Sunday, December 20, 2009

Pak Presiden!

Pak Presiden, kami tidak tahu apakah ini sebuah bentuk ketakberdayaan, semacam pengaduan anak kecil pada ibunya yang hatinya luka setelah diolok-olok teman sepermainan. Kami tak tahu. Kami hanya ingin menuliskannnya. Tak jadi soal apakah Anda yang terhormat berkesempatan untuk membacanya.

Pak Presiden, kami tumbuh seperti halnya kebanyakan anak-anak negeri ini tumbuh. Kami dilahirkan seperti halnya kebanyakan anak-anak masa itu dilahirkan. Kami dilahirkan di sebuah desa yang asri, banyak pepohonan menghijau memenuhi tiap jengkalnya, dan juga udaranya yang bersih meski itu bukan di lereng pegunungan. Kami juga dilahirkan di atas kasur, atau bahkan di atas balai-balai bambu yang generetakan kala diduduki. Entah, kami juga tak pernah bertanya tentang fakta sejarah ini pada orang tua kami. Tapi bukan di rumah sakit yang putih tentunya, Pak Presiden. Hanya dukun beranak yang menunggui persalinan itu, dan juga sebaris do’a dari orang-orang yang akan mencintai kami nantinya. Ibu kami, Pak Presiden, ibu kami meregang nyawa kala itu sebab tak ada alat-alat canggih di sampingnya yang siap difungsikan seandainya hal-hal buruk itu terjadi. Tapi ibu kami selalu yakin, mesti itu tak terucap, bahwa itu bukanlah sebuah perjudian. Sebab pilihannya adalah dua hal ini; mati sebagai syuhada atau hidup mulia membesarkan cinta. Dan dua-duanya agung.

Pak Presiden, kami melewati masa-masa balita dengan merangkak-rangkak di tanah. Mungkin sedikit ingusan, tapi tenanglah, itu tak pernah sampai meleleh menyentuh bibir atas kami. Tenang saja, sebab ibu-ibu kami akan selalu siap menghisap lalu meludahkanya kala kami belum mampu membuangnya sendiri. Itu fakta yang baru kami ketahui kala kami sudah besar. Sebuah tindakan yang terlihat menjijikkan, tapi tidak bagi seorang ibu. Lalu yang terjadi selanjutnya, kami bertumbuh di pematang sawah (-kami berlari-larian di sana-), di riak-riak sungai (-kami berenang-renang di sana dan amat gembira kala turun hujan saat aliran membesar dan beningnya tergantikan coklat-), juga di terangnya purnama (-itulah malam-malam indah sebab kita bisa berlarian di halaman. Tak ada listrik kala itu, Pak Presiden-).

Lalu kami mulai bersekolah, Pak Presiden. Mencintai guru-guru kami, meski terlihat kami sedikit bandel di kelas. Mereka orang-orang mulia, Pak Presiden. Tak salah jika kemudian beberapa di antara kami mulai bercita-cita menjadi seperti mereka. Ah, bukan karena mereka mulia saja yang menyebabkan kami memilih cita-cita itu waktu itu, tapi karena tak ada cita-cita lain yang terlihat nyata untuk kami rengkuh. Hanya ada petani di desa kami, Pak Presiden. Itu sudah menjadi profesi orang-orang tua kami. Dan sepanjang ingatan kami, tak ada teman sekelas yang waktu itu mengangkat tangan untuk ‘petani’ kala guru kami bertanya apa cita-cita kami. Tentunya Anda bertanya-tanya Pak Presiden, harusnya kami sudah mengenal astronot, direktur, pilot pesawat, manajer sebuah perusahaan, penulis, wartawan, atau profesi-profesi lain dari buku-buku yang kami baca. Benar Pak Presiden, harusnya kami sudah mengenal itu dari apa yang kami baca. Tapi sayang sekali, Pak, tak ada perpustakaan di sekolah kecil kami. Kami bukanlah sekelompok anak pedalaman beruntung yang ada mas-mas atau mbak-mbak mulia yang mencurahkan hidupnya dengan membangun perpustakaan di pelosok. Presiden sebelum Bapak, yang memerintah di masa-masa kecil kami, mungkin saja secara rutin telah mengirimi buku-buku bacaan ke sekolah-sekolah kami. Mungkin, hanya saja tak tersampaikan ke kami. Mungkin melapuk tertumpuk di lemari-lemari pengap dan terkunci. Mungkin juga masih tersegel dalam kardus-kardus yang sama sejak pertama kali paket itu datang, untuk selanjutnya teronggok di gudang sekolah yang gelap tak tertembus terangnya matahari. Mungkin, tapi kami tak pernah menyalahkan guru-guru kami.

Ya, Pak Presiden, kami tak pernah menyalahkan guru-guru kami. Tak pernah terpikirkan hal itu. Bagi kami, tanpa adanya perpustakaan di sekolah kami, guru-guru kami tetaplah mulia. Kami akan selalu menaruh hormat pada mereka, mengingat setiap petuahnya. Sebab ketika kami sekarang sudah lancar membaca, juga pandai menulis, merekalah yang pertama mengawalinya. Mereka jugalah yang tak jemu-jemunya mengajarakan hal-hal baik. Mengingatkan kami untuk rajin belajar, menghormati orang tua, suka menolong, berkata jujur, serta hal baik lainnya.

Lalu, Pak Presiden, beberapa di antara kami yang beruntung akan terus bersekolah. Tapi sisanya tidak, dan dengan besar hati harus merelakan cita-cita agungnya usai dengan cara yang terlampau prematur. Untuk berganti sebuah realita; terjun ke dunia kerja bagi yang putera, dan dinikahkan bagi yang puteri. Maka kemudian cita-cita itu mengumpul, dan dipanggul oleh beberapa di antara kami yang terus sekolah.

Akhirnya, tinggal segelintir saja dari beberapa itu yang tersisa. Ya, hanya segelintir saja yang tetap istiqomah memanggul cita-citanya. Terus bersekolah hingga menyelesaikan kuliah kependidikannya. Waktu wisuda itu terlaksana, Pak Presiden, betapa buncah hati kami membayangkan cita-cita itu segera mewujud. Seakan semuanya sudah tergapai. Dan lihatlah, Pak Presiden, mata ibu kami berkaca-kaca persis seperti halnya dulu ia pertama kali melihat kami muncul dari rahimnya. Barangkali apa yang dirasakan sudah melebihi apa yang kami rasakan.

Tapi, Pak Presiden, kami kemudian sadar, itu bukan akhir. Tapi lebih kepada sebuah awal. Betapa susahnya hanya untuk menjadi guru honorer. Setiap sekolah kami masuki, tapi ketidakadaan lowongan gurulah kabar yang kami terima. Lama, hingga kemudian kami menemukan sebuah sekolah. Terpelosok, tradisional, tak ada angkutan umum yang menjangkaunya, begitulah sedikit gambaran tentang sekolah itu. Tapi apa mau dikata, tak ada hal lain yang bisa kami lakukan selain menerimanya. Kami harus menjalaninya demi sebuah mimpi. Hingga kemudian kesadaran lain muncul, ternyata kami tak hanya butuh sematan kata mulia, tapi kamu juga butuh penghargaan dalam wujud lain yang lebih nayata. Ternyata, Pak Presiden, gaji guru honorer itu hanya cukup untuk ongkos transport menjangkau sekolah itu. Mungkin kami tak semulia guru-guru kami dulu, mungkin juga tak semulia Bu Muslimah guru Ikal. Tapi, Pak Presiden, bukankah ikhlas tidak melulu tak dibayar? Sebab untuk menghidupkan cita-cita kami, kami juga butuh hidup.

Ah, betapa bahagianya kami kala itu, Pak Presiden. Pengumuman itu akhirnya muncul juga; PENERIMAAN PEGAWAI NEGERI SIPIL. Dan yang lebih membahagiakan, ada 40 guru yang dibutuhkan. Kami yakin diterima, Pak Presiden. Entah darimana keyakinan itu muncul, tapi kami yakin begitu saja. Keyakinan yang kemudian tinggal keyakinan sebab ternyata kami gagal lolos. Kami masih harus menjadi guru honorer, minimal setahun lagi sampai tahun depan penerimaan ityu kembali dibuka. Tapi kami tak patah arang, kami tak pernah memadamkan cita-cita itu. Mungkin belum waktu kami. Tahun berikutnya, kami ikut lagi. Meski kemudian gagal lagi. Orang-orang sudah berprasangaka kalau kami akan jatuh, saat justru kami sedang berprasangka baik pada Pemilik Kehidupan bahwa memang tahun ini masih bukan tahun kami. Kami masih menunggu tahun depan. Tahun depan yang justru meremukkan hati kami. Sudah menjelang ujian kala seseorang datang menemui kami. Memperkenalkan diri, meyakinkan banyak hal, memeberi janji. Namun hanya satu simpulannya: bahwa ia bisa menjadikan kami guru negeri. Namun juga hanya ada satu syaratnya: kami mampu menyediakan tujuh puluh lima juta rupiah dalam lima hari. Ah, Pak Presiden, betapa kami hancur seketika. Berkeping-keping dan tak berbentuk. Sungguhkah, untuk menjadi seorang yang mulia terlebih dulu melalui sebuah rangkaian kebiadaban berencana? Kami jelas-jelas menolak. Bukan hanya karena tak mungkin mampu menyediakan uang sejumlah itu, tapi lebih kepada tuntutan hati bahwa ketidakbaikan di awal tak akan menghasilkan apa-apa selain ketakbaikan itu sendiri. Esoknya, kami masih menatap hari dengan optimisme, jauh-jauh mengenyahkan perkara tujuh puluh lima juta itu. Berat memang, tapi kami kemudian masih mampu membangun prasangka baik kalau orang yang ‘menawari’ kami itu tak lebih dari oknum-oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan. Dan tahukah Anda, Pak Presiden, prasangka baik kali ketiga ini ternyata lagi-lagi mengahasilkan hal yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya; kegagalan.

Kami masih terus berprasangka baik hingga akhirnya prasangka baik itu benar-benar mendapatkan ujian terberatnya. Dan kami ternyata kalah, Pak Presiden. Prasangka baik kami ternyata berbatas. Berduyun-duyun berita itu menyerbu, bertubi-tubu fakta itu terkuak; si A menjadi guru dengan membayar 100 juta, si B menjadi guru dengan 75 juta, si C lebih besar lagi dengan 110 juta, serta si D yang gagal jadi guru karena hanya mampu menyediakan 10 juta. Sayang sekali, Pak Presiden, tak ada cerita indah tentang gadis desa yang gigih bersekolah dan berhasil menjadi guru hanya karena otak dan hatinya. Tak ada. Seandainya ada, ah, kami mungkin masih punya persediaan prasangka baik untuk sebuah negeri yang lebih sering layak untuk diburuksangkai  ini. Mungkin, meski kami tak bisa sepenuhnya berjanji.

 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pak Presiden, jangan terlalu berkerut membaca tulisan saya di atas. Tulisan di atas hanyalah sebuah keluh kesah dari seseorang yang baru saja mendengar sebuah cerita tentang perlu uang sekian juta untuk menjadi ini, sekian juta untuk menjadi itu, sekian puluh juta untuk menjadi guru, sekian puluh juta untuk menjadi pegawai ini.

Sedih, Pak Presiden. Sedih! Bukan karena hanya masalah hilangnya hak-hak orang yang lain yang lebih mengutamakan nuraninya dalam berbuat,  juga bukan hanya masalah terberangusnya cita-cita sebagian besar anak negeri ini yang tak pernah punya uang sejumlah itu, tapi lebih karena menyadari bahwa di tangan guru-guru penyogok itulah masa depan anak-anak kami ikut terletak. Ah, bagaimana jadinya jika yang selalu mewanti-wanti anak kami untuk selalu jujur, untuk selalu tolong menolong sesama teman, untuk selalu menghormati hak orang lain, adalah orang yang terlebih dulu menculasi ratusan atau ribuan orang yang lain dengan uangnya. Apa jadinya, Pak Presiden? Apa jadinya kalau yang mendidik calon-calon penerus bangsa ini adalah orang-oreang culas macam itu, orang-orang yang mempercayai bahwa uang adalah solusi segalanya.

Hanya itu yang bisa saya lakukan, Pak Presiden. Menuliskannya. Berharap Anda membacanya. Meski kelihatannya mustahil.

Maafkan saya yang hanya mampu menambah panjang permasalahan anda.

