Saturday, November 28, 2009

Saya dan Membaca

Sampai saat ini, saat saya sudah pede mencantumkan kata “membaca” dalam isian untuk hobi di setiap formulir yang saya isi, saya merasa perjalanan membaca saya bisa dikatakan biasa-biasa saja. Tidak se-wah tokoh-tokoh yang seringkali saya baca riwayat kemembacaannya di buku-buku atau di internet. Terlahir di keluarga pedesaan, dimana membaca adalah hal langka, sepertinya saya tak pernah diperkenalkan untuk mencintai aktivitas ini. Tak pernah sepertinya orang tua saya, dan juga orang-orang tua lain di sekitaran saya sepertinya,  membacakan cerita ketika saya akan berangkat tidur, atau membawakan buku cerita anak-anak yang bisa saya baca di kala senggang. Perkenalan saya dengan membaca (diluar membaca buku-buku pelajaran tentunya) adalah justru dari buku-buku paket bahasa indonesia milik kakak-kakak saya. Saat itu sepertinya saya menikmati betul penggalan-penggalan bacaan yang selalu mengisi tiap awal sebuah bab di buku bahasa indonesia itu. Seingat saya juga, ada cerita tentang asal-usul nama banyuwangi, ada yang drama, ada semacam cerpen, ada juga puisi. Saya masih SD kala itu, tapi saya sudah terbiasa membaca buku bahasa indonesia SMA milik kakak tertua saya.  Kemudian, karena memang buku pelajaran, tentunya jumlahnya tak banyak. Maka jadilah saya sering kali mengulang-ulang apa yang sudah saya baca sebelumnya.

Sebenarnya, saya bisa saja membaca di perpustakaan SD saya jika bisa.  ‘Jika bisa’, karena memang perpustakaan SD saya kala itu bukanlah perpustakaan biasa pada umumnya yang dengan mudah dikunjungi. Entah apa yang ada di pikiran guru-guru kala itu, sebab rak-rak berisi buku itu ditaruh di ruang guru yang sayangnya tak pernah saya lihat ada siswa yang terlihat berdiri di depannya mencari buku yang diingini. Buku-buku itu sepertinya eksklusif sekali dan tak sembarang orang yang bisa membacanya.  Sepertinya saya masih kelas dua-an SD kala menyadari itu, dan sayangnya pikiran SD saya tak sampai berpikiran untuk mengetok pintu ruang guru untuk sekedar berkata, “mau pinjam buku bacaan, bu guru”. Mungkin karena takut, atau mungkin juga karena membaca bukanlah sebuah kebutuhan bagi saya kala itu. Masih menganut semboyan ‘jika ada yang bisa dibaca ya dibaca, jika nggak ada ya nggak usah’.

Buku-buku yang ada di rak buku SD saya kala itu kebanyakan terbitan balai pustaka. Dan bisa dipastikan semuanya adalah bantuan pemerintah.  Pemerintah yang mungkin kala membuat programnya berharap anak-anak indonesia menjadi anak yang cinta membaca. Sebuah cita-cita luhur yang sayangnya tak terteruskan di level-level sekolah. Sebab buku-buku yang ada malah menjadi semacam benda purbakala yang pantang untuk dijamah. Cukuplah menjadi pajangan dan aksesoris untuk mempercantik ruangan.

Memang, saya tidak bisa mengatakan kalau saya benar-benar tidak pernah membaca buku-buku itu. Sebab, ternyata ada juga guru yang perhatian. Meski masih setengah-setengah. Saat itu saya kelas empat, ketika guru kelas saya beberapa kali dalam setahun pelajaran  membebaskan jam-jam terakhir kegiatan belajar dengan aktivitas membaca. Dua tiga orang diajak bu guru saya itu untuk ke ruangan guru guna mengambil buku sebanyak siswa. Acak. Terserah judulnya apa. Satu jam-an tersisa kemudian digunakan untuk membaca, entah sampai apa. Sebab setelah itu mesti dikembalikan. Tak boleh dibawa pulang. Hal yang bila sekarang terkenang teramat menyedihkan. Boleh jadi rendahnya minat baca anak-anak itu, itulah penyebabnya.

Ketika menjelang lulus SD, buku-buku yang selama ini mendiami ruangan guru itu pun akhirnya pindah ruangan. Tapi sayangnya bukan ke perpustakaan ideal. Buku-buku itu justru digudangkan. Dimasukkan ke dalam ruangan sempit yang pengap. Juga lembab. Ruangan itupun kemudian dikunci, hanya beberapa kali saja terlihat terbuka saat tukang kebun sekolah ada keperluan di dalamnya. Itupun seringkali sebentar. Maka anda semua pasti sudah menduga apa yang terjadi pada buku itu. Hanya ada dua pilihannya: jamuran atau tikusan. Sedih, sedih sekali kala sekarang mengingatnya.

