Wednesday, October 22, 2008

karena masih banyak yang menginginkan kita menjadi baik

Pernahkah kita berpikir : adilkah kita, setelah dibesarkan orang tua kita, kita begitu saja meninggalkan orang tua kita itu , oleh sebab kuliah mungkin. Karena seseorang teman pernah bertanya tentang itu. Begini kira-kira pertanyaannya:

“gimana ya bie perasaan orang tua kita saat tiba-tiba kita harus meninggalkan mereka, harus pergi? Apa yang ada di pikiran mereka?

“adil nggak? Jahat nggak? Setelah mereka membesarkan kita, kita begitu saja pergi”.

Pertanyaan di atas disampaikan oleh seorang teman, cewek lagi,  yang sejak SMA sudah harus meninggalkan orang tuanya karena harus sekolah di luar kota. Selama tiga tahun. Dilanjutkan dengan kuliah empat tahun. Selesai? Pulang? Belum! Karena di sinilah kemudian letak permasalahannya. Ketika sudah tujuh tahun ia sering meninggalkan orang tuanya itu, ia masih harus melanglangbuana lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ke luar negeri. Dua bulan kemarin sudah harus ke inggris untuk ikut course bahasa inggris, sabtu besok terbang lagi ke taiwan untuk gabung dalam sebuah proyek penelitian. Nanti-nanti, kalau sudah kelar dari taiwan, ia sudah harus ke arab saudi melanjutkan S2 dan S3-nya di sana. Kelihatannya sebuah perjalanan yang menyenangkan. Ah siapa yang tak ingin keliling dunia seperti itu. Tapi, ternyata tak selamanya itu yang ada di hati teman saya itu. Ada rasa asing, gamang, dan sendiri. Kesepian mungkin. Dan tentu saja, pertanyaan mengganggu di atas tadi.

Saya terdiam sebentar kala menerima pertanyaan di atas. Sebenarnya banyak contoh yang lebih ekstrim dari teman saya itu. Banyak orang tua yang sudah harus merelakan anaknya pergi  bahkan ketika anaknya itu masih teramat belia. Tapi kemudian, jawaban sok tahu saya muncul juga:

“saya yakin, saat kita berpamitan untuk pergi, ada pertarungan besar di hati mereka. Pertarungan antara keinginan untuk selalu bersama kita, melihat kita terus, dengan keinginan untukmelihat kita lebih baik, melihat kita bahagia dengan pilihan kita. Tapi saya juga yakin, mereka pada akhirnya akan memenangkan yang kedua, mereka akan selalu memenangkan yang terbaik bagi kita, mengorbankan perasan mereka sendiri”.

Entah puas atau tidak dengan jawaban saya itu tadi, tapi semoga saja jawaban itu cukup untuk mengurangi gundahnya. Membuat dia mantap dengan pilihannya itu. Bahwa orang-orang yang mencintainya akan selalu menginginkan yang terbaik baginya. Bahwa yang terbaik baginya, terbaik juga bagi mereka.

Lalu kemudian semalam, tiba-tiba saya berpikir, betapa beruntungnya teman saya itu jika masih ada pertanyaan itu di kepalanya. Itu artinya, wajah kedua orangtuanya itu masih terus ada di hatinya. Orang-orang yang mencintainya itu masih senantiasa membersamainya. Dan itu akan sangat banyak sekali efeknya. Karena saat kau sadar bahwa masih banyak orang-orang yang mencintaimu, maka itu cukup sudah membuatmu untuk selalu menjadi baik.  Itu sudah menjadi driving force yang ampuh. Itu bahkan sanggup menyelamatkan kau pada detik-detik akhir dimana kau akan saja melangkah ke jurang keterpurukan.

Maka kawan, sering-seringlah menghadirkan wajah orang-orang yang mencintaimu (dan kau mencintainya) dalam hari-harimu. Seringkanlah menghadirkan wajah teduh kedua orang tuamu (kau akan kembali ingat betapa sudah terlalu banyak yang mereka lakukan),atau  wajah penuh pengorbanan kakak-kakakmu (ah dengan apa kan membalasnya), atau wajah imut nan lugu adik-adikmu (bahwa mereka butuh teladan kan?), atau wajah bening sahabat-sahabat terbaikmu ( bukankah kau masih ingin merangkai cita bersama mereka?). Karena jika kau terasa malas maka kau akan cepat sadar, dulu orang tuamu tak pernah malas mengasuhmu.

Ada banyak sekali orang-orang di luar sana yang menginginkan kita menjadi baik. Itu yang harus kita yakini. Itu yang harus selalu kita hadirkan. Terus-menerus.

