya mulai menyodorkan pertanyaan kedua : dengan siapa? “dengan siapa” ini sedikit banyak akan mampu menjawab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan lain. Mulai dari apa kegiatannya selama kuliah, sampai seperti apa istri ideal di mata dia (*kira-kira dulu pas pelajaran kosong  kita pernah mbahas ini g ya?*) Dan jawabannya mungkin ada pada foto yang belum terbuka  itu. Saya kian bersemangat. Tapi koneksi internet tidak. Tetap ngos-ngosan untuk membuka foto. Sedangkan jam menunjukkan pukul setengah enam, artinya sudah maghrib. Terpaksa saya redam rasa penasaaran saya tersebut beberapa saat. Melangkahkan kaki ke masjid.

Bermenit-menit berlalu. dan tibalah saya di depan komputer yang menghubungkan saya dengan fs Firdaus tersebut. Foto telah sempurna terbuka. Dan tahukah Anda kesan yang pertama kali muncul kala saya melihatnya: so sweet. Bagi Anda yang sudah membaca buku NPSP karya Salim A Fillah, maka saya bisa menggambarkan foto itu mirip sketsa pada cover buku tersebut. Firdaus sedang naik sepeda kebo, melirik mesra ke belakang, sedang istrinya yang ada di boncengan  terlihat menyandarkan kepalanya ke punggung firdaus. Perbedannya hanya Firdaus tidak memakai songkok dalam foto itu. Sedangkan istrinya persis: “terlihat” sangat akhwat. Jilbab lumayan gede, memakai rok, dan tampak malu-malu.

Hal yang pertama kali ingin saya lakukan kala itu hanyalah mengucap atau menuliskan sesuatu untuk dia. Pertanyaan, ucapan selamat, sebaris do’a, atau apalah. Yang penting saya ingin mengomunikasikan itu semua. Saya coba menulis testimony, tapi gagal karena saya tak punya FS . Saat itulah saya menyesali kenapa tak mau membuat FS. Buat apa? Lebih baik ngeblog aja, pikir saya kala itu. Itulah yang membuat saya terlambat mengetahui perkembangan teman-teman SMA saya yang kebanyakan punyanya cuma FS.

Untunglah kemudian saya mempunyai teman-teman lab yang baik hati yang dengan ikhlas meminjamkan FS-nya (*padahal kita sering bertengkar karena saya lebih sering mnuka mp sedang mereka mbuka fs*) untuk saya pakai menulis testimony di fs Firdaus tersebut. Mudah-mudahan saja ia cepat membacanya. Dan mudah-mudahan ia segera mengirimi saya email, atau no hp terbarunya, atau mengundang saya sebagai kontaknya dalam ym. Akan ada banyak hal yang ingin saya tanyakan, ingin saya diskusikan, dan tentunya bakal banyak gurauan yang ingin saya lontarkan.

Ya…… akhirnya, teman saya yang baik itu, yang selalu nyambung saat saya ajak ngobrol apa saja (*berkebalikan dengan saya yang sering gak nyambung saat ia ajak ngomong hal-hal rumit*), yang selalu menyediakan senyum untuk saat terberat sekalipun (sambil tentu saja memamerkan lesung pipitnya yang dalam), yang sering menjemput saya meski rute rumah kami tidak sejalur (*pernah sekali ia kecelakaan pas akan menjemput saya untuk latihan senam bersama*), yang tak pernah sok tahu itu, telah menemukan labuhan hatinya. Dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Mudah-mudahan, akan muncul firdaus-firdaus muda yang akan mencerahkan umat (*di fs-nya ia menuliskan mempunyai sebuah usaha yang ia dedikasikan untuk kejayaan umat*).

Ok daus, kawanku, saya janji, akan saya tulis profilmu di blog ini. Mungkin tak menarik bagi orang lain yang membacanya. Tapi bagi saya, kau adalah keping ajaib, yang diturunkan Allah dalam lingkar persahabatan ini. (*uppps!! saya baru ingat, bahkan kau baru akan merayakan ulang tahunmu yang ke-22, Desember ini*)

 

Sunday, May 25, 2008

pengumpulan Skripsi

Start:     Jun 25, '08 7:00p
End:     Jul 4, '08
Location:     kampuz orange TEKKIM ITS
masih ingat bagaiman sulitnya mencari judul, betapa sulitnya mencari jurnal, terus betapa sulitnya juga memahami jurnal. samapi akhirnya penelitian
dan sekarang, ah tinggal beberapa waktu lagi semuanya harus dirangkum dan dibentuk dalam sebuah laporan

pengumpulan Pra deSain PaBrik

Start:     Jul 7, '08 7:00p
End:     Jul 11, '08
oh akhirnya inilah saat untuk mengumpulkan hasil perjuangan berbulan-bulan (*bener g ya?*). semoga nanti sudah selesai, sudah beres, sudah siap sidang, sudah menguasai materi. tak ada yang "nembak".
Amin amin amin
SEMANGAT!!!!!!!!!!

Saturday, May 24, 2008

Cermin Diri (yang Tersisa dari Pagelaran HUT K-44)

Ceritanya, beberapa hari yang lalu, teman saya Khaerudin mengajak saya menjadi salah satu tim kontemplasi pada acara hari ulang tahun K-44 yang ketiga. Saya kurang tahu tugasnya apa, tapi saya iyakan saja ajakan itu. Acaranya berlangsung sabtu malam ahad tapi sampai sabtu saya belum tahu juga tugas saya. Beberapa kali memang berencana akan diadakan rapat tapi selalu tertunda karena memang tim kontemplasi disibukkan oleh kelompoknya masing-masing. Sebagai catatan saja kalau 120 orang teman satu angkatan saya dibagi menjadi enam kelompok yang harus menampilkan satu hal saat acara ulang tahun itu. Untuk menampilkan sesuatu itu tentunya harus mengonsep apa yang akan ditampilkan untuk seterusnya mengadakan latihan. Nah, latihan ini yang kemudian ternyata mengganggu jadwal rapat tim kontemplasi.

Namun akhirnya sabtu siang, pukul setengah sebelasan, Khaerudin akhirnya muncul juga di lab saya dengan tugas yang sudah terrsusun rapi di kepalanya buat saya. Saya akan baca puisi di sesi kontemplasi itu. Kaget juga sih, merasa belum siap. Acaranya nanti malamnya dan baru siangnya diberi tahu. Ini kan bukan puisi biasa tapi puisi kontempalasi yang harus bisa membawa aura puisi itu ke hati pendengar (*benar tidak ya pembahasaannya?).