Justru kemudian, persinggungan saya yang lebih intens dengan dunia membaca ada di sekolah madrasah. Beberapa mungkin mengerutkan dahi mendengar istilah itu, sebab madrasah sendiri artinya adalah sekolah. Tapi begitulah kami di sana menyebut untuk sekolah agama yang masuknya sore. Sekitar jam 1 sampai jam 4. Hampir tiap dusun ada sekolah semacam ini. Meski lebih banyak dikelola tak profesional, ternyata sekolah-sekolah ini juga mendapat bantuan pemerintah. Salah satunya buku. Buku bacaan juga. Memang, seperti halnya buku-buku di SD, buku-buku itu juga ditaruh di lemari yang ada di ruang ustad. Tapi, berhubung amat mudah keluar masuk ruangan itu, karena memang juga dijadikan salah satu kelas, maka sayapun dengan mudah juga mengakses buku-buku tersebut. Saat itulah mungkin saya baru menyadari kalau saya berbeda dengan teman-teman yang lain dalam hal membaca. Sebab seringkali teman-teman  berkomentar tentang ketidakumuman saya tenggelam dalam buku-buku cerita ketika jam istirahat. Sat itulah saya baru sadar, saya suka membaca.

Kemuidian masa SMP. Tak terlalu banyak yang bisa diceritakan tentang kemembacaan di masa SMP ini. Di SMP saya memang ada perpustakaan, lumayan besar malah, tapi tak terlalu banyak sesuatu yang bisa dibaca. Hanya buku-buku pelajaran bantuan pemerintah yang sebagian sudah kurikulum lama.  Tak terlalu banyak hal menarik yang bisa dilakukan di sana. Maka tak heran, perpustakaan bukanlah tempat favorit saya kala SMP.

Dan masa SMA. Masa inilah yang mampu melejitkan minat saya ke membaca. Bersekolah di sebuah SMA paling bergengsi di kota saya, Pasuruan, saya mulai menemukan sebuah perpustakaan yang mulai mendekati perpustakaan bayangan saya. Perpustakaan itu tak cukup besar, sempit malah, buku-bukunya juga tak sebegitu banyak, tapi di situlah saya mulai mengenal banyak hal. Seperti di SD saya dulu, buku-buku di situ juga kebanyakan bantuan pemerintah. Tapi bagi saya kala itu, itu saja sudah cukup. Di perpustakaan itulah kemudian saya mengenal Budi Dharma dengan Olenka-nya, YB Mangunwijaya dengan Burung-Burung Manyar-nya, Umar Kayam dengan Para Priyayi-nya, Taufiq Ismail dengan malu (aku) jadi orang Indonesia-nya, Ernest Heningway dengan Lelaki Tua dan Laut-nya, serta sastra-sastra klasik lainnya yang akan sangat panjang bila saya daftar satu persatu. Di perpustakaan itu pulalah saya mengenal majalah sastra Horison. Saya menikmati betul kala  membaca sastra pelajar pada lembar kaki langit di mjalah Horison itu. Lembar Kaki Langit inilah kemudian yang cukup hebat menstimulus saya menjadi seorang penulis, selain tentunya lembar budaya dan sastra hari minggunya Kompas (*apa yah namanya? Lupa. Disini tak lagi baca Kompas*). Di SMA inilah saya menjelma menjadi manusia perpustakaan. Menjadi kutu buku yang tak berkacamata. Waktu Istirahat adalah waktu membaca. Kebiasaan yang ternyata ada untungnya, sebab uang saku saya kala itu tak cukup banyak untuk dijajankan di kafetaria. (*untuk masa SMA ini, saya tak bisa tidak untuk tidak berterimakasih pada Dewi. Satu-satunya orang sepertinya yang lebih baik dari saya dalam intensitas meminjam novel-novel klasik itu*)

Kuliah! Kuliah! Ada banyak hal sepertinya yang bisa diceritakan pada masa-masa ini untuk segala hal yang berhubungan  dengan membaca. Di sini, saya menemukan perpustakaan kampus yang besar berlantai-lantai yang kala pertama melihatnya membuat saya takjub. Hanya sayangnya, ini adalah kampus teknik. Hanya ada jurusan teknik dan science. Maka yang lebih banyak tertemukan di perpustakaan adalah textbook tebal berbahasa inggris tentang pabrik atau mesin, atau rancang bangun, atau jaringan listrik, atau struktur beton, atau perkomputeran. Jangan harap akan banyak buku sastra tertata di salah satu raknya. Sebuah kekurangan yang ternyata membukakan jalan untuk hal lain. Sebab, walaupun tak terlalu banyak buku-buku sastra, di perpustakaan itu masih cukup banyak buku agama dan motivasi. Jadilah kemudian saya  merambah dunia lain dan mengenal penulis-penulis lain beserta karyanya selain yang sudah saya tuliskan sebelumnya. Di perpustakaan inilah sehabis kuliah (khusunya di semester-semester awal*) saya menghabiskan waktu. Ke lantai bawah membaca berbagai koran hari ini, atau lantai tiga membaca berbagai koleksi majalah dan tabloid, atau lantai lima mencari-cari buku yang sekiranya bisa dipinjam.

