Wednesday, February 25, 2009

MENUNGGU



Kata siapa menunggu itu selalu membosankan?
Mmmhh..SALAH!
Ternyata... kadang menyenangkan juga
Deg-degan campur cemas...
Astaga! Belum muncul juga...

Sekali...melirik...mendesah ; belum ada juga
Dua kali...melirik...mendesah lebih lama ; masih belum ada juga
Tiga kali...melirik...menahan napas....( beberapa detik hening...suara-suara merdu mengalun..semerbak bunga....dalam gerakan lambat nan mengagumkan macam di film-film hebat hollywood..pertemuan-peretemuan); ah, ternyata bukan!

Tak perlu lah mondar-mandir menatap lantai..
Apalagi memasang wajah panik
Hanya duduk takjim...
Terdiam..menghitung kemungkinan-kemungkinan
Menggurat angka-angka..susunan huruf
Ya Allah, jangan-jangan memang benar!!
: buah-buah manis akan bersembulan muncul di ujung kesabaran

Sunday, February 22, 2009

Seorang spesial di masjid deket kos

Dalam beberapa hal, saya adalah seorang pengamat yang baik. Benar-benar pengamat. Mengamati dalam artian sebenarnya. Melihat, memperhatikan, merasakan, atau membandingkan. Karena bagi saya itu menarik. Seorang teman bisa heran atas sebuah kesimpulan yang saya hasilkan atas sebuah tempat atau peristiwa yang sebenarnya kita tempati atau jalani bersama-sama. Teman ini memang tipe orang yang tak terlalu pusing dengan keadaan. Tak terlalu suka mengindahkan. Cuek.

Maka kegemaran ini, tak ayal menjangkiti saya dimanapun saya berada. Di mall (‘sebenarnya orang-orang yang kesini itu benar-benar mau beli sesuatu atau nggak ya?’, atau, ‘maghrib-maghrib begini mushola mall-nya kok sepi banget, padahal yg sedang belanja ramai’), di jalan (‘mengapa orang jadi berebutan membunyikan klakson keras-keras di detik pertama lampu hijau menyala, seolah mereka adalah seorang yg begitu menghargai waktu’, atau, ‘pernahkah anak-anak penjual koran itu membayangkan bahwa dialah yang sedang duduk nyaman di jok mobil itu dan sedang ditawari koran oleh orang lain’), di kampus (‘mengapa banyak sampah bekas makanan dan minuman bergeletakan di areal hot spot itu padahal pemakainya adalah orang-orang berkelas yg kesehariannya berbicara hal-hal ilmiah’, atau, ‘mengapa pihak kampus suka sekali menebangi pohon padahal di kelas-kelasnya mungkin saja sedang terjadi diskusi hangat tentang pemanasan global’). Serta tempat-tempat lain. Serta pengamatan-pengamatan lain.

Dan parahnya, kegemaran ini, masalah amat-mengamati ini, juga berlaku saat saya ada di masjid. Maka tak heran jika saya akan selalu mengedarkan pandangan tiap kali sampai di masjid atau tiap kali selesai mengucapkan salam penghujung sholat. Menatapi orang-orang. Mengamati tingkah polanya, kebiasaan-kebiasaan uniknya, atau pakain favoritnya. Dan kebiasaan itu, tak jarang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan unik. Yang mungkin luput dari pengamatan orang.

Majid yang paling sering saya kunjungi namanya Baitul Muttaqin. Letaknya dekat dengan kos. Amat baik manajemennya. Tak perlu bingung lagi siapa yang bakal jadi imam (stoknya banyak). Tepat waktu mengumandangkan azan, tepat waktu pula mengumandangkan iqomah. Berjarak 10 menit. Selalu tepat. Sebab ada timer yang menghitung mundur waktu 10 menit itu. Terpampang jelas di depan. Dan kesimpulan unik itu, awalnya saya ragu. Pas awal-awal menjadi jamaah di masjid itu, sebenarnya kesimpulan itu sudah saya dapati. Tapi masih ragu. Mencoba mengamati terus. Hingga hari-hari berlalu, hingga berbilang tahun, dan kesimpulan itu tak berubah. Malah menguat.

Kesimpulan itu tentang seseorang. Seseorang yang bahkan namanya pun tak saya tahu. Hanya saya tahu dia saja. Tahu karena sesama jamaah masjid. Tahu karena sering bertemu. Tapi tak juga pernah bertegur sapa. Ada banyak hal yang memisahkan saya untuk melakukan itu. Seseorang itu seperti punya kehidupan sendiri.