(oh, ya..Jika Anda ingin tahu dari mana saya berasal, saya dari Pasuruan)

Saturday, November 28, 2009

Saya dan Membaca

Sampai saat ini, saat saya sudah pede mencantumkan kata “membaca” dalam isian untuk hobi di setiap formulir yang saya isi, saya merasa perjalanan membaca saya bisa dikatakan biasa-biasa saja. Tidak se-wah tokoh-tokoh yang seringkali saya baca riwayat kemembacaannya di buku-buku atau di internet. Terlahir di keluarga pedesaan, dimana membaca adalah hal langka, sepertinya saya tak pernah diperkenalkan untuk mencintai aktivitas ini. Tak pernah sepertinya orang tua saya, dan juga orang-orang tua lain di sekitaran saya sepertinya,  membacakan cerita ketika saya akan berangkat tidur, atau membawakan buku cerita anak-anak yang bisa saya baca di kala senggang. Perkenalan saya dengan membaca (diluar membaca buku-buku pelajaran tentunya) adalah justru dari buku-buku paket bahasa indonesia milik kakak-kakak saya. Saat itu sepertinya saya menikmati betul penggalan-penggalan bacaan yang selalu mengisi tiap awal sebuah bab di buku bahasa indonesia itu. Seingat saya juga, ada cerita tentang asal-usul nama banyuwangi, ada yang drama, ada semacam cerpen, ada juga puisi. Saya masih SD kala itu, tapi saya sudah terbiasa membaca buku bahasa indonesia SMA milik kakak tertua saya.  Kemudian, karena memang buku pelajaran, tentunya jumlahnya tak banyak. Maka jadilah saya sering kali mengulang-ulang apa yang sudah saya baca sebelumnya.

Sebenarnya, saya bisa saja membaca di perpustakaan SD saya jika bisa.  ‘Jika bisa’, karena memang perpustakaan SD saya kala itu bukanlah perpustakaan biasa pada umumnya yang dengan mudah dikunjungi. Entah apa yang ada di pikiran guru-guru kala itu, sebab rak-rak berisi buku itu ditaruh di ruang guru yang sayangnya tak pernah saya lihat ada siswa yang terlihat berdiri di depannya mencari buku yang diingini. Buku-buku itu sepertinya eksklusif sekali dan tak sembarang orang yang bisa membacanya.  Sepertinya saya masih kelas dua-an SD kala menyadari itu, dan sayangnya pikiran SD saya tak sampai berpikiran untuk mengetok pintu ruang guru untuk sekedar berkata, “mau pinjam buku bacaan, bu guru”. Mungkin karena takut, atau mungkin juga karena membaca bukanlah sebuah kebutuhan bagi saya kala itu. Masih menganut semboyan ‘jika ada yang bisa dibaca ya dibaca, jika nggak ada ya nggak usah’.

Buku-buku yang ada di rak buku SD saya kala itu kebanyakan terbitan balai pustaka. Dan bisa dipastikan semuanya adalah bantuan pemerintah.  Pemerintah yang mungkin kala membuat programnya berharap anak-anak indonesia menjadi anak yang cinta membaca. Sebuah cita-cita luhur yang sayangnya tak terteruskan di level-level sekolah. Sebab buku-buku yang ada malah menjadi semacam benda purbakala yang pantang untuk dijamah. Cukuplah menjadi pajangan dan aksesoris untuk mempercantik ruangan.

Memang, saya tidak bisa mengatakan kalau saya benar-benar tidak pernah membaca buku-buku itu. Sebab, ternyata ada juga guru yang perhatian. Meski masih setengah-setengah. Saat itu saya kelas empat, ketika guru kelas saya beberapa kali dalam setahun pelajaran  membebaskan jam-jam terakhir kegiatan belajar dengan aktivitas membaca. Dua tiga orang diajak bu guru saya itu untuk ke ruangan guru guna mengambil buku sebanyak siswa. Acak. Terserah judulnya apa. Satu jam-an tersisa kemudian digunakan untuk membaca, entah sampai apa. Sebab setelah itu mesti dikembalikan. Tak boleh dibawa pulang. Hal yang bila sekarang terkenang teramat menyedihkan. Boleh jadi rendahnya minat baca anak-anak itu, itulah penyebabnya.

Ketika menjelang lulus SD, buku-buku yang selama ini mendiami ruangan guru itu pun akhirnya pindah ruangan. Tapi sayangnya bukan ke perpustakaan ideal. Buku-buku itu justru digudangkan. Dimasukkan ke dalam ruangan sempit yang pengap. Juga lembab. Ruangan itupun kemudian dikunci, hanya beberapa kali saja terlihat terbuka saat tukang kebun sekolah ada keperluan di dalamnya. Itupun seringkali sebentar. Maka anda semua pasti sudah menduga apa yang terjadi pada buku itu. Hanya ada dua pilihannya: jamuran atau tikusan. Sedih, sedih sekali kala sekarang mengingatnya.

Justru kemudian, persinggungan saya yang lebih intens dengan dunia membaca ada di sekolah madrasah. Beberapa mungkin mengerutkan dahi mendengar istilah itu, sebab madrasah sendiri artinya adalah sekolah. Tapi begitulah kami di sana menyebut untuk sekolah agama yang masuknya sore. Sekitar jam 1 sampai jam 4. Hampir tiap dusun ada sekolah semacam ini. Meski lebih banyak dikelola tak profesional, ternyata sekolah-sekolah ini juga mendapat bantuan pemerintah. Salah satunya buku. Buku bacaan juga. Memang, seperti halnya buku-buku di SD, buku-buku itu juga ditaruh di lemari yang ada di ruang ustad. Tapi, berhubung amat mudah keluar masuk ruangan itu, karena memang juga dijadikan salah satu kelas, maka sayapun dengan mudah juga mengakses buku-buku tersebut. Saat itulah mungkin saya baru menyadari kalau saya berbeda dengan teman-teman yang lain dalam hal membaca. Sebab seringkali teman-teman  berkomentar tentang ketidakumuman saya tenggelam dalam buku-buku cerita ketika jam istirahat. Sat itulah saya baru sadar, saya suka membaca.

Kemuidian masa SMP. Tak terlalu banyak yang bisa diceritakan tentang kemembacaan di masa SMP ini. Di SMP saya memang ada perpustakaan, lumayan besar malah, tapi tak terlalu banyak sesuatu yang bisa dibaca. Hanya buku-buku pelajaran bantuan pemerintah yang sebagian sudah kurikulum lama.  Tak terlalu banyak hal menarik yang bisa dilakukan di sana. Maka tak heran, perpustakaan bukanlah tempat favorit saya kala SMP.

Dan masa SMA. Masa inilah yang mampu melejitkan minat saya ke membaca. Bersekolah di sebuah SMA paling bergengsi di kota saya, Pasuruan, saya mulai menemukan sebuah perpustakaan yang mulai mendekati perpustakaan bayangan saya. Perpustakaan itu tak cukup besar, sempit malah, buku-bukunya juga tak sebegitu banyak, tapi di situlah saya mulai mengenal banyak hal. Seperti di SD saya dulu, buku-buku di situ juga kebanyakan bantuan pemerintah. Tapi bagi saya kala itu, itu saja sudah cukup. Di perpustakaan itulah kemudian saya mengenal Budi Dharma dengan Olenka-nya, YB Mangunwijaya dengan Burung-Burung Manyar-nya, Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya, Taufiq Ismail dengan malu (aku) jadi orang Indonesia-nya, Ernest Heningway dengan Lelaki Tua dan Laut-nya, serta sastra-sastra klasik lainnya yang akan sangat panjang bila saya daftar satu persatu. Di perpustakaan itu pulalah saya mengenal majalah sastra Horison. Saya menikmati betul kala  membaca sastra pelajar pada lembar kaki langit di mjalah Horison itu. Lembar Kaki Langit inilah kemudian yang cukup hebat menstimulus saya menjadi seorang penulis, selain tentunya lembar budaya dan sastra hari minggunya Kompas (*apa yah namanya? Lupa. Disini tak lagi baca Kompas*). Di SMA inilah saya menjelma menjadi manusia perpustakaan. Menjadi kutu buku yang tak berkacamata. Waktu Istirahat adalah waktu membaca. Kebiasaan yang ternyata ada untungnya, sebab uang saku saya kala itu tak cukup banyak untuk dijajankan di kafetaria. (*untuk masa SMA ini, saya tak bisa tidak untuk tidak berterimakasih pada Dewi. Satu-satunya orang sepertinya yang lebih baik dari saya dalam intensitas meminjam novel-novel klasik itu*)

Kuliah! Kuliah! Ada banyak hal sepertinya yang bisa diceritakan pada masa-masa ini untuk segala hal yang berhubungan  dengan membaca. Di sini, saya menemukan perpustakaan kampus yang besar berlantai-lantai yang kala pertama melihatnya membuat saya takjub. Hanya sayangnya, ini adalah kampus teknik. Hanya ada jurusan teknik dan science. Maka yang lebih banyak tertemukan di perpustakaan adalah textbook tebal berbahasa inggris tentang pabrik atau mesin, atau rancang bangun, atau jaringan listrik, atau struktur beton, atau perkomputeran. Jangan harap akan banyak buku sastra tertata di salah satu raknya. Sebuah kekurangan yang ternyata membukakan jalan untuk hal lain. Sebab, walaupun tak terlalu banyak buku-buku sastra, di perpustakaan itu masih cukup banyak buku agama dan motivasi. Jadilah kemudian saya  merambah dunia lain dan mengenal penulis-penulis lain beserta karyanya selain yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Di perpustakaan inilah sehabis kuliah (khusunya di semester-semester awal*) saya menghabiskan waktu. Ke lantai bawah membaca berbagai koran hari ini, atau lantai tiga membaca berbagai koleksi majalah dan tabloid, atau lantai lima mencari-cari buku yang sekiranya bisa dipinjam.

Tapi, yang lebih memperkenalkan saya lebih jauh dengan membaca ternyata bukan di perpustakaan. Ternyata justru di luaran. Apa yang saya singgungi sehari-hari. Tinggal di sebuah kontrakan dengan tingkat kekeluargaan yang pekat, maka saya bisa dengan mudah meminjam koleksi buku teman-teman sekontrakan. Di situlah kemudian awal mula saya mengenal Anis Matta, Yusuf Qordawi, Hasan Al Bana, Salim A Fillah, Sayyid Quthb, serta yang lain. Juga mengenal sabili, tarbawi, atau Hidayatullah. Juga mengenal Ayat-ayat Cinta. Seorang teman meminjamkannya (*suwun ya, khoir*) yang membuat saya kian terbuka tentang novel-novel lain selain novel-novel klasik yang saya baca pas SMA.

Di masa kuliah ini pula saya mulai berani membeli buku. Ha ha..berapa mungkin tertawa. Tapi begitulah. Mulanya membeli buku bagi saya adalah sesuatu yang wah. Amat berat rasanya pas pertama kali memutuskan untuk membeli. Butuh banyak pertimbangan. Berhitung masak-masak. Sebuah awal yang terlihat janggal mengingat kemudian aktivitas itu sudah menjadi semacam candu. Bagaimana tidak menjadi candu sebab seringkali mengingkari rasionalitas bahwa bisa saja keputusan membeli buku itu bakal memangkas jatah uang makan untuk berhari-hari ke depan. Tapi di situlah seninya.

Dan sekarang, dunia saya yang sekarang, saya mendapati bahwa laju membaca saya tak lagi berimbang dengan laju pembelian buku saya. Ketika saya tak lagi di masa SD dimana tersedia banyak buku tapi tak tergapai tangan kecil saya, ketika saya tak lagi di SMP kala tak ada buku yang bisa saya baca, tak juga di SMA kala yang bisa saya baca adalah apa yang tersedia di perpustakaan sekolah, tak juga di kuliahan kala membeli buku adalah aktivitas mewah, saya sedih kala kini menyadari aktivitas membaca saya tak lebih baik dari apa-apa yang terjadi dahulu. Tak terlalu banyak waktu lagi yang saya sediakan untuk membaca. Meski saya tetap mencintai aktivitas yang satu ini, tapi tetap saja..

Ah, doakanlah kawan, saya akan kembali membaca. Membaca segala. (*kalimat terakhir ini adalah pemaksaan agar saya bisa menyudahi menulis ini. Bakalan bewrlembar-lembar jika tak dipaksakan disudahi)

 

 

 

Thursday, November 26, 2009

Oleh2 dari sholat ied di Bontang




Dua kali takbiran sudah di tanah perantauan. Sembilan bulan berjalan. Sembilan bulan yg telah membuatku mencintai tanah ini…..
Seperti yang terlihat di sini. Sholat ied di bontang….
(maaf yg motret amtir)

Sunday, November 15, 2009

Siapakah dia yang selalu sendiri??