Tapi, yang lebih memperkenalkan saya lebih jauh dengan membaca ternyata bukan di perpustakaan. Ternyata justru di luaran. Apa yang saya singgungi sehari-hari. Tinggal di sebuah kontrakan dengan tingkat kekeluargaan yang pekat, maka saya bisa dengan mudah meminjam koleksi buku teman-teman sekontrakan. Di situlah kemudian awal mula saya mengenal Anis Matta, Yusuf Qordawi, Hasan Al Bana, Salim A Fillah, Sayyid Quthb, serta yang lain. Juga mengenal sabili, tarbawi, atau Hidayatullah. Juga mengenal Ayat-ayat Cinta. Seorang teman meminjamkannya (*suwun ya, khoir*) yang membuat saya kian terbuka tentang novel-novel lain selain novel-novel klasik yang saya baca pas SMA.

Di masa kuliah ini pula saya mulai berani membeli buku. Ha ha..berapa mungkin tertawa. Tapi begitulah. Mulanya membeli buku bagi saya adalah sesuatu yang wah. Amat berat rasanya pas pertama kali memutuskan untuk membeli. Butuh banyak pertimbangan. Berhitung masak-masak. Sebuah awal yang terlihat janggal mengingat kemudian aktivitas itu sudah menjadi semacam candu. Bagaimana tidak menjadi candu sebab seringkali mengingkari rasionalitas bahwa bisa saja keputusan membeli buku itu bakal memangkas jatah uang makan untuk berhari-hari ke depan. Tapi di situlah seninya.

Dan sekarang, dunia saya yang sekarang, saya mendapati bahwa laju membaca saya tak lagi berimbang dengan laju pembelian buku saya. Ketika saya tak lagi di masa SD dimana tersedia banyak buku tapi tak tergapai tangan kecil saya, ketika saya tak lagi di SMP kala tak ada buku yang bisa saya baca, tak juga di SMA kala yang bisa saya baca adalah apa yang tersedia di perpustakaan sekolah, tak juga di kuliahan kala membeli buku adalah aktivitas mewah, saya sedih kala kini menyadari aktivitas membaca saya tak lebih baik dari apa-apa yang terjadi dahulu. Tak terlalu banyak waktu lagi yang saya sediakan untuk membaca. Meski saya tetap mencintai aktivitas yang satu ini, tapi tetap saja..

Ah, doakanlah kawan, saya akan kembali membaca. Membaca segala. (*kalimat terakhir ini adalah pemaksaan agar saya bisa menyudahi menulis ini. Bakalan bewrlembar-lembar jika tak dipaksakan disudahi)

 

 

 

Thursday, November 26, 2009

Oleh2 dari sholat ied di Bontang




Dua kali takbiran sudah di tanah perantauan. Sembilan bulan berjalan. Sembilan bulan yg telah membuatku mencintai tanah ini…..
Seperti yang terlihat di sini. Sholat ied di bontang….
(maaf yg motret amtir)

Sunday, November 15, 2009

Siapakah dia yang selalu sendiri??

Sudah lama saya tinggal di sini, tapi baru beberapa waktu yang lalu saja saya pertama kali melihatnya.  Suasana memang sedang sepi, hari aktif, dan orang-orang sudah berada di tempat kerjanya. Kebetulan, waktu itu saya sedang off. Dan inilah mungkin yang disebut dengan cinta pada pandangan pertama. Seketika itu saya tertarik. Benar-benar tertarik.

Ia sendiri saja kala saya pertama kali melihatnya. Dan begitulah memang seterusnya ketika saya melihatnya untuk kali kedua, ketiga, dan kesekian kalinya. Seolah ia memang menyukai kesendirian, atau memang tak ada lagi yang mau menemaninya. Saya melihatnya juga selalu di tempat yang sama, di titik yang sama, di bibir danau pinggir jalan itu. Tapi ia berada di sisi yang jauh dari jalan. Saat melewati jalan itulah saya menemukannya sendiri.

Dia memang sedikit hitam. Atau memang hitam. Tapi manis. Tentu saja saya tidak sedang membual kala menyebutnya manis. Ia memang manis. Membuat yang  melihatnya akan langsung lekat menatap. Bila sedang berjalan, maka relalah memperlambat jalan untuk sekedar berlama-lama  menatap. Lehernyapun jenjang, bahkan teramat jenjang untuk ukuran tubuhnya. Tapi itu, lagi-lagi justru membuatnya kian menyihir. Benar-benar sebuah penciptaan yang sempurna.

