Thursday, September 25, 2008

K-E-P-E-R-G-I-A-N (catatan detik-detik terakhir seorang kawan)

            Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(Nisan, Chairil Anwar)

 

 

Suatu ketika, dalam sebuah ceramah terawih di masjid kampus UGM, menkominfo, Pak Nuh, pernah menyatakan bahwa semakin puncak kebutuhan seorang manusia maka semakin sedikit orang-orang yang bisa berpartisipasi untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. Dalam bahasa matematika, pernyataan ini dinyatakan  dengan saat dy/dx mendekati 0. Ada banyak sekali kebutuhan manusia, tak terhitung malah. Berbeda antara satu manusia dengan manusia lain. Kitapun kemudian sepertinya berlomba-lomba untuk mencoba memenuhi kebutuhan  itu. Dengan usaha kita sendiri, tapi yang lebih sering melalui bantuan orang lain. Dengan tanpa mengeluarkan sepeser uangpun, tapi tak jarang pula dengan mengorbankan tak terkira harta kita. Namun, pernahkah kita mencoba merenungi, apakah sebenarnya kebutuhan puncak kita itu. Makan? Kalau kita mengikuti pernyataan Pak Nuh diatas, rasa-rasanya tidak, teramat tidak malah. Banyak sekali orang-orang yang berperan untuk memenuhi kebutuhan kita itu; ada pak tani, ada si pembuat piring, kadang ibu yang telah memasakkan kita, terkadang pula pelayan restoran yang dengan ramah mengantarkan pesanan kita. Tidur? Lagi-lagi tidak. Bukankah banyak sekali yang berperan sampai kita bisa tidur dengan lelap. Saat itu, pak Nuh mengungkapkan, bahwa salah satu kebutuhan puncak kita itu adalah sakaratul maut. Bagaimana menjemput kematian dengan khusnul khotimah. Cobalah kita hitung, atau bayangkan, berapa kiranya orang yang mampu membimbing seorang yang mau meninggal dengan kalimat tauhid. Setelah itu, kita akan tahu sendiri jawabannya.

Kematian. Lagi-lagi kematian yang harus saya tulis. Apa mau dikata, memang inilah yang benar-benar terjadi. Memang inilah yang sedang mengaduk-aduk emosi saya kali ini. Benar-benar mengaduk. Hingga saat ini.

Kemarin, hari rabu, sekitar jam sepuluh pagi, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Isinya singkat, tepat, mengena. ”Bal bisa ke RS? Sekarang Ari buruk banget. Please”. Deg. Seketika saya merinding, terbengong sesaat. Berbagai macam pikiran berkelebat. Sudah sebulan lebih teman saya itu diopname di RS. Dengan hasil diagnosa penyakit yang gonta-ganti mulai dari amnesia plastis, leukimia, hingga MDS. Sudah berbagai macam SMS dan perbincangan mengenai dia selama ini. Sebelum-sebelumnya saya tak seperti ini.Tapi sms kali ini..sangat berbeda. Saya galau.  Kontrakan sepi, semua sudah berangkat ke kampus. Saya kemudian menghubungi seorang teman. Mengabarkan ini. Mengajaknya untuk ke RS. Tak bisa. Ia ada keperluan ke Dosen. Saya hubungi teman satunya. Tak bisa juga. Ada kuliah sebentar lagi. Teman saya yang ketiga kemudian saya hubungi. Alhamdulillah bisa.

Tapi kemudian ia tak kunjung datang menjemput saya. Hati ini sudah galau, tak sabar lagi. Entah apakah ini efek relativitas waktu atau tidak. Yang pasti menunggu kali itu terasa lama sekali. Saya coba menenangkan diri dengan membaca Al-qur’an. Tapi suara saya bergetar. Ya Allah...ada apa ini.

Alhamdulillah kemudian suara motor terdengar. Teman saya datang. Saya pun bergegas mengambil helm. Segera meluncur ke RS Dr Soetomo.

Baru saja keluar dari area ITS, teman saya SMS. ”Bal, bawa teman-teman yang banyak ke RS”. Ya Allah, ini pasti serius. SMS pendek seringkali dikirimkan oleh seseorang yang sudah tak tahu lagi harus menuliskan apa. Entah apa yang terpikirkan saya kala itu. Tak tahu sudah. Semuanya berebut memenuhi pikiran. Mata saya  mulai memanas.

Hanya tiga orang teman lelaki yang ada di luar ruangan ketika kami tiba di RS itu. Tak ada muka optimis sama sekali di wajah mereka. Saya bergegas masuk. Suasana sebenarnya sepi, sudah sedikit pasien yang diopname di ruangan lebar itu. Tapi seketika itu menjadi tidak. Ada badai yang mengguruh. Hanya ada bapak dan ibunya disana. Mengapit di kedua sisi. Ah saya tak mampu menatap, tak mampu lagi menatap ibu yang sudah sebulan lebih menjaga anaknya di RS ini. Ya Allah, matanya merah. Merah dan berair. Apa gerangan yang sedang berkecamuk di dadanya? Apa kiranya harapan yang mulai perlahan terhapus dari hatinya. Ah, siapakah orang yang tahan melihat seorang ibu yang menangis untuk anaknya.