Sudah lama saya tinggal di sini, tapi baru beberapa waktu yang lalu saja saya pertama kali melihatnya.  Suasana memang sedang sepi, hari aktif, dan orang-orang sudah berada di tempat kerjanya. Kebetulan, waktu itu saya sedang off. Dan inilah mungkin yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama. Seketika itu saya tertarik. Benar-benar tertarik.

Ia sendiri saja kala saya pertama kali melihatnya. Dan begitulah memang seterusnya ketika saya melihatnya untuk kali kedua, ketiga, dan kesekian kalinya. Seolah ia memang menyukai kesendirian, atau memang tak ada lagi yang mau menemaninya. Saya melihatnya juga selalu di tempat yang sama, di titik yang sama, di bibir danau pinggir jalan itu. Tapi ia berada di sisi yang jauh dari jalan. Saat melewati jalan itulah saya menemukannya sendiri.

Dia memang sedikit hitam. Atau memang hitam. Tapi manis. Tentu saja saya tidak sedang membual kala menyebutnya manis. Ia memang manis. Membuat yang  melihatnya akan langsung lekat menatap. Bila sedang berjalan, maka relalah memperlambat jalan untuk sekedar berlama-lama  menatap. Lehernyapun jenjang, bahkan teramat jenjang untuk ukuran tubuhnya. Tapi itu, lagi-lagi justru membuatnya kian menyihir. Benar-benar sebuah penciptaan yang sempurna.

Hmmm, saya sedang berbicara tentang bangau. Di desa saya dulu, saya sudah sering melihat bangau di persawahan berkelompok dalam hitungan jari, atau dalam kesempatan lain bisa berpuluh-puluh kala ada sawah yang dibajak. Kesehariannya memang lebih sering bergerombol dan hampir semuanya berwarna putih. Tapi di sini, saya menemukan sebuah spesies yang saya duga sebagai bangau dengan warna hitam pekat sendirian saja. Hitam, benar-benar hitam hingga sepertinya tak ada warna lain yang ikut memeriahkan bulu-bulunya. Sendiri, benar-benar sendiri hingga sepertinya tak ada lagi teman yang bisa diajak membersamainya.

Seperti saya kemukakan di atas, saya menemukannya di pinggir danau. Atau lebih tepatnya telaga. Atau lebih tepatnya lagi semacam kubangan agak lebar tempat penampungan air. Tak jauh dari tempat saya tinggal letaknya. Sepertinya ia sedang mencari minum, atau mungkin makan, atau seperti saya, sedang menikmati pemandangan ini. Saya tak tahu dengan pasti.

Begitulah, perkara burung bangau ini, adalah satu dari beberapa hal yang membuat saya menyukai lingkungan baru saya ini. Lingkungan alami dengan pepohonan yang masih merimbun, juga satwa-satwa unik. Lingkungan seperti ini, sepertinya sudah langka ditemui di jawa, apalagi di daerah perkotaan yang miskin lahan hijau.  Saya bisa dikatakan beruntung menemukannya di sinii.

Suatu waktu, saya menemukan sekelompok primata sedang menjarah pohon mangga tetangga. Pertama kali saya terkejut. Takut-takut. Tapi kemudian tertarik. Ketertarikan ini, ditimbulkan oleh sebab primata ini bukanlah primata umum yang sering ditemui di hiburan topeng monyet. Tubuhnya terlihat gendut dengan bulu sedikit lebih terang kemerahan. Lucu. Di perutnya, nampak juniornya bergelajutan mesra mencari perlindungan.

Dan masih banyak lagi. Kicau burung sepertinya sudah menjadi kesehariaan. Di sinilah akhirnya  saya menemukan kembali sebuah spesies burung yang sepertinya tahun-tahun belakangan ini tak lagi saya lihat beterbangan di antara hamparan padi di kampung halaman saya. Tupai-tupai bergerilya membolongi kelapa, sepertinya juga menjadi pemandangan yang lumrah. Tupai-tupai ini, tiap paginya selalu berisik. Ramai berkejaran meniti kabel disusul melompat lincah dari satu dahan ke dahan lain. Layaknya sebuah sirkus. Layaknya sebuah orkestra. Benar-benar seperti sorak penyemangat bagi orang-orang yang hendak memulai kerja-kerja. Dan barisan pohon-pohon tinggi itu…

Ah, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.

Friday, November 13, 2009

Mak Ipah (Bukan Cicak vs Buaya)

Mak Ipah namanya. Usianya sudah berbilang setengah abad. Atau mungkin lebih, sebab ia sendiri juga tak tahu pasti kapan ia dilahirkan. Yang ia tahu, dari cerita orang tuanya dulu, usianya sebaya dengan si ini, lebih tua dari si itu, atau lebih muda dari si anu. Tapi bila kalian melihatnya langsung, mungkin kalian akan langsung menganggap ia jauh lebih tua dari usia yang disebutkan di awal tadi. Sebab kerasnya hidup memang lebih dulu menyapanya dari orang-orang kebanyakan. Mendewasakan, atau lebih tepatnya menuakannya, lebih dahulu.

Pagi masih menyisahkan embun di pucuk rerumputan, dan dingin sesekali masih mendera kulit yang mengeriput, tapi ia sudah berangkat. Tak banyak yang ia bawa. Hanya sebuah sarung tangan bekas yang sudah koyak di sana-sini. Itupun bukan sepasang, hanya sebelah saja. Untuk tangan kanannya. Sebenarnya, itu juga sudah lebih baik. Dulu-dulunya, ia memakai sarungtangan dari kaos kaki anaknya yang sudah berlubang lebar dan tak terpakai lagi.

Tujuannya hanya satu: ke hamparan padi menghijau yang belum genap sebulan dari masa tanam. Letaknya di pinggiran kampung yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Di sana, ia akan bertemu dengan perempuan-perempuan sepertinya. Perempuan-perempuan dengan sarung tangan sebelah menghiasi tangan kanannya. Maka kemudian akan berderailah suara mereka, sesekali ada tawa, sesekali terlontar lelucon, sesekali ada teriakan. Seketika riuhlah pagi hari itu. Dan kerja-kerja nyata itupun dimulai.

Jika kalian menganggap padi menghijau tadi adalah milik mak Ipah, ah sayang sekali tidak. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang membersamainya itu, kedatangannya ke persawahan itu hanyalah demi sebuah upah penjamin penghidupan. Ia hanyalah buruh tani di tanah subur negeri ini. Sebab untuk setiap cakaran tangan kanannya, untuk setiap rumput yang tercerabut, untuk setiap bungkukan badannya, untuk setiap kaki yang terjerembab dalam lumpur yang dalam itu, untuk setiap itulah rupiah akan mengganti. Dan itu berarti banyak. Bahwa satu hari lagi akan ada asap mengepul dari dapurnya, bahwa masih ada uang saku buat anaknya berangkat sekolah, bahwa akan ada uang tambahan penambah penghasilan suaminya. Nanti, ketika angin sudah mulai semilir membelai tengkuk, mereka akan segera menyudahi pekerjaannya itu. Kembali melangkah pulang sambil tak lupa mencari sayur seadanya sebagai pelengkap memasak siang nanti. Dan tujuh lembar uang ribuan   sudah menanti sebagai upah sepagian tadi. Tujuh lembar yang berarti sesenyum simpul di bibirnya, ‘terima kasih untuk hari ini ya Allah’

Mmmhh… ilusterasi saya di atas, besar kemungkinan berlebihan. Tapi sungguh, di pelosok-pelosok negeri ini, di sebuah kampung yang mungkin didatangi hanya menjelang pemilu, di sebuah dusun yang mungkin satu-satunya akses menuju ke sana harus melalui sebuah jembatan yang hampir runtuh oleh sebab pembangunannya yang tidak memenuhi standar, ada orang-orang yang harus mengais-ngais tanah demi beberapa lembar uang ribuan saja, ada ibu-ibu yang rela berjalan lebih jauh hanya demi untuk membeli keperluan pokok yang murahnya hanya berselisih dua ratus rupiah, juga ada bapak-bapak tua yang mengayuh becak penuh muatan berkilo-kilo meter demi lima ribu rupiah. Maka ketika siaran televisi kini ramai mengabarkan uang ber-MM dihamburkan begitu saja macam mengeluarkan uang untuk membeli kerupuk, akankah pikiran mereka  mampu menjangkau? Seberapakah itu? Bagaimanakah rasa memilikinya? Betapa ringankah menyebutnya? Akankah itu memang benar-benar uang (bukan daun?)? ah, saya tak berani membayangkan tidakkah itu membuat mereka hanya dipenuhi mimpi-mimpi kosong tanpa kerja-kerja nyata mengais-ngais tanah menyingkirkan rerumputan di hamparan padi?

Tapi saya keliru, esok-esok selanjutnya, mak Ipah beserta teman-temannya masih ramai meningkahi pagi. Masih riuh bercerita. Masih tertawa. Tak ada keluh kesah. Tak ada pembicaraan tentang Anggodo, Antasari, Rani, Ari Muladi, Susno, cicak vs buaya, apalagi program sejuta facebooker dukung Bibit Chandra. Bagi mereka, bahasan tentang gula yang naik dua ratus rupiah, tentang toko baru yang menjual kebutuhan pokok dengan harga miring, atau tentang ayam-ayam yang mulai banyak terkena penyakit, jauh lebih menarik untuk diperbincangkan daripada itu semua. Apakah karena mereka memang tak tahu apa yang terjadi? Ah, saya tak tahu. Ataukah karena mereka justru tak mau tahu? Entah juga.  Atau jangan-jangan, sinetron picisan nggak jelas itu lebih menarik daripada siarannya Metro TV sama TV one? Lagi-lagi saya juga tak tahu.  Atau karena mereka tak punya TV? Mungkin ada baiknya kita tanyakan langsung ke Mak Ipah. Dimana? Ah, bukankah banyak sekali Mak Ipah-Mak Ipah di sekitaran kita. Kita saja yang terlalu sibuk bermain di dunia maya hingga tak tahu kalau sebenarnya Mak Ipah sejak dua tahun yang lalu  mendirikan rumah gubuknya di kompleks kita. Sepelemparan batu saja dari rumah megah kita. Sedikit saja kita mau melongok, tubuh kurusnya akan jelas terlihat. Jadi….?? 

 

Thursday, November 5, 2009

Deposit-Deposit Yang Meracuni

Alikisan, tiba-tiba semuanya menjadi heboh. Bukan karena riang, senang, apalagi muka-muka puas. Jauh! Jauh dari itu semua. Semuanya justru mengerutkan dahi, bertanya-tanya yang tak jelas ditujukan kepada siapa,‘bagaimana bisa?’. Maka rapat-rapat pun digelar. Pembahasan-pembahasan panjang dilakukan. Analisa-analisa mengemuka. Solusi-solusi.

“ini mungkin karena pengoperasiannya yang salah. Ada prosedur yang tak bener”, sesorang berpendapat.

“ah, mana mungkin. Sudah bertahun-tahun prosedurnya seperti ini. Tak pernah ada yang berubah. Kenapa tidak dilihat bagaimana kemarin pas loading. Adakah yang terlewat? Apakah pressure dropnya sudah memenuhi”, cepat seseorang menyanggah

“mmmh..mungkin katalisnya. Mungkin tidak sesuai standar. Mungkin kan?”, penengah menenangkan. Tak perlu ada yang merasa terpojokkan.

Masalahnya cuma satu : primary reformer membara. Terjadi hot spot bahasa kerennya. Dan yang membuat satu masalah itu menjadi begitu luar biasa adalah, reformer itu baru saja menjalani perawatan tahunan selama hampir tiga minggu. Turn around biasa disebut. Katalisnya pun baru. Baru saja dibeli langsung dari negeri sono. Mendatangkan engineer-engineer bule pula. Lalu bagaimana mungkin??

Mmhh..bagi yang mengerutkan dahi tak mengerti, begini ceritanya. Untuk sederhananya, taruhlah ada sebuah reaktor berupa tube-tube vertikal berjumlah 144 buah. Di dalam tube-tube inilah terdapat butir-butir katalis yang berfungsi untuk membantu reaksi. Di dalam tube ini pula bahan baku yang berupa gas (atau berfase gas) dialirkan agar bereaksi menjadi bentuk lain yang diinginkan dengan bantuan katalis. Selesai? Belum! Katalis itu saja ternyata tak cukup untuk keberlangsungan reaksi. Reaksi ini sangat-sangat endotermis hingga membutuhkan panas yang besar tersuplay ke dalam tube. Kebutuhan panas inilah kemudian yang dipenuhi dengan pembakaran fuel di dekat dinding tube dengan harapan panas radiasinya dapat terserap oleh tube, hingga reaksi dapat terjadi. Di dinding luar tube ini, suhu berkisar 900 oC.