Hmmm, saya sedang berbicara tentang bangau. Di desa saya dulu, saya sudah sering melihat bangau di persawahan berkelompok dalam hitungan jari, atau dalam kesempatan lain bisa berpuluh-puluh kala ada sawah yang dibajak. Kesehariannya memang lebih sering bergerombol dan hampir semuanya berwarna putih. Tapi di sini, saya menemukan sebuah spesies yang saya duga sebagai bangau dengan warna hitam pekat sendirian saja. Hitam, benar-benar hitam hingga sepertinya tak ada warna lain yang ikut memeriahkan bulu-bulunya. Sendiri, benar-benar sendiri hingga sepertinya tak ada lagi teman yang bisa diajak membersamainya.

Seperti saya kemukakan di atas, saya menemukannya di pinggir danau. Atau lebih tepatnya telaga. Atau lebih tepatnya lagi semacam kubangan agak lebar tempat penampungan air. Tak jauh dari tempat saya tinggal letaknya. Sepertinya ia sedang mencari minum, atau mungkin makan, atau seperti saya, sedang menikmati pemandangan ini. Saya tak tahu dengan pasti.

Begitulah, perkara burung bangau ini, adalah satu dari beberapa hal yang membuat saya menyukai lingkungan baru saya ini. Lingkungan alami dengan pepohonan yang masih merimbun, juga satwa-satwa unik. Lingkungan seperti ini, sepertinya sudah langka ditemui di jawa, apalagi di daerah perkotaan yang miskin lahan hijau.  Saya bisa dikatakan beruntung menemukannya di sinii.

Suatu waktu, saya menemukan sekelompok primata sedang menjarah pohon mangga tetangga. Pertama kali saya terkejut. Takut-takut. Tapi kemudian tertarik. Ketertarikan ini, ditimbulkan oleh sebab primata ini bukanlah primata umum yang sering ditemui di hiburan topeng monyet. Tubuhnya terlihat gendut dengan bulu sedikit lebih terang kemerahan. Lucu. Di perutnya, nampak juniornya bergelajutan mesra mencari perlindungan.

Dan masih banyak lagi. Kicau burung sepertinya sudah menjadi kesehariaan. Di sinilah akhirnya  saya menemukan kembali sebuah spesies burung yang sepertinya tahun-tahun belakangan ini tak lagi saya lihat beterbangan di antara hamparan padi di kampung halaman saya. Tupai-tupai bergerilya membolongi kelapa, sepertinya juga menjadi pemandangan yang lumrah. Tupai-tupai ini, tiap paginya selalu berisik. Ramai berkejaran meniti kabel disusul melompat lincah dari satu dahan ke dahan lain. Layaknya sebuah sirkus. Layaknya sebuah orkestra. Benar-benar seperti sorak penyemangat bagi orang-orang yang hendak memulai kerja-kerja. Dan barisan pohon-pohon tinggi itu…

Ah, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan.

Friday, November 13, 2009

Mak Ipah (Bukan Cicak vs Buaya)

Mak Ipah namanya. Usianya sudah berbilang setengah abad. Atau mungkin lebih, sebab ia sendiri juga tak tahu pasti kapan ia dilahirkan. Yang ia tahu, dari cerita orang tuanya dulu, usianya sebaya dengan si ini, lebih tua dari si itu, atau lebih muda dari si anu. Tapi bila kalian melihatnya langsung, mungkin kalian akan langsung menganggap ia jauh lebih tua dari usia yang disebutkan di awal tadi. Sebab kerasnya hidup memang lebih dulu menyapanya dari orang-orang kebanyakan. Mendewasakan, atau lebih tepatnya menuakannya, lebih dahulu.

Pagi masih menyisahkan embun di pucuk rerumputan, dan dingin sesekali masih mendera kulit yang mengeriput, tapi ia sudah berangkat. Tak banyak yang ia bawa. Hanya sebuah sarung tangan bekas yang sudah koyak di sana-sini. Itupun bukan sepasang, hanya sebelah saja. Untuk tangan kanannya. Sebenarnya, itu juga sudah lebih baik. Dulu-dulunya, ia memakai sarungtangan dari kaos kaki anaknya yang sudah berlubang lebar dan tak terpakai lagi.

Tujuannya hanya satu: ke hamparan padi menghijau yang belum genap sebulan dari masa tanam. Letaknya di pinggiran kampung yang tak terlalu jauh dari rumahnya. Di sana, ia akan bertemu dengan perempuan-perempuan sepertinya. Perempuan-perempuan dengan sarung tangan sebelah menghiasi tangan kanannya. Maka kemudian akan berderailah suara mereka, sesekali ada tawa, sesekali terlontar lelucon, sesekali ada teriakan. Seketika riuhlah pagi hari itu. Dan kerja-kerja nyata itupun dimulai.