Dan teman saya, Bustari, nampak tersengal kesulitan bernafas. Berbagai peralatan medis memenuhi hidungnya. Sang bapak, ya sang bapak yang terlihat pendiam di tiap kali kunjungan saya ke situ, nampak telaten membisikkan kalimat tauhid di telinga teman saya itu. Duhai, apakah yang kau bayangkan saat seseorang sudah membisikkan kalimat itu. Persis di dekat telinga. Dengan sura perlahan. Dengan suara yang dipenuhi sesenggukan. Dan di depanmu, penuh oleh pemandangan yang teramat menggetarkan. Seorang bapak yang dulu mungkin telah mengumandangkan adzan di hari pertama teman saya itu (dalam nuansa yang diliputi keharuan mungkin), hari ini....... membisikkan kalimat tauhid di telinga anaknya itu dengan nuansa berbeda.

Tapi kemudian saya mencoba mendekat. Menyentuh tangan kanannya. Pias. Dingin. Sudah teramat dekat mungkin. Kedua orang tuanya menoleh. Menggumamkan sesuatu. Tapi suaranya gentar. ”Perutnya kembung dan keras”. Saya raba perutnya. Benar. Kenapa jadi begini? Saya pegang kembali tangannya. Mencoba menggenggam. Mencoba berpartisipasi memenuhi kebutuhannya. (*saat itu, saat itulah Ya Allah. Hamba merasa begitu tak berdaya. Merasa kecil. Merasa hina. Apalah artinya kami. Betapa sombongnya kami,....yang baru saja ini, atau kemarin, atau seminggu yang lalu, atau setahun yang lalu, atau bahkan di setiap hari kami, kami melupakanMU*).

Saya lalu beringsut mundur. Mencoba mencari keterangan dari teman yang lebih dulu datang.

”Hati dan limpanya dipenuhi darah kotor. Itu darah kotornya sedang disedot lewat selang yang merah muda. Semakin banyak yang dikeluarkan semakin baik. Tekanan darahnya 90/60. Nadinya 40, padahal normalnya itu sekitar 16-25.”

Apa artinya itu? Tak banyak yang terpikirkan. Tapi kemudian yang terlihat para medis terlihat bergegas menghampiri. Menyuntikkan sesuatu. Mengambil sampel darah. Tiga sampai empat orang yang menangani. Bersamaan dengan itu ketua jurusan dan rombongan datang. Keadaan tak banyak berubah. Menit-menit berjalan mencekam. Aura murung menyelimuti.

Satu persatu kemudian teman-teman datang. SMS-SMS itu telah menyebar dengan cepat. Sementara keadaan kian memburuk. Mata-mata mulai memerah. Air mata mulai banyak merembes. Ya Allah!!! Dia teman kami. Bagaimanakah ini?

Dan tiba-tiba suara mengeras. Suara ibu teman saya itu. Tak jelas lagi yang dia ucapkan. Tangis telah mengaburkan semua. Teman saya itu mulai tak tersengal lagi. Tapi ini pertanda yang sangat buruk sekali. Dan tangis itu....amat memilukan mendengarnya, amat menyesakkan melihatnya. Bagaimanalah? Ia seorang ibu, seorang ibu yang telah melahirkannya, yang telah merawatnya dengan cinta, yang pastinya telah betapa merindunya tahun-tahun belakangan ini menanti bungsunya pulang membawa gelar ST. Dan hari ini.........

Lalu tangis itu pecah sempurna sudah. Innaa lillahi wa innaa ilayhi roji’un. Teman kami , saudara kami yang bersahaja, sie perijinan tangguh kami, pemain futsall kami yang selalu bersemangat, komting thermodinamika I kami, teman begadang mengerjakan laporan, koordinator latihan bulu tangkis kami, tempat kami ngutang beli pulsa, menghembuskan nafas terakhirnya. Di sepuluh hari ramadhan ini.

SMS duka bergerak cepat. Suara-suara bergetar mengabarkan berita. Berita cepat terkirim. Forward! Forward! SMS yang sama memenuhi inbox. Dihapus, datang lagi. Ah siapa lagi yang peduli pulsa. Semua dikabari. Entah sudah tahu atau belum, entah sudah mendengar atau tidak. Berita duka itu menyerbu.

Mata kamipun basah. Sakit. Tertunduk.

Ya Allah, sungguh! Di bulan ramadhan ini, seperti halnya berita itu yang deras menyerbu, maka begitupula deraskanlah ampunanMu. Atas mungkin kelalaian yang ia lakukan. Atas kesalahan yang ia perbuat. Bukankah ini adalah bulan penuh maghfiroh ya Allah? Bukankah ampunanmu deras menyerbu bumi? Jika toh, jika toh memang ia punya salah pada kami, kami ikhlas Ya Allah. Kami ikhlas. Mudahkanlah jalannya! Sama halnya ia dulu telah banyak memudahkan urusan kami.

