Tuesday, October 27, 2009

Dari Surabaya, jalan lain menuju Bontang

Setahu saya, waktu itu, baru ada dua pulau lain yang pernah saya kunjungi. Yang pertama adalah Madura, pulau yang relatif terdekat dan  masih menjadi bagian dari propinsi tempat saya berdiam. Sepertinya waktu itu saya masih kecil ketika melakukannya hingga tak terlalu banyak ingatan yang bisa gali saat ini. Yang kedua adalah Bali, beberapa tahun yang lalu, oleh sebuah ‘kebetulan’ karena teman seangkatan mengagendakan Bali sebagai tujuan samping setelah melakukan kunjungan industri yang kami lakukan sampai Jember kala itu. Tujuan samping yang nyatanya menjadi utama.

Beberapa pulau lain sebenarnya yang menjadi angan-angan saya untuk menjadi pulau lain ketiga yang bakal saya injak. Salah satunya adalah Masalembo, pulau kecil antara Jawa dan Kalimantan, tempat patner skripsi saya lahir, besar, dan bertumbuh. Pulau yang (katanya) eksotik dengan butiran pasirnya yang memutih dan lautnya yang masih jernih. Salah duanya kemudian adalah Sempu, pulau kecil di selatan Malang yang setahu saya tak berpenghuni. Angan-angan saya kala itu sepertinya Sempu bakalan menarik untuk dijadikan tujuan berpetualang mengenang masa-masa berkemah pas Pramuka SMP dulu. Tapi, ternyata keduanya hanya tinggal dalam angan-angan belaka. Justru yang menjadi ketiga kemudian bukanlah pulau kecil tak berpenghuni layaknya Sempu, tapi sebuah pulau raksasa yang bahkan jauh lebih besar dari Jawa; Borneo.

Kejadiannya delapan bulanan yang. Pukul sebelasan di ponsel saya ketika saya (atau kami) mendarat di Sepinggan, tapi saya tahu telah pukul dua belas waktu setempat sebab Balikpapan, tempat bandara Sepinggan berada, termasuk wilayah Indonesia tengah. Seingat saya, pas SD dulu, saya sudah dikenalkan bahwa Kalimantan adalah sebuah pulau alami dengan hutan tropisnya yang melebat, orang utannya yang besar, serta orang dayaknya yang masih begitu harmonis dengan alam. Tapi setelah kuliah, setelah informasi juga sudah deras menyerbu, saya disuguhkan sebuah gambaran bahwa Kalimantan telah menjadi sebuah pulau cantik yang mulai bopeng di sana sini. Pembalakan liar sepertinya tak pernah absen tersuguh dalam berita, dan eksploitasi barang tambang nampaknya juga tak lagi mengindahkan lingkungan. Pembuktiannya baru dimulai beberapa jam kemudian.

Tujuan saya bukanlah Balikpapan, tapi Bontang. Sebuah kota yang belum begitu saya kenal yang katanya masih berjarak 5-6 jam perjalanan via darat dari balikpapan. Tapi kami tak langsung meluncur ke Bontang dulu. Terlebih dulu kami beristirahat sebentar di kantor perwakilan untuk makan siang serta sholat. Sejenak kami melintasi Balikpapan yang katanya kota indah itu. Kota yang saya ketahui dinobatkan sebagai kota termahal di Indonesia lewat sebuah potongan berita yang saya baca pas di surabaya dulu. Memang, kemudian saya bisa menyimpulkan bahwa tak ada sama sekali gambaran kalau kota ini tak lebih maju dari kota-kota besar di jawa. Megah, modern, tertata, nampaknya sudah menjadi kata sifat yang melekatinya. Kota ini memang cantik. Atau mungkin seperti itulah yang bisa saya tangkap dari sekelabat perjalanan. Kesan sepintas.