Masalah selanjutnya adalah puisi apa yang akan saya baca. Dan, ternyata Khaerudin ternyata sudah mempersiapkan jawabannya. Dari sekian ratus judul yang masuk(*berlebihan kalau yang ini*) akhirnya Khaerudin memilih puisinya Aa Gym yang berjudul cermin diri untuk dibacakan. Dari sini, masalah lagi muncul. Puisinya Aa Gym itu kan kental sekali nuansa Islaminya sedangkan angkatan saya terdiri atas multi etnis dengan berbagai macam agama (*yang belum tahu puisi cermin dirinya Aa Gym silahkan baca disini*). Kami harus bisa mengakomodir semuanya. Jadilah saya yang kemudian harus bisa mengedit puisinya (maaf ya Aa kalau puisinya jadi kacau atau pesan yang ingin Aa sampaikan jadi terasa kabur. Itu karena saya saja yang terbatas kemampuannya). Dan, setelah memelototi komputer, menerawang, serta bermuhassabah sendiri akhirnya jadilah puisi cermin diri versi HUT K-44 dalam waktu yang super kilat. Ada banyak penyesuaian yang harus saya lakukan agar nantinya pas membacanya jadi enak.

Ini nih puisi hasil editannya.

 

CERMIN DIRI

 

Tatkala kuhampiri sebuah cermin
Tampak sosok yang sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat
Aneh, namun aneh

Sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat

 

Tatkala kutatap wajah, hatiku bertanya,
Apakah wajah ini kelak bercahaya dan bersinar indah di surga?
Ataukah wajah ini yang akan hangus legam di neraka jahanam

 

Tatkala kutatap mata, nanar hatiku bertanya,
Mata inikah yang akan menatap teduh,…..

kelezatan dan kerinduan yang membentang…
Menatap kekasihMu Tuhan!!

memandang haru wajah ayah ibu , menatap sahabat

menatapMu
Atau….

Akankah mata ini yang terbeliak, melotot, menganga

Memburai air mata

 Menatap jahanam menganga….
Tuhan.!!!!!!

Akankah mata penuh maksiat ini akan mampu menyelamatkan?

 Apa... apa gerangan yang aku tatap selama ini?

 

Tatkala kutatap mulut

Akankah mulut ini akan memungkasi hidup dengan kalimat suci

 kala sakaratul maut berarak menggerayangi….
Ataukah mulut ini yang akan mengecap bara jahanam..

merasakan getir menghanguskan, menghancurkan….
Betapa banyak....... yaaaa betapa banyak

 hati yang remuk oleh pisau kataku yang mengiris ngilu….

 

Tatkala kupandang tubuhku….
Akankah tubuh ini yang akan berpeluk haru

Dalam reuni abadi….
Penuh hangat cahaya surga…
Ataukah akan terpasung menggelepar

Tanpa ampun menahan dera di neraka yang bergolak?

 

Tatkala kupandang lebih dalam ke hatiku
Betapa hati tak segagah otot yang tampak di cermin,

Tak secantik wajah yg terlihat ayu..
Betapa beda… betapa beda… betapa beda Tuhan!!
Apa yang dicermin dan apa yang tersembunyi

Betapa yang di dalam hanyalah kebusukan…
Aku tertipu oleh topeng… topeng

betapa pujian dan semua yang terlihat hanyalah topeng..

topeng belaka
Betapa yang indah adalah topeng …


aku… hanyalah sekelumit karunia yang aku make up kemunafikan….

Tuhan, dengan wajah apa aku kan menghadapMu?

Dengan raut muka mana aku akan menatapMu?

 

 

****

Malam harinya, pas mau tampil, saya masih ragu apakah saya bisa ya. Sebenarnya Khaerudin sudah memperingatkan saya untuk persiapan fisik dan ruhiyah, tapi tak tahu juga, merasa kurang siap saja. Walaupun saya sering membuat pusi tapi jarang sekali say membaca puisi. Terakhir kali paling sekitar dua tahun lalu saya membaca puisi di depan umum. Kalau tidak salah waktu itu puisinya Chairil Anwar yang Karawang-Bekasi.

Dan, saat itupun tiba. Khaerudin pertama-pertama memberi pngantar untuk mengondisikan teman-teman untuk tenang. Setelah itu barulah giliran saya. Musik instrumen mengalun syahdu. Teman-teman hening. Api unggun menyala. Sayalah yang memegang alur semua ini. Dan...kata pertama saya muncul. C-E-R-M-I-N D-I-R-I. Saya tak tahu bagaiman perasaan teman-teman, sampai tidak pesannya ya. Tapi saya menikmati itu semua, akhirnya semau terasa mudah. Saya seolah bermuhassabah sendiri, memang sayalah yang dibicarakan dalam puisi itu. Benar, diri ini bertopeng. Topeng. Semua yang terlihat baik itu adalah topeng.Dan di bait-bait terakhir itulah akhirnya saya tak mampu membendung air mata saya sendiri.

Tuhan, dengan wajah apa aku kan menghadapMu?

Dengan raut muka mana aku akan menatapMu?

Akhir pembacaan puisi itu semuanya masih hening. Hati inipun juga. Hening. Nyaman. Jam menunjukkan pukul 10.30 malam. Dua belas jam sejak saya mengedit puisi itu.

 

Thursday, May 22, 2008

Saat ilmu tak menjelma amal

“maaf ya air”

Clupp.

Ucapan itu baru saja saya temui di sela-sela menghadap dosen penguji untuk poster paper skripsi saya. Sepintas anggun sekali kdengarannya, tapi kemudian saya langsung melongo melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata kalimat itu diucapkan sambil menjatuhkan wadah air mineral ke selokan depan lab yang memang penuh air. ‘Maaf’ di situ sepertinya sama halnya saat kita minta maaf tepat saat akan melayangkan pukulan ke wajah seseorang. Aneh.

Dan tahukah anda siapa orang yang melakukan itu? Adik angkatan saya. Itu artinya dia adalah seorang mahasiswa, yang menduduki strata tinggi masyarakat kita, yang merupakan sedikit persen dari ratusan juta penduduk kita, orang-orang terpelajar yang sudah mampu memecahkan soal-soal rumit SPMB, sudah pernah lulus UAN, dan tentunya nilai mata pelajaran PPKN-nya sudah lebih dari sama dengan enam pas sekolah.