Selamat jalan kawan! Sungguh, tekkim 2004 kehilangan salah satu komponen terbaiknya.

 

 

 

Monday, September 22, 2008

Catatan hidup, catatan mati

Bukan hal mengagetkan sebenarnya, bukan hal yang luar biasa memang, tapi entah mengapa, tiap kali itu tersampaikan, akan selalu sukses menimbulkan perasaan yang berbeda dalam diri. Kadang menggelora, kerap pula menyayat, atau mungkin sekedar menimbulkan perenungan dalam. Tergantung kronologisnya, tergantung pula individunya, bahkan juga tergantung timingnya.

 Cerita kematian. Ya, sadar ataupun tidak, informasi inilah yang lumayan kerap mengetuk-ngetuk gendang telinga saya tiap kali pulang. Lebih kerap hidup di kota orang dan lumayan jauh dari kampung halaman, mau tak mau akan membatasi akses saya terhadap informasi yang terjadi di kampung halaman. Info-info penting saja mungkin yang lumayan ter-update. Lewat SMS, lewat YM. Semacam dinamika keluarga, ataupun segala yang terjadi di tetangga-tetangga dekat. Dan cerita kematian ini, adalah catatan penting yang kerap terlewatkan untuk  tersampaikan.

Lalu pada akhirnya kemarin, saat saya pertama kali menikmati momen ramadhan bersama keluarga, informasi itu datang lagi. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya info itu sudah datang dari kakak saya lewat perbincangan di YM. Tapi hanya pemberitahuan, tak begitu lengkap. Tak datang dari sumber yang paling dekat, karena memang kakak sayapun juga tengah berada di kota orang.

Orang itu adalah tetangga saya. Lumayan jauh sebenarnya bagi kaca mata orang kota. Tapi, berhubung saya tinggal di pedesaan dimana kita saling mengenal satu sama lain, bahkan sampai satu desa, maka jarak segitu adalah jarak yang teramat dekat. Orangnya sudah tua, mungkin lelaki tertua disana. Sudah teramat sering sakit-sakitan, dan mulai jarang terlihat beraktivitas di luar rumah. Karena itulah, cerita kematian orang ini kemudian menjadi sesuatu yang biasa, tak ada yang terkejut. Lumrah, wong memang sudah tua.

Tapi kematian akan selalu menjadi nasehat terbaik. Selalu, bagi siapa saja yang mau mengambil pelajaran. Entahlah, saat itu, ketika saya tengah kumpul dengan keluarga sehabis berbuka, perbincangan itu dimulai. Awal mulanya hanya ingin menyampaikan berita kematian tetangga saya itu. Saya jawab sudah tahu. Kemudian melebar. Ganti membicarakan sang almarhum. Tentang aktivitasnya, tentang semasa hidupnya.

Dan, catatan kehidupan sang almarhum yang justru baru saya ketahui ketika ia telah menemui kematiannya adalah : ternyata ia seorang penyayang binatang. Tentang bagaimana ia begitu sukanya memelihara binatang, sejak dulu mungkin sudah saya ketahui. Tapi kenyataan bahwa ia lebih dari sekedar suka memelihara, ini yang baru saya pahami. Berbagai binatang yang lazim dipelihara ternyata pernah ia pelihara. Mulai dari sapi, kambing, ayam, angsa, entok, sampai jenis burung. Dan uniknya, ia melakukan itu bukan lantaran ingin memperoleh keuntungan ekonomi; dari penjualan binatang itu kelak, atau dari berkembang biaknya peliharaannya itu. Ia memelihara binatang-binatang tersebut karena ia suka memelihara, karena ia begitu menyayangi binatang itu. Hanya itu. Maka jadinya, bahkan binatang peliharaan yang memungkinkan untuk ia konsumsi, tak pernah ia konsumsi. Menjualnyapun tidak. Ia memelihara seumur peliharaannya itu. Hingga, (kalau memungkinkan) sampai peliharaannya itu mati secara alamiah.

Itu cerita tentang bagaimana ia mencintai binatang peliharaannya. Ternyata ia memilki catatan lain; ia ternyata juga penyayang binatang liar yang hidup di sekitarnya. Dulu, bahkan teramat dulu hingga memori saya tak mampu mengingatnya, ketika burung gelatik masih banyak beterbangan di lingkungan desa, ia dengan senang hati membuatkan burung gelatik itu rumah-rumahan di pepohonan sekitar rumahnya. Tujuannya hanya satu : agar burung-burung itu kerasan tinggal di sana, berharap tak berpindah tempat. Dan benar saja, burung-burung gelatik itupun berkembang biak dengan pesat. Rumah-rumahan yang ia buat itupun, tak butuh waktu lama, telah menjadi rumah beneran bagi gelatik-gelatik liar itu. Inilah mungkin sentuhan seorang yang mencintai binatang dengan hatinya. Maka burung-burung itu, seakan mengerti, menjawab sentuhan itu dengan kicauan merdunya tiap pagi.