Kesimpulan ini rentang kebiasan unik orang itu. Bermula dari kebiasaan saya mengedarkan pandangan seusai salam. Menoleh ke belakang mengamati siapa sajakah hari ini yang sholat di masjid, mencari tahu siapakah yang masbukh, mencari-cari anak kecil imut yang selalu diajak abinya sholat di masjid. Sekali, dua kali, hingga berpuluh kali mungkin tak ada kesimpulan yang saya dapat. Tak ada hal yang aneh. Tapi suatu saat, yang saya sudah lupa kapan, saya baru sadar kalau ada hal sama yang kerap saya temukan saat menoleh ke belaknag tiap kali usai salam : sesorang pria muda  yang selalu bangkit lagi untuk menambah satu atau beberapa rokaat yang tertinggal. Ia masbukh. Dan sesorang itu adalah seseorang yang saya singgung di awal tadi.

Aneh, begitulah yang terbersit pertama kali mendapati kenyataan itu. Maka setelah itu, saya selalu mencari-cari seseorang itu tiap kali usai salam. Sayangnya, yang saya dapatkan hanyalah penegasan atas kesimpulan saya yang pertama. Ia selalu tertinggal. Tak pernah saya jumpai ia datang sebelum iqomah dan berada di shof terdepan. Tak pernah pula saya jumpai ia tak menambah rokaat lagi. Bahkan untuk sholat yang paling ringan orang melaksanakannya di masjid, sholat maghrib, ia tertinggal juga. Ok, bagi siapa saja yang mengira ia adalah seorang yang ogah-ogahan datang ke masjid, maka itu adalah kesalahan besar. Karena tiap sholat subuh, saat terberat untuk orang menjangkau masjid, ia juga datang. Ia hadir dengan muka tak berekspresinya itu, muka dinginnya itu. Meski itu tadi, ia tetap saja tertinggal.

Iseng-iseng saya ceritakan kesimpulan saya ini pada seorang teman yang kebetulan jamaah masjid itu juga. Awal mulanya ia tak percaya. Hingga setelah beberapa kali pembuktian, kesimpulan yang sama ia utarakan; “iya yah..aneh orang itu”. Tapi sama seperti saya, ia tak berdaya menghadapi itu. Meski kita sama-sama berstatus sebagai jamaah masjid itu, kita seperti berjarak dengan orang itu. Sampai saya tulis ini, saya bahkan belum mendengar suaranya, tak tahu juga dimana ia tinggal, apa kesehariannya (sebenarnya ini misteri terbesar yg ingin saya tahu hingga kenapa ia selalu telat). Untuk menegurnya langsung? Mmmhhh....

“cari tahu nomornya saja, kita nasehati lewar SMS”, teman saya memberi usul
“caranya?”
“mmmmhhh”

Ada yang punya saran??

(*sebenarnya sih masalahnya ada pada keseriusan saya)

Sunday, February 8, 2009

PR : lima kegokilan diri

Dapat PR dari mbak anis. Hmmm... sebenarnya sih saya paling malas kalau dapet PR dari blog seperti ini, tapi berhubung pas jaman sekolah saya tergolong rajin mengerjakan PR (*he he) maka mau tak mau saya kerjakanlah PR itu. PR-nya tentang lima kegokilan saya. Sekali lagi : lima kegokilan. Sempat mikir juga sih apa yang mesti ditulis. Bayangkan, kegokilan! Perasaan saya belum pernah deh memakai kosakata itu dalam perbincangan apalagi tulis menulis. Jadi kurang mengerti benar artinya. Nggak gaul banget deh saya. Apalagi kosakata itu kayake nggak tercantum dalam KBBI, dicek di kamus untuk mencari padanan katanya dalam bahasa inggrisnya pun nggak ketemu.

Baik..baik... sebisa dan sesuka saya saja kalau begitu. Berikut lima kegokilan yang pernah saya lakukan. Tentunya ini sudah melalui sensor manakah yang layak untuk ditampilkan ke khalayak. Nomor tidak menunjukkan tingkat kegokilan.