Saya mungkin agak maklum jika yang melakukan itu adalah orang-orang desa yang tidak berpendidikan (*walaupun  dalam beberapa kasus kita harus belajar banyak pada orang-orang desa ini*). Tapi sekarang? Saya tak habis pikir, ia sudah sekolah hampir 15 tahun. Enteng saja ia melakukan itu. Saya yakin ia telah pernah  mengerjakan soal pas SD dulu dengan pertanyaan : buanglah sampah pada........ Ia pasti tahu, pasti mengerti. Buktinya ia masih sempat mengatakan ’maaf’ pas melakukan itu. Ia sadar sesadar-sadarnya.

Kesimpulan apa yang bisa diambil dari sini? Ternyata, banyak sekali pengetahuan kita, bejibun pula ilmu yang sudah kita serap, teori-teori. Tapi sayang, tidak semuanya menjelma amal. Semuanya hanya memenuhi kepala-kepala kita dan jarang sekali mewujud laku. Tak perlu jauh-jauh saya mengambil contoh ini. Di lingkungan kampus saya saja (dan otomatis saya mungkin juga yang termasuk melakukannya) kesimpulan saya tadi amat sangat berlaku. Semuanya mengerti konsep termodinamika, semuanya mengerti konsep transfer panas, tapi masih saja sering terlihat ruang-ruang ber-AC yang pintunya dibiarkan terbuka. Dan bahkan mungkin saja  di dalam kelas itu sedang dibicarakan isu pemanasan global. Sambil terkantuk-kantuk. Lalu, saat kuliah berakhir, tak perlu repot-repot untuk mematikan AC dan lampu. Kan bukan gue yang mbayar. Lagi-lagi meninggalkan kelas dengan pintu terbuka.

Di kos-kosan pun sama. Mandi jebar-jebur seenaknya. Tak pernah mikir berapa jumlah air yang dihabiskan, yang penting puas. Padahal, jika mandi digunakan untuk memperoleh kesegaran, yang artinya biar terjadi transfer panas antara tubuh dengan air, maka seharusnya pelan saja. Diguyur perlahan, tak perlu menghabiskan banyak air. Bukannya transfer panas akan efektif jika aliran fluida pendinginnya lambat. Orang-orang kuliahan pasti tahu itu semua, apalagi jurusan saya.

Saya geleng-geleng sendiri kalau pas memikirkan ini. Tak banyak ternyata  ilmu kita yang berbuah amal.

 

 

 

Tuesday, May 20, 2008

Merenung (Lagi)

Apa yang telah terjadi sampai saat ini? Pertanyaan itu kembali mengusik pikiran saya hari ini. Apa yang telah saya lakukan? Sampai seumuran ini. Ah, waktu. Hari-hari belakangan ini saya banyak sekali teringatkan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Entah mengapa, seminggu, atau dua mingguan ke belakang, bahkan sampai hari ini banyak sekali peristiwa-peristiwa yang mengingatkan saya kembali bahwa saya sudah tidak muda lagi. Telah banyak waktu kehidupan yang sudah saya jalani dan otomatis semakin menipis pula waktu untuk hidup ke depan. Dan apa yang telah saya goreskan dalam waktu yang telah terlampaui itu?

Mengingat ini maka sekali lagi saya harus menekukkan wajah. Usia yang tak lagi muda dan tak banyak keberartian yang tertunaikan membuat mata ini ingin sekali berkaca.

Jum’at kemarin, waktu menjadi salah satu pemain dalam partai final sepak bola chemical games saya menyadari bahwa fisik saya semakin drop dan parahnya tak banyak hal berati yang telah saya lakukan untuk mengatasi itu. Allah menginginkan muslim yang kuat. Tapi diri ini? Ah sudah berapa lama saya tak olah raga pagi hari. Lebih suka malas-malasan di kamar. Berdalih ke diri sendiri ingin menyelesaikan bacaan yang tertunda, tapi akhirnya tak tahan juga saat mata mulai berat. Uigh.

Dua mingguan belakangan ini, saya juga tersadarkan atas berapa lama waktu yang telah saya lewati di dunia saya yang sekarang. Ketika membaca nama-nama mahasiswa baru yang diterima lewat jalur PMDK, saya baru sadar kembali kalau sudah hampir empat tahun saya berada di dunia perkampusan. Dan apa yang telah saya lakukan dalam waktu selama itu? Maka pertanyaan itu mau tak mau memaksa memori saya memutar ulang perjuangan empat tahun kemarin. Apa dulu cita-cita saya? Idealisme saya, keinginan-keinginan? Mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Adakah itu masih lekat dalam jiwa saya sampai sekarang? Dulu, ketika saya baru pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, ada sebuah janji dalam diri saya kala itu : tak semua orang bisa merasakan apa yang akan saya rasakan, tak semua orang mungkin bisa  merasakan perjuangan saya mencapai ini, tetes-tetes do’a itu, keajaiban-keajaiban itu....ah tidak boleh  tidak, harus ada keberartian dari ini semua, harus ada manfaat yang saya berikan bagi orang-orang di sekeliling saya, penduduk desa saya..., harus ada yang tercerahkan. Kini, sudahkah tertunaikan itu semua? Apakah hanya berwujud kebanggan memakai jaket jurusan berlogo Institut Teknologi Sepuluh Nopember tiap kali pulang kampung? Ah sungguh tak tahu diri sekali diri ini. Sudahkah keinginan untuk membangun perpustakaan di desa itu mulai dirintis?

Lalu beberapa hari yang lalu, saya juga teringatkan atas waktu yang berjalan begitu deras meninggalkan diri ini yang terjungkal-jungkal di belakang. Forum Akbar KINI. Forum pertanggungjawaban pengurus KINI untuk masa kepengurusan setahun. Sudah setahun ternyata, sepertinya baru kemarin saja saya mempertanggungjawabkan apa yang telah saya (tentunya juga kami) sebagai ketua departemen. Dan kemarin, tepatnya sabtu kemarin, saya sudah harus mempertanggungjawabkan amanah saya yang baru itu, sebagai Panitia Mentoring Jurusan. Ah berat sekali apabila harus membicarakan ini, berat karena di tangan sayalah sedikit banyak apakah kegiatan mentoring jurusan bisa terselenggara dengan sukses. Ampuni hamba Ya ALLAH, jika amanah itu tak teroptimalkan.

Dan kini, saya terduduk di depan komputer menuliskan ini semua sembari menunggu jadwal poster paper skripsi saya, salah satu bagian dari usaha menuju dunia yang sebenarnya. Tak terasa saat itu semakin dekat. Dua bulan lagi, di pertengahan juli, saya (dan partner saya tentunya) sudah harus seminar skripsi, selanjutnya sidang pra desain pabrik. Selanjutnya....... Dunia baru itu benar-benar telah di depan mata.