Beruntungnya, seorang teman ternyata membawa peta kaltim. Sebelumnya saya tak terlalu mengerti dimanakah lokasi tujuan kami persisnya di peta. Hanya kata-katanya, dan saya tak memastikannya. Baru kali inilah saya tahu. Ternyata, untuk menuju ke Bontang dari Balikpapan ini, kami harus menaiki pulau ini (maksud menaiki tentu saja ada dalam Peta). Melewati Samarinda yang notabene ibukota kaltim. Kira-kira samarinda menjadi titik tengah antara balikpapan-Bontang. Tak ada Bandara memadai di Samarinda, begitu juga di Bontang, yang bisa melayani penerbangan dari surabaya.

Kira-kira menjelang ashar kami berangkat ke Bontang naik Bus. Berduapuluh delapan. Agak sedikit kecewa sebenarnya pas pertama kali mengetahui kalau kami ternyata tak jadi naik pesawat yang hanya butuh waktu sejaman, tapi segera terhibur oleh pikiran sendiri bahwa mungkin akan lebih berkesan kalau perjalanan perdana menyisiri timur kalimantan ini dengan berkendara bus. Waktu yang jauh lebih panjang akan berarti waktu yang panjang juga menikmati jengkal-jengkal kalimantan. Bukankah, pengalaman perdana akan selalu lebih menghadirkan makna.

Sejujurnya, mungkin separuhan perjalanan saya isi dengan tertidur (tak konsisten dengan keinginan di awal-awal tadi untuk menikmati perjalanan), tapi kala terjaga saya disuguhi berbagai gambaran. Benar, memang di kanan kiri jalan masih di penuhi pepohonan khas hutan. Tapi jauh di dalam hati ini sebenarnya menginginkan lebih. Sebenarnya saya menginginkan pohon-pohon yang tinggi menjulang khas hutan berusia ratusan tahun. Kokoh, rimbun, tinggi, yang matahari bahkan tak mampu menembus tanah. Tapi keinginan itu nyatanya tak jua tergapai. Sepertinya berita pembalakan tak beretika itu benar adanya. Hanya ada pohon-pohon kecil yang masih berusia muda, beberapa bahkan lapang hanya ditumbuhi kelapa sawit yang masih setinggi orang dewasa. Seketika saya kecewa, tak tahu pada siapa.

Mencapai Samarinda kala maghrib tiba. Dan inilah untungnya. Saat senja selalu menjadi saat indah. Remang-remang yang tercipta membuat suasana kota menjadi berbeda. Sebagai ibu kota propinsi, Samarinda memang lebih besar dan ramai. Jalanan terlihat padat dipenuhi kendaraan, pertokoan yang berjajar, dan beberapa orang nampak menghabiskan sore di tepian sungai Mahakam. Setiba di Samarinda inilah saya baru tahu kalau samarinda dilintasi  sungai Mahakam, itupun setelah beberapa rekan seperjalanan ramai menyebut kalau sungai besar yang kami lihat itu bernama Mahakam. Kamipun juga sempat merlintasi jembatan yang mengangkanginya. Kemudian, ada satu bangunan yang cukup menyita perhatian saya kala di Samarinda ini; Islamic Center. Megah dan modern. Sepintas, kelihatannya bangunan itu masih baru. Dugaan yang kemudian saya ketahui memang benar.

Selanjutnya, tak terlalu banyak yang bisa diceritakan sepanjang perjalanan Samarinda-Bontang. Malam benar-benar membatasi pandangan, dan lagi-lagi ngantuk menyerang. Untunglah waktu itu tanggal pertengahan Hijriyah, sehingga bulan yang membulat sempurna cukup menghibur di sepanjang perjalanan yang penuh kelokan dan naik-turun. Hanya bebarapa kali saja kerlip cahaya terlihat di kanan-kiri jalan menandakan adanya perkampungan, tapi selebihnya yang ada hanya kegelapan yang setengah-setengah oleh sebab purnama. Penerangan listrik juga terlihat minim. Berbulan kemudian saya baru mengerti kalau kaltim ini masih kekurangan pasokan listrik, sebuah ironi yang cukup mengganggu mengingat Kaltim menjadi penghasil batu bara dan gas bumi. Dua sumber energi yang kerap dipakai membangkitkan listrik.