Kawan, cerita itu, tentang sepenggal kisah tetangga saya itu menjalani kehidupannya, tiba-tiba menyadarkan saya. Kelak, ketika kita tak mampu lagi mengadakan konferensi pers untuk menglarifikasi opini yang terlontar mengenai kita, ketika kita tak akan bisa lagi membantah celaan yang menerpa kita, atau saat kita tak akan sanggup lagi berbangga hati kala seseorang memuji kita..... saat maut itu telah sempurna menjemput..... saat itulah.... apa yang sudah kita lakukan semasa hiduplah yang bakal tersuarakan. Mungkin jelek, mungkin bagus. Tergantung dengan catatan kehidupan yang telah kita torehkan sepanjang periode hidup. Catatan yang mungkin teramat dalam membekas pada diri tetangga-tetangga kita, keluarga kita, teman-teman kita, atau pada lingkungan kita....pada alam. Tak mampu lagi kita untuk membantahnya, pun juga tak kuasa lagi kita untuk menambah-nambahi. Sebab, apa yang telah kita tulis semasa hiduplah yang bakal terbaca. Bila itu adalah sebuah keburukan, maka terlambat sudah untuk menghapusnya, lalu menulisinya dengan tulisan-tulisan kebaikan. Pun juga, bila itu adalah kebaikan-kebaikan, maka tak ada waktu lagi untuk menstabilonya, menggarisbawahi, atau sekedar mempertegas tampilannya.

Maka, jika saat itu tiba-tiba kami membicarakan tentang begitu sayangnya tetangga saya itu pada binatang, itu bukanlah sebuah kebetulan belaka. Tak ada tendensi apapun saat kami melakukannya. Jelas sekali, karena catatan kehidupannya tentang hal ini teramat tebal ia tulis, teramat indah ia lukis. Maka jadinya, teramat tebal pula catatan itu terekam dalam memori orang-orang sekitarnya, teramat indah catatan itu tersimpan dalam hati tetangga-tetangganya. Hingga tersuarakan. Atau mungkin juga tidak. Hanya hidup dalam kenangan individu di sekitarnya. Tapi meski begitu, itu sudah lebih dari cukup sebagai kesaksian : bahwa ia adalah seorang manusia baik.

Kini, tinggal kitalah yang menentukan. Catatan kehidupan itu belum tertutup. Lembar-lembar kehidupan itu juga masih tersisa. Dan tentu saja, karet penghapus untuk memperbaiki catatan yang telah lalu itupun juga masih di tangan.  Masih ada waktu. Masih ada kesempatan untuk menentukan catatan yang mana yang bakal kita perbanyak, kita ulang-ulang, atau kita pertegas adanya. Bukan hanya agar catatan-catatan itu hidup dalam sanubari orang-orang sekitar kita—seperti yang saya ungkapkan di atas, bukan pula semata agar orang lain menyaksikan kita sebagai orang baik. Sungguh, itu akan menjadi tak penting dan hanya akan menjadi ekses belaka. Tapi oleh sebab kita telah meyakini akan adanya pembacaan catatan kehidupan yang jauh lebih fair, lebih adil. Untuk menentukan masuk golongan manakah kita : golongan orang berimankah, atau golongan yang ingkarkah. Dan konsekuensi di antara keduanya, sungguh amat berbeda..

 

Pasuruan,19 sep -08

 

Friday, September 12, 2008

SMS menjelang maghrib

SMS itu datang persis menjelang maghrib. Saat saya sedang mengikuti acara buka bersama yang diadakan angkatan 2008. ketika seorang teman menyampaikan sebuah materi di depan. Namun seketika itu…

“Bismillah. Mohon doanya, insyaAllah besok jam 7 pagi saya operasi Caesar untuk melahirkan dua janin saya. Semoga Allah memberi kekuatan, kesehatan, dan kemudahan dalam menjalani persalinan ini’.

Saya tergugu. Menunduk dalam. Sejenak tak berkata-kata memandang layar ponsel saya. Dulu, ketika usia kehamilan masih beberapa bulan, ketika kami masih sering kumpul bareng dalam satu laboratorium untuk mengerjakan tugas akhir, mbak Hikma, sang pengirim SMS tersebut, pernah mengungkapkan keinginanya untuk melahirkan secara normal. Ingin merasakan perjuangan menjalani persalinan. Namun tiba-tiba, SMS itu. Pasti, pasti ada alasan tiba-tiba operasi caesar itu harus dilakukan. Pasti, mengingat dua janin yang dia kandung.

Ah saya tak bisa memungkiri kalau SMS itu adalah satu dari sedikit sms yang seketika itu mengaduk-aduk emosi saya. Inilah sms yang saya yakin ditulis dengan tulus. Ditulis oleh seseorang yang akan menghadapi pergulatan antara hidup dan mati. Untuk memperjuangkan dua kehidupan yang lain. Saya tak sanggup membayangkan saat-saat itu. Sangat berat pasti. Teramat berat.

