Thursday, May 20, 2010

Pak Tua Yang Berdiri Tegak

Jika anda mulai merasakan kehidupan yang membosankan, itu-itu saja, dan sudah jauh dari menarik, marilah sejenak kita berkenalan dengan bapak satu ini. Kali-kali saja, seperti saya, anda akan mendapat pompaan semangat yang tiba-tiba.

Usianya tak lagi muda. Atau bahkan boleh dikatakan tua. Tua untuk jenis pekerjaannya. Tua bila dibandingkan rekan-rekan kerjanya.

Penampilan fisiknya pun biasa-biasa saja. Badannya kecil dengan tinggi badan yang biasa saja. Lebih mudah untuk mengatakannya pendek daripada tinggi. Ia kurus, yang saya yakin kalau ia sesekali menyingsingkan lengan bajunya akan nampaklah tonjolan-tonjolan urat di sepanjang tangannya. Gelagatnya pun biasa saja, tidak mencitrakan diri sebagai seorang pendekar  yang ‘kecil-kecil cabe rawit’. Dengan tampilan fisiknya itu, tak adalah tanda-tanda ia seorang yang menjadi seperti pekerjaannya sekarang.

Ia seorang security. Atau satpam. Atau penjaga. Atau apalah namanya. Yang pasti, tugasnya adalah menjaga pos-pos tertentu dengan tugas memastikan keadaan terkendali sambil mengatur kelancaran lalu lintas. Ada beberapa pos yang dijaga dengan sistem shift dan rotasi. Maka, saya pun kerap kali bertemu bapak ini dalam waktu dan tempat yang berbeda. Suatu siang saya bisa bertemu dengannya sedang menjaga pos kantor pusat, suatu sore melihatnya menjaga pos perumahan sisi Sintuk, dan suatu subuh sedang menjaga pos dekat perempatan Mulawarman.

Dan, inilah letak istimewanya.

Dalam terik yang membakar khas khatulistiwa, gambaran umum security yang sedang bertugas adalah mencari-cari tempat yang sekiranya bisa digunakan berteduh sambil sedikit ‘asal-asalan’ menjalankan tugasnya. Kalaupun tidak, cukuplah dengan masuk pos-nya yang terlindung, sambil mengamati kondisi dari dalam, toh lalu lintas lancar-lancar, maka sudahlah, sekujur badan lepas dari sengatan sang surya. Tapi subhanallah, bapak yang satu ini, yang saya bilang lebih tua dari rekan-rekannya yang lain tadi, malah dengan gagahnya mendobrak keumuman tadi dengan berdiri gagah menantang matahari sambil tangannya melambai-lambai mengatur mobil-motor yang lalu lalang. Tak ada kesan menderita, kepanasan, atau wajah bosan darinya meski saya tahu itu pekerjaan harian yang saya tahu bakal membosankan bagi orang kebanyakan. Senyumnyapun selalu tetap terpelihara, menawarkan keramahan pada tiap pengendara.

Suatu kali, pas waktu ashar dalam keadaan hujan rintik-rintik, saya sempat tertegun sejenak melihat bapak ini mengenakan jas hujan kuningnya berdiri tegar menyapa tiap pengendara dengan wajah tuanya. Tidak! Ia tidak memilih duduk-duduk di bangku kayu  yang jelas-jelas beratap. Ia lebih memilih berdiri seperti biasanya untuk menjalankan aktivitasnya seperti yang sudah-sudah. Sama sekali abai dengan rintik hujan yang perlahan membasahi jas hujannya. Sama sekali tak terlihat iri, meski rekan kerjanya yang relatif berusia lebih muda, lebih memilih duduk-duduk meneduhkan diri dan menjaga keamanan hanya dengan pandangan matanya.

Dan, puncaknya, kekaguman itu justru datang di waktu subuh. Bagi saya yang sudah merasakan beratnya shift malam, apa yang saya lihat adalah ketakbiasaan yang luar biasa. Profil security di waktu subuh itu, yang saya lihat tiap harinya pas melintas di depan mereka, kalau tidak duduk sambil terkantuk-kantuk menahan beban kepalanya, ya sedang menyandarkan badan di tiang penyangga atap dengan tatapan mata layu karena ngantuk. Sesekali, saat saya mencoba menyapa mereka dengan sebuah senyuman atau anggukan kepala, balasan yang saya terima adalah senyum kecut khas seorang yang sedang tak berselera. Saya maklum, sebab sudah sunatullah seseorang bekerja di siang hari dan beristirahat di malam hari. Bukan sebaliknya. Tapi sekali lagi, subhanallah, bapak kita yang satu ini mengacak-acak keumuman tadi. Tak hanya melek waspada, ia justru tetap seperti hari-hari biasa tatkala di siang hari saya menemukannya. Ia masih berdiri, tegak, serta melambai-lambaikan tangan untuk mengatur kendaraan --yang walaupun sesubuh itu cuma satu dua—dengan antusias.  Sekali-kali saja saya lihat ia terduduk, mungkin sudah terlalu payah. Tapi tetap saja, matanya jeli menatap pengendara yang berlalu, dan tangannya tetap melambai mengiringi tiap kendaraan yang menderu.