1. Pas jaman SMA dulu, kalau nggak salah pas kelas satu SMA, dan lebih pasnya lagi pas pelajaran PPKN, saya pernah disuruh maju ke depan untuk menjelaskan sebuah materi oleh guru saya. (sebenarnya ini giliran, dan waktu itu jatah saya ditunjuk). Jatah saya waktu itu menjelaskan sebuah pasal di UUD, entah pasal apa tepatnya, lupa. Pokoknya isinya tuh menyatakan  “yang menguasai hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Singkat cerita maka majulah saya ke depan. Tanpa membawa buku. Mencoba mengingat apa-apa yang sudah saya pelajari sebelumnya. (note:sebelumnya memang diberi kesempatan untuk mempelajari...siapa saja berpeluang untuk kena tunjuk. Kebetulan saja waktu itu nama saya yang keluar). Dan apa yang terjadi saudara-saudara? Saya bisa menyelesaikan misi menjelaskan itu dengan sedikit memuaskan. He he. Tak terlalu banyak yang bertentangan dengan yang ada di buku (*dasar emang nggak kreatuf...disuruh menerangkan malah menyalin ulang di buku). Tapi itu belum selesai. Tibalah saat diskusi. Temen-teman sekelas dipersilahkan bertanya sepuas hati mereka. Dan saya dengan penuh keiklasan harus tetap setia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Sesulit apapun pertanyaan itu. Satu orang kemudian angkat tangan; pertanyaan standar. Mudah diatasi. Orang kedua angkat tangan; rada sedikit mikir (padahal tuh pertanyaan sudah diprediksi sebelumnya. Di atas kertas mudah diatasi)

“Tadi katanya yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bisa diterangkan lebih jelas maksud yang menguasai hajat hidup orang banyak itu”

(*tenang..tenang, pertanyaan standar)..”Hmmh jadi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu dikuasai dan dikelola oleh negara. Biar tidak terjadi monopoli. Artinya sektor-sektor yang penting. Yang berhubungan langsung dengan kebutuhan takyat. Mendesak dan yang rawan monopoli”

“Contohnya yang penting?”

“semacam listrik, bahan bakar”

“berati yang nggak dukuasai negara nggak penting ya? Bisa disebutkan!”

(hmmm..mikir. Nggak juga ya sebenarnya.. makanan penting tapi nggak dikuasai negara. Jadi.....sudahlah..dijawab yang pertanyaan kedua saja), “seperti makanan, kosmetik—“.

Uppps...Gawat! Kok bisa-bisanya kata kosmetik itu keluar dari mulut saya. Mana mungkin negara mengusai remeh temeh macam kosmetik tadi. Jadi menyesal mengutarakannya. Andai saja bisa berbalik ke belakang , ingin rasanya mencabut kata-kata itu. Tapi apa daya, seisi kelas sudah riuh rendah oleh tawa. Mentertawai kekonyolah saya. Dan saya hanya bisa bengong di depan kelas. Tetep cool kayak nggak terjadi apa-apa. Padahal sebenarnya saya sedang grogi habis-habisan di depan kelas. Untunglah guru saya bertindak cepat. Mengendalikan situasi kelas yang mulai riuh. Beliau pun angkat bicara.

“jadi kalau kosmetik nggak penting berati kecantikan nggak penting ya?”

(aduh..duh..kirain mau membantu..eh malah memperparah. Gimana ini? ), “ya bukan begitu. Kalau dasarnya cantik, walau nggak dimake up ya tetep cantik”.

Wkwkwkw..makin meledaklah tawa seisi kelas. Dan saya hanya membisu menatap teman-teman yang tergelak. Sepintas saya lirik bu guru berjilbab itu; beliau pun ternyata tak kuasa menahan senyumnya.

Tapi kelak, ketika saya lebih mengerti ini dan itu, pernyataan saya itu banyak benarnya juga. Percayalah, hai para wanita, kalian tetep cantik kok meski tanpa make up itu. Tanpa bedak dan gincu tebal itu. Karena sebenarnya, kecantikan itu ada dalam hati. Itulah yang mungkin lebih hakiki. (ha ha..kok saya jadi ngomongin gini)

