Wednesday, January 28, 2009

Harihari

Sebuah hari yg kata orang beda
Aku anggap sama
Sampai kubisa memberi makna

Wednesday, January 14, 2009

Percakapan Imaji

....................................................
....................................................
....................................................
...................................................
(Ikut-ikutan bang tere buat yang ginian...he he) .........................................................................

“Mengapa kau datang malam ini?”
“...”
“Mengapa kau datang larut malam begini?”
“..”
“HAI!”
“Assalamualaikum”
“Ya , wa’alaykumsalam. Cepat katakan apa maumu”
“Bukankah dulu-dulu aku selalu datang?”
“Ya, tentu saja aku masih ingat. Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu”
“Tidak, baru kemarin saja aku datang”
“Hei, jangan bercanda”
“Bagaimana kau bisa lupa?”
“Lupa? Bagaimana aku bisa lupa. Atau, hei! Apakah tidak kau sendiri yang     lupa? Bagaimana kau bisa menganggap kemarinmu adalah kemarinku”
“He..he. Oh ya”
“Cepat, katakan maumu. Kenapa kau tiba-tiba kembali?”
“Ada dua hal”
“Selalu saja kau begitu. Cepat sebutkan!”
“Yang pertama karena kau tidak bisa tidur malam ini”
“Hei apa urusanmu dengan ini?”
“Ini tidak bisa tidurmu yang pertama sejak kemarin. Atau bertahun-tahun yang     lalu menurutmu”
“Benarkah? Lalu apa hubungannya denganmu?”
“Terakhir kali aku datang menemuimu saat kau tak bisa tidur”
“Lalu apakah kau kali ini berharap aku mau berbagi kembali denganmu?”
“Benarkah kau masih memikirkan itu?”
“Bukan urusanmu!”
“Kau selalu tak bisa tidur saat memikirkan sesuatu”
“Mungkin”
“Apakah kau mau berbaginya kembali?”
“...”
“Terakhir kali kau tak bisa tidur juga memikirkan itu”
“Hei, dari mana kau tahu?”
“Apakah kau lupa siapa aku?”
“Oh yah, tentu saja kau selalu tahu. Tapi tetap saja aku tak akan berbagi denganmu”
“Aku tahu”
“Tapi kau tak bisa merasakannya”
“Aku mengerti”
“Apa yang kau mengerti? Lalu kenapa kau datang menggangguku sekarang jika kau mengerti?”
“Siapa bilang aku mengganggu?”
“Tentu saja aku”
“Apakah kau memang terganggu?”
“Hei, kau tahu aku bisa marah”
“Maaf. Apakah memang tak bisa tidur ini menyenangkan?”
“....”
“Apakah memikirkan sesuatu itu menyenangkan? Hingga bahkan kedatanganku ini mengganggu”
“Mungkin”
“Apakah memang yang selalu mengganggu menurutmu memang sebenarnya mengganggu?”
“Jangan berfilosofi denganku”
“Baik”
“Cepat katakana apa alasanmu yang kedua”
“Beberapa orang berdo’a untukmu malam ini. Beberapa orang tak memejamkan mata untuk hal lain. Untuk hal yang lebih berguna?”
“Siapa?”
“Yang pertama tentu saja ibumu. Ia menangis malam ini. Berdoa panjang untukmu”
“Benarkah?”
“Tentu saja. Ia tak pernah lupa mendoakanmu. Hanya saja malam ini doanya begitu menggetarkan. Hingga aku berbaik hati menemuimu”
“Apa saja yang ia doakan?”
“Kenapa kau tiba-tiba saja jadi orang bodoh? Tentu saja semua tentang kebaikanmu. Dan kebaikanmu bisa saja tak terasa baik buatnya. Tapi tetap saja ia mendoakan itu”
“ Ibuku memang ibu nomor satu”
“Tapi sayangnya kau anak yang tak tahu malu. Bagaimana mungkin kau lupa mendoakannya minggu-minggu belakangan ini?”
“....”
“Sudah, jangan menangis!”
“Aku tak menagis”
“Tapi matamu berair”
“Apakah kalau berair itu pasti menangis?”
“Kini kau yang berfilosofi”
“Ya sudah. Lanjutkan! Siapa lagi yang mendoakanku?”
“Aku tak boleh menyebutkannya”
“Kenapa?”
“Ia, atau lebih tepatnya mereka tak menginginkan ada yang tahu?”
“Kenapa?”
“Kenapa kau sekarang hanya pintar bertanya? Tentu saja karena memang mereka tak mengharapkan apapun dari doanya. Hanya kebaikanmu. Bukankah kau sering berdoa untuk orang-orang yang kau tak ingin orang lain tahu”
“ Ya aku tahu. Baiklah, apakah kau ada urusan lain. Aku mengantuk”
“Kau mengusirku? Sebentar lagi subuh”
“Terus kenapa?”
“ Lalu mengapa kau akan tidur?”
“Siapa bilang mau tidur. Apakah kalau mengantuk selalu harus tidur”
“Hei, sekarang kau yang sering memulainya”
“Sudah, pergi sana!”