Saya terbangun ketika kanan-kiri jalan mulai banyak lampu menyala. Kami sampai di Bontang ternyata, begitulah kira-kira yang saya dengar dari percakapan beberapa. Memang tak ada gedung-gedung menjulang bermandikan cahaya yang dulu membuat saya terpukau kala pertama kali berkeliling Surabaya di malam hari. Suasana juga terlihat sepi untuk ukuran waktu yang baru akan menginjak pukul sepuluh malam waktu setempat. Tapi beberapa waktu kemudian saya tertambat ke suatu pandangan. Sebuah kawasan yang sepertinya terpisah, hanya terlihat dari kejauhan, begitu mencolok dengan lampu kekuningan yang memenuhi bangunana beraneka bentuk. Tinggi rendah, besar kecil, panjang-pendek. Berpendaran. Indah.

“singapore!”, seseorang berseru……



(bersambung. Insyaallah)
 
gambar diambil dari sini

 

Monday, October 26, 2009

Guru masa kecil

Mari berbicara tentang guru-guru masa kecil kita. Saya yakin, masing-masing dari kita punya kesan mendalam terhadap guru-guru kita itu. Mungkin karena keunikannya dalam mengajar, ketelatenannya dalam menerangkan, kesabarannya dalam mendidik, atau mungkin karena kejadian-kejadian tak biasa yang terlalui bersama. Maka kita kemudian sulit untuk melupakannya. Kita akan dengan mudah menyebut kembali namanya meski tahun-tahun telah berlalu dan kita telah banyak melupakan nama-nama yang telah mampir dalam ingatan kita.

Dari sekian guru bahasa indonesia yang pernah mengajar saya, bu guru inilah yang paling saya sukai. Bukan karena ia cantik, tapi memang ia cantik. Bukan karena ia sabar, tapi memang ia sabar. Tapi karena cara mengajarnya benar-benar membuat bahasa indonesia menjadi mata pelajaran yang seketika begitu mengasyikkan. Meski itu mungkin subyektfitas saya dalam menilai.

Namanya Bu Esti (*mohon ijin bu untuk menyebut nama*). Waktu itu saya kelas tiga SMP ketika Bu Esti ini mengajar saya. Guru-guru bahasa indonesia sebelum dan sesudah itu mungkin cukup menyenangkan, tapi hanya bu Esti inilah yang membuat saya tertarik berpelajaran bahasa indonesia. Sebelum-sebelumnya mungkin saya sudah menyukai menulis, tapi lewat Bu Esti inilah saya semakin lekat dengan kata, kalimat, atau mungkin paragraf.

Salah satu yang saya sukai adalah dalam menerjemahkan kata-kata yang tak biasa. Baik itu kata serapan atau kata yang tak lazim digunakan. Beliau tak memakai kamus besar bahasa indonesia, tapi membebaskan kami untuk mengartikannya sesuai pemikiran kami. Semuanya ditampung. Lalu setelah itu, tibalah sesi menyenangkan itu. Beliau akan selalu meminta kita membuat kalimat dari kata-kata sulit itu. Membuat kalimat, sudah seperti menjadi menu harian kami. Tak ada kata yang terlewat tanpa dikalimatkan. Lalu satu persatu, tentu saja hanya beberapa yang terpilih, bakal memperdengarkan kalimat buatannya di dalam kelas. Begitu berkali-kali sehingga seolah-olah perkara membuat kalimat, dan juga paragraf, menjadi kegiatan yang paling dominan dalam pelajaran bahasa indonesia versi Bu Esti.