Dan masalah yang terjadi adalah, suhu dinding tube yang biasanya konstan, mendadak naik. Padahal tak ada prosedur yang berubah. Pembakaran tetap, kapasitas produksi juga normal-normal saja. Tak ada alasan dari segi operasional yang bisa menjelaskan mengapa dinding luar tube (atau biasa disebut skin tube) itu tiba-tiba naik. Semuanya bingung tak mengerti. Bila tidak diatasi, itu tentu saja akan sangat berbahaya sebab tube tersebut tentu saja punya desain temperatur maksimal. Melebihi, maka rusaklah konsekuensinya. Sedangkan rusak, adalah kefatalan yang harus dihindari.

Lama kemudian masalah ini dibahas, tapi belum juga ditemukan apakah akar penyebabnya. Hari-hari terlewati lewat pengawasan ekstra ketat terhadap temperatur skin tube. Hingga setelah melakukan proses yang panjang melalui analisa-analisa akhirnya dapat disimpulkan bahwa katalis dalam tube ini teracuni. Teracuni adalah sebuah kondisi kala ada deposit (dalam kasus ini deposit sulfur dan karbon) yang menempel di permukaan-permukaan katalis. Mmhh..beberapa mungkin tak paham mengapa dengan teracuninya katalis itu dapat menaikkan suhu skin tube, tapi bagi yang pernah belajar masalah ini tentu saja mudah saja persoalannya. Katalis-katalis tersebut berfungsi sebagai pembantu jalannya reaksi, maka jika teracuni, yang mana menyebabkan keaktifannya berkurang, tentu saja akan menyebabkan terganggunya reaksi. Konversi reaksi menjadi menurun. Dan bila konversi reaksi menurun, maka akan ada sebagian panas yang akhirnya tidak terserap. Ingat, reaksi ini adalah endotermis yang mana membutuhkan sekian satuan energi panas tiap mol reaksi.

Mudah-mudahan penjelasan sederhana itu bisa sedikit menjelaskan. Dan bila belum, semoga saja sebagai pengingat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui. Kita masih perlu banyak belajar.

Tapi kemudian saya berpikir. Jangan-jangan kasus reformer itu tak ubahnya diri kita. Jangan-jangan sudah terlalu banyak deposit-deposit dosa yang menempel di dinding-dinding kalbu kita. Membuat keaktifannya menjadi berkurang. Membuat ia tak mampu lagi mereaksikan problematika hidup menjadi sebuah hal yang justru penuh hikmah. Maka tak heran kita akan dengan cepat mudah panas hanya oleh sebuah tekanan hidup yang remeh temeh saja. Kita mudah tersinggung, kita mudah marah, kita mudah sekali menjadi membabibuta.

Sahabat, jika itu telah terjadi, maka menyadarilah yang pertama mesti kita lakukan. Karena dengan kesadaran, kita akan dengan mudah melakukan sebuah perbaikan. Seperti kasus deposit pada katalis-katalis tersebut, kesadaran bahwa deposit itu penyebabnyalah membuat semuanya akan mudah mengambil tindakan. Sebab deposit itu memang bisa dihilangkan melalui sebuah tindakan-tindakan tepat yang sudah terprosedurkan, hingga keaktifan katalis bisa kembali ke sedia kala. Begitu juga dengan hati. Begitu juga dengan masalah deposit dosa yang meracuni hati itu. ada penghilangnya. Ada pembersihnya. Ah, masing-masing dari kita sudah sangat mengerti akan hal ini.

Mari membersihkan hati!

Monday, November 2, 2009

Sejenak Menjadi Bapak

Salah satu bagian yang cukup menarik masuk shift , yang mana kesehariannya bergaul dengan bapak-bapak  operator yang kebanyakan sudah beranak dan bahkan sudah memiliki anak yang sebaya dengan saya, adalah saat bapak-bapak itu mulai bercerita tentang anak-anak mereka. Tak terlalu sering memang mereka melakukannya, tapi saat mereka mulai bercerita, yang sebagian di antaranya melalui sebuah pencingan, saya akan selalu serius menyimak. Dan bila mereka telah memulai, akan sulitlah untuk berhenti.

Benar memang, bahwa orang tua akan selalu berseri-seri saat menceritakan anak-anak mereka. Semangat, dan sepertinya tak hirau lagi apakah itu bakal menarik bagi si pendengar atau tidak. Hingga merasa berdosalah saya, jika tidak membalas binar-binar bahagia di mata mereka saat bercerita itu dengan sebuah antusiasme. Antusiasme yang saya yakin amat dibutuhkan mereka. Sebab antusiasme itu, mungkin  sebagai bentuk pengakuan atas kebapakan mereka. Dan seorang bapak, tentu saja akan selalu bahagia jika dianggap telah benar-benar menjadi bapak bagi anak-anak mereka.

Cerita-serita itu sederhana saja. Masalaha keseharian anak, masalah pendidikan, atau masalah cita-citanya. Tapi saya yakin, tidak ada yang sederhana bagi seorang bapak jika itu sudah menyangkut anak-anaknya. Itu akan menjadi cerita yang lebih, tak biasa, dan tentu saja perlu pemikiran yang matang.

Suatu ketika, saya dengan jelas menangkap kebahagiaan dan kebanggan dari seorang bapak yang bercerita tentang anak gadisnya. “Ia tomboy banget. Suka memakai celana pendek. Pengennya jadi lelaki”, demikian seorang bapak itu bercerita. Ia kemudian tentu saja bingung. Nasehat sepertinya sudah tak terlalu dihiraukan. Untunglah kemudian ia masih berpikir jernih. Lepas dari SD, Ia putuskan mengirim anaknya itu ke sebuah SMP IT nun jauh di seberang pulau. Di Malang tepatnya. Tak ada paksaan kala itu, demikian bapak ini menambahkan. Sebab, masih kata beliau, banyak juga teman-temannya yang ikut bersekolah di sana.

Maka kemudian, ia bersyukur, kala pulang saat liburan, anak perempuannya itu sepertinya berubah. Anak perempuannya itu kini berjilbab, berrok, dan terlihat santun, bahkan saat di rumah selama liburan, yang mana tak ada aturan untuk itu selayaknya di sekolahnya. Telah hilang kelelakiannya yang mana dulu begitu jelas mendominasi. “sekarang ia rajin sholat dhuha, rajin baca al-qur’an, bisa ngingetin kakaknya”, demikian tambah si Bapak yang saya tahu sedang diselimuti bahagia. Saya termenung, andai semua bapak lebih berbangga tentang anaknya untuk capain-capaian seperti ini.

Lain lagi tentang seorang bapak yang lain. Ia bercerita tentang anaknya dengan rasa sedikit mengeluh dan berbagga hati. Dua perasaan yang janggal sekali datang untuk berkolaborasi. Tapi begitulah nyatanya. Ternyata, anak pertama bapak tadi dengan tegas bercita-cita ingin menjadi musisi. Hmmm, saya tahu, tak terlalu banyak orang tua yang mau menerima cita-cita seperti itu, amat berbeda mungkin sikapnya  jika cita-cita itu profesi semacam dokter atau hakim. Tak umum, demikian bapak ini menyebut, menyiratkan keraguan. Tapi kemudian saya heran, ia dengan rasa bangga bercerita tentang anak pertamanya yang menjadi pemusik pengiring saat direksi dan jajarannya mengadakan semacam acara gathering selepas upacara 17an. Sepertinya bapak ini ‘merestui’ jika musik itu hanya sekedar hobi, bukan jalan hidup bagi anak pertamanya itu.

Pembicaraan tentang anaknya itu sepertinya akan berakhir ketika si Bapak bertanya, “kalau mas Iqbal dulu belajarnya gimana?”. Hmm..saya seringkali berhati-hati jika mendapat pertanyaan ini. Takut salah. Sampai saya lulus kuliah, sepertinya tak sekalipun orang tua saya menyuruh saya belajar. Bahkan ketika SD dulu, mungkin porsi bermain saya jauh-jauh lebih banyak. Hanya saja PR selalu dikerjakan, hanya saja selalu belajar bila menjelang ulangan.

“wah kalau saya nggak pernah disuruh-suruh belajar sih pak sama orang tua. Kalau ingin belajar ya belajar. PR dikerjain, mau ulangan belajar.”

“kesadaran berarti?”

Saya berhenti sebentar. Tersenyum, “mmh..ya nggak tahu juga sih. Mungkin. Memang puteranya nggak mau belajar ya, pak?”

“iya nih. Main saja pekerjaannya”

“tapi PR dikerjakan kan??”

“dikerjakan. Tapi seringkali terburu-buru. Menjelang berangkat malah kadang ngerjainnya”

“(bla bla bla)”, dengan hati-hati akhirnya saya mengutarakan pendapat. Boleh dibilang tak terlalu lama saya lepas dari masa-masa anak si Bapak ini. Sedikit banyak mengerti dunia mereka.

Lain bapak pertama, lain bapak kedua, lain pula  bapak ketiga. Semalam saja kejadiannya saat bepak ini bercerita. Entah bagaimana mulanya ketika ia bercerita tentang anaknya yang minta diantar kesekolah. Tak biasanya anaknya yang masih kelas 2 SD itu minta diantar. Sebab memang sudah ada mobil jemputan yang sehari-hari mengantarjemput dia dan teman-temannya.

“tak bisa nak, papa masuk pagi. Ntar telat gimana?”. Memang bapak ini sedang masuk shift pagi

“kalau gitu nggak mau sekolah!”

“Lo!”, dengan berat hati dan beresiko telat tiba di pabrik ia akhirnya berangkat juga mengantarkan anak pertamanya itu.

Hari berikutnya, hal yang dikhawatirkan bapak ini terjadi. Si anak minta di antar lagi. “ini pasti ada apa-apa”, demikian pikir bapak ini. Pasti ada sesuatu yang membuat anaknya enggan naik mobil jemputan. Sesuatu yang akan ia cari tahu. Untunglah waktu itu ia masuk sore, hingga punya banyak keluangan di pagi itu.

Yang pertama ia tuju adalah sopir mobil jemputan. Ialah yang bertanggung jawab. Sedikit banyak pasti ia mengerti.

“Bang, sampean apakan anakku kok nggak mau naik mobil jemputan lagi?”, demikian si Bapak memulai. Ia memang sudah kenal sama sopir tersebut.

Agak lama sopir menjawab, sampai…“waduh, anak sampean nakal banget. Masak mobil ini distarter sendiri, untung saja nggak jalan. Kalau jalan, wah…(bla bla bla). Ya saya marahilah dia”

Ting! Persolan tertemukan akarnya. Segeralah ia temui kembali anaknya. Mendekat. Menjelaskan…

“kakak nyalain mobilnya ya? Nggak boleh nak! Kalau mobilnya jalan gimana? Kalau nabrak temennya gimana? Kakak mau kalau temennya meninggal? Kakak mau kalau dipenjara? Kalau papa yang jadi om yang nyetir juga bakal marah sama kakak. Ayo sekarang minta maaf ke om dan janji nggak bakal ngulangi”

Selesai. Berakhir indah. Hari-hari berikutnya si anak mulai naik mobil jemputan lagi.


Demikianlah, pembicaraan tentang anak, selain ketiga cerita di atas,  sering terjadi. Dan selalu, saya akan serius berbicara tentang ini. Mereka adalah pelaku, orang-orang yang telah menjalaninya sendiri bagaimana menjadi bapak itu. Saya belum.  Si belum seharusnya belajar pada si telah. Sayapun harus melakukannya. Bukan sekedar mengadopsi, atau membuat sebuah kesimpulan pasti. Hanya mengumpulkan cerita-cerita dan rasa-rasa yang berkelebatan, yang semoga saja dapat memperkaya batin. Suatu saat saya yakin akan berguna. Suatu saat. InsyaAllah..



Tuesday, October 27, 2009

Dari Surabaya, jalan lain menuju Bontang

Setahu saya, waktu itu, baru ada dua pulau lain yang pernah saya kunjungi. Yang pertama adalah Madura, pulau yang relatif terdekat dan  masih menjadi bagian dari propinsi tempat saya berdiam. Sepertinya waktu itu saya masih kecil ketika melakukannya hingga tak terlalu banyak ingatan yang bisa gali saat ini. Yang kedua adalah Bali, beberapa tahun yang lalu, oleh sebuah ‘kebetulan’ karena teman seangkatan mengagendakan Bali sebagai tujuan samping setelah melakukan kunjungan industri yang kami lakukan sampai Jember kala itu. Tujuan samping yang nyatanya menjadi utama.

