Monday, September 28, 2009

Cewek2 Penjual Pulsa

Boleh dibilang, tempat keramain terdekat dari tempat tinggal saya sekarang adalah sebuah tempat yang disebut dengan koperasi. Disebut demikian karena memang di sana ada swalayan milik koperasi karyawan. Selanjutnya, tempat itu menjadi ramai karena tidak hanya swalayan saja yang berdiri. Tepat di depan swalayan itu ada kumpulan penjual makanan yang selalu ramai dikunjungi pembeli tiap malamnya, ada juga studio foto, ada juga salon kecantikan, ada toko roti, ada penjual buku, ada penjual VCD, ada juga ATM tiga bank pemerintah, juga penjual-penjual lain.

Di sanalah saya (dan juga teman saya) sering mampir. Karena memang letaknya berada di antara masjid dan tempat tinggal kami. Jadi seringkali sepulang dari masjid, kami belok dulu ke sana sekedar untuk membeli keperluan atau mengambil uang ke ATM. Termasuk urusan beli pulsa. Di sana, ada empat meja penjual pulsa. Penjualnya sama-sama cewek. Letak keempatnyanya pun boleh dibilang berjejer. Bisa saling melirik satu sama lain manakah yang lebih banyak pembelinya. Saya sering kebingungan mengenai ini, penjual manakah kiranya yang mesti saya hampiri saat saya ingin beli pulsa. Maka yang sering terjadi saya tak pernah merencanakan penjual manakah yang bakal saya hampiri. Saya hanya melangkah, melewati penjual-penjual pulsa itu. Di mana langkah saya terhenti, oleh sebuah keinginan yang datang tiba-tiba dan kadang sulit dijelaskan, disanalah saya akan membeli pulsa. Maka karena tak pernah ada alasan yang jelas, keempat penjual pulsa itu pernah merasakan sama-sama terbeli pulsanya oleh saya.

Suatu ketika, ketika ngobrol dengan teman yang juga sering membeli pulsa di sana, saya bertanya masalah ini.

“bagaimana pean memutuskan, di penjual yang mana bakal membeli pulsa?”

“yang sudah siap. Yang masih menata-nata atau lagi melakukan hal-hal yang tidak jelas, nggak aku hampiri”.

Mmmh.. boleh juga ide teman saya ini. Yang sudah siap artinya yang sudah siap menjemput rizki. Yang masih melakukan aktifitas nggak jelas yang sama sekali tidak mendukung kegiatannya menjual pulsa, barangkali yang belum siap menjemput rizku dari berjualan pulsa tadi.

Hingga kemudian semingguan yang lalu, saya dan teman saya ini berkesempatan mampir ke koperasi. Teman saya ini ingin beli pulsa. Persiapan lebaran, katanya. Saya, yang merasa pulsa untuk persiapan lebaran sudah cukup, cuma mengikuti saja. Kemudian, sampailah kami di deretan penjual pulsa tadi. Tapi kemudian saya heran, ketika berada tepat di depan penjual pulsa pertama, teman saya ini hanya lewat saja. Padahal kalau saya lihat, penjualnya lebih dari sekedar siap. Tak ada pembeli lain pula. Jadi tak perlu ngantri. Tepat di depan  penjual yang kedua, ia juga cuma lewat. Begitu juga ketika di depan penjual ketiga. Saya, yang sudah memegang rapat kata-katanya dahulu, akhirnya tak tahan juga untuk tak bertanya.

“lo, katanya beli pulsanya ke yang sudah siap? Itu tadi kan sudah siap”

“beli ke yang pakai jilbab saja”

Fffhhff. Kembali saya terkejut dengan jawaban teman saya ini. Telah hampir enam bulan saya di sini, beli pulsa di sini, tapi belum juga saya menyadari ini. Memang, dari keempat penjual pulsa tadi, hanya seorang saja yang berjilbab dengan pakaian yang sedikit longgar. Tiga lainnya lebih sering memakai jenis pakaian yang tergolong irit bahan.

Saya kemudian tak menanyakan alasannya. Saya rasa, saya sudah bisa menyimpulkan sendiri alasannya.