Jika kalian menganggap padi menghijau tadi adalah milik mak Ipah, ah sayang sekali tidak. Sama seperti perempuan-perempuan lain yang membersamainya itu, kedatangannya ke persawahan itu hanyalah demi sebuah upah penjamin penghidupan. Ia hanyalah buruh tani di tanah subur negeri ini. Sebab untuk setiap cakaran tangan kanannya, untuk setiap rumput yang tercerabut, untuk setiap bungkukan badannya, untuk setiap kaki yang terjerembab dalam lumpur yang dalam itu, untuk setiap itulah rupiah akan mengganti. Dan itu berarti banyak. Bahwa satu hari lagi akan ada asap mengepul dari dapurnya, bahwa masih ada uang saku buat anaknya berangkat sekolah, bahwa akan ada uang tambahan penambah penghasilan suaminya. Nanti, ketika angin sudah mulai semilir membelai tengkuk, mereka akan segera menyudahi pekerjaannya itu. Kembali melangkah pulang sambil tak lupa mencari sayur seadanya sebagai pelengkap memasak siang nanti. Dan tujuh lembar uang ribuan   sudah menanti sebagai upah sepagian tadi. Tujuh lembar yang berarti sesenyum simpul di bibirnya, ‘terima kasih untuk hari ini ya Allah’

Mmmhh… ilusterasi saya di atas, besar kemungkinan berlebihan. Tapi sungguh, di pelosok-pelosok negeri ini, di sebuah kampung yang mungkin didatangi hanya menjelang pemilu, di sebuah dusun yang mungkin satu-satunya akses menuju ke sana harus melalui sebuah jembatan yang hampir runtuh oleh sebab pembangunannya yang tidak memenuhi standar, ada orang-orang yang harus mengais-ngais tanah demi beberapa lembar uang ribuan saja, ada ibu-ibu yang rela berjalan lebih jauh hanya demi untuk membeli keperluan pokok yang murahnya hanya berselisih dua ratus rupiah, juga ada bapak-bapak tua yang mengayuh becak penuh muatan berkilo-kilo meter demi lima ribu rupiah. Maka ketika siaran televisi kini ramai mengabarkan uang ber-MM dihamburkan begitu saja macam mengeluarkan uang untuk membeli kerupuk, akankah pikiran mereka  mampu menjangkau? Seberapakah itu? Bagaimanakah rasa memilikinya? Betapa ringankah menyebutnya? Akankah itu memang benar-benar uang (bukan daun?)? ah, saya tak berani membayangkan tidakkah itu membuat mereka hanya dipenuhi mimpi-mimpi kosong tanpa kerja-kerja nyata mengais-ngais tanah menyingkirkan rerumputan di hamparan padi?

Tapi saya keliru, esok-esok selanjutnya, mak Ipah beserta teman-temannya masih ramai meningkahi pagi. Masih riuh bercerita. Masih tertawa. Tak ada keluh kesah. Tak ada pembicaraan tentang Anggodo, Antasari, Rani, Ari Muladi, Susno, cicak vs buaya, apalagi program sejuta facebooker dukung Bibit Chandra. Bagi mereka, bahasan tentang gula yang naik dua ratus rupiah, tentang toko baru yang menjual kebutuhan pokok dengan harga miring, atau tentang ayam-ayam yang mulai banyak terkena penyakit, jauh lebih menarik untuk diperbincangkan daripada itu semua. Apakah karena mereka memang tak tahu apa yang terjadi? Ah, saya tak tahu. Ataukah karena mereka justru tak mau tahu? Entah juga.  Atau jangan-jangan, sinetron picisan nggak jelas itu lebih menarik daripada siarannya Metro TV sama TV one? Lagi-lagi saya juga tak tahu.  Atau karena mereka tak punya TV? Mungkin ada baiknya kita tanyakan langsung ke Mak Ipah. Dimana? Ah, bukankah banyak sekali Mak Ipah-Mak Ipah di sekitaran kita. Kita saja yang terlalu sibuk bermain di dunia maya hingga tak tahu kalau sebenarnya Mak Ipah sejak dua tahun yang lalu  mendirikan rumah gubuknya di kompleks kita. Sepelemparan batu saja dari rumah megah kita. Sedikit saja kita mau melongok, tubuh kurusnya akan jelas terlihat. Jadi….?? 