Beberapa pulau lain sebenarnya yang menjadi angan-angan saya untuk menjadi pulau lain ketiga yang bakal saya injak. Salah satunya adalah Masalembo, pulau kecil antara Jawa dan Kalimantan, tempat patner skripsi saya lahir, besar, dan bertumbuh. Pulau yang (katanya) eksotik dengan butiran pasirnya yang memutih dan lautnya yang masih jernih. Salah duanya kemudian adalah Sempu, pulau kecil di selatan Malang yang setahu saya tak berpenghuni. Angan-angan saya kala itu sepertinya Sempu bakalan menarik untuk dijadikan tujuan berpetualang mengenang masa-masa berkemah pas Pramuka SMP dulu. Tapi, ternyata keduanya hanya tinggal dalam angan-angan belaka. Justru yang menjadi ketiga kemudian bukanlah pulau kecil tak berpenghuni layaknya Sempu, tapi sebuah pulau raksasa yang bahkan jauh lebih besar dari Jawa; Borneo.

Kejadiannya delapan bulanan yang. Pukul sebelasan di ponsel saya ketika saya (atau kami) mendarat di Sepinggan, tapi saya tahu telah pukul dua belas waktu setempat sebab Balikpapan, tempat bandara Sepinggan berada, termasuk wilayah Indonesia tengah. Seingat saya, pas SD dulu, saya sudah dikenalkan bahwa Kalimantan adalah sebuah pulau alami dengan hutan tropisnya yang melebat, orang utannya yang besar, serta orang dayaknya yang masih begitu harmonis dengan alam. Tapi setelah kuliah, setelah informasi juga sudah deras menyerbu, saya disuguhkan sebuah gambaran bahwa Kalimantan telah menjadi sebuah pulau cantik yang mulai bopeng di sana sini. Pembalakan liar sepertinya tak pernah absen tersuguh dalam berita, dan eksploitasi barang tambang nampaknya juga tak lagi mengindahkan lingkungan. Pembuktiannya baru dimulai beberapa jam kemudian.

Tujuan saya bukanlah Balikpapan, tapi Bontang. Sebuah kota yang belum begitu saya kenal yang katanya masih berjarak 5-6 jam perjalanan via darat dari balikpapan. Tapi kami tak langsung meluncur ke Bontang dulu. Terlebih dulu kami beristirahat sebentar di kantor perwakilan untuk makan siang serta sholat. Sejenak kami melintasi Balikpapan yang katanya kota indah itu. Kota yang saya ketahui dinobatkan sebagai kota termahal di Indonesia lewat sebuah potongan berita yang saya baca pas di surabaya dulu. Memang, kemudian saya bisa menyimpulkan bahwa tak ada sama sekali gambaran kalau kota ini tak lebih maju dari kota-kota besar di jawa. Megah, modern, tertata, nampaknya sudah menjadi kata sifat yang melekatinya. Kota ini memang cantik. Atau mungkin seperti itulah yang bisa saya tangkap dari sekelabat perjalanan. Kesan sepintas.

Beruntungnya, seorang teman ternyata membawa peta kaltim. Sebelumnya saya tak terlalu mengerti dimanakah lokasi tujuan kami persisnya di peta. Hanya kata-katanya, dan saya tak memastikannya. Baru kali inilah saya tahu. Ternyata, untuk menuju ke Bontang dari Balikpapan ini, kami harus menaiki pulau ini (maksud menaiki tentu saja ada dalam Peta). Melewati Samarinda yang notabene ibukota kaltim. Kira-kira samarinda menjadi titik tengah antara balikpapan-Bontang. Tak ada Bandara memadai di Samarinda, begitu juga di Bontang, yang bisa melayani penerbangan dari surabaya.

Kira-kira menjelang ashar kami berangkat ke Bontang naik Bus. Berduapuluh delapan. Agak sedikit kecewa sebenarnya pas pertama kali mengetahui kalau kami ternyata tak jadi naik pesawat yang hanya butuh waktu sejaman, tapi segera terhibur oleh pikiran sendiri bahwa mungkin akan lebih berkesan kalau perjalanan perdana menyisiri timur kalimantan ini dengan berkendara bus. Waktu yang jauh lebih panjang akan berarti waktu yang panjang juga menikmati jengkal-jengkal kalimantan. Bukankah, pengalaman perdana akan selalu lebih menghadirkan makna.

Sejujurnya, mungkin separuhan perjalanan saya isi dengan tertidur (tak konsisten dengan keinginan di awal-awal tadi untuk menikmati perjalanan), tapi kala terjaga saya disuguhi berbagai gambaran. Benar, memang di kanan kiri jalan masih di penuhi pepohonan khas hutan. Tapi jauh di dalam hati ini sebenarnya menginginkan lebih. Sebenarnya saya menginginkan pohon-pohon yang tinggi menjulang khas hutan berusia ratusan tahun. Kokoh, rimbun, tinggi, yang matahari bahkan tak mampu menembus tanah. Tapi keinginan itu nyatanya tak jua tergapai. Sepertinya berita pembalakan tak beretika itu benar adanya. Hanya ada pohon-pohon kecil yang masih berusia muda, beberapa bahkan lapang hanya ditumbuhi kelapa sawit yang masih setinggi orang dewasa. Seketika saya kecewa, tak tahu pada siapa.

Mencapai Samarinda kala maghrib tiba. Dan inilah untungnya. Saat senja selalu menjadi saat indah. Remang-remang yang tercipta membuat suasana kota menjadi berbeda. Sebagai ibu kota propinsi, Samarinda memang lebih besar dan ramai. Jalanan terlihat padat dipenuhi kendaraan, pertokoan yang berjajar, dan beberapa orang nampak menghabiskan sore di tepian sungai Mahakam. Setiba di Samarinda inilah saya baru tahu kalau samarinda dilintasi  sungai Mahakam, itupun setelah beberapa rekan seperjalanan ramai menyebut kalau sungai besar yang kami lihat itu bernama Mahakam. Kamipun juga sempat merlintasi jembatan yang mengangkanginya. Kemudian, ada satu bangunan yang cukup menyita perhatian saya kala di Samarinda ini; Islamic Center. Megah dan modern. Sepintas, kelihatannya bangunan itu masih baru. Dugaan yang kemudian saya ketahui memang benar.

Selanjutnya, tak terlalu banyak yang bisa diceritakan sepanjang perjalanan Samarinda-Bontang. Malam benar-benar membatasi pandangan, dan lagi-lagi ngantuk menyerang. Untunglah waktu itu tanggal pertengahan Hijriyah, sehingga bulan yang membulat sempurna cukup menghibur di sepanjang perjalanan yang penuh kelokan dan naik-turun. Hanya bebarapa kali saja kerlip cahaya terlihat di kanan-kiri jalan menandakan adanya perkampungan, tapi selebihnya yang ada hanya kegelapan yang setengah-setengah oleh sebab purnama. Penerangan listrik juga terlihat minim. Berbulan kemudian saya baru mengerti kalau kaltim ini masih kekurangan pasokan listrik, sebuah ironi yang cukup mengganggu mengingat Kaltim menjadi penghasil batu bara dan gas bumi. Dua sumber energi yang kerap dipakai membangkitkan listrik.

Saya terbangun ketika kanan-kiri jalan mulai banyak lampu menyala. Kami sampai di Bontang ternyata, begitulah kira-kira yang saya dengar dari percakapan beberapa. Memang tak ada gedung-gedung menjulang bermandikan cahaya yang dulu membuat saya terpukau kala pertama kali berkeliling Surabaya di malam hari. Suasana juga terlihat sepi untuk ukuran waktu yang baru akan menginjak pukul sepuluh malam waktu setempat. Tapi beberapa waktu kemudian saya tertambat ke suatu pandangan. Sebuah kawasan yang sepertinya terpisah, hanya terlihat dari kejauhan, begitu mencolok dengan lampu kekuningan yang memenuhi bangunana beraneka bentuk. Tinggi rendah, besar kecil, panjang-pendek. Berpendaran. Indah.

“singapore!”, seseorang berseru……



(bersambung. Insyaallah)
 
gambar diambil dari sini

 

Monday, October 26, 2009

Guru masa kecil

Mari berbicara tentang guru-guru masa kecil kita. Saya yakin, masing-masing dari kita punya kesan mendalam terhadap guru-guru kita itu. Mungkin karena keunikannya dalam mengajar, ketelatenannya dalam menerangkan, kesabarannya dalam mendidik, atau mungkin karena kejadian-kejadian tak biasa yang terlalui bersama. Maka kita kemudian sulit untuk melupakannya. Kita akan dengan mudah menyebut kembali namanya meski tahun-tahun telah berlalu dan kita telah banyak melupakan nama-nama yang telah mampir dalam ingatan kita.

Dari sekian guru bahasa indonesia yang pernah mengajar saya, bu guru inilah yang paling saya sukai. Bukan karena ia cantik, tapi memang ia cantik. Bukan karena ia sabar, tapi memang ia sabar. Tapi karena cara mengajarnya benar-benar membuat bahasa indonesia menjadi mata pelajaran yang seketika begitu mengasyikkan. Meski itu mungkin subyektfitas saya dalam menilai.

Namanya Bu Esti (*mohon ijin bu untuk menyebut nama*). Waktu itu saya kelas tiga SMP ketika Bu Esti ini mengajar saya. Guru-guru bahasa indonesia sebelum dan sesudah itu mungkin cukup menyenangkan, tapi hanya bu Esti inilah yang membuat saya tertarik berpelajaran bahasa indonesia. Sebelum-sebelumnya mungkin saya sudah menyukai menulis, tapi lewat Bu Esti inilah saya semakin lekat dengan kata, kalimat, atau mungkin paragraf.

Salah satu yang saya sukai adalah dalam menerjemahkan kata-kata yang tak biasa. Baik itu kata serapan atau kata yang tak lazim digunakan. Beliau tak memakai kamus besar bahasa indonesia, tapi membebaskan kami untuk mengartikannya sesuai pemikiran kami. Semuanya ditampung. Lalu setelah itu, tibalah sesi menyenangkan itu. Beliau akan selalu meminta kita membuat kalimat dari kata-kata sulit itu. Membuat kalimat, sudah seperti menjadi menu harian kami. Tak ada kata yang terlewat tanpa dikalimatkan. Lalu satu persatu, tentu saja hanya beberapa yang terpilih, bakal memperdengarkan kalimat buatannya di dalam kelas. Begitu berkali-kali sehingga seolah-olah perkara membuat kalimat, dan juga paragraf, menjadi kegiatan yang paling dominan dalam pelajaran bahasa indonesia versi Bu Esti.

Penghargaan, itulah kemudian sisi lain yang saya sukai dari Bu Esti. Beliau tak segan untuk memuji sebuah kalimat majemuk yang bagus yang tak melulu berbentuk kalimat sederhana berpola S-P-O-K tanpa anak kalimat. Hal yang kemudian meningkatkan kepercayaan diri saya dalam berkalimat sebab sayalah termasuk murid yang sering mendapat pujian itu (*maaf ujub*).  Tapi untuk kasus yang sebaliknya, untuk sebuah kalimat-kalimat ‘biasa’ , beliau tak pernah menjatuhkan. Hanya murid-murid yang tak mau membuat kalimat yang ditugaskanlah yang mendapat teguran.

Hmmmm, saya tak tahu benar masalah pendidikan. Hanya saja, saya kadang berpikir, mungkin tak begitu banyaknya orang yang menyukai menulis, pendidikan inilah yang turut andil menyebabkannya. Tak terlalu banyak guru seperti bu Esti yang membuat menulis –mulai dari yang terkecil dengan membuat kalimat-  menjadi menyenangkan. Bahasa indonesia menjadi palajaran tak menyenangkan dan tak menimbulkan minat. Entahlah! Mungkin.

Lalu saya teringat, suatu ketika Bu Esti ini memeriksa PR kami satu persatu. Sehari sebelumnya memang beliau menugasi kami membuat paragraf perbandingan. Satu persatu memang tiap bangku beliau hampiri memastikan semuanya telah menyelesaikan paragrafnya. Kadang berhenti di satu bangku untuk membaca sampai tuntas, kadang hanya memastikan saja paragraf itu telah terbuat. Dan ketika sampai di bangku saya, beliau berhenti lama membaca paragraf yang saya buat (Bahkan saya masih ingat kala itu saya membuat paragraf yang membandingkan orang kota dengan orang desa). Demikianlah seterusnya hingga orang terakhir terlewati.