Dan sore itu, mungkin saat maghrib persis berkumandang, saya hanya mampu mngetikkan kalimat ini sebagai balasan :

”Selamat berjihad mbak! Bahwa Allah bersama mbak, bahwa ada tangan-tangan lain yang menengadah, yakinlah!”



*sampai saat ini belum tahu kabar persalinan mbak Hikmah*

Sunday, September 7, 2008

Buka Unik di UGM

Ada yang unik di UGM…

Ceritanya tentang masih hari pertama saya di UGM. Sebetulnya, ini memang hari pertama saya di UGM, tapi ini bukanlah kunjungan pertama saya di UGM. Jadi, segala sesuatu mulai teradaptasikan. Mulai sedikit biasa, meskipun saya tak mampu untuk memungkiri kalau UGM itu elegan. Mungkin kalau seorang perempuan, UGM itu ayu. Memesona. Auranya tersembul dari dalam. Bukannya cantik tapi kering. (sayang dan sayang kami kelupaan membawa (atau lebih tepatnya meminjam ) kamera....tak bisa terabadikan deh keeleganan itu)

Menjelang ashar, saya sempatkan melihat-lihat bazar buku di sekitaran masjid kampus UGM (ini bukan keunikan yang ingin saya ceritakan, karena pada kunjungan pertama saya dulu, saya sudah tahu kalau tiap ramadhan ada bazar buku di sepanjang koridor sekitar masjid itu). Ada sih beberapa buku yang menarik ingin dibeli, tapi saya pendam keinginan itu mengingat masih banyak buku yang saya beli belum terselesaikan membacanya. Tapi, kemudian mata saya tertumbuk bukunya Tere Liye yang judulnya ”Rembulan Tenggelam Di Wajahmu”. Saya sudah membaca buku itu, tapi ingin saja membeli buku itu sebagai koleksi sebab dari lima buku Tere Liye pasca ”Hafalan Sholat Delisa” hanya buku itu yang belum saya punya. Sempat ingin membawa buku itu ke mas yang njaga, tapi segera saya urungkan. Mungkin nanti atau besok saya beli kalau keputusan saya berubah.

Adzan ashar berkumandang. Orang-orang yang tiduran di masjid (nah ini yang nggak ada bedanya dengan di ITS : masjid jadi tempat favorit untuk tiduran saat Ramadhan) bergegas mengambil wudhu. Saya sih punya wudhu jadi langsung saja ke barisan shof sholat.

Selesai sholat, tilawah sebentar. Sempat terjadi diskusi kecil antara saya dan teman saya apakah akan berbuka di masjid ini atau pulang saja ke penginapan. Dan, setelah memastikan ke seorang teman yang kuliah di UGM apakah di masjid UGM menyediakan makanan untuk berbuka, keputusan pun jatuh ke alternatif pertama : berbuka di masjid. (keputusan yang nanti tak kami sesali demi sebuah pengalaman, atau pemandangan baru yang kami temui)

Sudah bisa ditebak, apakah gerangan yang kami lakukan untuk mengisi waktu antara ashar dan maghrib? Yup benar. Tiduran. Saat itulah kami baru sadar bahwa kami belum istirahat sama sekali sejak perjalanan tadi. Terasa sekali lelah mengikis fisik kami. Maka, tanpa tertahankan lagi, kami mengambil posisi paling privaci untuk merebahkan tubuh penat kami. Di bagian belakang, di bawah tangga. Bersisian, tanpa bantal. (bahkan jaket). Sambil mendekap rapat laptop yang kami letakkan di tengah-tengah.

Tapi, belum genap setengah jam mata kami terpejam, kami terbangun. Suara seseorang memakai pengeras suaralah yang membangunkan itu. Ternyata ada kajian. Sang MC meminta semua orang yang masih berada di pinggir untuk segera merapat ke depan untuk mengikuti kajian (walaupun saya tahu jelas kalau permintaan itu sebenarnya lengkapnya berbunyi : mohon untuk yang tidur untuk segera bangun dan mulai mengikuti kajian). Kamipun bangun. Tak ada pilihan lain. Lelah memang masih bergelanjut. Tapi mau apa lagi. Mana mungkin kami tetap tiduran sementara di depan ada seorang ustadz memaparkan materi penuh ilmu. Tapi kami tak mendekat. Masih terduduk di tempat semula sambil perlahan mengembalikan kesadaran. Toh dari tempat ini suara sang ustadz bisa tertangkap jelas.

Materi kajiannya adalah tentang puasa dan kesehatan. Baru setelah sekitar setengah jam terbengong-bengong di kejauhan, kami mengambil air wudhu dan merapat ke tengah. Bergabung dengan orang-orang lain yang sudah memenuhi ruangan tengah (lumayan juga lo yang ikut kajian). Pengisinya adalah seorang dosen dari farmasi UGM, jadi kelihatannya lumayan berkompeten untuk mengisi materi ini.