Penghargaan, itulah kemudian sisi lain yang saya sukai dari Bu Esti. Beliau tak segan untuk memuji sebuah kalimat majemuk yang bagus yang tak melulu berbentuk kalimat sederhana berpola S-P-O-K tanpa anak kalimat. Hal yang kemudian meningkatkan kepercayaan diri saya dalam berkalimat sebab sayalah termasuk murid yang sering mendapat pujian itu (*maaf ujub*).  Tapi untuk kasus yang sebaliknya, untuk sebuah kalimat-kalimat ‘biasa’ , beliau tak pernah menjatuhkan. Hanya murid-murid yang tak mau membuat kalimat yang ditugaskanlah yang mendapat teguran.

Hmmmm, saya tak tahu benar masalah pendidikan. Hanya saja, saya kadang berpikir, mungkin tak begitu banyaknya orang yang menyukai menulis, pendidikan inilah yang turut andil menyebabkannya. Tak terlalu banyak guru seperti bu Esti yang membuat menulis –mulai dari yang terkecil dengan membuat kalimat-  menjadi menyenangkan. Bahasa indonesia menjadi palajaran tak menyenangkan dan tak menimbulkan minat. Entahlah! Mungkin.

Lalu saya teringat, suatu ketika Bu Esti ini memeriksa PR kami satu persatu. Sehari sebelumnya memang beliau menugasi kami membuat paragraf perbandingan. Satu persatu memang tiap bangku beliau hampiri memastikan semuanya telah menyelesaikan paragrafnya. Kadang berhenti di satu bangku untuk membaca sampai tuntas, kadang hanya memastikan saja paragraf itu telah terbuat. Dan ketika sampai di bangku saya, beliau berhenti lama membaca paragraf yang saya buat (Bahkan saya masih ingat kala itu saya membuat paragraf yang membandingkan orang kota dengan orang desa). Demikianlah seterusnya hingga orang terakhir terlewati.

Selesai? Tidak! Beliau kemudian memanggil seseorang yang paling bagus paragrafnya untuk menuliskannya di kelas untuk diulas sebagai contoh. Anda mungkin menduga kalau saya lah yang bakal dipanggil sebab didepan bangku sayalah titik pemberhentian terlama Bu Esti kala memeriksa PR kami tadi. Tapi ternyata tidak. Bu Esti memanggil orang lain. Seorang teman perempuan.

Demikianlah, teman perempuan itu maju. Memungut kapur, menyalin apa yang ia tulis di buku ke papan tulis, lalu kembali ke tempat duduknya. Giliran Bu Estilah yang kemudian menjelaskan letak perbandingannya. Begini begitu. Sepeti ini seperti itu. Hingga selesai. Tapi di akhir penjelasannya itulah bu Esti mengeluarkan pernyataan yang mebuat saya bersorak tanpa suara. (*he he, kayaknya ini bakalan ujub lagi)

“Sebenarnya paragraf buatan Iqbal juga bagus, tapi kasihan kalau saya suruh maju. Bisa-bisa pingsan di depan kelas saat menuliskannya”

He he. Itu karena paragraf buatan saya panjang dan bakal melelahkan menuliskannya di papan tulis. Apalagi dengan kecepatan menulis saya di papan tulis yang payah.
Ternyata memang, Bu esti punya kalimat-kalimat kejutan untuk memotivasi kami. Sesuatu yang baru saya sadari bertahun-tahun berikutnya.

(Btw, terakhir kali bertemu beliau saya senang. Delapan bulanan yang lalu kejadiannya ketika saya melagalisir ijasah SMP saya sebelum berangkat ke Bontang. Beliau sekarang berjilbab! Dan terlihat masih (atau makin) cantik di usinya yang tak lagi muda)