“iya yah. Kalau beli yang nggak pakai jilbab itu, sesedikit apapun itu, kita bakalan ‘melihat’. Kalau yang berjilbab itu, minimal lebih aman lah!”

“yup”, jawab teman saya itu pendek.

Maka sampailah kami di penjual pulsa berjilbab itu. Saya rasa, saya sekarang punya tempat tetap dimanakah saya mesti membeli pulsa.

 

 

Friday, September 25, 2009

Cerita Orang2 g mudik

“Kapan kita ke rumah nenek, pak? Kapan kita pulang?”
“mungkin lebaran tahun depan nak”

Tono ingat, sudah lima tahun lewat sejak pertama kalinya anaknya menanyakan pertanyaan itu. Dan ia juga ingat, jawaban itu pulalah yang dulu ia kemukakan.  Jawaban yang nyatanya masih harus terucap di tahun-tahun berikutnya. Hingga sekarang.

Dulu, ia selalu kerepotan menghadapi pertanyaan lanjutan anaknya itu. “mengapa harus tahun depan, pak”, atau ‘mengapa tidak sekarang?”. Ia selalu menghela nafas panjang kala mendapat pertanyaan lanjutan itu. Menerawang. Lalu menatap lembut anaknya. Berharap sebuah pengertian dari logika sederhana anaknya. Tapi dua tahun belakangan ini, tak pernah lagi ada pertanyaan lanjutan itu. Anaknya hanya bisa ber-oh kala ia menjawab pertanyaan itu dengan jawaban sakti ‘mungkin tahun depan’. Tak ada lagi komentar. Tak ada lagi pertanyaan tambahan yang menyelidik. Anaknya telah ‘mengerti’, dalam usianya yang masih kanak-kanak. Tapi justru itulah yang kian mencekik.

Sungguh, ia pun ingin pulang. Ia ingin kembali. Ia ingin membaui harum tanah kampung halamannya. Menciumi wewangi bunga cengkeh yang baru bermekaran. Telah sepuluh tahun lewat. Dan belum sekalipun ia kembali. Untuk sekedar menengok. Ibu kota telah sempurna menjebaknya.

Rindu itu pun menumpuk-numpuk. Tapi apalah daya, tak cukup tersedia rupiah yang tersisa di kantong kumalnya. Apalagi kala pengembaraan hidup di belantara ibu kota mengantarkannya menemukan labuhan hati tempat berbagi resah. Hingga si kecil lahir untuk  menggenapkannya. Maka sudahlah, keinginan itu tinggal menjadi keinginan. Kini butuh tiga tiket untuk menyeberangkannya pulang ke pulang seberang. Nun jauh di sana.. Entahlah, kapan kiranya tiga tiket itu bakal tergenggam. Mungkin lagi-lagi, ‘mungkin tahun depan’
++++++++++++
Lain lagi dengan Jono. Pemuda tanggung usia 25 tahun. Hari-hari belakangan ini, pertanyaan yang paling ia hindari adalah sebuah pertanyaan sederhana berbunyi :“nggak mudik jon?”.  Hanya sebuah jawaban singkat sebenarnya untuk menjawabnya; ya atau tidak. Tapi baginya, pertanyaan itu justru akan membawanya kembali menyusuri lekuk-lekuk hidupnya yang sudah seperempat abad. Teringat. Dan..ah, sebenarnya ia sudah berdamai dengan masa lalu itu.

Tak ada tempat kembali, hanya itu yang ia mengerti. Yang ia tahu, satu-satunya tempat kembali hanya sebuah rumah singgah di pinggiran kota yang sayangnya sudah lima tahun ini dibongkar paksa aparat. Tempat dulu ia dibesarkan bersama puluhan yg lain dalam keterbatasan. Dalam celoteh banyak anak-anak lain yang sayangnya justru membuatnya seperti terasing. Tempat ia dititpkan oleh seseorang. Seseorang yg entah.