Jam lima lebih sedikit, makanan diedarkan. Sebungkus nasi. Satu orang dapat satu. Tidak seperti di ITS yang empat bungkus untuk berlima, atau kalau lagi membludak jamaahnya malah tiga bungkus untuk berempat. Sempat bingung juga, bertanya-tanya dalam hati di manakah gerangan kami akan makan sedangkan di sepanjang bangunan masjid terpampang pengumuman ’dilarang makan dan minum di masjid’. Sedangkan yang datang begitu banyaknya. Tapi akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan segera. Pas setelah kajian berakhir, seluruh jamaah kemudian beringsut ke sisi sebelah selatan. Melewati taman masjid. Tujuannya hanya satu : mengambil minum dan buah. Di sanalah akhirnya kami mendapatkan jawabannya. Seorang panitia berkali-kali mengingatkan kalau makannya di areal taman. Tak boleh di masjid.

Ohhhh... berkali-kali saya terbengong-bengong. Ternyata buka puasa di sini bergaya pesta kebun. Tiba-tiba saja orang-orang mulai membentuk kelompok kecil dan enjoy saja duduk di rerumputan. Meletakkan nasi bungkus dan segelas tehnya di depan. Bercengkerama. Sementara yang lain ada yang terlihat menyudut. Menikmati kesendirian saat waktu paling ditunggu itu datang. Saat satu dari dua kebahagiaan yang dijanjikan bagi orang yang berpuasa itu hadir.Bebas dengan pikirannya. Beberapa yang lain memilih duduk-duduk di bibir kolam yang mengering airnya. Lagi-lagi mengobrol sambil memadang lalu lintas di bawah. Dan di sisi timur, akhowat juga melakukan hal yang serupa. Lebih banyak yang mengelompok kayak halaqoh. Melingkar. Di bawah pohon palm. Atau di sisi sebuah pager tanaman. Lalu, dari bawah, nampak beberapa orang menaiki tangga (mungkin kurang bisa memahami bagi yang belum pernah lihat masjid UGM). Bergabung dengan yang lain. Tampaknya mereka hanya ingin mencari momen berbuka saja. Di tangan mereka sudah tertenteng menu berbuka. Uighhh....suasana ini, pemandangan ini, keadaan ini, tak pelak lagi menerbitkan ketakjuban. Tiba-tiba saya tersergap pesona. Damai saja melihatnya. Tentram. Tapi tak membuai. Padahal sebelumnya, siang harinya, hati ini sempat dongkol. Marah, tapi entah ke siapa. Berprasangka macem-macem.Di sepanjang jalan, di warung-warung, orang-orang dengan enjoynya melahap hidangan. Tanpa risih, tanpa rasa bersalah, tanpa upaya untuk menutup-nutupi.

Adzan maghrib berkumandang. (Ternyata) teh tanpa gula sebagai pembuka. Tak apalah!

 

 

Thursday, September 4, 2008

CATAN NGGAK PENTING : HARI PERTAMA DI JOGJA DAN EPISODE NYARI KOST

       Senin kemarin, tanggal 1 september, tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Sekitar jam sembilan. Dari Bu Maryati, analis dari Kimia UGM yang sekitar dua bulan lalu menganalisa hasil penelitian saya. Isinya kurang lebih begini : kebetulan sekali, saat ini kolomnya sedang terpasang, besok rabu sudah bisa mulai dianalisa. SMS itu adalah SMS balasan yang seingat saya, saya kirim dua hari yang lalu. Kala itu saya hanya menginfokan kalau kami (saya dan partner penelitian saya) akan menganalisakan hasil penelitian kami lagi ke UGM.

Menerima SMS itu, saya tak tahu mesti senang atau tidak. Senang, karena itu artinya dengan segera kami dapat menuntaskan penelitian ini. Senang pula karena dua bulan yang lalu saja, kami butuh sekitar semingguan untuk menunggu sampai akhirnya sample hasil penelitian kami dianalisa. Memang, sample penelitian kami membutuhkan kolom khusus untuk bisa dianalisa menggunakan Gas Chromathography. Kolom yang tidak setiap saat terpasang di alat. Dan sekarang, suatu hal yang kebetulan sekali kalau ternyata kolom yang kami inginkan itu sudah terpasang.

Tapi, tetap saja itu tak mengurangi keterjutan saya. Atau panic. Hari rabu kala itu adalah lusa. Artinya, jika kami ingin memenuhi isi SMS itu maka kami sudah harus berangkat ke Jogja Selasa malam. Sedangkan, penelitian kami ssja belum selesai. Belum semua sampel diperoleh. Memang sih, tidak butuh waktu yang terlalu lama untuk satu kali runnya. Tapi ya itu, tetap saja.

Segera saya SMS partner saya. Info ini harus segera diwartakan. Penelitian ini harus segera diselesaikan.