Tuesday, October 20, 2009

warnawarni..(g punya judul)

saat itu, ketika masa-masa dulu menjadi dahulu
jauh dan memang kian menjauh
aku masih ingin berkata, apa yang dulu pernah kuperdengarkan di telinga
“aku bersedia menemanimu menempuh jalanan itu”
cukup, dan memang cukup, hanya dengan berjalan kaki

kelak, ketika potretpotret kebersamaan yang kutemukan di folderfolder lama
telah bertanggal lima, atau sepuluh, atau dua puluh tahun yang lampau
aku masih akan senang jika kau ajak bersama
melahap sepiring pecel di warung dekat kost tempat dulu kita membesarkan mimpi

nanti, ketika usia tak lagi bisa dibohongi
dan dada mulai sesak dibawa berlari
aku masih akan bahagia jika kau masih menggelar futsal pagi
bertelanjang kaki, dan aku tahu kita akan tertawa
lalu tibatiba menjadi tak begitu penting siapa yang menang siapa yang kalah

esok, ketika langkah ini mulai terseok
dan besar sekali godaan untuk membelok
aku masih berbinar jika kau masih bersedia meneguhkan
seperti yang dulu sering kali kau ucapkan
: “istiqomah, akhi!”

maka jika telah sampai waktunya
sekarang, esok, kelak, atau entah kapan
ketika waktu itu telah benar tanggal
aku masih ingin ikatan itu tetap tinggal


Kecubung 17
(di suatu sore)

Thursday, October 15, 2009

Akhir Dari Sebuah Kebersamaan

Maaf, maaf bila pada akhirnya kata ini terucap. Berat sebenarnya memutuskan sampai akhirnya keputusan ini keluar. Menimbang-nimbang. Lama. Menunggu akhir sebuah pertarungan akbar di dada. Ah, kau sudah terlalu lama bersarang di benak. Mengisi tiap nafas-nafas hidupku. Ikut andil mempengaruhi hari-hariku. Mengintervensi setiap keputusan-keputusanku. Kita sudah terlalu akrab. Sudah terlalu jauh masuk menuju ruang-ruang keintiman. Menginfiltrasi privasiku.

Tapi maaf, aku harus tegas. Aku harus bisa memutuskan. Dan jika pada akhirnya hari ini  aku putuskan untuk berpisah, itu semata –sekali lagi, hanya semata- untuk sebuah kebaikan. Tak ada baiknya lagi hubungan ini mesti dilanjutkan. Tak ada lagi. Sumpah tak ada. Melanjutkannya, tak lebih dari sebuah malapetaka besar. Akan banyak yang terbakar, akan bertumpuk lagi yang berkobar. Sudah! Sudahlah! Inilah jalan yang terbaik.

Sebab membersamaimu adalah sebuah kesalahan besar. Sebab orang besar telah menjelaskannya padaku, bahwa mempertahankanmu, tak lebih dari usaha meminum racun perlahan-lahan, tapi menginginkan orang lain yang terkapar. Bodoh! Sebuah imajinasi yang bodoh. Amat sangat tak berlogika.

Setelah ini, kumohon, pergilah! Jangan lagi menguntiti. Jangan lagi mencoba menggida. Jangan lagi mengetuk pintu-pintu hatiku. Biarlah aku tenang. Biarlah aku menikmati hidup tanpamu yang kutahu bakal lebih bahagia. Biarlah…! Biarlah! Pergilah! Pergilah sesuka hatimu. Jangan lagi berkeliaran di sekitaran yang memungkinkan mataku melihat wujudmu. Aku sudah tak sudi lagi. Enyahlah!

Selamat tinggal, dan kuharap tak lagi ada pertemuan.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi reunian.

Selamat tinggal, dan kuharap tak ada lagi sisa-sisa perasaan yang tertinggal.

Selamat tinggal, benci! Selamat tinggal. Kau tak akan lagi menyertaiku saat aku berjalan di lorong-lorong. Kau tak akan ikut-ikutan mengusik hatiku ketika ada seorang bermuka cemberut tergesa berjalan. Aku akan berusaha tersenyum mengenyahkan tiap-tiap praduga yang dulu kau bisikkan. Menyenyuminya. Sebab bisa saja ia sedang sakit gigi, sebab bisa saja ia sedang dirundung masalah, sebab bisa saja karena ia begini, karena begitu. Dan senyumku, mungkin saja obat penawar itu semua. Dan aku berdoa semoga ia bisa tersenyum setelah itu.