Teruslah hadir dalam hari-hariku kawan!



*untuk nina yang akan kembali terbang jauh*

 

Sunday, October 12, 2008

12 Oktober 2008

Subuh itu biasa saja.  Ia pergi ke masjid biasanya tak jauh dari huniannya. Melakukan hal yang sama seperti hari-hari sebelumnya. Dengan imam sholat yang tak asing. Dengan bacaan surat yang tak asing pula di telinga. Melafalkan dzikir yang sama seperti subuh-subuh sebelumnya. Hanya saja setelah itu, ia tak berdo’a seperti do’a-do’anya sebelumnya. Hari itu lain. Hari itu ia punya kekuatan untuk merangkai kata-kata itu. Bukan do’a yang dulu diajarkan orangtuanya, atau guru ngajinya. Hari itu, do’a yang special untuk hari itu.

“ ya Allah yang maha memiliki hati-hati kami. Seperti halnya engkau telah kumpulkan kami empat tahun yang lalu dengan hati yang dipenuhi impian-impian besar, dengan idealisme-idealisme yang begitu menjulang, dengan pengharapan-pengharapan yang terlihat kecil mungkin tapi sesungguhnya itu begitu mulia. Ya Allah.....hari ini, esok, dan seterusnya...tetapkanlah itu dalam hati-hati kami. Teguhkanlah itu di sepanjang jalan hidup kami. Biarpun kami harus sendiri untuk itu ya Allah, biarpun kami harus terasing, biarpun tak ada teman yang membersamai langkah kami. Jika itu telah mulai membelok, sederajat saja ya Allah......luruskanlah.

“ya Allah ya lathief. Jadikanlah kami termasuk golongan hamba-hambamu yang pandai bersyukur. Syukur atas hari ini. Syukur atas wisuda ini ini ya Allah........ Syukur atas ketetapan-ketetapan hidup yang kau gariskan . Meski itu selamanya tak terlihat menyenangkan, meski itu terkadang terasa sesak, meski itu kadang terasa berat kami emban ya Allah.

“ya Allah ya rokhman. Lindungilah kami dari termasuk golongan hambamu yang ingkar. Ingkar terhadap perintahMu, ingkar terhadap teman-teman kami, ingkar terhadap hati nurani kami sendiri, dan ingkar terhadap setitik pengetahuan yang Engkau titipkan pada kami

“ya Allah..hanya Engkau tempat meminta segala pertolongan”.

 

Lama ia terpekur. Hingga masjid mulai beranjak sepi. Sesorang bahkan telah memadamkan salah satu lampu. Seketika mulai remang, meski masih cukup mencahayai. Berdiam diri saja.

Hingga ia bangkit. Melangkah keluar. Menggapai sandal jepit yang bulan-bulan belakangan ini membersamai langkah. Ke jogja (yang sempat oleh salah satu penghuni penginapan disangka fasilitas penginapan hingga seenaknya saja dipakai mandi dan dibawa masuk ke kamarnya), dua kali pulang kampong, serta kemanapun hari-hari ia lalui.

Masuk ke kamar. Masih ada waktu sejam untuk mempersiapkan diri. Menyetrika celana dan baju (tapi kebingungan dulu mencari pinjaman setrika). Menggapai ponsel. Hei!! Ada sms.

“come on wake up.. Wake up. This one of your big day.. Congratulation for you”

Benarkah????

Dan semuanyapun kemudian bergerak, berarak. Toga. Berangkat. Graha. Teman-teman. Foto-foto. Masuk. Prosesi-prosesi. Nyanyian-nyanyian.. Pemanggilan-pemanggilan. Rector. Sambutan. Berjabat-jabatan. Wajah sumringah orang tua. Foto-foto lagi.

Kembali. Selesai.

Menuliskan ini.

Thursday, October 9, 2008

kebaikan-kebaikan kecil

Saya masih ingat benar kejadiannya. Saat itu saya masih semester dua, masih culun-culunnya menjadi seorang maba. Masih sibuk-sibuknya menjalani dua praktikum jurusan yang benar-benar menguras tenaga, akal, dan juga kesabaran. Sibuk, sibuk, sibuk. Pokoknya sibuk. Sampai seorang teman mendefinisikan masa itu sebagai keadaan dimana kita akan merasa berdosa sekali untuk tidur-tiduran. Bagaimana tidak berdosa, karena itu sama artinya kita akan menzalimi diri kita esok-esoknya. Tentu saja, karena pekerjaan akan semakin menumpuk, menumpuk, dan terus  menumpuk.