2. Saya ini seorang penggigit. Artinya suka menggigit. Terutama barang-barang kecil memanjang. Korban keberingasan saya tentu saja pulpen dan pensil. Pas jaman SD dulu, tutup pulpen pilot saya pasti sudah nggak berbentuk. Malah bisa-bisa sudah nggak berfungsi lagi. Menyedihkan sekali melihatnya tak lagi bulat. Sudah pipih akibat gigitan kuat gigi seri saya. Maka jangan heran kalau kemudian saya diblacklist oleh teman sekelas untuk meminjam sesuatu. Semacam tipe ex atau penghapus sekalipun. Tentunya karena mereka trauma karena barang-barangnya yang saya pinjam saya gigit-gigit nggak karuan. (* tapi sekarang kebiasan ini sudah jauh berkurang kok.... jorok dan tak higienis)

3. Suka teriak kenceng-kenceng kalau pas mandi. Saat guyuran air pertama membasuh tubuh. Apalagi kalau pas inget hal-hal bodoh yang dilakukan.. Dulu, sempat ada tetangga yang sampai nyamperin ke rumah karena dengar orang teriak-teriak. Dikirain ada apa-apa. Eh ternyata cuma saya yang lagi mandi.

4. Nggak atahu apakah ini masuk kegokilan atau kebodohan. Atau kecerobohan? Ceritanya pas skripsi kemarin, nama dosen pembimbing saya pada lembar persetujuan skripsi ternyata nggak saya beri gelar. Parah banget. Padahal semingguan lebih saya berjuang mendapatkan tanda tangan persetujuan dari tiga dosen penguji. Tinggal dosen pembimbing saja, dan itu pastinya langsung disetujui, karena memang yang pertama meriksa dosen penguji. (note: pada lembar persetujuan itu ada tanda tangan persetujuan dosen penguji sama pembimbing). Maka bingunglah saya, terbayang sudah kalau harus mengulang mencari tanda tangan lagi. Padahal satu orang dosen penguji sudah terbang ke jakarta dan bakal balik minggu depan. Satu dosen penguji lain sudah ambil liburan dan sudah menyatakan nggak bisa diganggu untuk hal-hal akdemis. Itu beliau tegaskan sewaktu saya minta tanda tangan di hari terakhirnya di kampus. Sedangkan satu penguji lagi; ah membayangkannya saja saya sudah lemas duluan. Perlu empat kali bolak-balik kemarin pas minta tanda tangan persetujuan. Revisi sana sini. Kebanyakan nggak jelas.

Hingga...... akhirnya kesadaran itu muncul...untunglah dosen pembimbing saya orangnya masih muda. Artinya baru-baru saja lulusnya. Dan juga belum S3. Jadi gelarnya ada di belakang namanya: ST dan MT. Masih ada space utuk menyisipkan gelar tersebut ,hal yang nggak mungkin seandainya gelar tersebut di depan macam Ir atau Doktor. Terima kasih Ya Allah! Maka kemudian saya buka file word lembar persetujuan itu, dengan hati-hati saya print ulang lembar persetujuan yang sudah bertanda tangan tadi. Tentu saja terlebih dahulu saya tambahkan ST dan MT pada belakang nama pembimbing saya. Sedangkan yang lain diblock putih. Percobaan ngeprint; berhasil. Yang sebenarnya; berhasil, meski nggak terlalu pas benar. Tapi itu sudah cukup. Kalau nggak dilihat seksama atau memakai kaca pembesar nggak akan kelihatan. Duh alangkah gembiranya waktu itu!


5. Kegokilan kelima: mau-maunya disuruh nulis kegokilan diri sendiri. Apalagi sampai panjang begini.

Selesai! Sebenarnya ada aturan kalau saya harus ngasih tugas ini ke lima blogger yang lain. Tapi karena saya orangnya nggak suka maksa, serta PR itu kadang nggak bagus juga karena bisa membuat anak kecil kehilangan waktu bermainnya (*lho?), maka saya tawarkan saja. Jadi PR ini berlaku buiat lima pengunjung pertama halaman ini. Jika anda tak bersedia untuk mengerjakannya, silahkan tinggalkan komentar . (Dan itu artinya yang nggak meninggalkan komentar keberatan bakal kena timpuk PR ini).

Ok..segitu saja.

Saturday, February 7, 2009

Gini ini Politik....