Aku akan belajar mencintai. Mencintai semuanya. Meski ia telah menghardikku, meski ia menggunjingku,  meski ia selalu memalingkan muka tiap berpapasan denganku. Mereka hanyalah orang-orang yang terbelenggu olehmu. Mereka hanyalah orang-orang yang tak tahu.

Selamat tinggal! Dan kuharap kau mau enyah juga dari orang-orang.

 

Wednesday, October 7, 2009

PV = nRT

Sudah kita ketahui bersama bahwa segala hal yang berjalan, atau yang tengah berlangsung, bahkan yang sudah lancar, perlu semcam aturan, atau alat, atau institusi, atau sikap, atau gabungan di antaranya untuk memastikan keberjalanan atau keberlangsungannya .  Seseorang yang sudah menghajatkan rutin olahraga di ahad pagi, setelah menancapkan niat yang benar di hatinya bahwa yang ia lakukan ini semata untuk kesehatannya, perlu hal lain untuk menjamin hajat yang sudah menggebu di awal itu tidak mandeg di pertengahan. Maka ia perlu, sebagai contoh, membuat hal-hal berikut ini : yang pertama mungkin ia akan menuliskan sesuatu sebagai pengingat di kamarnya yang bisa terlihat kapan saja. Cara ini ringkas dan prakstis tapi terbukti cukup efektif, karena ternyata kontinyuitas itu kadang terganggu karena persoalan sepele semacam lupa. Lupa bahwa seharusnya kita melakukan suatu hal.Yang kedua mungkin ia akan mencari teman yang mempunyai hajat yang sama. Adanya teman, selain sebagai pengingat, sekaligus dapat menjadi penyemangat di saat virus malas mulai menjangkiti. Serta hal lain.

Dalam bahasa yang lain, dapat dikatakan bahwa kita memerlukan sebuah kontrol agar apa yang sudah berjalan akan tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tujuannya jelas, agar apabila jalan itu mulai agak tersendat-sendat, akan ada yang mendorong, agar apabila mulai melenceng, sekian derajat saja, sudah ada yang meluruskannya, agar apabila sudah berpayah-payah, akan ada yang otomatis menyemangati. Pokoknya, dengan kontrol ini, diharapkan ketidakberesan sedikit saja dapat terdeteksi sedini mungkin untuk segera dibereskan. Tanpa perlu menunggu lama dan berlarut-larut.

Di dunia saya saat ini, kontrol ini adalah sebuah keniscayaan. Bekerja dengan sebuah proses dimana parameter seperti suhu, tekanan, konduktivitas, ph, atau yang lain perlu dijaga stabil, maka kontrol adalah hal mutlak yang mesti dijalankan. Bagaimana mengontrolnya inilah yang kemudian beraneka. Untuk tekanan saja, bisa menjaganya dengan berbagai cara serta alat. Ada steam jet ejector yang berfungsi menjaga tekanan sistem tetap vakum, atau blower  yang menghisap dan menghembus, atau pompa yang bertanggungjawab membangkitkan tekanan liquida, atau venting yang akan membuka menutup dengan bukaan tertentu sesuai sinyal yang diberikan controller untuk melepas sedikit gas . Fenomena venting inilah yang kemudian menarik. Dalam sebuah sistem bertekanan , yang mana tekanan itu sendiri dibentuk oleh interaksi antar molekul-molekul dalam sistem tersebut, apabila tekanan mulai mengarah naik hingga mencapai set point dari kontrol tekanan, maka venting akan membuka dengan bukaan tertentu untuk melepas molekul-molekul gas (*ha…saya tidak terlalu pede berbicara masalah instrumentasi ini*). Molekul-molekul gas  yang tak lain pembentuk tekanan tadi. Dengan berkurangnya molekul gas tadi diharapkan interaksi antar molekul gas menjadi lebih berkurang. Hingga tekanan turun sesuai kondisi yang diharapkan. Maka kemudian venting akan menutup, atau paling tidak memperkecil bukaannya.