Saat itu kuliah kimia Fisika I. Pengajarnya adalah Prof Jud. Rabu pagi kalau nggak salah. Dan, seperti kebisaaaan di rabu-rabu sebelumnya, laporan praktikum mikrobiologi saya belum juga rampung. Padahal jam satunya sudah harus praktikum lagi dengan menyerahkan laporan yang sedang saya kerjakan itu, laporan praktikum minggu sebelumnya. Bawaannya pasti bingung. Berseru ramai pinjem laporan ke teman yang lebih rajin. Memang, kebetulan sekali dosennya belum datang kala itu (meski walau sudah datang masih saja suka ngerjain laporan).

Parahnya, laporan saya kala itu parah banget. Banyak sekali yang belum. Pembahasan masih dikit banget. Ngasal lagi. Nggak nyambung lagi (sejak SMP saya memang nggak suka banget yang namanya Biologi, dan entahlah, di jurusan yang namanya tidak biologi banget ini kok saya bisa bertemu dengan mata kuliah mikrobiologi). Padahal, apa coba inti dari laporan? Ya pembahasan itu kan. Maka, setelah saya itung-itung, rasanya saya perlu sub-kan salah satu pengerjaan laporan ini pada seorang teman yang kelihatan nganggur karena jadwal praktikumnya emang kemarinnya.

“Yan, boleh minta tolong nggak?”

“Apa?”

“minta tolongin stabiloin literaturku yang berhubungan dong”. (Di setiap laporan kan memang diwajibkan menyertakan fotocopian literature yang dicuplik. Dan itu harus distabilo bagian yang diambil atau dikutip)

“Aduh!! Nggak bisa sendiri ta bal. wong gitu aja”.

Duh, jawaban itu benar-benar di luar dugaan saya. Ia nganggur. Benar-benar nganggur kala itu dan hanya bengong-bengong aja melihat teman-temannya yang lain sibuk dengan pekerjannya. Lalu apa sulitnya sebenarnya hanya untuk sekedar nyetabiloin. Sakit rasanya. Seperti tertolak. Ini cuma pekerjaan kecil yang tak menyita banyak waktu atau tenaga.

Tapi hari itu saya tak dendam. Karena toh emang nggak ada gunanya. Tapi saya mencatat (ini bahasanya mbak HTR kala ditolak penerbit di awal karir kepenulisannya). Bahwa kita kadang lebih menghargai bantuan-bantuan kecil semacam ini. Lebih respek pada kebaikan-kebaikan kecil macam menyetabilo ini. Karena kebaikan-kebaikan kecilnya itulah yang sering kali menunjukkan kebaikannya, keikhlasannya, kedermawanannya. Karena kebaikan-kebaikan kecil inilah yang sering kali luput dari mata orang yang tidak benar-benar baik. Kalau kita tertimpa suatu musibah yang cukup berat, akan sangat banyak orang yang menawarkan bantuan. Akan banyak orang yang datang mengantarkan solusi. Tapi, ketika kita sibuk melongok-longok kolong kursi di kelas, berapa banyak teman yang mau peduli dan berkata : “Akhi, lagi nyari apa? Ada yang bisa dibantu”.

Saya hanya sok tahu aja masalah ini. Tapi kejadian ini menimbulkan catatan di hati saya, bahwa jika saya pernah merasa tidak enaknya berada di posisi itu, maka sedapat mungkin orang lain jangan sampai merasakan hal yang sama oleh karena tindakan saya. Prinsip sederhana yang berat banget implementasinya. Maka, sedikit demi sedikit, saya akan terus mencoba menjadi orang yang tak hanya sibuk dengan kebaikan-kebaikan besar yang terlihat. Saya juga harus menyibukkan diri dengan kebaikan-kebaikan kecil yang terlihat remeh-temeh. Karena remeh bagi kita, belum tentu remeh bagi yang ditolong. Begitu juga sebaliknya.

Jadi..apakah saya sudah memulai itu? Ah nggak tahu juga apakah yang sudah saya lakukan sudah menuju itu. Yang jelas, jangan kaget ketika saya jadi sok perhatian bertanya-tanya. Atau jangan heran dan berpikiran macem-macem kalau saya sering banget SMS macam beginian:

“Hari ini, Metro TV, jam 7 ada acara bagus. Mario Teguh. Honesty”.

“apakah kau mulai merasa hatimu mulai mengeras kawan? Ingin kembali merasa indahnya berbgi, merasa, dan mencinta. Tolong tonton kick andy sekarang”

“eh, udah tw blm, hri ini  batas akhir pembayaran (ini) lho. (nama temenku) udah bayar belum?”

Karena saya, juga senang dapat SMS semacam itu. Dan dua tiga hari kemarin, saya tahu betul manfaat SMS macem begituan.