Selesai? Tidak! Beliau kemudian memanggil seseorang yang paling bagus paragrafnya untuk menuliskannya di kelas untuk diulas sebagai contoh. Anda mungkin menduga kalau saya lah yang bakal dipanggil sebab didepan bangku sayalah titik pemberhentian terlama Bu Esti kala memeriksa PR kami tadi. Tapi ternyata tidak. Bu Esti memanggil orang lain. Seorang teman perempuan.

Demikianlah, teman perempuan itu maju. Memungut kapur, menyalin apa yang ia tulis di buku ke papan tulis, lalu kembali ke tempat duduknya. Giliran Bu Estilah yang kemudian menjelaskan letak perbandingannya. Begini begitu. Sepeti ini seperti itu. Hingga selesai. Tapi di akhir penjelasannya itulah bu Esti mengeluarkan pernyataan yang mebuat saya bersorak tanpa suara. (*he he, kayaknya ini bakalan ujub lagi)

“Sebenarnya paragraf buatan Iqbal juga bagus, tapi kasihan kalau saya suruh maju. Bisa-bisa pingsan di depan kelas saat menuliskannya”

He he. Itu karena paragraf buatan saya panjang dan bakal melelahkan menuliskannya di papan tulis. Apalagi dengan kecepatan menulis saya di papan tulis yang payah.
Ternyata memang, Bu esti punya kalimat-kalimat kejutan untuk memotivasi kami. Sesuatu yang baru saya sadari bertahun-tahun berikutnya.

(Btw, terakhir kali bertemu beliau saya senang. Delapan bulanan yang lalu kejadiannya ketika saya melagalisir ijasah SMP saya sebelum berangkat ke Bontang. Beliau sekarang berjilbab! Dan terlihat masih (atau makin) cantik di usinya yang tak lagi muda)


Tuesday, October 20, 2009

warnawarni..(g punya judul)

saat itu, ketika masa-masa dulu menjadi dahulu
jauh dan memang kian menjauh
aku masih ingin berkata, apa yang dulu pernah kuperdengarkan di telinga
“aku bersedia menemanimu menempuh jalanan itu”
cukup, dan memang cukup, hanya dengan berjalan kaki

kelak, ketika potretpotret kebersamaan yang kutemukan di folderfolder lama
telah bertanggal lima, atau sepuluh, atau dua puluh tahun yang lampau
aku masih akan senang jika kau ajak bersama
melahap sepiring pecel di warung dekat kost tempat dulu kita membesarkan mimpi

nanti, ketika usia tak lagi bisa dibohongi
dan dada mulai sesak dibawa berlari
aku masih akan bahagia jika kau masih menggelar futsal pagi
bertelanjang kaki, dan aku tahu kita akan tertawa
lalu tibatiba menjadi tak begitu penting siapa yang menang siapa yang kalah

esok, ketika langkah ini mulai terseok
dan besar sekali godaan untuk membelok
aku masih berbinar jika kau masih bersedia meneguhkan
seperti yang dulu sering kali kau ucapkan
: “istiqomah, akhi!”

maka jika telah sampai waktunya
sekarang, esok, kelak, atau entah kapan
ketika waktu itu telah benar tanggal
aku masih ingin ikatan itu tetap tinggal


Kecubung 17
(di suatu sore)

Thursday, October 15, 2009

Akhir Dari Sebuah Kebersamaan

Maaf, maaf bila pada akhirnya kata ini terucap. Berat sebenarnya memutuskan sampai akhirnya keputusan ini keluar. Menimbang-nimbang. Lama. Menunggu akhir sebuah pertarungan akbar di dada. Ah, kau sudah terlalu lama bersarang di benak. Mengisi tiap nafas-nafas hidupku. Ikut andil mempengaruhi hari-hariku. Mengintervensi setiap keputusan-keputusanku. Kita sudah terlalu akrab. Sudah terlalu jauh masuk menuju ruang-ruang keintiman. Menginfiltrasi privasiku.

Tapi maaf, aku harus tegas. Aku harus bisa memutuskan. Dan jika pada akhirnya hari ini  aku putuskan untuk berpisah, itu semata –sekali lagi, hanya semata- untuk sebuah kebaikan. Tak ada baiknya lagi hubungan ini mesti dilanjutkan. Tak ada lagi. Sumpah tak ada. Melanjutkannya, tak lebih dari sebuah malapetaka besar. Akan banyak yang terbakar, akan bertumpuk lagi yang berkobar. Sudah! Sudahlah! Inilah jalan yang terbaik.

Sebab membersamaimu adalah sebuah kesalahan besar. Sebab orang besar telah menjelaskannya padaku, bahwa mempertahankanmu, tak lebih dari usaha meminum racun perlahan-lahan, tapi menginginkan orang lain yang terkapar. Bodoh! Sebuah imajinasi yang bodoh. Amat sangat tak berlogika.

Setelah ini, kumohon, pergilah! Jangan lagi menguntiti. Jangan lagi mencoba menggida. Jangan lagi mengetuk pintu-pintu hatiku. Biarlah aku tenang. Biarlah aku menikmati hidup tanpamu yang kutahu bakal lebih bahagia. Biarlah…! Biarlah! Pergilah! Pergilah sesuka hatimu. Jangan lagi berkeliaran di sekitaran yang memungkinkan mataku melihat wujudmu. Aku sudah tak sudi lagi. Enyahlah!

Selamat tinggal, dan kuharap tak lagi ada pertemuan.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi reunian.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi sisa-sisa perasaan yang tertinggal.

Selamat tinggal, benci! Selamat tinggal. Kau tak akan lagi menyertaiku saat aku berjalan di lorong-lorong. Kau tak akan ikut-ikutan mengusik hatiku ketika ada seorang bermuka cemberut tergesa berjalan. Aku akan berusaha tersenyum mengenyahkan tiap-tiap praduga yang dulu kau bisikkan. Menyenyuminya. Sebab bisa saja ia sedang sakit gigi, sebab bisa saja ia sedang dirundung masalah, sebab bisa saja karena ia begini, karena begitu. Dan senyumku, mungkin saja obat penawar itu semua. Dan aku berdoa semoga ia bisa tersenyum setelah itu.

Aku akan belajar mencintai. Mencintai semuanya. Meski ia telah menghardikku, meski ia menggunjingku,  meski ia selalu memalingkan muka tiap berpapasan denganku. Mereka hanyalah orang-orang yang terbelenggu olehmu. Mereka hanyalah orang-orang yang tak tahu.

Selamat tinggal! Dan kuharap kau mau enyah juga dari orang-orang.

 

Wednesday, October 7, 2009

PV = nRT

Sudah kita ketahui bersama bahwa segala hal yang berjalan, atau yang tengah berlangsung, bahkan yang sudah lancar, perlu semcam aturan, atau alat, atau institusi, atau sikap, atau gabungan di antaranya untuk memastikan keberjalanan atau keberlangsungannya .  Seseorang yang sudah menghajatkan rutin olahraga di ahad pagi, setelah menancapkan niat yang benar di hatinya bahwa yang ia lakukan ini semata untuk kesehatannya, perlu hal lain untuk menjamin hajat yang sudah menggebu di awal itu tidak mandeg di pertengahan. Maka ia perlu, sebagai contoh, membuat hal-hal berikut ini : yang pertama mungkin ia akan menuliskan sesuatu sebagai pengingat di kamarnya yang bisa terlihat kapan saja. Cara ini ringkas dan prakstis tapi terbukti cukup efektif, karena ternyata kontinyuitas itu kadang terganggu karena persoalan sepele semacam lupa. Lupa bahwa seharusnya kita melakukan suatu hal.Yang kedua mungkin ia akan mencari teman yang mempunyai hajat yang sama. Adanya teman, selain sebagai pengingat, sekaligus dapat menjadi penyemangat di saat virus malas mulai menjangkiti. Serta hal lain.

Dalam bahasa yang lain, dapat dikatakan bahwa kita memerlukan sebuah kontrol agar apa yang sudah berjalan akan tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tujuannya jelas, agar apabila jalan itu mulai agak tersendat-sendat, akan ada yang mendorong, agar apabila mulai melenceng, sekian derajat saja, sudah ada yang meluruskannya, agar apabila sudah berpayah-payah, akan ada yang otomatis menyemangati. Pokoknya, dengan kontrol ini, diharapkan ketidakberesan sedikit saja dapat terdeteksi sedini mungkin untuk segera dibereskan. Tanpa perlu menunggu lama dan berlarut-larut.

Di dunia saya saat ini, kontrol ini adalah sebuah keniscayaan. Bekerja dengan sebuah proses dimana parameter seperti suhu, tekanan, konduktivitas, ph, atau yang lain perlu dijaga stabil, maka kontrol adalah hal mutlak yang mesti dijalankan. Bagaimana mengontrolnya inilah yang kemudian beraneka. Untuk tekanan saja, bisa menjaganya dengan berbagai cara serta alat. Ada steam jet ejector yang berfungsi menjaga tekanan sistem tetap vakum, atau blower  yang menghisap dan menghembus, atau pompa yang bertanggungjawab membangkitkan tekanan liquida, atau venting yang akan membuka menutup dengan bukaan tertentu sesuai sinyal yang diberikan controller untuk melepas sedikit gas . Fenomena venting inilah yang kemudian menarik. Dalam sebuah sistem bertekanan , yang mana tekanan itu sendiri dibentuk oleh interaksi antar molekul-molekul dalam sistem tersebut, apabila tekanan mulai mengarah naik hingga mencapai set point dari kontrol tekanan, maka venting akan membuka dengan bukaan tertentu untuk melepas molekul-molekul gas (*ha…saya tidak terlalu pede berbicara masalah instrumentasi ini*). Molekul-molekul gas  yang tak lain pembentuk tekanan tadi. Dengan berkurangnya molekul gas tadi diharapkan interaksi antar molekul gas menjadi lebih berkurang. Hingga tekanan turun sesuai kondisi yang diharapkan. Maka kemudian venting akan menutup, atau paling tidak memperkecil bukaannya.

Sudah sering kita dengar bahwa apa-apa yang terjadi di alam ini, dengan fenomena-fenomenanya yang begitu luar biasa, dapat kita lihat semuanya dalam diri kita. Termasuk masalah venting di atas. Hanya saja dalam bentuk lain yang lebih sering abstrak. Tanpa kita sadari, hal-hal semacam harap, benci, cinta, rindu, dendam, dengki, damba, senang, haru, cemas, gelisah, adalah semacam gas yang saling berinteraksi dalam ruang jiwa kita mencipta sebuah tekanan. Jika daya tahan tekanan dalam ruang jiwa kita itu cukup tinggi sehingga interaksi hal-hal di atas tidak sampai mendekatinya, maka tidak akan terjadi masalah (inilah yang kemudian dinamakan dengan kemampuan seseorang untuk memendam). Namun jika tidak –dimana daya tahan tekanan ruangan jiwa kita terlalu rendah hingga mudah saja tergapai-, maka  perlu sebuah mekanisme agar ruang jiwa kita itu tidak meledak oleh tekanan yang tak mampu tertahan. Maka perlu adanya venting. Kita perlu membuang sedikit –hanya sedikit- dari hal-hal pembentuk tekanan itu. Itulah yang kemudian disebut dengan berbagi. Itulah yang kemudian disebut dengan curhat. Curhat, tentu saja tak hanya mewujud bercerita ke teman dekat sambil berkata, ‘rahasia ya!’, tapi juga bisa berbentuk dengan menulis di diary, membuat cerpen, menulis di status FB, mencipta puisi, serta hal lain (*atau bahkan tulisan ini*). Dengan melepaskan sedikit dari damba, resah, gelisah, suka, dan senang itulah, maka diharapkan ruangan jiwa kita menjadi kembali lapang. Tekanan yang menekan-nekan itu menjadi berkurang.

Ada yang salah? Tentu saja tidak. Hanya saja kita bukanlah sebuah bejana  yang ketika gas dilepas maka tekanan langsung bisa turun begitu saja. Ketika kita melepaskan apa-apa yang menekan, dengan bercerita ke teman misalnya, maka di detik pertama saat kita selesai bercerita itu memang tekanan langsung turun drastis, tapi, sayangnya,  tidak selalu untuk detik-detik selanjutnya. Saat teman kita mulai merespon atas curhatan kita , inilah penentunya. Jika ia mampu memberi kalimat-klimat pendukung yang mampu menentramkan sih enak, tapi jika tidak, mala sebaliknya. Jika yang keluar dari mulut atau sikap teman kita itu malah sesuatu yang membuat kita semakin tersudut, semakin terkungkung, maka tak ayal, tekanan yang baru saja turun itu, akan segera bangkit dan  justru semakin kuat menekan-nekan dinding jiwa kita. Itulah kemudian mengapa kita perlu memilih teman yang tepat untuk kita ajak berbagi. Teman yang bersedia untuk menampung segala ‘buangan’ kita untuk ia tampung dalam ruangan jiwanya yang lapang.