Sudah sering kita dengar bahwa apa-apa yang terjadi di alam ini, dengan fenomena-fenomenanya yang begitu luar biasa, dapat kita lihat semuanya dalam diri kita. Termasuk masalah venting di atas. Hanya saja dalam bentuk lain yang lebih sering abstrak. Tanpa kita sadari, hal-hal semacam harap, benci, cinta, rindu, dendam, dengki, damba, senang, haru, cemas, gelisah, adalah semacam gas yang saling berinteraksi dalam ruang jiwa kita mencipta sebuah tekanan. Jika daya tahan tekanan dalam ruang jiwa kita itu cukup tinggi sehingga interaksi hal-hal di atas tidak sampai mendekatinya, maka tidak akan terjadi masalah (inilah yang kemudian dinamakan dengan kemampuan seseorang untuk memendam). Namun jika tidak –dimana daya tahan tekanan ruangan jiwa kita terlalu rendah hingga mudah saja tergapai-, maka  perlu sebuah mekanisme agar ruang jiwa kita itu tidak meledak oleh tekanan yang tak mampu tertahan. Maka perlu adanya venting. Kita perlu membuang sedikit –hanya sedikit- dari hal-hal pembentuk tekanan itu. Itulah yang kemudian disebut dengan berbagi. Itulah yang kemudian disebut dengan curhat. Curhat, tentu saja tak hanya mewujud bercerita ke teman dekat sambil berkata, ‘rahasia ya!’, tapi juga bisa berbentuk dengan menulis di diary, membuat cerpen, menulis di status FB, mencipta puisi, serta hal lain (*atau bahkan tulisan ini*). Dengan melepaskan sedikit dari damba, resah, gelisah, suka, dan senang itulah, maka diharapkan ruangan jiwa kita menjadi kembali lapang. Tekanan yang menekan-nekan itu menjadi berkurang.

Ada yang salah? Tentu saja tidak. Hanya saja kita bukanlah sebuah bejana  yang ketika gas dilepas maka tekanan langsung bisa turun begitu saja. Ketika kita melepaskan apa-apa yang menekan, dengan bercerita ke teman misalnya, maka di detik pertama saat kita selesai bercerita itu memang tekanan langsung turun drastis, tapi, sayangnya,  tidak selalu untuk detik-detik selanjutnya. Saat teman kita mulai merespon atas curhatan kita , inilah penentunya. Jika ia mampu memberi kalimat-klimat pendukung yang mampu menentramkan sih enak, tapi jika tidak, mala sebaliknya. Jika yang keluar dari mulut atau sikap teman kita itu malah sesuatu yang membuat kita semakin tersudut, semakin terkungkung, maka tak ayal, tekanan yang baru saja turun itu, akan segera bangkit dan  justru semakin kuat menekan-nekan dinding jiwa kita. Itulah kemudian mengapa kita perlu memilih teman yang tepat untuk kita ajak berbagi. Teman yang bersedia untuk menampung segala ‘buangan’ kita untuk ia tampung dalam ruangan jiwanya yang lapang.

Tapi kemudian, ada yang lebih tepat dari teman yang tepat. Yang tak akan membocorkan curhatan kita. Yang tak hanya bersedia menampung sebagian ‘buangan’ kita, tapi semuanya. Yang tak hanya menurunkan sedikit tekanan, tapi bahkan menghilangkannya.  Yaitu, curhat dengan sang pemilik tekanan; Allah. Uniknya, curhat yang satu ini, tak hanya melepas gas-gas pembentuk tekanan hingga tekanan yang menekan ruangan jiwa kita itu menjadi anjlok, tapi ajaibnya juga mampu memperlebar ruangan dalam jiwa kita. Dan itu artinya, dengan semakin lebarnya ruang jiwa kita, daya tampungnya akan jadi lebih besar. Akan lebih benyak himpitan-himpitan hidup yang bisa kita tahan, akan lebih besar ujian-ujian yang mampu kita tanggung. Maka, yuk, mari, berlama-lama curhat sama Allah. Hingga semoga, akan tercipta orang-orang yang lapang jiwanya.