Saturday, January 10, 2009

Tolong!!!! Jangan Tanyakan itu

Berbulan yang lalu, di suatu malam, beberapa saat setelah berita tak mengenakkan itu saya dengar , hal yang saya takutkan justru bagaimanakah menghadapi pertanyaan-pertanyaan ingin tahu teman saya di kampus esok. Saat itu menjelang batas akhir pengumpulan tugas akhir. Sedang sibuk-sibuknya menyelesaikan pra desain pabrik dan skripsi. Ketika kabar itu darang, saya pun sebenarnya sedang seksama mengamati deretan angka dan dan rumus-rumus panjang dalam kotak-kotak kecil excel. Mengerjakan pra desain pabrik. Seorang teman mengabarkannya. Langsung menelepon saya. Benar-benar berita mengejutkan yang tak mengenakkan. Ingin rasanya tak percaya, tapi itu benar-benar terjadi pada saya. Dan sudahlah, hilang sudah gairah melanjutkan mencermati angka-angka tadi. Saya terdiam, melongo, memikirkan banyak hal, membayangkan konsekuensi-konsekuensi kurang menyenangkan yang bakal terjadi. Lama sebenarnya untuk menemukan penjelasan atas apa yang terjadi itu, tapi kemudian ketakutan terbesarnya adalah seperti yang saya ungkapkan di atas tadi. Bagaimanakah menjawab pertanyaan ingin tahu teman saya esok. Saya masih terguncang, benar, tapi bukan itulah permasalahannya. Sedikit banyak saya sudah bisa menguasai diri kala itu, mencari-cari hal positif, hal-hal baik, tapi saya tak yakin untuk bisa menerima apa yang terjadi itu, jika kemudian akan banyak pertanyaan yang bakal mengungkitnya kembali. Dan yang paling saya khawatirkan adalah: kebanyakan dari pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan basa-basi. Pertanyaan yang diajukan sambil lewat. Saat ketemu di jalan. Berpapasan di koridor. Atau kebetulan ketemu di tempat parkir

Untunglah kemudian, esok paginya, ternyata tak banyak yang tahu berita itu. Atau mungkin tak ada. Bahkan, ketika saya masuk ke lab, yang kenetulan sudah banyak orang, semuanya biasa-biasa saja. Tak ada tatapan penuh tanda tanya. Atau prihatin. Atau menyelidik. Semuanya bias-biasa saja. Maka, baiklah! Inilah saatnya. Sebelum mereka mendengarnya dari sumber yang lain, biarlah saya sendiri yang mengabarkannya. Menjelaskannya. Menjelaskannya bahwa semuanya akan baik-baik saja (atau mungkin lebih tepatnya bahwa saat itu saya baik-baik saja). Berharap mereka tak akan bertanya dengan sebuah pertanyaan dasar yang justru akan amat berat untuk menjawabnya.