Sungguh beruntung orang-orang yang merasa teringatkan setiap saat. Sungguh beruntung orang yang merasa teringatkan tiap kali menatap matahari tenggelam, atas waktu yang terlalui sehari. Sungguh beruntungnya kita, jika setiap saat , lewat  kejadian-kejadian yang lalu lalang di depan kita, selalu tersadarkan  atas hakekat diri kita. Atas kesia-siaan yang terbentang di belakang. Lalu kita menatap bangkit. Menatap lurus ke depan: ada banyak kemanfaatan yang harus digapai.

Bimbing kami selalu, Allah.

 

*kutulis setelah membaca sebuah postingan di mp yang membuatku tersentak : apa yang telah saya lakukan?*

 

Lab biomass

21 mei 2008

Wednesday, May 14, 2008

Renungan Petang (Tiga Tahun Berdirinya K-44)

Bismillah

Ini bukanlah sebuah hal yang luar biasa mungkin bagi siapa saja yang membacanya, tapi ijinkanlah saya menuliskan apa yang berkecamuk dalam dada.

(senandung lagu Queen, we are the champion we are the champion, membahana dalam perasaan saya. Sore itu)

*Setting : lapangan basket Tekkim, sore hari, saat terjadi pagelaran final voli putra Chemical Games antara angkatan 2004 melawan 2007*

Bahwa kemenangan, atau mungkin juga kekalahan , akan bisa mempersatukan, itu saya buktikan kemarin. Tak seperti biasanya, janggal sekali, sore itu, suara kita redam.  Siapapun tahu kalau kita, 2004, adalah angkatan teramai. Tak ada yang mampu menyamai gemuruhnya teriakan kita. Tawa kita. Tapi sore itu, yel-yel dukungan kepada tim kita yang bertanding menjadi tenggelam. Bukan karena tak banyak lagi dari kita yang mendukung teman-temannya sendiri berjuang di lapangan, tapi justru karena lawan kita adalah mahasiswa baru yang masih bertenaga, bersemangat. Kita kalah banyak sore itu. Dan parahnya, kita menjadi musuh bersama. Jika ketika point untuk angkatan 2004 hanya kita saja yang berteriak kencang, maka ketika point untuk angkatan 2007, bergemuruhlah sorak-sorai semua warga. Kecuali kita.

Tapi pengalaman, kematangan, dan kerja keras akan lebih sering menentukan akhir dari semuanya. Kawan! Sore itu, aku bangga sekali menjadi bagian dari kalian. Saat kita menjadi yang sedikit, saat permulaan begitu sulit, kita mampu keluar dari semuanya. Dan terbukti kawan, kitalah yang pada akhirnya berteriak paling akhir. Disaksikan petang, dan bertepatan dengan hari jadi angkatan kita yang ketiga, kita menggenapkan capaian itu. akhirnya juara Voli itu kita rengkuh untuk kali keempat berturut-turut. Ketika sebuah jumping serve Angga P yang tak mampu dikembalikan dengan sempurna menggenapakan perolehan angka kita menjadi 25.

Maka apalagi yang bisa disampaikan kata. Petang itu, kita teriak. Kitapun bernyanyi lagu ulang tahun. Kita bernyanyi lagu kita dulu. Ah bangga sekali kita menyanyikan lagu konyol CSD empat tahun lalu itu. Kitapun tak malu, itu kita lakukan diantara tatap mata adik-adik angkatan kita yang menyelidik heran. Perasaan kita membuncah kawan.

Entah sudah berapa lama kita tak semenyatu kemarin. Ya , sudah sangat lama sekali kawan. Bau anyir laboratorium telah melunturkan memori kita akan keluguan-keluguan masa CSD, perjuangan menuju kulap, masa-masa berat  SE. Saat pertemuan kita telah berganti dari ruang-ruang kelas menjadi diskusi-diskusi di milist, kita akhirnya sadar, bahwa tak hanya fisik-fisik kita saja yang mulai saling berjauhan. Ternyata, itu mulai merenggangkan tautan hati di antara kita. Kita mulai hanya berkutat dalam bilik-bilik sempit laboratorium masing-masing.

Tapi, pernyataan itu akhirnya kita mentahkan sore kemarin . Kita utuh kawan! Kita satu bagian lengkap yang saat satu tersakiti maka yang lain merasakan ngilu yang sama. Saat wasit kemarin ”mencurangi” kita, kita kompak teriak meminta wasit diganti. Mungkin ada yang emosi, marah-marah, teriak-teriak. Tapi ada juga yang legowo, menenangkan yang lain, mencoba bijak. Bukankah seperti itu hakekat sebuah kesatuan . Saling melengkapi.

Semoga itu bukan temporal kawan! Semoga saja tidak kemarin saja kita sewarna. Kuning, kuning semua memenuhi lapangan. Semoga perjuangan sejak mulai CSD, camp, beratnya praktikum semester dua, kulap, kenangan-kenangan sewaktu SE, dan tentu saja kemenangan empat kali berturut-turut itu akan selalu merekatkan kita satu sama lain, atas nama kenangan. Dan hati-hati kita kawan, akan harus terus berpadu, berjajar mengukir negeri.

 

*kupersembahkan untuk teman-temanku, saudara-saudaraku, seluruh elemen K-44: kita belum bubar kawan! Kita masih akan terus melangkah bersama*

 

 

Saturday, May 10, 2008

Tujuh Jam Bersama Mbak HTR

            Workshop kepenulisan bersama mbak Helvy Tiana Rosa. Begitulah mungkin bunyi sebuah pengumuman yang terbaca oleh saya ketika saya melintasi sebuah papan pengumuman yang penuh tempelan. Seingat saya saat itu hanya ada tanggal saja tanpa menyebutkan yang lain-lain. Tempelannyapun terkesan sederhana dan kalah ngejreng dengan tempelan disampingnya. Mungkin sebuah pengumuman pemanasan, terlihat karena waktu pelaksanaan yang memang masih lama.

Seketika itu saya langsung tertarik. Amat jarang sekali seorang penulis terkenal sekaliber mbak Helvy datang ke kampus saya. Dan memang jarang pula acara semacam workshop kepenulisan seperti ini dilaksanakan di kampus teknik seperti kampus saya. Acara-acara yang dihelat lebih ke acara-acara ilmiah atau pelatihan pengembangan diri yang sayangnya kurang saya minati (*ini salah satu keburukan saya*).