Suatu ketika, saat pulang kampong, yang entah sudah berapa bulan lewat, saya lumayan terkejut mendapati sebuah baliho caleg berdiri anggun di perempatan kampung saya. Ukurannya sih memang nggak terlalu besar, tapi cukup mengagetkan saja mengingat kampung saya adalah kampung kecil dengan penduduk jarang yang bahkan untuk pemilihan kepala desa saja tidak terlalu banyak di perhitungkan oleh para calon yang ada. Jalannya pun nggak terlalu ramai, paling-paling motor  yang lewat, dan itupun seringnya dari penduduk sekitaran saja. Sebagai gambaran , kampung saya lokasinya berada di pinggiran Pasuruan, berada di kecamatan yang tak terlalu terdengar. Kalah jauh dengan kecamatan-kecamatan yang sudah cukup terkenal macam Bangil dan Pandaan. Untuk menjangkau kampong saya pun, itu harus masuk sebuah jalan kampung sejauh sekitar 800 meter. Nggak ada ojek, apalagi angdes, maka jalan kaki lah alternatif satu-satunya. Dulu sih sempat diaspal dengan kualitas ala kadarnya, jadi sempat juga menikmati kenyamanan saat transportasi menjadi lancar. Tapi sekarang, di beberapa titik sudah penuh lubang menganga, dan yang tersisa hanyalah tatanan batu lumayan runcing yang mencuat di sana sini. Perlu ekstra berhati-hati saat melintasinya. Bila musim hujan seperti sekarang ini, maka akan sukses membentuk kubangan kecil penuh air keruh. Yang pasti,  kalo masih memungkinkan ada jalan alternatif, maka dihindarilah jalan menuju kampung saya ini.

Calegnya sih, memang dari putera daerah. Atau puteri daerah tepatnya. Bahkan dari kampung sebelah. Masih muda, karena pas SD dulu persis satu tingkat di atas saya. Si caleg ini, anak seorang yang boleh dibilang –maksudnya orang-orang kampong bilang-- ustad. Bapaknya sering menjadi khotib sholat jum’at di kampung saya. Dengar-dengar sih, dulu bapak si caleg ini, pernah menang lomba qiroah di TVRI surabaya. Sedangkan pengusung caleg ini, memang dari partai yang lumayan besar di daerah saya. Di DPRD II saja mayoritas, bahkan untuk dapil di wilayah saya yang meliputi 4 kecamatan, pada tahun 2004 kemarin, sukses menyapu bersih empat kursi yang diperebutkan. Bagi pengamat politik, pasti sudah tahu partai yang saya maksud, partai yang menguasai daerah tapal kuda.

Dengar-dengar juga, bapak si caleg ini sudah menyiapkan berkian-kian juta. Entahlah untuk apa. Kalau sekedar pasang baliho begitu sih nggak sampai berkian-kian juta. Apalagi hanya meliputi empat kecamatan. Tapi marilah kita berbaik sangka.
Tapi kemudian, di kepulangan selanjutnya, saya kaget ketika tak lagi saya jumpai baliho caleg tadi. Mungkin terdera hujan deras yang memang beberapa waktu melanda desa. Roboh dan tak ada yang mau memasangnya lagi. Tapi bukan itu inti kekagetan saya. Ternyata, di tempat yang sama dimana baliho caleg tadi terpasang, kini sudah berdiri dua baliho caleg lain yang berukuran lebih besar. Tapi dari partai yang sama. Yang satunya caleg DPR pusat, yang satunya DPRD II. Wah..wah..saya geleng kepala saja. Niat amat yang DPR pusat itu. Bayangkan, ada berapa kampung yang meliputi dapil ini, Pasuruan dan Probolinggo. Jika tiap kampung dikasih baliho sebesar itu, berapa yang ia keluarkan untuk biaya membuat baliho saja. Belum yang memasangnya.

Dua orang caleg itu sih, saya sama-sama nggak kenal. Dan entah dari daerah mana asalnya saya juga tak terlalu peduli. Tapi partai pengusungnya, saya pasti kenal. La wong yang paling gencar beriklan di televise. Durasinya lama lagi. Bahkan di baliho yang caleg DPR pusat, si caleg terlihat bersalaman dengan capres dari partai tersebut. Inilah mungkin senjata andalan si caleg untuk merayu orang-orang kampong yang melihat balihonya.
Kemudian, selidik and selidik, ternyata yang memasang kedua baliho tersebut adalah tetangga saya. Bahkan hanya berjarak satu rumah. Orangnya sih memang terkenal pandai menangkap peluang. Gaya berbicaranya pun amat mempesona untuk bisa meyakinkan orang yang diajak bicara. Tentunya dia sudah mendapat uang saku yang cukup layak untuk memasang baliho tersebut. Maka saat itu, bisa dikatakan kalau tetangga saya itu menjadi tim sukses caleg tersebut.