Maka ia mencoba menganggap, segala tempat yang ia singgahi adalah kampung halamannya. Semua orang yang ia jumpai, yang bersama-sama ia bisa tertawa, ngobrol, atau menyungging senyum, itulah keluarganya. Dan ketika idul fitri itu untuk kesekian kalinya kembali datang, tak banyak yang bisa ia lakukan. Tak ada sungkeman. Tak ada acara telepon berlama-lama hanya untuk sekedar bilang ‘maaf bu, Jono nggak bisa pulang’.  Tak ada. Ia kemudian mencukupkan diri dengan menjadi panitia penertib jamaah sholat ied di masjid dekat kosan sempitnya. Tapi kemudian ia bahagia. Bahagia saat melihat serombongan keluarga besar berjalan beriringan menuju masjid. Bahagia saat memandang sebuah keluarga muda membimbing putrinya yang masih berumur tiga tahunan. Juga bahagia bercampur gelii saat menatap gadis kecil dengan pakaian barunya menarik-narik gamis umminya sambil merajuk, ‘ummi…ummi…tunggu!’. Ia kemudian seolah menemukan apa-apa yang tak pernah ia miliki.

        ++++++++++++++++

Dan bila melesat jauh, menembus batas negara, ada Toni yang sedang terduduk sendiri. Seorang eksekutif muda sukses. Lajang, matang, mapan. Sabtu malam ahad, ia berdiam diri saja melepas penat yang sayangnya belum juga bersedia beranjak. Matanya masih awas menyaksikan TV streaming di layar laptop mahalnya. Masih juga memantau sidang itsbat yang tengah berlangsung di jakarta itu. “ya Allah…kumohon, jangan besok”, hanya itu sesorean tadi doa yang ia panjatkan. Sebuah pengharapan yang tipis sekali kelihatannya bakal terwujud…

Harapannya sebenarnya cuma satu: berlebaran di rumah. Sudah tiga kali berturut-turut, lebaran ia lalui di negeri orang. Jauh dari orang-orang terdekat. Sibuk dengan transaksi-transaksi. Tenggelam dalam urusan-urusan bisnis. Dan lihatlah, malam ini, ketika sebuah ormas islam besar telah mengumumkan bahwa esok harinya adalah idul fitri 1430 H, ia masih terduduk di sebuah kamar hotel ternama di jantung kota singapore. Merutuki kenapa pertemuan itu harus dilakukan esok hari. Menarik napas panjang…
=================================
Tono, jono, ataupun Toni, barangkali adalah cerminan beberapa diantara kita. Tapi yang pasti itu murni karangan saya. Tak tahu ada atau tidak dalam dunia nyata. Saya kemudian hanya berpikir, mungkin indah apabila tiap saat kita bisa mengarang begini. Tentunya mengarang yang baik. Jika ada seorang yang bersedih yang tak bisa mudik lebaran, maka pikirannya serta merta mengarang, ada Jono yang bahkan tak punya tempat untuk mudik, ada si X yang punya kampung halaman tapi tak pernah berani untuk kembali. Hingga kemudian hanya syukurlah yang tercipta.

Mari, mari mengarang! Jika kita mulai mengeluh gaji yang masih segitu-segitu saja, mulailah mengarang, ada pak fulan dengan lima orang anak yang masih kecil dengan penghasilan 20ribu perhari, ada pak x yang mesti bergelut dengan lumpur dalam panggangan terik matahari demi 15ribu tiap harinya. Maka semoga  kemudian kita bersyukur, setidaknya kita masih kerja di ruang ber-AC, masih bisa makan tiga kali sehari dengan penghasilan itu, masih bisa menabung… masih dan masih.
 
Kecubung 17
(tulisan seorang yang tak ‘berhasil’ mudik)

 

Monday, September 14, 2009

Ia dan Perempuan Itu

Dulu, sewaktu masih kecil, ketika ia baru saja resmi terdaftar menjadi seorang siswa taman kanak-kanak, tiap kali ia bangun tidur, ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di sekitarnya. Ia sudah pergi. Di pagi buta, bahkan ketika suara orang melafalkan asmaul Husna masih sayup-sayup terdengar dari pengeras suara masjid. Entahlah, tapi tak pernah sedikitpun dalam pikirannya, dulupun tidak, bahwa perempuan itu tak pernah mengurusinya. Jelas, karena saat ia menyadari bahwa perempuan itu sudah tak ada lagi di rumah, matanya akan segera tertumbuk pada lipatan baju rapi yang sudah perempuan itu siapkan tak jauh dari tempat tidurnya. Pakaian seragam. Terlipat rapi, bertumpuk dua, yang atas baju, yang bawah celana pendek. Hingga ia tak perlu mengobrak-abrik isi lemari untuk mencarinya lagi. Dulu mungkin ia anggap itu biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan ia sadar bahwa apa yg dilakukan perempuan itu semata hanya demi sebuah kata; cinta. Atas kesadaran : jika aku tak bisa menemanimu untuk memakaikan baju, mungkin aku masih sempat untuk menyiapkannya.