           Dan hari berganti minggu sampai akhirnya saya menemukan pengumuman kelanjutan dari yang dulu. Sebuah tempelan full color yang jauh lebih menarik daripada termpelan yang dulu. Workshop kepenulisan “kreatif menulis buku” bersama Helvy Tiana Rosa. Berbagai prestasi mbak Helvy dipapaprkan dalam pengumuman itu. Hal yang tidak terlalu baru buat saya, mengingat sudah terlalu sering hal itu saya baca di buku-buku, juga di internet. Hal yang cukup mengagetkan adalah biaya yang harus saya keluarkan untuk mengikuti acara itu. Disana tertulis jelas Rp 50.000. Bukan karena saya merasa nominal itu terlalu mahal untuk mengikuti sebuah acara workshop bersama Helvy Tiana Rosa. Sama sekali tidak. Hanya saja untuk saat itu nominal itu amat cukup besar untuk langsung saya habiskan dalam satu hari. Insting mahasiswa saya berhitung. Meskipun sedikit demi sedikit saya mulai cari uang sendiri tapi tetap saja saya masih mendapat kiriman dari kakak-kakak saya. Dan amat tidak tahu diri sekali saya kalau harus menghabiskan jatah makan berhari-hari itu hanya untuk memenuhi keinginan pribadi saya, di luar kebutuhan pokok. Acara tertulis tanggal 10 mei 2008.

           Bahkan hingga malam harinya, tanggal 9 mei, saya belum memutuskan apakah saya bakal ikut apa tidak acara tersebut. Saya ingin ikut tapi bagian lain dari diri saya berkata jangan. Saya sama sekali  tidak khawatir akan kehabisan tempat kalau seandainya saya ikut mengingat acara semacam ini amat jarang diminati oleh mahasiswa di kampus saya. Lama sekali pergulatan keinginan itu memenuhi kepala saya. Bingung. Hingga kemudian saya SMS salah satu adik angkatan saya yang kemungkinan menjadi panitia acara tersebut. Saya tahu ia aktif di organisasi penyelenggara acara workshop itu. Isinya hanya ingin tahu lebih banyak tentang acara workshop tersebut dan apa mbak Helvy saja pembicaranya. SMS balasan baru saya dapat beberapa jam berikutnya. Ia menjwab kalau memang mbak Helvy saja yang mengisi acara tersebut. Di akhir SMS ia meminta saya untuk ikut acara tersebut mengingat  pesertanya yang masih sedikit. Saya kemudian SMS lebih lanjut bertanya fasilitas apa saja yang bakal saya dapat jika seandainya ikut. Lama lama saya tunggu tapi kali ini SMS saya tidak berbalas. Sayapun belum memutuskan apa-apa malam itu.

           Baru pagi harinyalah SMS saya dibalas. Pukul enam pagian, dua jam menuju acara tersebut. Ia meminta maaf karena sewaktu saya mengirim SMS saat itu ia sudah tertidur. Dalam SMSnya ia menjelaskan berbagai fasilitas yang bakal saya dapatkan, yang  sudah sangat setandar untuk sebuah penelitian. Ia meyakinkan saya sekali lagi untuk ikut, ada nada pengharapan yang saya tangkap dalamkalimat dalam SMSnya. Saya kemudian menyanggupinya dengan sebuah kata InsyaAllah sambil iseng-iseng bertanya apakah tiketnya 50.000. Dan jawaban dari SMS tersebut benar-benar membahagikan saya : tidak, sekarang sudah turun jadi 30.000, asyik banget kan. Saya pun mantap ikut workshop tersebut.

           Saya kemudian tiba di tempat pelaksanaan acara tersebut sekitar jam delapan lewat. Artinya saya terlambat. Tapi seperti biasa acara belum dimulai. Saya menyesal mengapa tidak sarapan saja dulu. Jika mag saya kambuh di tengah acara maka ini akan sangat mengnganggu sekali. Untung kemudian di meja pendaftaran terlihat tumpukan kotak kue, artinya para peserta akan langsung mendapatkan kotakan plus air mineral. Isinya donat, lumayanlah buat mengganjal perut sementara.

           Seperti yang diungkapakan adik angkatan saya semalam, memang peserta acara workshop ini hanya sedikit. Di meja pendaftaran sewaktu saya daftar baru tertulis 20-an orang. Saya menduga itu tidak akan bertambah dengan jumlah yang cukup signifikan. Wajah-wajah panitia terlihat mendung terbayang ketidakberhasilan acara ini.

           Dan benar saja, peserta tidak banyak bertambah, hanya panitia saja yang banyak. Bahkan hingga mbak Helvy datang. Saya tercenung sejenak membayangkan orang yang sebelumnya tindak tanduknya hanya bisa saya baca lewat tulisan-tulisan ternyata sekarang berdiri di depan saya dan akan sangat mungkin nantinya  memanggil nama saya. Setelah Salim A Fillah, Sirikit Syah, Shofwan Al Bana, Hernowo, dan Andrea hirata, akhirnya sekali lagi saya bisa bertemu langsung  dengan penulis. Tak tanggung-tanggung, kali ini penulis itu adalah Helvy Tiana Rosa, penulis yang katanya baru saja meluncurkan buku ke-45-nya.

           Acarapun dimulai. Ah baru saya sadari sama sekali tidak rugi saya ikut acara ini. Baru pertama kali mbak Helvy berkata-kata, itu sudah cukup kuat menyengat naluri menulis saya yang belakangan ini tumpul digerus rutinitas tugas akhir. Semangat saya naik. Asa saya membumbung. Kalimat “saya bisa menjadi penulis” kembali memenuhi ruang kepala saya.

           Sebenarnya materi yang disampaikan mbak Helvy sudah sangat sering saya baca dari buku-buku kepenulisan yang saya beli ataupun dari artikel-artikel cara menulis yang berserak di internet. Tapi akan sangat berbeda jika disampaikan secara langsung oleh orang yang benar-benar menginspirasi. Saya seperti menemukan pengetahuan baru di sana. Energi baru seperti terserap begitu juga. Dan ini yang saya butuhkan.

           Acara baru berakhir sekitar setengah empat sore. Di akhir acara itulah, sesuatu yang sedikit membanggakan terjadi. Saya terpilih menjadi salah satu peserta workshop terbaik (ini mungkin karena pesetanya sedikit jadi kesempatan semakin besar). Dasar pemilihannya dari tiga kali simulasi yang diadakan mbak Helvy. Kebetulan saya dapat penilaian lumayan bagus. Simulasi pertama disuruh membuat judul cerpen yang menarik, simulasi kedua menulis paragraph penutup untuk sebuah cerita dongeng. Tapi endingnya harus diubah. Sedangkan simulasi ketiga lagi-lagi membuat judul, tapi kali ini untuk tulisan semacam chicken soup. Hadiah untuk peserta terbaik itu pasti sudah dapat diduga. Ya, sebuah buku. Buku yang special dibawa oleh mbak Helvy. Dan Alhamdulillah saya dapat buku terbarunya, Bukavu. Maka  kalau mau otung-itungan  materi, impaslah uang 30.000 yang saya keluarkan di awal acara ini.