Dan selasa malam, kamipun pada akhirnya berangkat juga. Terburu-buru. Tanpa banyak persiapan untuk mempersiapkan segala hal. Dulu, dua bulan yang lalu, saat kali pertama menganalisakan sampel penelitian, saya sudah mewanti-wanti diri saya sendiri untuk mempersiapkan sebaik mungkin kunjungan kali kedua saya kelak. Harus bisa menikmati perjalanan nanti. Tapi yang terjadi...ah ternyata kembali tak ada waktu untuk memikirkan itu. Kembali harus terburu.

Maka jadinya, banyak hal yang saya sesalkan ketika sudah memasukui perjalanan. Salah satunya adalah banyaknya barang yang tertinggal. Charger ponsel, Kamera (duh padahal dulu saya sudah ngebet foto di beringin besar di depan grha saba), seta barang-barang kecil lain.

Rabu pagi, lagi-lagi subuh, kami nyampai juga di Jogaja. Turun dari bus dengan sedikit males-malesan. Ya, karena bahkan sampai sudah menginjakkan kaki di tanah Jogja kami belum punya arah yang pasti dimanakah gerangan kami akan menginap. Untuk kembali menginap di teman saya rasanya nggak enak juga. Pastinya akan merepotkan, apalagi kali ini kami berdua. Tentu saja kamar sempitnya tak akan muat. Sedang untuk menginap di famili temen saya rasanya tak mungkin. Lokasinya cukup jauh dari tujuan utama kami ke sini.

Maka yang terpikirkan di kala kebingungan itu hanya satu : Masjid. Tentu saja untuk segera sholat subuh. Sebuah taksi pun kami dekati. Sedikit transaksi. Dan meluncurlah kami ke masjid kampus UGM.

Selesai sholat, barulah saya menghubungi teman saya. Maksudnya hanya satu : minta ditunjukkan tempat yang menerima kost harian, atau setidaknya penginapan sederhana dengan tarif yang sederhana pula.

Singkat cerita, bertemulah kami dngan teman saya itu di bundaran UGM. Ia mengendarai motor bebek dan kami tentu saja berjalan kaki dari masjid kampus. Setelah beramah tamah singkat, dimulailah perburuan mencari tempat nginap tersebut.

Yang pertama adalah wisma UGM. Dari luar bagus dan kelihatannya nyaman sekali untuk dihuni. Partner penelitian  saya sudah berharap banyak bahwa ini adalah tempat yang ideal sebagai tempat nginep selama kita melakukan analisa di UGM. Imajinasnya mengembara. Namun amat sangat kejam segera kandas demi melihat tarif yang harus kami bayar semalemnya. Kayaknya wisma-wisma begini memang bukan untuk mahasiswa kelas seperti kami.

Perburuan selanjutnya bermuara pada sebuah penginapan yang sedikit terpencil karena harus masuk gang untuk bisa menjangkaunya. Kelihatannya sederhana dan mudah-mudahan tarifnya juga sederhana. Saya dan teman sayapun masuk (Partner penelitian saya ditinggal di bundaran, karena tak mungkin bertiga dalam satu motor). Menyapa resepsionis dan mulai mempertanyakan harga. Mata kami tentu saja langsung tertuju pada tarif termurah yang ditawarkan. Nggak terlalu mahal, batin saya. Kemudian sayapun melihat-lihat kamar yang ditawarkan itu. Kamarnya sempit, bahkan lebih sempit dari kamar kost saya yang sudah terbilang sempit untuk sebuah kost yang dihuni berdua. Ranjangnya satu dan memang diperuntukkan untuk ditiduri untuk satu orang. Serta sebuah kursi biasa. Sejenak saya berpikir bagaimanakah caranya agar itu bisa ditemppati berdua tak mungkin pula saya meminta tambahan bed karena hal itu bakal nambah tarif permalamnya). Akhirnya, karena tak mungkin saya memutuskan sendiri perkara ini, saya telpon partner penelitian saya itu. Menceritakan apa yang sudah saya dengar dengar , saya lihat, dan yang saya rasakan.

Perburuan kedua untuk sementara gagal.

Tempat ketiga yang kami kunjungi adalah hasil referensi teman saya. Katanya kost harian, bukan penginapan. Kata kost sudah menggiring kami ke pemikiran bahwa ini tentunya bakalan tak mahal. Wong sebulan kost di keputih Cuma 125 ribuan, apalagi kalau tinggal tiga harian. Kali ini kami datang bertiga. Teman saya nekat merelakan motornya ditunggangi tiga orang sekaligus yang saya yakin berat masing-masing sudah melebihi setengah kuintal. Ini ai lakukan karena sebentar lagi ia akan ada urusan penting dan dengan berat hati harus meninggalkan kami berdua. Kost-kostan itu biasa-biasa saja bahkan lebih cenderung mengarah ke kata lebih jelek daripada lebih bagus bila dibandingkan dengan kost rata-rata yang ada di sekitaran kost saya di Surabaya.