 

Thursday, November 5, 2009

Deposit-Deposit Yang Meracuni

Alikisan, tiba-tiba semuanya menjadi heboh. Bukan karena riang, senang, apalagi muka-muka puas. Jauh! Jauh dari itu semua. Semuanya justru mengerutkan dahi, bertanya-tanya yang tak jelas ditujukan kepada siapa,‘bagaimana bisa?’. Maka rapat-rapat pun digelar. Pembahasan-pembahasan panjang dilakukan. Analisa-analisa mengemuka. Solusi-solusi.

“ini mungkin karena pengoperasiannya yang salah. Ada prosedur yang tak bener”, sesorang berpendapat.

“ah, mana mungkin. Sudah bertahun-tahun prosedurnya seperti ini. Tak pernah ada yang berubah. Kenapa tidak dilihat bagaimana kemarin pas loading. Adakah yang terlewat? Apakah pressure dropnya sudah memenuhi”, cepat seseorang menyanggah

“mmmh..mungkin katalisnya. Mungkin tidak sesuai standar. Mungkin kan?”, penengah menenangkan. Tak perlu ada yang merasa terpojokkan.

Masalahnya cuma satu : primary reformer membara. Terjadi hot spot bahasa kerennya. Dan yang membuat satu masalah itu menjadi begitu luar biasa adalah, reformer itu baru saja menjalani perawatan tahunan selama hampir tiga minggu. Turn around biasa disebut. Katalisnya pun baru. Baru saja dibeli langsung dari negeri sono. Mendatangkan engineer-engineer bule pula. Lalu bagaimana mungkin??

Mmhh..bagi yang mengerutkan dahi tak mengerti, begini ceritanya. Untuk sederhananya, taruhlah ada sebuah reaktor berupa tube-tube vertikal berjumlah 144 buah. Di dalam tube-tube inilah terdapat butir-butir katalis yang berfungsi untuk membantu reaksi. Di dalam tube ini pula bahan baku yang berupa gas (atau berfase gas) dialirkan agar bereaksi menjadi bentuk lain yang diinginkan dengan bantuan katalis. Selesai? Belum! Katalis itu saja ternyata tak cukup untuk keberlangsungan reaksi. Reaksi ini sangat-sangat endotermis hingga membutuhkan panas yang besar tersuplay ke dalam tube. Kebutuhan panas inilah kemudian yang dipenuhi dengan pembakaran fuel di dekat dinding tube dengan harapan panas radiasinya dapat terserap oleh tube, hingga reaksi dapat terjadi. Di dinding luar tube ini, suhu berkisar 900 oC.

Dan masalah yang terjadi adalah, suhu dinding tube yang biasanya konstan, mendadak naik. Padahal tak ada prosedur yang berubah. Pembakaran tetap, kapasitas produksi juga normal-normal saja. Tak ada alasan dari segi operasional yang bisa menjelaskan mengapa dinding luar tube (atau biasa disebut skin tube) itu tiba-tiba naik. Semuanya bingung tak mengerti. Bila tidak diatasi, itu tentu saja akan sangat berbahaya sebab tube tersebut tentu saja punya desain temperatur maksimal. Melebihi, maka rusaklah konsekuensinya. Sedangkan rusak, adalah kefatalan yang harus dihindari.

Lama kemudian masalah ini dibahas, tapi belum juga ditemukan apakah akar penyebabnya. Hari-hari terlewati lewat pengawasan ekstra ketat terhadap temperatur skin tube. Hingga setelah melakukan proses yang panjang melalui analisa-analisa akhirnya dapat disimpulkan bahwa katalis dalam tube ini teracuni. Teracuni adalah sebuah kondisi kala ada deposit (dalam kasus ini deposit sulfur dan karbon) yang menempel di permukaan-permukaan katalis. Mmhh..beberapa mungkin tak paham mengapa dengan teracuninya katalis itu dapat menaikkan suhu skin tube, tapi bagi yang pernah belajar masalah ini tentu saja mudah saja persoalannya. Katalis-katalis tersebut berfungsi sebagai pembantu jalannya reaksi, maka jika teracuni, yang mana menyebabkan keaktifannya berkurang, tentu saja akan menyebabkan terganggunya reaksi. Konversi reaksi menjadi menurun. Dan bila konversi reaksi menurun, maka akan ada sebagian panas yang akhirnya tidak terserap. Ingat, reaksi ini adalah endotermis yang mana membutuhkan sekian satuan energi panas tiap mol reaksi.

Mudah-mudahan penjelasan sederhana itu bisa sedikit menjelaskan. Dan bila belum, semoga saja sebagai pengingat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui. Kita masih perlu banyak belajar.

Tapi kemudian saya berpikir. Jangan-jangan kasus reformer itu tak ubahnya diri kita. Jangan-jangan sudah terlalu banyak deposit-deposit dosa yang menempel di dinding-dinding kalbu kita. Membuat keaktifannya menjadi berkurang. Membuat ia tak mampu lagi mereaksikan problematika hidup menjadi sebuah hal yang justru penuh hikmah. Maka tak heran kita akan dengan cepat mudah panas hanya oleh sebuah tekanan hidup yang remeh temeh saja. Kita mudah tersinggung, kita mudah marah, kita mudah sekali menjadi membabibuta.

