Sunday, August 23, 2009

Pak Huda dan Ramadhan

Pak Huda namanya. Ia bukanlah orang yg bisa dibilang cukup terpandang. Rumahnya paling pinggir di deretan perkampungan itu. Paling kecil pula. Bangunannya blm sempurna tembok . Bagian atasnya masih berupa anyaman bambu yang ia buat sendiri. Tapi beberapa orang akan cukup mengenalnya, terutama beberapa orang yg sering terjaga di akhir-akhir malam. Suara khasnya selalu terdengar keluar dari corong masjid kampung itu mulai menjelang subuh.

Penampilannya biasa, sebiasa orang-orang tua kebanyakan di kampung. Atau bahkan bisa dibilang seadanya. Senyumnya datar, wajahnya tak terlalu banyak ekspresi. Tapi tatapan tegas matanya seakan menyiratkan sebuah kesimpulan bahwa hidup telah mengajarinya banyak hal.

Ia tidak pernah menggerutu, apalagi sok-sok berpetuah, ketika kumandang azan subuhnya ternyata tak juga berbuah langkah-langkah kaki menuju masjid. Hanya orang-orang itu saja mengisi shof tiap subuhnya. Shof terdepan, yang memang satu-satunya, yang pengisinya  tak pernah bergerak dari kisaran 4-5 orang. Ia hanya bs menatap lemah pak haji imam masjid sesaat sebelum takbirotul ikhrom ditunaikan, seolah ingin berkata, “msh seperti kmrin pak haji”.

Tapi malam itu harapannya menyembul. “Duh gusti, mungkin hari ini!”, itulah kiranya makna helaan napas  beratnya. Dua jam lagi menjelang subuh, tapi ia sudah akan keluar dari rumah sederhananya menuju masjid. Bersiap membangunkan penduduk kampung. Berpamitan ke istri tercinta yg sdh sama-sama renta. Membisikkan sesuatu. Yang dijawab sang istri dengan anggukan takjim. ‘Pergilah!”. Sebenarnya sang istri sadar, ‘pergilah’ itu akan bermakna kesendirian baginya untuk dua jam ke depan. Kesendirian yang sdh ia sadari menjadi bagian hidupnya. Juga suaminya. Kala ia sadar, anak sholeh pemecah sunyi itu tak akan mungkin lagi hadir. Ia bukanlah Hajar. Dan suaminya bukanlah Ibrahim. Ia mendesah, dan sebelum tubuh renta suaminya hilang ditelan pintu yang tertutup, ia masih bisa berujar lirih.

“tidakkah kau bawa singkong rebus itu! Kau akan membutuhkannya di sana. Kau pasti masih lapar”
“untukmu saja. Tadi sdh cukup. Aku sudah kenyang”

+++++++

Haaaahhh, saya tidak bertanggung jawab apakah pak Huda itu ada atau tidak. Tapi saya yakin, di kampung-kampung pedalaman sana, masih banyak pak huda-pak huda lain, yang rajin menabuh kelontengan penanda waktu, yang rajin mengumandangkan azan subuh kala orang-orang masih bergelung guling. Padanya, beberapa orang berterimakasih telah membangunkan. Tapi beberapa mencibir, “mengganggu tidur saja!”

Dan Ya Allah, seperti halnya harapan Pak Huda tersebut, harapan itu meninggi kala di awal ramadhan ini masjid-masjidMu penuh, orang-orang ringan tilawah, majelis-majelis ilmu menjamur, dan perempuan2 mulai sedikit ikhlas berpakain pantas. Seperti halnya hukum alamMu bahwa permulaan itu sulit, bahwa koefisien gesek statis itu akan selalu lbh besar dari pada kinetis, maka semoga, awalan yg sdh terbangun ini, akan lbh ringan berlanjut. Semoga ada yg bersisa di akhir ramadhan kelak.  Semoga yg dl tak pernah ke masjid, dan di ramadhan ini ke masjid, akan meneruskan rutinitasnya itu di bulan-bulan selanjutnya..

 

*tercetus menuliskannya kala terduduk menunggu buka di selasar masjid*

Monday, August 17, 2009

7 warna pelangi

mejikuhibiniu
Ada tujuh warna pelangi;di hati
kugenggam...erat

merah!
kulepas..perlahan...melayang
untuk ibuku
untuk keberaniannya

jingga!
kulepas..perlahan...menyala
untuk ibuku
untuk setiap pengorbanannya

kuning!
kulepas...perlahan..mengalir lembut
untuk ibuku
untuk setiap waktu yg diberikan

hijau!
kulepas..perlahan..menyejukkan
untuk bapakku
untuk segalanya

biru!
kulepas..perlahan...indah
untuk kakakkakakku
untuk setiap rasa yg tak pernah terwakilkan kata

nila!
kulepas..perlahan..berpendar
untuk seorang perempuan yang hanif hatinya
untuk sebuah pertemuan yg entah

ungu!
kulepas..perlahan..bersinar
untuk semua anakanak di penjuru negeri
untuk harapan hidup yang lebih baik

mejikuhibiniu
ada tujuh warna pelangi; di hati
kugenggam...erat....berpadu
putih!
sejuk;indah;suci
untuk Rabb-ku
untuk sebuah pertemuan terindah di jannahNya
(Amin)


16 agustus 09
di tengah beratnya belajar amonia