            Jam empat kurang seperempat, saya keluar dari ruangan itu. Tak banyak yang saya bawa keluar yang berbeda dari yang saya bawa masuk tadi. Tapi satu yang pasti, ada perubahan drastis dalam pikiran ini. Bahwa saya harus terus menulis. Seperti sebuah pesan dari buku yang ditandatangani mbak Helvy : to Iqbal, nulis yuk. Ah semoga mbak, semoga jemari ini masih kuat mencatatkan kebenaran. Amien.

 

 

 

Saturday, May 3, 2008

Naik Turun

Kondisi manusia akan terus berdinamika, akan terus bergerak dalam kurva mulus yang berlekuk-lekuk, naik turun, berfluktuasi dengan kisaran yang amat mungkin lebar. Kadang di atas, begitu bersemangatnya. Kadang di bawah, inilah masa-masa berat. Tapi tak jarang pula datar-datar saja, tak jelas, semacam titik stasioner dalam suatu kurva polinomoal.

            Aktivitas yang sama, keadaan yang sama, malam yang sama, pertemuan-pertemuan yang sama, diri yang sama, tenaga yang sama, suhu ruangan yang sama, langkah-langkah yang seperti kemarin, tapi akan selalu menghasilkan gairah-gairah yang berbeda. Di kala waktu kita begitu powerfull, meluap-luap, di lain waktu mengalir begitu saja laksana aliran air yang tenang. Atau, akan sangat mungkin merutuki keadaan itu, mengapa kita mesti melakukan itu semua. Ya itulah hidup, bahkan untuk hal-hal yang sangat remeh itu kita bisa berbeda.

            Mengapa kita bisa sampai tersedu-sedu dalam suatu sujud malam-malam kita, namun tak jarang pula kita merutuki imam sholat yang teramat panjang bacaan suratnya. Mengapa kita kadang teramat ingin menangis menyesali segala kebrobokan diri, namun sejam kemudian kita sudah terbuai lagi oleh kebobrokan itu.

            Ya Allah, hamba ingin terus dalam puncak kurva itu. Merasa cukup dengan apa yang Kau beri, merasa damai dengan apa yang kami dapat, merasa tentram dengan segala pengaturanMu. Bukan, bukan karena hamba ingin stagnan dalam kondisi itu, tapi disanalah hamba ingin bertolak, dalam hati yang nyaman, bersyukur atas segalanya. Maka ijnkanlah ya Allah, langkah ini lebih panjang dari biasanya. Dalam barisan yang rapat, dalam hati yang tunduk, dalam pikiran yang bersih. Dan kemudian, hanya Engkaulah muara dari segalanya.

Friday, May 2, 2008

Semalam Bersama Angkot

Lagi-lagi tulisan lama. Sindrome poster paper skripsi benar-benar ampuh membuat saya futur dari kegiatan tulis menulis. Bahkan buku yang telah lama saya belipun belum kelar-kelar saya baca.

Maka daripada stres sendiri mendingan saya posting ini:

Tulisan ini saya buat sekitar awal-awal januari kemarin.Beginilah isinya:

Ngomong-ngomong semalam ada pengalaman menarik. Saat itu sudah menunjukkan jam delapan malam, posisi saya saat itu sedang berada di terminal Bratang. Tahu kan, terminal Bratang adalah sebuah terminal kecil penghubung ITS Keputih dengan terminal Bungur asih. Jadi kalau ada seseorang dari ITS yang Keputih mau ke Bungurasih pasti  via terminal bratang ini (*kepastian ini hanya untuk yang naik angkutan umum loh, lain lagi kalau naik motor atau mobil pribadi. Ya terserah dia mau lewat mana*). Nah waktu itu saya mau ke Keputih , dan satu-satunya angkot yang menuju sana itu cuma satu, yang simbol “S”, itupun harus jeli-jeli karena ada dua angkot yang memakai symbol “S”. Saya sering tertipu masalah ini. Dari sinilah kejanggalan pertama terungkap: Kenapa sampai ada dua angkot dengan symbol yang sama, seperti tidak ada huruf lain saja.

Masalahnya (bagi yang pernah naik lyn S dari Bratang pasti tahu) angkot kita yang satu ini mau berangkat kalau penumpangnya sudah penuh, sekitar 7+4+2+1, ya 14. Lah.., waktu itu kan sudah cukup malam untuk sebuah angkot beroperasi, ndilalah penumpang yang sudah di dapat angkot itu cuma seorang yang sedang duduk di depan plus dua orang yang masih berdiri di depan pintu. Saya masuk, jadi empat, disusul seorang lagi yang duduk di sebelah saya. Jadinya berapa? Yup lima. Masih kurang sembilan untuk menuju 14. Pikiran saya sudah mengembara kemana kiranya mencari sembiilan ksatria yang mau menggenapi  isi angkot di malam dingin habis diterpa hujan lebat ini.

Merasa bahwa ini akan lama, saya keluar dulu untuk membeli buah pada tukang yang kebetulan mangkal tak jauh dari situ. Hal ini ternyata disusul oleh orang yang sedang duduk di sebelah saya. Dari sini saya memperoleh kesimpulan pertama : ternyata kita orang yang paling suka tiru-tiru bahkan untuk hal yang remeh temeh seperti ini.

Saya naik lagi, orang yang duduk di sebelah saya tadi juga naik. Terus seperti sebuah sinetron, akhirnya kita kenalan. Coba tebak apa kalimat pembuka untuk mengawali perkenalan ini. Tanya jam berapa, menawarkan permen, atau pura-pura menginjak kakinya (*wah jadi ingat cerpen “putri” yang saya buat*). Ups bukan itu, caranya cuma sederhana kok : turun mana?. Perbincangan pun mengalir sendiri.

Satu orang penumpang bapak-bapak masuk. Jadi kini kami berenam.

Bus yang dari Bungurasih datang. Kami berenam, para penumpang, sumringah. Kukira para penumpang sedang menggumamkan sesuatu di hatinya masing-masing: Berangkat… berangakat!!. (*Nyambung nggak, kalau nggak nyambung coba dipikir sendiri saja ya. Kalau nggak mau mikir ya dibaca kelanjuatannya saja pasti ngerti sendiri*.)