Perempuan itu selalu meletakkan uang receh di meja tengah. Uang saku sekolah. Ia masih ingat, seratus rupiah untuknya yang masih kecil, dan lebih untuk kakaknya yang lebih besar. Uang yang mungkin saat akan meletakkannya, perempuan itu masih harus berhitung dulu : cukupkah?  Cukupkah untuk mereka dan cukupkah untuk ia sendiri, meski pertimbangan yang terakhir, ia yakini, tak seberat yang pertama. Maka, saat-saat melihat uang receh di meja itulah saat-saat mendebarkan baginya, saat apakah permintaan semalam itu akan direalisasikan, saat apakah perempuan itu akan meletakkan uang lebih di situ, apakah hari ini jadi untuk membayar SPP sekolah.

Perempuan itu harus pergi di subuh hari, tapi ia tak pernah membiarkan mereka  mengawali hari tanpa sarapan pagi. Di dapur, masih belum diangkat dari wajan, akan selalu ada nasi goreng special. Bumbunya sih biasa, bahkan mungkin tak memadai untuk nasi yang sebanyak itu, tapi kekuatan yang mengerakkannya untuk melakukannya itulah yang membuat itu teramat istimewa. Kekuatan yang memaksanya untuk melakukannya bahkan sebelum subuh menyapa. Mereka harus makan, sesederhana apapun itu, ah itu kiranya yang ada di benaknya. Dan, jika ada uang receh sedikit berlebih di atas meja tadi, itu artinya uang untuk beli krupuk lauk makan nasi goreng itu. Pas sudah, awali hari (-cukup-) dengan karbohidrat tinggi.

(jika ada yang bertanya mengapa sekarang ia suka sekali membuat nasi goreng, suka sekali makan nasi goreng, maka sudah tentu ia jawab dengan keras : Perempuan itulah penyebabnya. Karena ketika ia sudah mulai beranjak besar, ia sendirilah yang sudah harus menggoreng sisa nasi semalam itu)

Friday, September 11, 2009

KESETIMBANGAN (bagian kedua yang sepertinya bakal berlanjut)

Ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Maka berkebalikannya, seharusnya kesetimbangan itu menenangkan. Tak heranlah, jika semuanya menginginkannya.

Awalan di atas terasa berlebihan, tapi  begitulah keadaannya. Marilah kembali kita coba tengok kasus jungkat-jungkit di tulisan sebelumnya. Jika sebelumnya saya katakan apabila ada beban 30 kg di satu sisi dan 50 kg di sisi lain, dengan lengan kuasa yang sama panjang, maka akan terjadi ketaksetimbangan, ternyata itu tidak sepenuhnya benar. Kenapa bisa begitu? Karena ternyata ketaksetimbangan itu hanyalah sebuah mula. Selanjutnya, jungkat-jungkit itu secara otomatis akan menyetimbangkan diri. Dalam hitungan sepersekian detik bahkan. Meski tak indah untuk dipandang. Meski perlu variabel pembantu untuk merekayasa terjadinya kesetimbangan. Tapi tetap saja, itu setimbang. Kita kemudian akan melihat kalau sisi yang satu terlihat lebih njomplang dibanding yang lain. Akan terbentuk sudut antara lengan kuasa dengan horisontal. Sudut inilah yang kemudian membantu merekayasa terjadinya kesetimbangan (bagi yang sudah belajar fisika dasar pasti mengerti hal ini). Dalam kehidupan, sudut ini bisa berarti banyak. Sebuah kamuflase yang -- sebenarnya -- menyiksa.