Wallahu a’lam.
Kecubung 17
(tulisan melebar yang melelahkan)

Thursday, October 1, 2009

Dia-Lo-Gue

Whushhhhhhhhhhhhhh (bayangkanlah tiba-tiba angin pelan berhembus dalam sebuah ruangan yang sebenarnya tertutup)

“kau datang?”

“ya! Seperti yang kau lihat”

“selamat malam!”

“malam! Ada apa?”

“berkunjung. Seperti malam yang dulu-dulu. Bukankah aku selalu berkunjung di saat yang tepat”

“bagaimana kau bisa begitu yakin?”

“kau tak perlu berkelit begitu. Pertanyaanmu justru menegaskan kebenaran pernyataanku tadi”

“ha ha… lucu sekali kau”

“mengapa kau tak tidur?”

“hei, aku sedang bekerja! Apa kau tak melihatnya? Mengapa kau sering bertanya apa yang sebenarnya kau ketahui dengan jelas?”

“Kau semakin cerdas saja. Seperti yang dulu-dulu, aku selalu datang saat kau belum juga tidur di sepertiga malam terakhir”

“apakah itu pujian? Jarang sekali kau melakukannya”

“terserah kau menafsirkannya. Bukankah itu bisa juga sebagai ejekan? Tapi ok-lah”

“Apa maumu?”

“akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutmu?”

“apa maumu?”

“aku melihatmu tergugu melihat evakuasi seorang ibu dari reruntuhan bangunan itu”

“bukan urusanmu”

“apa yang tiba-tiba kau pikirkan”

“bukan  urusanmu”

“apakah kau teringat seseorang”

“hei, aku sudah bilang! Itu bukan urusanmu”

“aku melihat matamu berkaca”

“…”

“apakah kau teringat ibumu?”

“terserah jika kau menganggapnya begitu”

“sayangnya tidak! Kau tidak benar-benar teringat ibumu. Kau hanya rindu kebaikan-kebaikannya. Kau ingat kasih sayangnya”

“hentikan jika kau tak ingin aku usir!”

“sayangnya aku belum bisa berhenti”

“hei!”

“kau rindu kasih sayangnya. Kasih! Sayang! Bukankah itu Ar-Rahman,Ar-Rahim! Kau tahu, sifat siapa itu?”

“jangan berlagak seperti trainer-trainer spiritual itu”

“terserah! Kau tahu, kau akan merindukan sesuatu saat kau jauh dari sesuatu itu. Lihatlah! lihatlah dirimu sekarang! Bukankah begitu jauh. Bahkan, bukankah kau semakin jauh”

“..”

“sedihnya, kau tak menyadarinya. Kau bahkan tak menyadarinya sama sekali. Kau menganggap dirimu dekat, tapi sejatinya jauh. Amat jauh”

“..”

“bukankah semuanya berasa hampa. Bukankah sudah tak ada jiwa dalam setiap lakumu. Bukankah itu seperti anak kecil yang rajin gosok gigi karena begitu ibunya mengajarinya. Tak pernah tahu mengapa ia harus melakukannya. Apa manfaatnya”

“..”

“apakah aku harus membeberkan semuanya? Tidak kan! Kau sudah lebih untuk bisa sekedar disebut dewasa. Kau sudah bisa mencernanya sendiri. Kapan kau terakhir kali bermuhasabah?”

“..”

“baiklah, harus aku hentikan semua ini sebelum kau benar-benar membisu. Mari! Ingat, kau masih punya banyak kesempatan”

“Tunggu!”

“..”

“terimakasih”

“ha ha. Baru kali ini kau mengucapkan kata itu….. Assalamu’alaykum”

“’alaykumsalam”