Ternyata ujian bagi kami kelima penumpang plus satu penumpang baru tadi belum selesai. Penumpang yang turun dari bus dan berpindah ke angkot yang sedang kita tumpangi cuma ada empat, artinya sekarang penumpangnya berjumlah sepuluh (*perasaan dari tadi main tambah-tambahan saja ya*). Saya berpikir keras, dari mana mendapat tambahan empat orang lagi. Kami semua terdiam , was-was dengan keadaan ini. Sopir belum mau memberangkatkan angkotnya. Semenit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, akhirnya dua orang yang kelihatan sepasang suami istri atau baru pacaran, yang baru saja naik tadi, memutuskan keluar dan berjalan ke timur entah kemana. Tak tahan. Saya dan beberapa penumpang berpandangan, saling bertanya lewat pandangan itu : darimana lagi kita dapat tambahan penumpang

Semenit lagi lewat, dua menit, dan lima menit pun juga lewat, lalu seorang penumpang yang juga baru masuk tadi terlihat menelepon. Jelas kami mendengar percakapannya, dan jelas pula kami memahami maksud percakapannya itu. Ya , benar sekali, ia minta di jemput. Ia pun keluar. Kami, para penumpang yang sudah lumutan cuma bisa tersenyum kecut. Kayaknya kita menunggu subuh untuk berangkat.

Parahnya lagi, kesimpulan saya yang pertama tadi berlaku juga. Melihat ada yang memutuskan turun, penumpang terakhir yang tersisa dari “penumpang baru” tadi memutuskan turun juga dan pergi enatah keman. Pertanyaan saya yang pertama : jika anda sebagai para penumpang baru tadi apa yang anda lakukan mengahadapi situasi semacam ini.

1.      Tetap menunggu bersama penumpang yang lain, berpikir kalau seandainya saya turun maka perlu waktu yang lebih lama lagi untuk angkot ini berjalan, kasihan para penumpang yang telah menunggu lebih lama dari saya.

2.      Turun saja, minta dijemput, memang gue pikiran angkot ini berangkat lama atau tidak. Persoalan penumpang yang sudah lama menunggu ya salah sendiri nggak punya teman yang bisa menjemput.

3.      Menunggu pasrah nggak punya pikiran macam-macam.

 

Lima menit, sepuluh menit kembali berlalu, akhirnya datang bus kota lagi. Kami sudah berharap banyak, kelihatannya isinya juga penuh, artinya harapan untuk penumpang yang berpindah dari bus kota itu ke angkot yang kita tumpangi cukup banyak juga besar. Kami sudah bersiap, duduk dalam posisi siap berangkat. Kami menunggu, tapi amboi, hanya seorang pak tua saja yang masuk ke angkot kami dari banyak penumpang di bus kota itu. Kami mulai frustasi (atau saya saja yang frustasi), marah dengan keadaan ini. Kesimpulan kedua saya dapat : beginilah potret masyarakat kita, segala hal tidak memperhitungkan waktu, tak pernah pak sopir memasukkan variable waktu dalam fungsi pemberangkatan angkotnya.

Ups, kami semua putus asa. Kurasa semuanya sedang berdo’a memohon keajaiban. Tiba-tiba makelar penumpang menghampiri kami, menawarkan sebuah win-win solution. Begini katanya : “wah, sudah dua bis, tapi nggak penuh-penuh juga. Gimana kalau lima ribuan perorang, langsung berangkat. Sama-sama enak, sampean enak, sopir juga nggak rugi”. Kontan saja semua penumpang menggerutu, ini sih bukan win-win solution, naik sih naik tapi ya jangan sampai 100 % dong. Tadi sudah dapat 10 penumpang dicuekin.

Negosiasi gagal.

Menit-menit kembali berlalu.

Makelar kembali menghampiri kami. Nampaknya ia adalah juru runding yang dikirim si sopir. Kalau dalam masa tunggu begini memang sopir jarang nongol di depan penumpang, takut didesak untuk segera berangkat mungkin. Ia kembali menawarkan hal yang sama dengan tadi, tapi sekarang turun : jadi empat ribuan. Saya jadi berhitung-hitung : jika empat ribu itu dikalikan dengan jumlah penumpang yang ada berarti menghasilkan nilai 24000, artinya masih lebih rendah dari uang yang diperoleh seandainya si sopir memberangkatkan sepuluh penumpang yang sudah ia dapat tadi dengan tarif  normal, 2500.

Penumpang menawarkan jalan tengah, tiga ribu saja. Makelar nampaknya kurang sepakat.

Negosiasi gagal lagi.

Harapan semakin menipis dan beberapa penumpang sudah memulai memperbincangkan alternative naik becak (*saya juga heran darimana mereka dapat ide gila itu, ongkosnya kan pasti jauh lebih mahal dibanding jika seandainya mereka menerima tawaran makelar tadi*) . Tak ada yang bisa dilakukan, untuk menggunakan waktu dengan membaca rasanya tidak mungkin, selain karena lampunya yang cuma remang-remang yang kalau memaksakan diri justru dapat merusak mata, membaca dalam suasana gelisah seperti ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali bacaan yang terbaca saja tanpa ada yang terserap, mirip makan junk food.

Dan

Mungkin anda pernah mendapatkan kata-kata semacam ini : ketika harapan sudah semakin menipis dan hampir sudah tidak ada harapan , maka disitulah seringkali sebuah titik cerah atau keajaiban lahir. Ya, tidak dinyana-nyana, dari arah yang tak terduga, tiba-tiba ada serombongan ikhwan akhwat berjumlah tujuh orang menghampiri makelar, menanyakan sesuatu, kelihatannya bukan orang Surabaya. Harapan kami meninggi, dan…..oh Gusti!!mereka naik angkot yang kami tumpangi.

Sungguh akan sangat sulit sekali menggambarkan kebahagiaan yang melingkupi saya dan para penumpang lain mungkin. Ternyata suatu kebahagiaan membuncah kadang-kadang justru datang dari hal-hal kecil semacam ini, dari hal remeh temeh yang seringkali tak terbayangkan oleh kita. Kita mungkin terlalu sibuk mencari kebahagiaan dengan hal-hal besar, yang fantastis, atau bahkan yang wah. Padahal di sekitar kita banyak sebenarnya sumber-sumber kebahagiaan yang berpotensi menentramkan hati kita.