Pemiliknya adalah seorang pria bertubuh agak kekar dengan kaos menunjukkan identitas polisi. Tak jelas apakah dia polisi beneran ataukah kaos itu ia dapatkan dari seorang kenalannya yang seorang polisi. Berharap saat memakainya bakalan tak ada preman yang berani mendekatinya.Kami bertiga ditemui di tempat terbuka yang terlihat ala kadarnya. Bahkan mejanya saja sudah terlihat tak layak untuk dipakai, karena bahkan untuk menggesernya harus ekstra hati-hati. Bisa-bisa kaca atasnya lepas berantakan.

Masalah pertama yang ditanyakan tentu saja yang paling sensitif : harga. Kami (atau saya saja ya) sempat kaget karena ternyata istilah kost harian hanya sekedar istilah. Karena ternyata harganya saja sama dengan penginapan yang kami kunjungi sebelumnya. Bahkan penginapan sebelumnya saja menamakan dirinya dengan kata HOTEL. Sejenak saya berpikir apakah penginapan tadi yang terlalu PD menyebut dirinya dengan kata hotel sedangkan tarifnya standar kost, ataukah tempat ini yang terlalu merendah menyebut dirinya dengan kost harian padahal tarifnya hotel.

Langkah selanjutnya adalah melihat calon kamar (sebelum melihat kamar, teman saya yang baik itu terlebih dulu minta ijin untuk pergi karena ada urusan, tapi terlebih dulu berpesan untuk sementara tak apalah tinggal di kostnya. Tinggal bilang saja pada teman-temannya di san, toh wajah saya sudah dikenal karena dua bulan lalu sempat nginep di sana).  (sebelumnya saya deskripsikan keadaan di situ. Jadi kost-kost yang disewakan itu tidak dalam satu bangunan tertutup gitu. Tapi dalam satu ruang terbuka. Artinya tiapa pintu kamar menghadap ke luar. Ke halaman. Nah, di halaman itu akan banyak pemandangan yang bisa dilihat. Mulai dari cucian yang dijemur, barang-barang berantakan, bahkan sampai kandang ayam.). Kamarnya lumayan luas dengan dua kasur (ini yang melegakan). Minimal lebih luas bila dibandingkan kost saya di Surabaya. Nampak berantakan, karena kasurnya terlipat ke sana kemari tanpa sprei (ini juga tak terlalu masalah karena kost sayapun juga lebih sering berantakan). Saya pandang teman saya. Mencoba mencari jawaban dari ekspresi mukanya. Maukah?

Sebenarnya masih ragu, tapi toh akhirnya kami cuma mangut-mangut. Ok lah. Gak apa. Pak kostnya sendiri juga mangut-mangut. Harap-harap cemas mungkin apakah kami akhirnya jadi ngekost di situ. Tapi...sebelum kata sepakat itu terucap, kami teringat sesuatu : kamar mandi. Dengan senang hati pak kost mempersilahkan kami melihat-lihat. Agak sedikit jauh dari kamar yang kami lihat, tibalah kami di depan dua kamar mandi yang berjejer. Kecil? Pasti. Jelek? Ah biarlah teman saya yang mendeskripsikan dengan ungkapannya. Menjijikkan? Sepertinya. Kata teman saya : wah nggak yakin saya bisa mandi di tempat seperti ini. Saya diam. Tak tahu apakah mengiyakan atau tidak pernyataan teman saya itu. Toh saya bahkan pernah bermandian di kali. Di kolam keruh. Atauh bahkan di kubangan bekas orang membuat batu bata yang terisi air saat musim hujan.

Sejenak kami berdiskusi. Jadi tidak nginep di situ. Bingung. Dan saat itulah hal yang tidak nyana-nyana terjadi. Seorang cewek nampak bergegas menuju ke arah kami. HAH?????????? Nampaknya ia mau mandi, itu jelas terlihat dari handuk dan seperangkat alat mandi yang digamitnya.

Cukuplah, cukuplah itu memantapkan kami untuk mengucapkan satu kata :TIDAK. Hilang sudah kebaikan-kebaikan kost itu. Hilang semua. Sama sekali tak bersisa. Berganti kejelekan-kejelekan. Keburukan-keburukan. Terjawab sudah aura tak mengenakkan yang tersembul saat kami tiba di kostan itu. Ternyata....ternyata...(oh Gusti mudah-mudahan ini tak sampai terjadi di kost-kostan kampus hamba) itu kost campur cowok-cewek.

Akhirnya, setelah jauh-jauh ke kost harian nggak jelas tadi, kami akhirnya kembali ke penginapan semula. Dan ternyata, penginapan itu tidak setidakmengenakkan bayangan semula. Apalagi penjaganya ramah. Dan ternyata lagi, ternyata yang menginap di penginapan itu hanya tiga orang : saya, partner saya, dan seorang laki-laki asal lampung. Jadi terlihat berkuasa deh menguasai kamar mandi (catatan: walau namanya hotel tapi kamar mandinya tetep royokan)