Tapi cerita kakak sayalah yang membuat saya kemudian tersenyum. Ternyata, baliho caleg pertama itu, yang sudah nggak terpasang lagi, juga dipasang oleh tetangga saya ini. Tentunya ia juga mendapatkan uang saku untuk kerjanya itu. Bahkan tak hanya sebagai tukang pasang, ia juga sebagai tim sukses caleg tersebut. He he, ini baru hebat, tim sukses dua calon yang berbeda.

Dan cerita kakak saya berlanjut. Ternyata, kabar menduanya si tetangga saya ini, sampai juga di telinga bapak si caleg pertama. Maka didatangilah tetangga saya itu. Bermaksud meminta klarifikasi. Beginilah mungkin dialognya:

(tetangga saya biasa dipanggil mbah ri, sedangkan bapak si caleg biasa dipanggil abah)
“Mbah, ente ini gimana seh? la wong sudah jadi tim sukses anakku kok masih jadi tim sukses yang lain?”
“Ente ini gimana seh bah. Gini ini politik. Politik!”

Wkwkwkw.....ingin tertawa saja mendengar cerita itu. Memang masalah mbulet-mbuletan, berkelit, serta akal-akalan, tetangga saya ini memang jagonya. Sudah teramat panjang riwayatnya. Sudah menjadi rahasia umum. Riwayatnya sudah membentang sejak saya masih SD hingga sekarang lulus TK (lho?....he he..maksude teknik kimia). Jadi kalau masalah mbulet-mbuletan tentang tim sukses ini, sepertinya bukanlah perkara sulit baginya.

Ah, politik. Bahkan tetangga saya itu menganggapnya sebagai kegiatan mbulet membulet, tipu menipu, serta hal sejenisnya. Butuh banyak penjelasan memang. Semoga masyarakat segera tercerahkan.



Friday, February 6, 2009

Reuni Delapan Negeri

Tulisan lama. Dibuat beberapa bulan yang lalu. Di sekitaran maghrib, saat berita tentang kelulusan diterima. Saat ancaman ketidaklulusan itu sirna jua. Tapi di lain pihak, juga saat ancaman ketidaklulusan buat dua orang teman akhirnya benar menjadi nyata.
*********************

Malam temaram. Angin punah.Masih!!  Ia  masih saja berjalan. Pelan, teramat berat menyeret langkah. Melewati jalan setapak. Sepi, hanya bunyi jangkrik meningkahi kelam..

Menuju sebuah pertemuan.

Empat tahun yang telah tergelar. Pengajaran-pengajaran. Konsep. Tindakan. Kerja keras. Hasil.

Tak ada hujan, tapi ada yang memercik runtuh. Bukan embun, bukan pula air mata. Karena itu, telah kering dalam malam panjang penghambaan.

Ada yang merembes. Lambat mengalir.....mengurai cita. Deras menerjang.....memburai barisan jiwa. (ah haruskah pertahanan itu goyah?)

Aha, tidak! Ia masih melangkah. Teguh. Berniat menghadapi ini semua. Pertemuan ini harus terlaksana. Harus.  Ia harus hadir. Dengan wajahnya sendiri. Dengan senyum teduh yang dulu. Masih sama. Ini tak akan mengubah apapun. Janji empat tahun lalu itu harus terlaksana.

Tanah lapang itu semakin jelas terlihat. Di depan. Sepelemparan batu. Sementara malam beranjak menua.

Maka ia pun tiba. Beberapa orang sudah datang. Mengambil posisinya masing-masing. Beberapa tertunduk, beberapa tegap menantang malam. Beraneka rupa. Tapi kesemuanya tak berani saling menatap. Tak ada bayangan yang tertangkap oleh retina mata . Menerawang. Hmmm.... inilah aturannya.

Malam ini malam besar. Malam inilah yang digagas empat tahun lalu. Dalam sebuah seremonial kecil. Di tempat ini juga. Dalam malam seperti ini juga. Sebelum pada akhirnya semuanya melangkah. Ke delapan penjuru mata angin. Dengan dada membusung, kedelapan pemuda itu siap menjalankan misi masing-masing. Mengukir sejarah. Berharap empat tahun kemudian ada berita besar yang akan diceritakan.