Dalam kasus lain, jika sebuah besi yang panas kita taruh di sebuah lingkungan yang lebih dingin, maka apa yang terjadi? Tak pelak lagi, ia akan meyetimbangkan diri. Besi itu akan mendinginkan diri dengan cara mantransfer panasnya ke lingkungan yang lebih dingin tadi. Hingga muncullah kta-kata keren seperti konveksi, konduksi, ataupun radiasi. Dan semuanya satu tujuan: menyetimbangkan.

Lalu kemudian muncul istilah-istilah lain; diffusi, osmosis, evaporasi, kondensasi, absorbsi, adsorbsi, desorbsi, serta berbagai si yang lain. Tujuannya lagi-lagi tetaplah sama; upaya menyetimbangkan diri. Semuanya meyetimbangkan diri, karena seperti dikemukakan di awal, setimbang itu tenang.

Manusiapun menyetimbangkan diri. Sebab ketaksetimbangan itu menggelisahkan. Tapi kemudian, bagaimana cara ia meyetimbangkanlah yang menjadi pembeda. Pembeda tentang kualitas kesetimbangan itu, juga pembeda tentang kecepatan menuju kesetimbangan itu. Tentang kualitas kesetimbangan, rasanya bisa dilihat bagaimana dua buah contoh jungkat-jungkit mencapai kesetimbangannya, yang benar-benar setimbang dan yang setimbang tapi terlihat njomplang. Sedang yang kedua, tentang kecepatan menuju kesetimbangan, marilah kita lihat analogi di bawah ini:

Jika ada sebuah batangan besi panas bersuhu 100 oC kita celupkan ke dalam air bersuhu 30 oC, dan batangan besi yang lain dengan suhu yang sama tapi dipaparkan dalam udara dengan suhu 30 oC juga, maka contoh yang mana yang akan lebih cepat menyetimbangkan diri? (Anggaplah air ataupun udara yang digunakan berlebih jumlahnya) Mudah sekali jawabannya; besi dalam air. Besi dalam air akan lebih cepat meyetimbangkan diri daripada besi dalam udara. Meski driving force (-dalam hal ini delta temperatur-) di antara keduanya sama. Sebab, tetapannyalah yang berbeda. Tetapan yang kemudian lebih sering menjadi faktor dominan penentu kecepatan kesetimbangan. Dalam kasus di atas, kapasitas panas air lebih besar daripada udara.

Selanjutnya, kita akan menemukan tetapan penentu kecepatan kesetimbangan ini dengan nama yang beraneka; konduktivitas, diffusifitas, emisifitas, kecongkakan, ketamakan, tingkat penerimaan, syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, serta yang lain. Bagaimana kemudian kita mengelolanyalah masalahnya. Jika kita ingin terjadi kestimbangan panas yang cepat dalam sebuah heat exchanger maka kita akan memilih material yang memiliki konduktivitas panas yang tinggi. Hingga kemudian tak perlulah heat exchanger yang rumit-rumit dengan banyak belokan, cukup memakai PHE yang sekali lewat.

Tetapan di atas tadi pulalah yang kemudian menjadi jawaban mengapa dua orang yang berawal dari keadaan yang sama, memilki penghasilan yang sama, beristri sama-sama satu, dengan tingkat pengeluaran yang hampir sama pula, bisa memiliki ‘kekayaan’ yang berbeda. Bahkan bisa amat sangat berbeda. Ya, syukuritas tadilah pembedanya. Sebab sudah jelas termaktub, bahwa Allah akan menambah nikmat hambaNya yang pandai bersyukur. Dan nikmat itu, bisa saja berupa kesetimbangan tadi. Kesetimbangan yang bermuara kepada ketenangan. Ketenangan yang hanya dimilki orang-orang ‘kaya’. Orang-orang ‘kaya’ yang……. Anda pasti ingin mendapatkannya kan?.

Maka pada akhirnya, mari…mari lihat kembali syukuritas, ikhlasitas, derajat keragu-raguan, dan tingkat penerimaan kita. Jangan-jangan kurang benernya kita mengelola itu semualah yang membuat kita begitu lambat mencapai kesetimbangan itu.