“assalamualaikum. Iqbal, udah tw blm, hari ini ada pengambilan toga untuk FTI. Syarat pengambilan nyertain bukti pembayaran BNI. Ngambilnya di Dharma Wanita blok D nomor (sekian)”

“Oh ya, tambahan. Bukti pembayarannya difotocopi 2X”.

Letak manfaatnya karena yang pertama memang saya nggak tahu dimana letak dharma wanita itu. Yang kedua, ternyata dharma Wanita itu letaknya lumayan jauh juga dari fotocopian. Saya jadi bersyukur masih ada orang yang mau memberi kebaikan-kebaikan kecil macam begini. Karena saat saya telah selesai ngambil Toga itu, dan beranjak pulang, seorang teman harus balik lagi keluar dari ruang pengambilan toga. Alasannya, ternyata ia belum fotocopi bukti pembayaran itu. Dan konsekuensi dari itu, ia kemudian kehabisan ukuran toga yang sesuai dengan tubuh mungilnya.

Tuesday, October 7, 2008

anak-anak........

Jangan melarang, itu tidak efektif. Tapi alihkan perhatiannya.

Demikianlah kata ari nur, secara tak langsung, lewat tokoh rani dalam novelnya yang berjudul dilatasi memori. Saat itu rani mendapati anaknya, rifki, tak mau untuk mematikan televise. Padahal acara yang tayang hanyalah gossip-gosip sama telenovela. Seperti yang disebutkan di atas, rani tidak melarang anaknya itu serta merta, karena menurutnya, kalau dilarang rifki malah penasaran dan akan menonton secara sembunyi-sembunyi ketika orang tua tidak ada. Saat itu ia hanya mencoba mengalihkan perhatian anaknya itu. Menghindar pergi dan tak menemani anaknya itu nonton.

“kok mama pegi sih?”. Anaknya bertanya. (pancingan pertama berhasil).

“mama mau main.”

“aaa..mama sini, dooong!”

“nggak ah. Mama mau main.”

“main apa, ma?”. (pancingan kedua berhasil)

“makanya siniiii...ikut mama main”.

Demikianlah, akhirnya rifki terlupa dari televisinya. Rani dengan lihai mengalihkan perhatian anaknya itu, dengan hal yang lebih menarik mungkin dari sekedar nonton televise.

Dan begitulah, sampai saat ini sebenarnya saya tak pernah membaca buku yang spesifik memmbahas tentang psikologi anak serta tetak bengeknya. Tidak juga mengikuti kajian tentang itu. Hanya sekali dua kali saja kebetulan ketemu artikel tentang itu di media massa dan kemudian membacanya. Manggut-manggut sebentar. Dan, ya sudah! Cukup sebagai pengetahuan.

Saya percaya, bukan hal yang terpat lagi mendidik anak hanya dengan pelarangan-pelarangan tak berdasar, pembohongan-pembohongan gaya lama. Tidak, itu tak baik bagi perkembangan anak. Kejam sekali menurut saya orang tua yang melakukan itu pada anaknya.

Namun begitu, saya jarang atau bahkan belum pernah menerapkannya. Tentu saja, karena saya belum punya anak. Sebenarnya, hal yang disebutkan ari nur dalam novelnya itu banyak juga yang diterapkan masyarakat. Minimal masyarakat sekitar saya. Hanya saja cara pengalihan perhatiannya yang tidak benar. Karena caranya lagi-lagi menggunakan pembohongan. Tak ada cara jelek untuk menyampaikan hal baik, demikian salah satu pernyataan Mario Teguh dalam suatu acara di metro tv beberapa hari yang lalu. Karena, itu akan menyebabkan kebaikan itu jadi terlihat jelek.

cup..cup..cup...engkok lek gak meneng diparani wewe lo.”. Aduh, mana coba hubungan antara menangisnya anak dengan wewe tadi. Lagipula, ini secara tak langsung juga mengajarkan si anak untuk mempercayai hal-hal tahayul macam itu.

“gak bisa...mallnya kebakaran”. Ini adalah salah satu cara orangtua menenangkan anaknya yang merengek minta ke mall yang pernah saya dengar. Pembohongan. Pantas di negeri ini penuh dengan pembohong-pembohong wong sejak kecil sudah sering  dibohongi, demikian ucap salah satu pembicara dalam sebuah kajian yang saya ikuti. Sebenarya, anak juga mengerti apakah alasan itu cukup rasional apa nggak. Tapi kitalah yang begitu malasnya untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak kita. Sulit memang, sulit karena itu itu tak jarang harus dilakukan di tengah kesibukan yang melelahkan. Tapi hasil yang akan diperoleh insyaallah  bakalan setimpal dengan usahanya.