Maka akhirnya angkotpun melaju, membawa hati-hati yang diliputi rindu suasana rumah. Kurasa kami sedang bersorak tanpa suara.

 

Ketinggalan Kereta

Ini sebenarnya tulisan lama, dari blog lama yang tidak lagi dipakai. Karena pembahasannya yang cukup relevan dengan saya yang sekarang sedang berburu dengan waktu menuju poster paper skripsi, ya sekalian saja saya salin ke multiply saya yang ini.

***

Ada yang pernah mengatakan :

Jika kau ingin tahu arti satu tahun, tanyakan pada seorang anak yang tinggal kelas.

Jika kau ingin tahu arti satu bulan, tanyakan pada seorang ibu yang melahirkan premature.

Jika kau ingin tahu arti satu minggu, tanyakan pada seorang redaktur tabloid mingguan.

Jika kau ingin tahu arti satu hari, tanyakan pada seorang redaktur surat kabar harian.

Jika kau ingin tahu arti  satu jam, tanyakan pada… (lupa?)

Jika kau ingin tahu arti satu menit, tanyakan pada seorang penumpang yang ketinggalan kereta.

Jika kau ingin tahu arti satu detik, tanyakan pada seorang yang baru saja terhindar dari kecelakaan maut.

Dan jika kau ingin tahu arti satu mili detik, tanyakan pada peraih medali emas lari 100 meter olimpiade.

Selama ini kata-kata itu hanya menjadi kata-kata mutiara saja bagi saya, karena memang saya belum pernah menjadi seseorang yang ada di atas. Saya tak pernah tinggal kelas, bukan pula seorang redaktur, atau sprinter, apalagi seorang ibu yang berpeluang melahirkan premature. Jadi, artinya kata-kata itu belum terjiwai benar dalam diri saya. Baru kemarin saja saya akhirnya benar-benar menyepakati dalam-dalam kalimat itu, terutama yang nomor enam.

Ceritanya begini, akhir pekan kemarin saya menghabiskan liburan selama tiga hari di rumah. Inilah kali pertama saya liburan di rumah setelah hampir tiga bulan melanglang buana di perkuliahan. Terakhir kali saya bisa menikmati indahnya tidur malam di rumah adalah pas lebaran dulu. Saya sampai pasuruan sekitar jam sebelasan siang, hari kamis. Seperti kebiasaan saya sebelum-sebelumnya saya balik ke surabayanya adalah hari ahad setelah sholat dhuhur. Saya akan naik kereta yang jam setengah dua-an dari stasiun bangil.

 Entah mengapa siang itu saya nggak mau terburu-buru, padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah satu (*perlu dicatat  : waktu tempuh dari rumah saya ke stasiun bangil sekitar satu jam, harus naik colt dan bus*). Mungkin saya trauma karena sepanjang saya naik kereta dari stasiun bangil ini belum pernah sekalipun yang namanya kereta penataran ini tepat waktu, yang ada bahkan sampai telat jam empat (*beneran lo, ini bahkan menginspirasi salah satu cerpen saya*).

Maka saya ringan saja berangkatnya, nggak takut terlambat. Pun ketika saya turun dari bus dan melangkah ke stasiun, enjoy-enjoy saja dan tak mencoba mempercepat langkah. Melangkah beberapa meter saya melihat di sebuah warung, jam masih menunjukkan pukul 13.35, ah masih lama, pikir saya (*dasar pemikirannya adalah keretanya pasti telat*). Saya tenang-tenang saja. Baru ketika mendekati pintu stasiun saya melihat banyak penumpang yang menyembul keluar, pasti ada kereta yang baru berhenti. Kereta apa?, pikir saya. Saya baru bergegas. Terlihat ada kereta warna kuning yang berhenti, dan siap berangkat. Pikiran saya tak enak. Saya pun bertanya pada petugas karcis apakah itu kereta penataran jurusan Surabaya. Petugas karcis mengiyakan. Saya gelagapan. Shock. Terburu-buru memesan karcis. Petugas karcisnyapun tak kalah terburu-buru. Uang empat ribu saya serahkan, karcis diberikan, tak perlu kembalian. Saya berlari. Tapi, ah…..betapa berharganya waktu satu menit. Kereta telah melaju. Tiba-tiba semua persendian saya lemas. Saya terpaku. Menatap tak percaya pada kereta yang melaju. Berjuta perasaan memenuhi dada. Tidak seperti bus, kereta tak bisa berhenti untuk menunggu penumpang yang ketingggalan.

Saya kembali ke petugas karcis. Mengembalikan karcis (*karena nggak mungkin kan saya menunggu kereta selanjutnya yang jam setengah delapan*). Petugas karcispun maklum dan memberikan uang empat ribu saya tadi. Saya masih tak percaya dengan apa yang terjadi, hanya beberapa menit mampu membuat suatu perbedaan yang nyata : tertinggal dan melaju. Dan saya berada di pihak yang tertinggal. Menyakitkan, saya dikalahkan waktu.

Saya mendongak ke jam dinding besar stasiun : jam 13.38. Beralih ke papan pengumuman jadwal keberangkatan. Menemukan jadwal keberangkatan kereta penataran jurusan Surabaya : jam 13.37. Saya tambah shock.

Akhirnya saya melangkah keluar stasiun dan kembali ke halte bus. Ke Surabaya naik bus lagi.

Dari kejadian ini mungkin ada baiknya saya mengikuti kebiasaan seorang teman yang nelpon dulu ke stasiun sebelum berangkat untuk menanyakan apakah keretanya telat atau tidak.

(*mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa saya kok naik kereta, tidak sekalian naik bus saja , jadi nggak perlu sering gonta-ganti angkutan. Inilah alasannya:

1.      Lebih irit, kalau naik kereta saya bisa lebih irit tiga ribu sampai tiga setengah (*tahulah mahasiswa, kan lumayan bisa buat makan sekali*)

2.      Suasana stasiun yang gimana gitu. Ini mungkin yang terlihat aneh, saya menikmati betul momen menunggu di stasiun. Mengasyikkan kalau boleh dibilang. Menginspirasi. Saya sering mendapat inspirasi membuat cerpen dari stasiun ini

3.      Kebalikan dengan yang nomor tiga, dengan naik kereta saya nggak perlu melalui terminal bungur lagi. Ruwet, bising. Dan tentu saja tak perlu bertemu para pencari penumpang yang seenaknya sendiri main gaet dan main pegang (*apalagi kalau penumpangnya cewek*), bikin hati panas

4.      Kayaknya lebih merakyat (*bukan bermaksud sok lo*)

*)