Wallahu a’lam

 

Kecubung 17

 

(sebenarnya, saya malu apabila nulis yang beginian. Entahlah, seperti jauh dari saya. Itulah mengapa saya lebih sering menulis tema-tema seperti ini dengan pendekatan fiksi. Itu membuat saya lebih ‘bebas’. ‘afwan, kalau saya tidak (atau belum) seperti yg saya tulis)

Friday, September 4, 2009

ada yg tahu g, toko buku yang masih menjual bukunya ust anis matta yang "sebelum keputusan besar itu", "biar kuncupnya mekar jadi bunga", sm "dari gerakan menuju negara"

KESETIMBANGAN (bagian pertama dari rencana dua tulisan)

“Hidup adalah serangkaian sikap dan gerak menuju  kesetimbangan”, begitulah kira-kira apa yang disampaikan kadept PSDM ketika pertama kali kami diterima oleh departement PSDM, pagi hari ketika malam harinya kami baru saja menjejak tanah bontang. Filosofis, tapi sederhana saja sebenarnya maksudnya.  Kita ke Bontang dan jauh-jauh meninggalkan tanah jawa yg nyaman, lanjut beliau, juga merupakan bagian dari menuju kesetimbangan itu. Sebab kalau tidak –kalau ini pendapat pribadi saya- mana mungkin seseorang rela menuju sebuah tempat terpencil dikelilingi hutan-hutan yang perlahan mulai gundul dan meninggalkan gemerlap tanah jawa yang menawarkan segalanya.

Kesetimbangan. Sadar atau tidak, itulah yang sedang ingin kita dapatkan. Seseorang merantau dari Jawa ke Sumatera, dari Sumatera ke Jakarta, dari Jawa ke Kalimantan, atau bahkan dari Jawa ke ujung Merauke sana, itu merupakan sebentuk upaya mencapai kesetimbangan. Mencoba mencari pekerjaan dan penghidupan yang menjamin tergapainya kesetimbangan. Sebab mungkin di tempat asal, kesetimbangan itu belum tercapai. Atau lebih tepatnya, belum dirasakan tercapai.

Berbicara mengenai kesetimbangan dalam kaitannya dengan pekerjaan, tentu saja bukan semata telah tercapainya  keadaan dimana pendapatan sama dengan pengeluaran. Tentu saja tidak. Karena jika hanya itu saja yang berlaku, mana mungkin ada orang yang pindah pekerjaan justru ketika pendapatan yang ia dapatkan telah melampaui pengeluarannya. Mau melihat lingkungannya, lingkungan pekerjaannya pun sebenarnya  mendukung. Orang-orang di sekitarnya pun enak diajak komunikasi. Tapi mengapa ia (atau mereka) justru berkeras ingin pindah? Karena ternyata, kesetimbangan itu memang tidak hanya masalah pendapatan dan pengeluaran. Ada faktor lain. Yang ternyata cukup dominan menentukan kesetimbangan itu. Untuk sederhanya, marilah kita lihat sebuah ayunan jungkat-jungkit yang banyak berada di taman bermain anak-anak. Jika ada seseorang berbobot 50 kg duduk di satu sisi jungkat-jungkit, dan seseorang  dengan bobot yang sama duduk di sisi yang lain, maka apa yang terjadi? Tak sulit untuk ditebak, jungkat-jungkit itu akan setimbang tak bergerak, atau berkesetimbangan dengan mengayun naik turun secara periodik.  Hal itu terjadi karena titik tumpu jungkat-jungkit itu tepat di tengah papan atau batangan kayu yang digunakan. Lalu cobalah kita geser titik tumpu itu ke sisi yang lain. Misal menjadi 2/3 bagian di sisi kanan, dan 1/3 bagian di sisi kiri, maka apa yang terjadi bila orang yang sama tadi menduduki kedua sisi jungkat-jungkit itu? Benar, keadaan menjadi tak setimbang lagi. Sesorang yang berada di sisi 2/3 bagian tadi akan terlihat  lebih berat. Padahal nyatanya tidak. Keduanya tetaplah sama-sama berbobot 50 kg.