Tapi kemudian, ada yang lebih tepat dari teman yang tepat. Yang tak akan membocorkan curhatan kita. Yang tak hanya bersedia menampung sebagian ‘buangan’ kita, tapi semuanya. Yang tak hanya menurunkan sedikit tekanan, tapi bahkan menghilangkannya.  Yaitu, curhat dengan sang pemilik tekanan; Allah. Uniknya, curhat yang satu ini, tak hanya melepas gas-gas pembentuk tekanan hingga tekanan yang menekan ruangan jiwa kita itu menjadi anjlok, tapi ajaibnya juga mampu memperlebar ruangan dalam jiwa kita. Dan itu artinya, dengan semakin lebarnya ruang jiwa kita, daya tampungnya akan jadi lebih besar. Akan lebih benyak himpitan-himpitan hidup yang bisa kita tahan, akan lebih besar ujian-ujian yang mampu kita tanggung. Maka, yuk, mari, berlama-lama curhat sama Allah. Hingga semoga, akan tercipta orang-orang yang lapang jiwanya.

Wallahu a’lam.
Kecubung 17
(tulisan melebar yang melelahkan)

Thursday, October 1, 2009

Dia-Lo-Gue

Whushhhhhhhhhhhhhh (bayangkanlah tiba-tiba angin pelan berhembus dalam sebuah ruangan yang sebenarnya tertutup)

“kau datang?”

“ya! Seperti yang kau lihat”

“selamat malam!”

“malam! Ada apa?”

“berkunjung. Seperti malam yang dulu-dulu. Bukankah aku selalu berkunjung di saat yang tepat”

“bagaimana kau bisa begitu yakin?”

“kau tak perlu berkelit begitu. Pertanyaanmu justru menegaskan kebenaran pernyataanku tadi”

“ha ha… lucu sekali kau”

“mengapa kau tak tidur?”

“hei, aku sedang bekerja! Apa kau tak melihatnya? Mengapa kau sering bertanya apa yang sebenarnya kau ketahui dengan jelas?”

“Kau semakin cerdas saja. Seperti yang dulu-dulu, aku selalu datang saat kau belum juga tidur di sepertiga malam terakhir”

“apakah itu pujian? Jarang sekali kau melakukannya”

“terserah kau menafsirkannya. Bukankah itu bisa juga sebagai ejekan? Tapi ok-lah”

“Apa maumu?”

“akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutmu?”

“apa maumu?”

“aku melihatmu tergugu melihat evakuasi seorang ibu dari reruntuhan bangunan itu”

“bukan urusanmu”

“apa yang tiba-tiba kau pikirkan”

“bukan  urusanmu”

“apakah kau teringat seseorang”

“hei, aku sudah bilang! Itu bukan urusanmu”

“aku melihat matamu berkaca”

“…”

“apakah kau teringat ibumu?”

“terserah jika kau menganggapnya begitu”

“sayangnya tidak! Kau tidak benar-benar teringat ibumu. Kau hanya rindu kebaikan-kebaikannya. Kau ingat kasih sayangnya”

“hentikan jika kau tak ingin aku usir!”

“sayangnya aku belum bisa berhenti”

“hei!”

“kau rindu kasih sayangnya. Kasih! Sayang! Bukankah itu Ar-Rahman,Ar-Rahim! Kau tahu, sifat siapa itu?”

“jangan berlagak seperti trainer-trainer spiritual itu”

“terserah! Kau tahu, kau akan merindukan sesuatu saat kau jauh dari sesuatu itu. Lihatlah! lihatlah dirimu sekarang! Bukankah begitu jauh. Bahkan, bukankah kau semakin jauh”

“..”

“sedihnya, kau tak menyadarinya. Kau bahkan tak menyadarinya sama sekali. Kau menganggap dirimu dekat, tapi sejatinya jauh. Amat jauh”

“..”

“bukankah semuanya berasa hampa. Bukankah sudah tak ada jiwa dalam setiap lakumu. Bukankah itu seperti anak kecil yang rajin gosok gigi karena begitu ibunya mengajarinya. Tak pernah tahu mengapa ia harus melakukannya. Apa manfaatnya”

“..”

“apakah aku harus membeberkan semuanya? Tidak kan! Kau sudah lebih untuk bisa sekedar disebut dewasa. Kau sudah bisa mencernanya sendiri. Kapan kau terakhir kali bermuhasabah?”

“..”

“baiklah, harus aku hentikan semua ini sebelum kau benar-benar membisu. Mari! Ingat, kau masih punya banyak kesempatan”

“Tunggu!”

“..”

“terimakasih”

“ha ha. Baru kali ini kau mengucapkan kata itu….. Assalamu’alaykum”

“’alaykumsalam”

  

Monday, September 28, 2009

Cewek2 Penjual Pulsa

Boleh dibilang, tempat keramain terdekat dari tempat tinggal saya sekarang adalah sebuah tempat yang disebut dengan koperasi. Disebut demikian karena memang di sana ada swalayan milik koperasi karyawan. Selanjutnya, tempat itu menjadi ramai karena tidak hanya swalayan saja yang berdiri. Tepat di depan swalayan itu ada kumpulan penjual makanan yang selalu ramai dikunjungi pembeli tiap malamnya, ada juga studio foto, ada juga salon kecantikan, ada toko roti, ada penjual buku, ada penjual VCD, ada juga ATM tiga bank pemerintah, juga penjual-penjual lain.

Di sanalah saya (dan juga teman saya) sering mampir. Karena memang letaknya berada di antara masjid dan tempat tinggal kami. Jadi seringkali sepulang dari masjid, kami belok dulu ke sana sekedar untuk membeli keperluan atau mengambil uang ke ATM. Termasuk urusan beli pulsa. Di sana, ada empat meja penjual pulsa. Penjualnya sama-sama cewek. Letak keempatnyanya pun boleh dibilang berjejer. Bisa saling melirik satu sama lain manakah yang lebih banyak pembelinya. Saya sering kebingungan mengenai ini, penjual manakah kiranya yang mesti saya hampiri saat saya ingin beli pulsa. Maka yang sering terjadi saya tak pernah merencanakan penjual manakah yang bakal saya hampiri. Saya hanya melangkah, melewati penjual-penjual pulsa itu. Di mana langkah saya terhenti, oleh sebuah keinginan yang datang tiba-tiba dan kadang sulit dijelaskan, disanalah saya akan membeli pulsa. Maka karena tak pernah ada alasan yang jelas, keempat penjual pulsa itu pernah merasakan sama-sama terbeli pulsanya oleh saya.

Suatu ketika, ketika ngobrol dengan teman yang juga sering membeli pulsa di sana, saya bertanya masalah ini.

“bagaimana pean memutuskan, di penjual yang mana bakal membeli pulsa?”

“yang sudah siap. Yang masih menata-nata atau lagi melakukan hal-hal yang tidak jelas, nggak aku hampiri”.

Mmmh.. boleh juga ide teman saya ini. Yang sudah siap artinya yang sudah siap menjemput rizki. Yang masih melakukan aktifitas nggak jelas yang sama sekali tidak mendukung kegiatannya menjual pulsa, barangkali yang belum siap menjemput rizku dari berjualan pulsa tadi.

Hingga kemudian semingguan yang lalu, saya dan teman saya ini berkesempatan mampir ke koperasi. Teman saya ini ingin beli pulsa. Persiapan lebaran, katanya. Saya, yang merasa pulsa untuk persiapan lebaran sudah cukup, cuma mengikuti saja. Kemudian, sampailah kami di deretan penjual pulsa tadi. Tapi kemudian saya heran, ketika berada tepat di depan penjual pulsa pertama, teman saya ini hanya lewat saja. Padahal kalau saya lihat, penjualnya lebih dari sekedar siap. Tak ada pembeli lain pula. Jadi tak perlu ngantri. Tepat di depan  penjual yang kedua, ia juga cuma lewat. Begitu juga ketika di depan penjual ketiga. Saya, yang sudah memegang rapat kata-katanya dahulu, akhirnya tak tahan juga untuk tak bertanya.

“lo, katanya beli pulsanya ke yang sudah siap? Itu tadi kan sudah siap”

“beli ke yang pakai jilbab saja”

Fffhhff. Kembali saya terkejut dengan jawaban teman saya ini. Telah hampir enam bulan saya di sini, beli pulsa di sini, tapi belum juga saya menyadari ini. Memang, dari keempat penjual pulsa tadi, hanya seorang saja yang berjilbab dengan pakaian yang sedikit longgar. Tiga lainnya lebih sering memakai jenis pakaian yang tergolong irit bahan.

Saya kemudian tak menanyakan alasannya. Saya rasa, saya sudah bisa menyimpulkan sendiri alasannya.

“iya yah. Kalau beli yang nggak pakai jilbab itu, sesedikit apapun itu, kita bakalan ‘melihat’. Kalau yang berjilbab itu, minimal lebih aman lah!”

“yup”, jawab teman saya itu pendek.

Maka sampailah kami di penjual pulsa berjilbab itu. Saya rasa, saya sekarang punya tempat tetap dimanakah saya mesti membeli pulsa.

 

 

Friday, September 25, 2009

Cerita Orang2 g mudik

“Kapan kita ke rumah nenek, pak? Kapan kita pulang?”
“mungkin lebaran tahun depan nak”

Tono ingat, sudah lima tahun lewat sejak pertama kalinya anaknya menanyakan pertanyaan itu. Dan ia juga ingat, jawaban itu pulalah yang dulu ia kemukakan.  Jawaban yang nyatanya masih harus terucap di tahun-tahun berikutnya. Hingga sekarang.

Dulu, ia selalu kerepotan menghadapi pertanyaan lanjutan anaknya itu. “mengapa harus tahun depan, pak”, atau ‘mengapa tidak sekarang?”. Ia selalu menghela nafas panjang kala mendapat pertanyaan lanjutan itu. Menerawang. Lalu menatap lembut anaknya. Berharap sebuah pengertian dari logika sederhana anaknya. Tapi dua tahun belakangan ini, tak pernah lagi ada pertanyaan lanjutan itu. Anaknya hanya bisa ber-oh kala ia menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sakti ‘mungkin tahun depan’. Tak ada lagi komentar. Tak ada lagi pertanyaan tambahan yang menyelidik. Anaknya telah ‘mengerti’, dalam usianya yang masih kanak-kanak. Tapi justru itulah yang kian mencekik.

Sungguh, ia pun ingin pulang. Ia ingin kembali. Ia ingin membaui harum tanah kampung halamannya. Menciumi wewangi bunga cengkeh yang baru bermekaran. Telah sepuluh tahun lewat. Dan belum sekalipun ia kembali. Untuk sekedar menengok. Ibu kota telah sempurna menjebaknya.

Rindu itu pun menumpuk-numpuk. Tapi apalah daya, tak cukup tersedia rupiah yang tersisa di kantong kumalnya. Apalagi kala pengembaraan hidup di belantara ibu kota mengantarkannya menemukan labuhan hati tempat berbagi resah. Hingga si kecil lahir untuk  menggenapkannya. Maka sudahlah, keinginan itu tinggal menjadi keinginan. Kini butuh tiga tiket untuk menyeberangkannya pulang ke pulang seberang. Nun jauh di sana.. Entahlah, kapan kiranya tiga tiket itu bakal tergenggam. Mungkin lagi-lagi, ‘mungkin tahun depan’
++++++++++++
Lain lagi dengan Jono. Pemuda tanggung usia 25 tahun. Hari-hari belakangan ini, pertanyaan yang paling ia hindari adalah sebuah pertanyaan sederhana berbunyi :“nggak mudik jon?”.  Hanya sebuah jawaban singkat sebenarnya untuk menjawabnya; ya atau tidak. Tapi baginya, pertanyaan itu justru akan membawanya kembali menyusuri lekuk-lekuk hidupnya yang sudah seperempat abad. Teringat. Dan..ah, sebenarnya ia sudah berdamai dengan masa lalu itu.

Tak ada tempat kembali, hanya itu yang ia mengerti. Yang ia tahu, satu-satunya tempat kembali hanya sebuah rumah singgah di pinggiran kota yang sayangnya sudah lima tahun ini dibongkar paksa aparat. Tempat dulu ia dibesarkan bersama puluhan yg lain dalam keterbatasan. Dalam celoteh banyak anak-anak lain yang sayangnya justru membuatnya seperti terasing. Tempat ia dititpkan oleh seseorang. Seseorang yg entah.