Hari kemudian berlalu. Jam-jam pertama yang memberatkan telah lewat. Satu dua hari juga terlampaui. Tapi konsekuensi dari semua itu, berita buruk itupun berhembus dengan cepat. Menjalar dari mulut ke mulut. Berkembang ke obrolan di YM. Maka pertanyaan-pertanyaaan berat itupun menjadi lebih kerap menyapa. Mulanya mungkin sebuah keprihatinan, atau simpati. Tapi menjadi berat saat ditanyakan sambil lalu tadi, setengah-setengah, sama sekali tak memberi penyelesaian, atau bahkan seolah tak membutuhkan jawaban. Mungkin sesekali sedikit terhibur dengan beberapa kawan yang begitu tulus bersimpati. Memompakan kalimat-kalimat penyemangat. Tentang bersama kesulitan pasti ada kemudahan.Tentang bahwa kadang Allah menguji hambanya dengan sesuatu yang berat sebelum memberikan sebuah kebaikan. Tapi tetap saja itu tak mampu menandingi gelombang pertanyaan sambil lalu yang datang lebih deras. Ingin rasanya tak menjawabnya. Apalagi hanya pertanyaan itu-itu saja yang terlontar. Berharap mereka mencari jawabnya sendiri. Pikir saya kala itu, sungguh saya mengerti kalian peduli dengan ini. Tapi ijinkanlah saya sejenak tak diganggu pertanyaan itu. Semuanya baik-baik saja. Amat baik, selagi kalian tak lagi menanyakan itu. Pertanyaan itulah yang membuat semuanya menjadi berat.

Dan seterusnya. Dan seterusnya. (tak perlu saya lanjutkan cerita ini)

Dan begitulah kawan, kadang memang seperti itulah kita. Kita ingin orang menganggapnya biasa saja. Bukan sebuah masalah besar. Tak ingin ada yang tanya hal-hal itu lagi. Yg standar. Kadang retoris. Sungguh, banyak hal lain yang bisa dilakukan sebagai sebuah bentuk kepedulian. Tapi bukan dengan pertanyaaan sambil lalu itu. Mulai bergerak dengan sesuatu yang lebih solutif, aplikatif, dan bukan sekedar basa-basi, itu jauh lebih baik. Lalu memang jika tak mampu dilakukan, maka diam pun itu sudah lebih dari cukup.

Pertanyaan-pertanyaan itu (yang entah basa basi atau tidak) sebenarnya banyak yang tak memerlukan jawaban. Kalaupun memerlukan, sebenarnya banyak yang bisa kita cari sendiri jawabnya. Bertanya ke teman dekatnya yang mengerti mungkin. Menganalisa sendiri. Menjawab pertanyaan yang itu-itu saja, apalagi jawabannya tak mengenakkan hati, akan sangat menyebalkan lama-lama bagi yang ditanyai..

Dan inti dari semua ini, mulai sekarang marilah kita memberi sesuatu yang lebih bermanfaat pada saudara kita yang tengah dirundung masalah (atau yang dianggap masalah). Bukan sebuah pertanyaan yang justru menambah beban itu. Jika kita memiliki kawan atau saudara yang juga belum menikah di usia yang sudah tak lazim, berhentilah untuk bertanya dengan pertanyaan : kapan nih menikah? Mulailah bergerak aktif, turut mencarikan jodoh yang baik. Karena kalau kita hanya sibuk bertanya tiga patah kata di atas, itu hanya menambah beban saja, kian menjatuhkan mental, atau membuatnya serampangan mencari jodoh. Atau yang lain, kepada saudara yang belum juga dikaruniai momongan, cobalah untuk tidak bertanya tentang kapan dapat momongan. Tentang sudah isi belum (padahal sudah jelas-jelas mengerti kalau tidak isi). Cobalah mulai lebih aktif membantu. Memberi saran-saran. Merekomendasikan terapi-terapi. Dan lebih dari itu, mulailah ikut andil menyertakan nama saudara kita itu dalam do’a-doa kita. Sungguh itu jauh lebih baik dari sekedar pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban tadi.