Banyak sebenarnya contoh yang lain. Salah satu yang cukup populer di daerah saya adalah “orang gila”. Memanfaatkan orang gila untuk menakut-nakuti anak dengan harapan berhenti dari tangisnya. Tentu saja ini amat tak baik bagi psilokogi anak.

Tapi, meskipun tak setuju dengan hal-hal tersebut di atas, saya lebih sering tak bisa berbuat apa-apa (kadang karena memang bukan wilayah saya, kadang juga begitu jahatnya membatin kalau itu toh bukan anak saya, lagi malas). Hanya menggerutu dalam hati. Sampai lebaran kemarin kesempatan itu datang. Pagi hari ketika saya baca-baca di ruang tamu sambil ngemil kue lebaran, keponakan saya nangis. Umurnya masih lima tahun. Cewek. Dari rengekannya terdengar jelas kalau ia minta ke kolam renang. Di desa saya memang ada pemandian umum yang tiket masuknya sekitar 4000. Tentu saja ibunya menolak, pagi-pagi begini, lagipula ayahnya sudah berangkat kerja. Perasaan memang baru dua atau tiga hari yang lalu saja keponakan saya itu merengek minta kesana dan dituruti oleh orang tuanya. Tapi keponakan saya terus merengek, malah minta ayahnya suruh pulang. Gawat. Tentu saja ibunya yang sedang menyapu itu hanya ngomel-ngomel tak mengizinkan. Mengeluarkan kosakata yang tak sepantasnya diucapkan ke anak kecil. Beruntunglah, pagi itu saya lagi baik. Biasa-biasanya sih ikutan berpikir pendek marah-marah, atau minimal tak peduli. Cuek bebek. Saya pun mendekati keponakan saya itu. Alangkah jahatnya saya kalau tahu ilmunya tapi tak mengaplikasikannya.

Keponakan saya itu tiduran di ranjang sambil merengek. Menutup wajahnya dengan bantal. Bila itu sudah dilakukannya pertanda kalau ia lagi ngambek. Bakalan lama reda tangisnya. Saya pun menjajarinya tidur. Saya teringata bahwa awal-awal lebaran kemarin saya memdongengi keponakan saya ini tentang delisa, seorang tokoh rekaan dalam novel hafalan sholat delisa. Dan kemarin itu, cerita itu bersambung. Saya males waktu itu melanjutkannya. Maka saya pun menawarinya untuk melanjutkannya. Ia tak menolak juga tak mengiyakan. Sayapun mulai membisikkan kelanjutan cerita itu. Awalnya ia tak peduli, tetap menangis. Tapi saya teruskan. Hingga ketika saya sampai pada ketika tsunami menerjang, tangisnya mulai perlahan mereda dan ia merespon.

“keseret--??”. Ia bertanya.

inggih... keseret. Kesilep. Ngerti kesilep?”. Saya balik bertanya, mengajaknya  berpartisipasi dan berharap ia melupakan masalah kolam renang itu.

ngerti...ono ningsore banyu”. He..he. Saya tersesyum dalam hati, ternyata anak kecil punya definisi-definisi unik yang bahkan tak saya perkirakan sebelumnya. Usaha saya mulai menampakkan hasil.

Demikianlah, sampai akhirnya ia lupa sudah dengan kolam renang. Kembali bangkit dari ranjang dan mulai ceria. Saya tak menyangka bahwa urusan ini ternyata mudah saja. Cerita tadi, ternyata lebih menarik baginya, dibandingkan harus bersusah payah menangis tanpa kejelasan hasil .

Tapi siangnya saya terkaget. Saat itu saya tidur di kamar. Keponakan saya merengek lagi. Dan apa yang direngekkan membuat saya tersenyum geli.

“yahh....nang kolam”.

Ternyata, siang itu ayahnya hanya kerja setengah hari, mungkin karena hari pertama masuk.  Saya pun geleng-geleng kepala. Saya sungguh keliru, urusan kolam renang ini tidak benar-benar terlupa dari kehendaknya. Tadi pagi, usaha saya saya itu ternyata hanyalah penundaan saja.

Tapi siang itu saya tak bangkit. Tak lagi meneruskan sekuel lanjutan delisa tadi. Biarlah, lagian ke kolam renang itung-itung buat latihan renang baginya.

Beberapa saat kemudian terdengat suara sepeda terstarter. Sebelumnya, tangis keponakan saya itu reda. Dan tentu saja, redanya karena kehendaknya dituruti ayahnya.