Suara beduk menggema. Delapan kali. Inilah tanda mula semuanya. (tadi ia begitu tegar, sepanjang perjalanan tadi ia sudah membulatkan tekat. Tapi lihatlah, demi mendengar beduk tadi, demi mengetahui bahwa itu akan segera dimulai, ia tertunduk dalam. Gentar. Menyeka keringat dingin yang tiba-tiba menderas. Ah, apakah yang harus ia katakan nanti).

Seseorang maju. Bertubuh gemuk. Berat menyeret langkah. Tapi pandangannya pasti. Tajam. Memulai berkata, ”empat tahun yang meyenangkan. Penuh perjuangan. Teman-teman yang hebat”. Tersenyum. Menghela nafas, ”Ah berat sebenarnya mengakhirinya. Aku cinta dunia ini. Tapi.....siapakah gerangan yang tak ingin menyelesaikan sebuah tahap dan melanjutkan tahap baru. Maka begitu pula aku kawan! Empat tahun itu telah terselesaikan, tapi bukan akhir dari perjalanan. Aku akan meneruskannya. Bukan di sini, atau di negeri tetangga. Tapi di negeri jauh. Jauh”.
Semua (atau mungkin kebanyakan) menarik napas lega. Tapi tak ada reaksi. Tak ada yang menimpali. Tanpa ucapan-ucapan. Karena begitu jugalah aturannya. Sebelum semuanya tersampaikan.

(sementara yang tidak diketahui, seraut wajah tetunduk menatap bumi)

Orang kedua maju. Bertubuh kerempeng. Kontras dengan orang pertama. Ringan melangkah. Mantap. Mengedarkan senyum. Ini sudah menjadi ciri khasnya. “Alhamdulillah semuanya baik-baik saja. Empat tahun yang sangat luar biasa. Ah, mungkin ada sedikit ganjalan di akhir empat tahun itu. Sedikit. Tapi...pada akhirnya toh semuanya baik-baik saja. Teramat baik. Bukankah kita harus menapaki tanjakan, sebelum merasakan indahnya turunan. Tanpa ayunan”. Berhenti. Kembali mengedarkan senyum kocaknya, “Sebentar lagi aku akan pergi kawan. Memainkan peran baru. Tapi jangan khawatir! Aku akan datang ke sini empat tahun lagi. Menceritakan karya besarku. Tawaran ini mungkin tak terlalu memikat bagi sebagian orang. Remeh-temeh. Tapi tidak bagiku, separuh mimpiku sudah tertancap di sana. Aku melihat masa depan di sana”.

Kedelapan wajah menahan senyum. Geli.Mungkin pikiran semuanya sama-sama bersenandung: sejak kapan ia bisa merangkai kata seperti itu?.
Orang ketiga maju. Orang keempat. Disusul orang kelima. Lalu orang keenam. Ragu-ragu maju. Selalu begini. Memandang lurus. Mengitari lingkaran itu dengan matanya. Menatap satu persatu wajah. Mengambil napas. Dalam. ”entah dengan apa harus merangkum empat tahun ini. Terlalu beraneka. Betapa saya bersyukur dipertemukan dengan semua itu. Keadaan empat tahun ini. Memainkan berbagai peran. Mencerna makna. Memetik hikmah. Uigh, hebat sekali. Di setiap jengkal perjalanannya selalu memberikan pelajaran. Bahkan hingga di ujung itu....cobaan datang. Teramat berat mulanya, entah bagaimana harus menahannya. Sakit. Berbagai bayangan sudah muncul. Bayangan buruk. Tapi, pada akhirnya hal ngeri itupun tak terjadi. Sayapun bisa menyelesaikannya.”.

Kembali hening. Giliran orang ketujuh. Tapi belum ada tanda-tanda bakal ada yang maju. Lima menit berlalu. Semuanya berharap cemas. Sibuk bertanya dalam hatinya masing-masing : ada apakah gerangan?

Lalu kaki itupun pada akhirnya melangkah. Pelan. Persis di tengah lingkaran berhenti. Masih menunduk. Beberapa jenak. Lalu menatap bintang. Mendongak. Hingga kembali menatap lurus. Memulai menyampaikan berita berat ini, ”Maaf kawan.”. kembali menunduk,”maaf, aku gagal. Aku nggak berhasil menyelesaikannya. Sekarang. Aku gagal. Aku tak berhasil memungkasi kepercayaan yang kalian berikan”.