Maka ia mencoba menganggap, segala tempat yang ia singgahi adalah kampung halamannya. Semua orang yang ia jumpai, yang bersama-sama ia bisa tertawa, ngobrol, atau menyungging senyum, itulah keluarganya. Dan ketika idul fitri itu untuk kesekian kalinya kembali datang, tak banyak yang bisa ia lakukan. Tak ada sungkeman. Tak ada acara telepon berlama-lama hanya untuk sekedar bilang ‘maaf bu, Jono nggak bisa pulang’.  Tak ada. Ia kemudian mencukupkan diri dengan menjadi panitia penertib jamaah sholat ied di masjid dekat kosan sempitnya. Tapi kemudian ia bahagia. Bahagia saat melihat serombongan keluarga besar berjalan beriringan menuju masjid. Bahagia saat memandang sebuah keluarga muda membimbing putrinya yang masih berumur tiga tahunan. Juga bahagia bercampur gelii saat menatap gadis kecil dengan pakaian barunya menarik-narik gamis umminya sambil merajuk, ‘ummi…ummi…tunggu!’. Ia kemudian seolah menemukan apa-apa yang tak pernah ia miliki.

        ++++++++++++++++

Dan bila melesat jauh, menembus batas negara, ada Toni yang sedang terduduk sendiri. Seorang eksekutif muda sukses. Lajang, matang, mapan. Sabtu malam ahad, ia berdiam diri saja melepas penat yang sayangnya belum juga bersedia beranjak. Matanya masih awas menyaksikan TV streaming di layar laptop mahalnya. Masih juga memantau sidang itsbat yang tengah berlangsung di jakarta itu. “ya Allah…kumohon, jangan besok”, hanya itu sesorean tadi doa yang ia panjatkan. Sebuah pengharapan yang tipis sekali kelihatannya bakal terwujud…

Harapannya sebenarnya cuma satu: berlebaran di rumah. Sudah tiga kali berturut-turut, lebaran ia lalui di negeri orang. Jauh dari orang-orang terdekat. Sibuk dengan transaksi-transaksi. Tenggelam dalam urusan-urusan bisnis. Dan lihatlah, malam ini, ketika sebuah ormas islam besar telah mengumumkan bahwa esok harinya adalah idul fitri 1430 H, ia masih terduduk di sebuah kamar hotel ternama di jantung kota singapore. Merutuki kenapa pertemuan itu harus dilakukan esok hari. Menarik napas panjang…
=================================
Tono, jono, ataupun Toni, barangkali adalah cerminan beberapa diantara kita. Tapi yang pasti itu murni karangan saya. Tak tahu ada atau tidak dalam dunia nyata. Saya kemudian hanya berpikir, mungkin indah apabila tiap saat kita bisa mengarang begini. Tentunya mengarang yang baik. Jika ada seorang yang bersedih yang tak bisa mudik lebaran, maka pikirannya serta merta mengarang, ada Jono yang bahkan tak punya tempat untuk mudik, ada si X yang punya kampung halaman tapi tak pernah berani untuk kembali. Hingga kemudian hanya syukurlah yang tercipta.

Mari, mari mengarang! Jika kita mulai mengeluh gaji yang masih segitu-segitu saja, mulailah mengarang, ada pak fulan dengan lima orang anak yang masih kecil dengan penghasilan 20ribu perhari, ada pak x yang mesti bergelut dengan lumpur dalam panggangan terik matahari demi 15ribu tiap harinya. Maka semoga  kemudian kita bersyukur, setidaknya kita masih kerja di ruang ber-AC, masih bisa makan tiga kali sehari dengan penghasilan itu, masih bisa menabung… masih dan masih.
 
Kecubung 17
(tulisan seorang yang tak ‘berhasil’ mudik)

 

Monday, September 14, 2009

Ia dan Perempuan Itu

Dulu, sewaktu masih kecil, ketika ia baru saja resmi terdaftar menjadi seorang siswa taman kanak-kanak, tiap kali ia bangun tidur, ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di sekitarnya. Ia sudah pergi. Di pagi buta, bahkan ketika suara orang melafalkan asmaul Husna masih sayup-sayup terdengar dari pengeras suara masjid. Entahlah, tapi tak pernah sedikitpun dalam pikirannya, dulupun tidak, bahwa perempuan itu tak pernah mengurusinya. Jelas, karena saat ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di rumah, matanya akan segera tertumbuk pada lipatan baju rapi yang sudah perempuan itu siapkan tak jauh dari tempat tidurnya. Pakaian seragam. Terlipat rapi, bertumpuk dua, yang atas baju, yang bawah celana pendek. Hingga ia tak perlu mengobrak-abrik isi lemari untuk mencarinya lagi. Dulu mungkin ia anggap itu biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan ia sadar bahwa apa yg dilakukan perempuan itu semata hanya demi sebuah kata; cinta. Atas kesadaran : jika aku tak bisa menemanimu untuk memakaikan baju, mungkin aku masih sempat untuk menyiapkannya.

Perempuan itu selalu meletakkan uang receh di meja tengah. Uang saku sekolah. Ia masih ingat, seratus rupiah untuknya yang masih kecil, dan lebih untuk kakaknya yang lebih besar. Uang yang mungkin saat akan meletakkannya, perempuan itu masih harus berhitung dulu : cukupkah?  Cukupkah untuk mereka dan cukupkah untuk ia sendiri, meski pertimbangan yang terakhir, ia yakini, tak seberat yang pertama. Maka, saat-saat melihat uang receh di meja itulah saat-saat mendebarkan baginya, saat apakah permintaan semalam itu akan direalisasikan, saat apakah perempuan itu akan meletakkan uang lebih di situ, apakah hari ini jadi untuk membayar SPP sekolah.

Perempuan itu harus pergi di subuh hari, tapi ia tak pernah membiarkan mereka  mengawali hari tanpa sarapan pagi. Di dapur, masih belum diangkat dari wajan, akan selalu ada nasi goreng special. Bumbunya sih biasa, bahkan mungkin tak memadai untuk nasi yang sebanyak itu, tapi kekuatan yang mengerakkannya untuk melakukannya itulah yang membuat itu teramat istimewa. Kekuatan yang memaksanya untuk melakukannya bahkan sebelum subuh menyapa. Mereka harus makan, sesederhana apapun itu, ah itu kiranya yang ada di benaknya. Dan, jika ada uang receh sedikit berlebih di atas meja tadi, itu artinya uang untuk beli krupuk lauk makan nasi goreng itu. Pas sudah, awali hari (-cukup-) dengan karbohidrat tinggi.

(jika ada yang bertanya mengapa sekarang ia suka sekali membuat nasi goreng, suka sekali makan nasi goreng, maka sudah tentu ia jawab dengan keras : Perempuan itulah penyebabnya. Karena ketika ia sudah mulai beranjak besar, ia sendirilah yang sudah harus menggoreng sisa nasi semalam itu)

Friday, September 11, 2009

KESETIMBANGAN (bagian kedua yang sepertinya bakal berlanjut)

Ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Maka berkebalikannya, seharusnya kesetimbangan itu menenangkan. Tak heranlah, jika semuanya menginginkannya.

Awalan di atas terasa berlebihan, tapi  begitulah keadaannya. Marilah kembali kita coba tengok kasus jungkat-jungkit di tulisan sebelumnya. Jika sebelumnya saya katakan apabila ada beban 30 kg di satu sisi dan 50 kg di sisi lain, dengan lengan kuasa yang sama panjang, maka akan terjadi ketaksetimbangan, ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Kenapa bisa begitu? Karena ternyata ketaksetimbangan itu hanyalah sebuah mula. Selanjutnya, jungkat-jungkit itu secara otomatis akan menyetimbangkan diri. Dalam hitungan sepersekian detik bahkan. Meski tak indah untuk dipandang. Meski perlu variabel pembantu untuk merekayasa terjadinya kesetimbangan. Tapi tetap saja, itu setimbang. Kita kemudian akan melihat kalau sisi yang satu terlihat lebih njomplang dibanding yang lain. Akan terbentuk sudut antara lengan kuasa dengan horisontal. Sudut inilah yang kemudian membantu merekayasa terjadinya kesetimbangan (bagi yang sudah belajar fisika dasar pasti mengerti hal ini). Dalam kehidupan, sudut ini bisa berarti banyak. Sebuah kamuflase yang -- sebenarnya -- menyiksa.

Dalam kasus lain, jika sebuah besi yang panas kita taruh di sebuah lingkungan yang lebih dingin, maka apa yang terjadi? Tak pelak lagi, ia akan meyetimbangkan diri. Besi itu akan mendinginkan diri dengan cara mantransfer panasnya ke lingkungan yang lebih dingin tadi. Hingga muncullah kta-kata keren seperti konveksi, konduksi, ataupun radiasi. Dan semuanya satu tujuan: menyetimbangkan.

Lalu kemudian muncul istilah-istilah lain; diffusi, osmosis, evaporasi, kondensasi, absorbsi, adsorbsi, desorbsi, serta berbagai si yang lain. Tujuannya lagi-lagi tetaplah sama; upaya menyetimbangkan diri. Semuanya meyetimbangkan diri, karena seperti dikemukakan di awal, setimbang itu tenang.

Manusiapun menyetimbangkan diri. Sebab ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Tapi kemudian, bagaimana cara ia meyetimbangkanlah yang menjadi pembeda. Pembeda tentang kualitas kesetimbangan itu, juga pembeda tentang kecepatan menuju kesetimbangan itu. Tentang kualitas kesetimbangan, rasanya bisa dilihat bagaimana dua buah contoh jungkat-jungkit mencapai kesetimbangannya, yang benar-benar setimbang dan yang setimbang tapi terlihat njomplang. Sedang yang kedua, tentang kecepatan menuju kesetimbangan, marilah kita lihat analogi di bawah ini:

Jika ada sebuah batangan besi panas bersuhu 100 oC kita celupkan ke dalam air bersuhu 30 oC, dan batangan besi yang lain dengan suhu yang sama tapi dipaparkan dalam udara dengan suhu 30 oC juga, maka contoh yang mana yang akan lebih cepat menyetimbangkan diri? (Anggaplah air ataupun udara yang digunakan berlebih jumlahnya) Mudah sekali jawabannya; besi dalam air. Besi dalam air akan lebih cepat meyetimbangkan diri daripada besi dalam udara. Meski driving force (-dalam hal ini delta temperatur-) di antara keduanya sama. Sebab, tetapannyalah yang berbeda. Tetapan yang kemudian lebih sering menjadi faktor dominan penentu kecepatan kesetimbangan. Dalam kasus di atas, kapasitas panas air lebih besar daripada udara.

Selanjutnya, kita akan menemukan tetapan penentu kecepatan kesetimbangan ini dengan nama yang beraneka; konduktivitas, diffusifitas, emisifitas, kecongkakan, ketamakan, tingkat penerimaan, syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, serta yang lain. Bagaimana kemudian kita mengelolanyalah masalahnya. Jika kita ingin terjadi kestimbangan panas yang cepat dalam sebuah heat exchanger maka kita akan memilih material yang memiliki konduktivitas panas yang tinggi. Hingga kemudian tak perlulah heat exchanger yang rumit-rumit dengan banyak belokan, cukup memakai PHE yang sekali lewat.

Tetapan di atas tadi pulalah yang kemudian menjadi jawaban mengapa dua orang yang berawal dari keadaan yang sama, memilki penghasilan yang sama, beristri sama-sama satu, dengan tingkat pengeluaran yang hampir sama pula, bisa memiliki ‘kekayaan’ yang berbeda. Bahkan bisa amat sangat berbeda. Ya, syukuritas tadilah pembedanya. Sebab sudah jelas termaktub, bahwa Allah akan menambah nikmat hambaNya yang pandai bersyukur. Dan nikmat itu, bisa saja berupa kesetimbangan tadi. Kesetimbangan yang bermuara kepada ketenangan. Ketenangan yang hanya dimilki orang-orang ‘kaya’. Orang-orang ‘kaya’ yang……. Anda pasti ingin mendapatkannya kan?.

Maka pada akhirnya, mari…mari lihat kembali syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, dan tingkat penerimaan kita. Jangan-jangan kurang benernya kita mengelola itu semualah yang membuat kita begitu lambat mencapai kesetimbangan itu.

Wallahu a’lam

 

Kecubung 17

 

(sebenarnya, saya malu apabila nulis yang beginian. Entahlah, seperti jauh dari saya. Itulah mengapa saya lebih sering menulis tema-tema seperti ini dengan pendekatan fiksi. Itu membuat saya lebih ‘bebas’. ‘afwan, kalau saya tidak (atau belum) seperti yg saya tulis)