Sahabat, jika itu telah terjadi, maka menyadarilah yang pertama mesti kita lakukan. Karena dengan kesadaran, kita akan dengan mudah melakukan sebuah perbaikan. Seperti kasus deposit pada katalis-katalis tersebut, kesadaran bahwa deposit itu penyebabnyalah membuat semuanya akan mudah mengambil tindakan. Sebab deposit itu memang bisa dihilangkan melalui sebuah tindakan-tindakan tepat yang sudah terprosedurkan, hingga keaktifan katalis bisa kembali ke sedia kala. Begitu juga dengan hati. Begitu juga dengan masalah deposit dosa yang meracuni hati itu. ada penghilangnya. Ada pembersihnya. Ah, masing-masing dari kita sudah sangat mengerti akan hal ini.

Mari membersihkan hati!

Monday, November 2, 2009

Sejenak Menjadi Bapak

Salah satu bagian yang cukup menarik masuk shift , yang mana kesehariannya bergaul dengan bapak-bapak  operator yang kebanyakan sudah beranak dan bahkan sudah memiliki anak yang sebaya dengan saya, adalah saat bapak-bapak itu mulai bercerita tentang anak-anak mereka. Tak terlalu sering memang mereka melakukannya, tapi saat mereka mulai bercerita, yang sebagian di antaranya melalui sebuah pencingan, saya akan selalu serius menyimak. Dan bila mereka telah memulai, akan sulitlah untuk berhenti.

Benar memang, bahwa orang tua akan selalu berseri-seri saat menceritakan anak-anak mereka. Semangat, dan sepertinya tak hirau lagi apakah itu bakal menarik bagi si pendengar atau tidak. Hingga merasa berdosalah saya, jika tidak membalas binar-binar bahagia di mata mereka saat bercerita itu dengan sebuah antusiasme. Antusiasme yang saya yakin amat dibutuhkan mereka. Sebab antusiasme itu, mungkin  sebagai bentuk pengakuan atas kebapakan mereka. Dan seorang bapak, tentu saja akan selalu bahagia jika dianggap telah benar-benar menjadi bapak bagi anak-anak mereka.

Cerita-serita itu sederhana saja. Masalaha keseharian anak, masalah pendidikan, atau masalah cita-citanya. Tapi saya yakin, tidak ada yang sederhana bagi seorang bapak jika itu sudah menyangkut anak-anaknya. Itu akan menjadi cerita yang lebih, tak biasa, dan tentu saja perlu pemikiran yang matang.

Suatu ketika, saya dengan jelas menangkap kebahagiaan dan kebanggan dari seorang bapak yang bercerita tentang anak gadisnya. “Ia tomboy banget. Suka memakai celana pendek. Pengennya jadi lelaki”, demikian seorang bapak itu bercerita. Ia kemudian tentu saja bingung. Nasehat sepertinya sudah tak terlalu dihiraukan. Untunglah kemudian ia masih berpikir jernih. Lepas dari SD, Ia putuskan mengirim anaknya itu ke sebuah SMP IT nun jauh di seberang pulau. Di Malang tepatnya. Tak ada paksaan kala itu, demikian bapak ini menambahkan. Sebab, masih kata beliau, banyak juga teman-temannya yang ikut bersekolah di sana.

Maka kemudian, ia bersyukur, kala pulang saat liburan, anak perempuannya itu sepertinya berubah. Anak perempuannya itu kini berjilbab, berrok, dan terlihat santun, bahkan saat di rumah selama liburan, yang mana tak ada aturan untuk itu selayaknya di sekolahnya. Telah hilang kelelakiannya yang mana dulu begitu jelas mendominasi. “sekarang ia rajin sholat dhuha, rajin baca al-qur’an, bisa ngingetin kakaknya”, demikian tambah si Bapak yang saya tahu sedang diselimuti bahagia. Saya termenung, andai semua bapak lebih berbangga tentang anaknya untuk capain-capaian seperti ini.

Lain lagi tentang seorang bapak yang lain. Ia bercerita tentang anaknya dengan rasa sedikit mengeluh dan berbagga hati. Dua perasaan yang janggal sekali datang untuk berkolaborasi. Tapi begitulah nyatanya. Ternyata, anak pertama bapak tadi dengan tegas bercita-cita ingin menjadi musisi. Hmmm, saya tahu, tak terlalu banyak orang tua yang mau menerima cita-cita seperti itu, amat berbeda mungkin sikapnya  jika cita-cita itu profesi semacam dokter atau hakim. Tak umum, demikian bapak ini menyebut, menyiratkan keraguan. Tapi kemudian saya heran, ia dengan rasa bangga bercerita tentang anak pertamanya yang menjadi pemusik pengiring saat direksi dan jajarannya mengadakan semacam acara gathering selepas upacara 17an. Sepertinya bapak ini ‘merestui’ jika musik itu hanya sekedar hobi, bukan jalan hidup bagi anak pertamanya itu.