* di tengah ketidaknyamanan atas pertanyaan beberapa orang : sekarang sdh dimana?

Monday, January 5, 2009

Ketika kami sungguh keterlaluan ya Allah

Masaku mungkin bukanlah masa menyaksikan burung-burung beo ramai menjarah jagung di sawah. Masaku mungkin  bukanlah masa melihat burung gelatik terbang rendah di hamparan padi. Masaku mungkin juga bukanlah masa merasai ikan-ikan berkecipak di beningnya sungai.  Atau menemukan begitu banyak sarang burung di pucuk pelepah salak.  Atau hal yang lain. Atau juga hal-hal lewat yang lain. Tapi masaku, adalah masa dimana aku masih sempat menyaksikan begitu banyak burung-burung manyar membuat sarang di pelepah daun pohon kelapa depan langgar. Sambil menunggu bedug maghrib, takjim menatap burung-burung kecil itu begitu piawai menjalin ilalang-ilalang menjadi sarang yang kokoh. Masaku, masa kecil itu, bagaimanapun juga adalah masa dimana aku masih sempat (sejarang apapun itu) melihat tupai-tupai berlompatan di rimbun bambu, atau mendengar celotehan sepasang burung sri gunting yang sedang bertengger di dahan tertinggi, atau sekedar melihat trenggiling, luak, bulus, burung hantu, kepodang, serta nama-nama asing yang lain.

Tapi kini, masa apakah ini? Apakah yang masih sempat dilihat? Apakah yang sekarang masih bisa dilihat langsung keponakan kecilku yang baru menjejak tk? Atau kelak, apa pula yang masih bakal sempat ditemui anak-anak kami ketika mereka mulai melihat dunia?
Ya Allah, ketika kami sungguh keterlaluan, ketika kami tak pernah sekalipun merasa cukup. Ketika tiap hari, deru gergaji mesin menumbangkan satu persatu pohon-pohon tinggi desa kami. Habis yang tinggi, maka beralih ke pohon-pohon agak tinggi . Dan begitulah seterusnya. Merobohkan semuanya. Tak lagi menyisakan dahan tinggi untuk burung-burung bernyanyi di pagi hari.

Dan sayangnya, bukan hanya itu, bukan hanya karena kian menghilangnya habitat-habitat itu semuanya menjadi tiada. Beberapa orang ternyata juga bangga menenteng senapan angin kemana-mana. Menembaki burung-burung, tupai, serta hewan lain yang bisa ditembak. Menyembelihnya, memakannya. Mereka bahkan tak risih untuk menenteng-nenteng musang. Atau nyambek hasil buruannya. Kemudian mengulitinya. Kemudian memakannya ramai-ramai (ya Allah, sekecil apaun pengetahuan itu, mereka sebenarnya mengerti, hewan-hewan itu pemakan daging, bangkai pula. Mereka juga tahu,hewan-hewan itu bercakar, bertaring pula. Tapi ah, bagaimana mereka akan hirau dengan itu. Bagaimana mereka sempat memperdulikan hal itu).

Lalu, apakah akan tiba masanya, hanya cericit tikus yang akan meningkahi malam. Merusak pepadian di sawah. Menjarah rumah-rumah. Ketika keseimbangan itu mulai bubrah. Ketika rantai makanan itu sempurna tersendat. Ketika salah satu komponen penyusun rantai makanan itu membantai segalanya.

Anakku, kalaupun memang begitu, kelak, biar kuceritakan saja masa itu. Menjelang tidurmu.