”TIDAK!!”. Seseorang memotong. Melanggar aturan itu. Sesorang mesti terselamatkan.”Tak boleh dari kita yang merasa gagal. Begitupun tak boleh ada yang merasa lebih berhasil dari yang lain. Bagaimanapun juga empat tahun ini adalah karya kita, perjuangan kita, tetes keringat kita. Biarlah yang paling berhak menilai yang bakal menilainya. Biarlah!! Kita sudah memberi apa yang terbaik yang kita punya”.

”Tapi......”. Masih saja dengan menunduk. ”Ah, teramat mudah memang sekedar mengatakannya. Amat mudah. Bagaimanakah jika kalian di posisiku. Merasakan apa yang aku rasakan”.

”Saya pernah merasakannya!”. Seorang lagi menyahut. Pemuda yang maju urutan keenam tadi. Memandang tajam.”Saya pernah berada di posisi antum. Sempat pernah merasakan bagaimana menyakitkannya itu. Betapa ngilunya kenyataan itu. Tapi, bukankah antum sendiri yang dulu pernah berucap ’ Allah tahu yang terbaik bagi kita. Pasti ada rahasia dibalik skenarionya. Kadang kita harus mengalah dengan kondisi yang memberatkan kita karena Allah hendak memberikan sesuatu yang lebih’. Masih ingatkah antum?”.

Masih menunduk. Hening. Dua menit berlalu tanpa kata-kata. Hingga, ”Ternyata aku tak sekuat itu akh...”

”Tidak. Antum kuat. Saya tahu benar kapasitas jiwa antum. Jiwa antum seluas telaga, bukan segelas air. Lalu apalah artinya sejumput garam itu. Itu tak memberi arti apa-apa.”

Sejumput garam? Segelas air? Telaga? . Ah, perumpamaan itu, betapa sudah teramat sering ia dengar, ia baca. Dan bahkan —ironisnya-- , ia sampaikan.
tiga puluh detik berlalu dengan hening. Hingga pada akhirnya lelaki di tengah lingkaran itu mendongak. Menatap lekat wajah temannya itu.

“Tetaplah hidup akh! Bukankah tak bisa menyelesaikan sekarang bukan berarti antum tak akan bisa menyelesaikannya. Masih ada waktu. Bukankah itu artinya antum diberi kesempatan untuk memperdalam segalanya. Bukankah itu juga bisa berarti antum memang belum siap, atau belum tepat untuk beralih ke tahap selanjutnya. Bukankah itupun juga bisa berarti antum masih teramat dibutuhkan dalam tahapan yang antum jalani sekarang ini. Dan, bukankah antum juga yang dulu bilang: ’jika kau diberi waktu tujuh jam untuk menebang pohon, gunakanlah enam jam untuk mengasah kapak!’. Mungkin kapak antum belum begitu tajam, dan mungkin kapak antum masih terlalu mudah berkarat terdera hujan”.

Kali ini wajah itu mengeras. Menatap tajam ketujuh wajah. Ah, jika kau bisa melihat wajah itu, kau akan menangkap sebuah tekat. Optimisme. Wajah yang kini bahkan lebih bersinar. Semuanyapun tersenyum.

Tapi hei! Tidak. Tidak semuanya tersenyum. Ada satu orang yang sejak tadi terdiam. Tapi tak menunduk. Orang kedelapan. Ia melangkah tegap. Bergerak ke tengah. ”Maaf kawan, ane juga belum bisa menyelesaikannya. Tapi itu bukanlah masalah besar kan? Beberapa bulan lagi, ya beberapa bulan lagi...semuanya kan tak tertahankan. Ledakannya kan maha dasyat. Tak ada besaran yang akan sanggup mencatat daya ledaknya. InsyaAllah. InsyaAllah, dengan do’a antum semua.”

”ALLAHUAKBAR!!!”. Entahlah, siapa yang memekik lebih dulu. Tapi yang pasti, seketika lengkingan takbirpun bergema bersahutan. Membentur pepohonan. Tertabrak ngarai. Memecah sepi. Seluruh alam semesta pun bertasbih.

(Kedelapan oraang itupun berpelukan. Melepaskan rindu. Saling mentransfer energi jiwa. Esok, di tempat ini juga, seperti malam ini juga, mereka harus berkumpul lagi. Mengutarakan janji : pertemuan empat tahun lagi)