Pembicaraan tentang anaknya itu sepertinya akan berakhir ketika si Bapak bertanya, “kalau mas Iqbal dulu belajarnya gimana?”. Hmm..saya seringkali berhati-hati jika mendapat pertanyaan ini. Takut salah. Sampai saya lulus kuliah, sepertinya tak sekalipun orang tua saya menyuruh saya belajar. Bahkan ketika SD dulu, mungkin porsi bermain saya jauh-jauh lebih banyak. Hanya saja PR selalu dikerjakan, hanya saja selalu belajar bila menjelang ulangan.

“wah kalau saya nggak pernah disuruh-suruh belajar sih pak sama orang tua. Kalau ingin belajar ya belajar. PR dikerjain, mau ulangan belajar.”

“kesadaran berarti?”

Saya berhenti sebentar. Tersenyum, “mmh..ya nggak tahu juga sih. Mungkin. Memang puteranya nggak mau belajar ya, pak?”

“iya nih. Main saja pekerjaannya”

“tapi PR dikerjakan kan??”

“dikerjakan. Tapi seringkali terburu-buru. Menjelang berangkat malah kadang ngerjainnya”

“(bla bla bla)”, dengan hati-hati akhirnya saya mengutarakan pendapat. Boleh dibilang tak terlalu lama saya lepas dari masa-masa anak si Bapak ini. Sedikit banyak mengerti dunia mereka.

Lain bapak pertama, lain bapak kedua, lain pula  bapak ketiga. Semalam saja kejadiannya saat bepak ini bercerita. Entah bagaimana mulanya ketika ia bercerita tentang anaknya yang minta diantar kesekolah. Tak biasanya anaknya yang masih kelas 2 SD itu minta diantar. Sebab memang sudah ada mobil jemputan yang sehari-hari mengantarjemput dia dan teman-temannya.

“tak bisa nak, papa masuk pagi. Ntar telat gimana?”. Memang bapak ini sedang masuk shift pagi

“kalau gitu nggak mau sekolah!”

“Lo!”, dengan berat hati dan beresiko telat tiba di pabrik ia akhirnya berangkat juga mengantarkan anak pertamanya itu.

Hari berikutnya, hal yang dikhawatirkan bapak ini terjadi. Si anak minta di antar lagi. “ini pasti ada apa-apa”, demikian pikir bapak ini. Pasti ada sesuatu yang membuat anaknya enggan naik mobil jemputan. Sesuatu yang akan ia cari tahu. Untunglah waktu itu ia masuk sore, hingga punya banyak keluangan di pagi itu.

Yang pertama ia tuju adalah sopir mobil jemputan. Ialah yang bertanggung jawab. Sedikit banyak pasti ia mengerti.

“Bang, sampean apakan anakku kok nggak mau naik mobil jemputan lagi?”, demikian si Bapak memulai. Ia memang sudah kenal sama sopir tersebut.

Agak lama sopir menjawab, sampai…“waduh, anak sampean nakal banget. Masak mobil ini distarter sendiri, untung saja nggak jalan. Kalau jalan, wah…(bla bla bla). Ya saya marahilah dia”

Ting! Persolan tertemukan akarnya. Segeralah ia temui kembali anaknya. Mendekat. Menjelaskan…

“kakak nyalain mobilnya ya? Nggak boleh nak! Kalau mobilnya jalan gimana? Kalau nabrak temennya gimana? Kakak mau kalau temennya meninggal? Kakak mau kalau dipenjara? Kalau papa yang jadi om yang nyetir juga bakal marah sama kakak. Ayo sekarang minta maaf ke om dan janji nggak bakal ngulangi”

Selesai. Berakhir indah. Hari-hari berikutnya si anak mulai naik mobil jemputan lagi.


Demikianlah, pembicaraan tentang anak, selain ketiga cerita di atas,  sering terjadi. Dan selalu, saya akan serius berbicara tentang ini. Mereka adalah pelaku, orang-orang yang telah menjalaninya sendiri bagaimana menjadi bapak itu. Saya belum.  Si belum seharusnya belajar pada si telah. Sayapun harus melakukannya. Bukan sekedar mengadopsi, atau membuat sebuah kesimpulan pasti. Hanya mengumpulkan cerita-cerita dan rasa-rasa yang berkelebatan, yang semoga saja dapat memperkaya batin. Suatu saat saya yakin akan berguna. Suatu saat. InsyaAllah..