Analogi sederhana di atas, mengajarkan kita, bahwa kesetimbangan bukan semata masalah bobot yang sama-sama 50 kg, juga bukan hanya masalah pendapatan 5 juta dan pengeluarannya 4 juta. Ada hal lain yang juga cukup besar mempengaruhi, bahkan sama besarnya. Hal yang pada kasuss jungkat-jungkit tadi di sebut dengan lengan kuasa, yaitu panjang antara posisi beban dengan titik tumpu (dalam beberapa literatur dibedakan antara lengan kuasa dan lengan beban, tapi untuk kasus ini, sebagai penyederhanaan, semuanya kita sebut dengan lengan kuasa). Jadi jika ada suatu beban yang cuma 30 kg sedangkan di sisi lain mencapai 50 kg, maka keadaan bisa setimbang dengan cara memanjangkan lengan kuasa sisi yang 30 kg tadi. Secara matematis, bila kita mengambil titik acuan pada titik tumpu, maka kesetimbangan itu bisa ditulis:  A*LK = B*LK. Dengan A dan B adalah berat A dan B, sedangkan LK kependekan dari lengan kuasa. 

Begitu juga masalah pekerjaan. Begitu juga masalah pendapatan dan pengeluaran. Pendapatan yang mungkin saja secara kuantitatif terlihat kecil akan mampu berkesetimbangan dengan pengeluaran yang  begitu besar dengan cara memanjangkan lengan kuasa sisi pendapatan. Bagaimana caranya? Tiap orang pasti memiliki cara tersendiri yang unik. Tapi kalau boleh menambahkan, syukur, sikap hidup untuk merasa cukup dengan apa yang diterima, serta ikhlas menjalankan setiap apa yang dikerjakan, mungkin bisa dimasukkan dalam daftar cara-cara memperbesar lengan kuasa guna mencapai kesetimbangan tadi.

Maka itulah jawabannya, mengapa orang-orang kampung itu, yang berprofesi sebagai buruh tani dengan penghasilan tak lebih dari lima belas ribu perhari, mampu bertahan hidup dalam tuntutan kehidupan yang kian mencekik. Dan itu pulalah jawabannya, mengapa orang-orang keren itu, dengan penghasilan berpuluh juta perbulan, masih mengeluhkan gajinya yang tak mampu mengimbangi pengeluarannya. Benar, memang pengeluaran di antara keduanya pastiilah berbeda. Si orang keren tadi pasti memiliki pengeluaran yang jauh lebih besar dari pada si buruh tani. Tapi tetap saja, lengan kuasa sisi pendapatan tadilah intinya. Si buruh tani tadi memilki lengan kuasa yang lebih panjang dari pada si orang keren. Karena bila kita lihat --jika kita kembali memakai analogi jungkat-jungkit-- kayu atau papan yang digunakan sebenarnya tetaplah segitu panjangnya. Tak berubah. Tinggal bagaimana kita menggeser titik tumpunya. Manakah yang ingin kita panjangkan lengan kuasanya. Jika kita memanjangkan lengan kuasa sisi pendapatan, maka secara otomatis memperpendek lengan kuasa sisi pengeluaran. Maka menjadi seolah begitu beratlah pendapatan yang sedikit tadi. Maka menjadi tidak relevan lagilah pengeluaran yang begitu berat tadi. Maka setimbanglah yang terjadi.

Tapi tentu saja, segalanya mesti dalam batas-batasnya. Terus-terusan memperpanjang lengan kuasa sisi pendapatan tanpa ada perubahan dalam variabel yang lain, juga akan menciptakan ketidakseimbangan itu sendiri. Sisi pendapatan akan terlihat jauh lebih berat. Dan jika ini yang terjadi, untuk mencapai kesetimbangan lagi, tentu saja bukan dengan cara memendekkan kembali lengan kuasa yang sudah terlanjur panjang. Jangan sama sekali! Itulah saat dimana kita diingatkan kalau pendapatan kita sudah terlalu besar untuk pengeluran kecil kita. Itulah saat kita diingatkan untuk memperbesar infak kita. Maka kemudian kita berdoa, semoga kita menjadi seperti Abu Bakar ra, yang memilki lengan kuasa tak berhingga panjangnya, hingga mudah saja menginfakkan seluruh hartanya di jalan dakwah. Yang mencukupkan Allah dan Rosul di hatinya. Indahnya!

Wallahu a’lam

(Tulisan ngaco dari seorang yg mencoba menjadi setimbang. Ada yang protes?)