Sekali-kali, mungkin saya perlu berhenti sebentar. Sekedar menyapa bapak kita ini, bertanya kabar, bertukar senyum, sambil mencuri-curi melontarkan pertanyaan sederhana: kekuatan macam apakah kiranya yang menggerakkan hari-harinya.  

Saturday, May 15, 2010

Sedikit tentang bontang dan kota impian

Ketika masa-masa SMP dan SMA dulu, saat saya masih sempat dan suka nonton serial amerika yang bersetting sebuah kota kecil yang tak terlalu hiruk, saya memimpikan bahwa tempat tinggal saya nantinya adalah kota semacam itu. Sebuah kota kecil dengan jalanan bagus tapi tak terlalu ramai, dengan toko-toko serba ada yang Tak terlalu besar tapi sudah cukup lengkap menyediakan kebutuhan sehari-hari. Sedang tempat tinggalnya adalah sebuah rumah dengan halamannya yang luas tanpa pagar jeruji tinggi yang melancip di ujungnya hingga tak terlalu ada sekat yang membatasi dengan lingkungan. Penduduk kota itu tak terlalu banyak, maka kemudian tak begitu mengherankan jika satu sama lain akan mudah untuk saling bertegur sapa. Satu sama lain sudah saling mengenal dengan baik. Saya membayangkan bahwa kota itu bukanlah sebuah kota tradisional dengan orang-orangnya yang masih terbelakang, tapi lebih dari itu adalah sebuah kota madani dengan orang-orangnya yang terdidik dan berbudaya. Rasa-rasanya hebat sekali.

Lalu satu-dua tahun yang lalu, saya sempat mendiskripsikan sebuah lingkungan harapan tempat saya kemudian meneruskan bertumbuh. Tulisan itu ada di sini , dan seperti mimpi menjadi nyatalah kala saya membacanya kembali dengan tempat saya berpijak sudah jauh berbeda. Lingkungan itu saya diskripsikan sebagai sebuah daerah yang dilingkupi hutan menghijau dengan hujan sering kali melanda. Tapi tidak seperti hujan pada pemberitaan di televisi yang seringkali menimbulkan genangan dimana-mana, atau banjir yang datang tiba-tiba, maka hujan di lingkungan hayalan itu adalah sebuah karunia yang disenangi. Orang-orang dengan syahdu menatap bulir-bulir air yang meluncur dari ketinggian di balik jendela kaca yang berkabut. Sementara yang lain, dari teras-teras rumah, dengan riangnya menubrukkan tangan tengadahnya dengan aliran air hujan yang meluncur dari atap. Lalu saling tersenyum satu sama lain saat percikannya menerpa muka. Sebab hujan di sana memang menyenangkan. Air hujan yang turun dengan derasnya akan cepat terserap ke dalam tanah, atau kalaupun tidak maka akan berlarian ke dalam saluran-saluran untuk berakhir di sebuah tempat khusus yang sudah tersediakan. Tak ada genangan, tak ada pula luapan. Selesai hujan, orang-orang bisa bersegera kembali melanjutkan kehidupan.

Kini, selang beberapa tahun dari mimpi-mimpi itu, ketika saya menemukan sebuah tempat baru untuk melanjutkan kehidupan, saya baru menyadari rasa-rasanya sebagian besar dari kriterian kota impian yang saya diskripsikan dahulu itu sudah terwujudkan oleh kota saya sekarang. Kotanya tak terlalu besar dengan jalanan yang lebih mudah dikatakan lengang. Hanya ada satu mall –dan saya harap tak akan bertambah lagi- yang sudah cukup untuk menyediakan kebutuhan, bukan keinginan. Penduduknya? Saya rasa tak terlalu banyak dan itupun dengan tingkat pendidikan yang lumayan.

Bontang nama kota itu. Baru kisaran 30 tahun usianya. Seiring dengan berdirinya LNG Badak di akhir 70an dan pupuk kaltim satu dua tahun berikutnya. Seb elumnya, hanya ada perkampungan kecil dengan penduduknya yang beberapa. Anda tak terlalu mendengar nama kota ini mungkin, kecuali beberapa dari anda yang menggemari sepak bola indonesia. Sebab saya pun begitu, mulanya mengenali kota ini pas jaman SD dulu, sebagai home bass salah satu peserta ligina.

Sudah tak terlalu banyak hutan di sini, tapi untuk sebuah diskripsi lingkungan impian yang saya sebutkan di awal, sepertinya bolehlah. Khusunya untuk lingkungan tempat saya tinggal. Lingkungan saya –sepertinya saya sudah terlalu sering mendiskripsikannya dalam tulisan-tulisan saya- adalah sebuah kawasan yang dipenuhi pohon-pohon tinggi dengan sebaran yang boleh dikatakan merata. Kita boleh saja menyebutnya dengan hutan. Ada jurang-jurang dengan pohon-pohon yang dirambati tanaman menjalar bahkan sampai puncaknya. Di pusatnya –kalau boleh dikatakan itu sebagai pusat-, ada sebuah danau pembuangan yang cukup cantik dengan geladak-geladak kayu di tepiannya yang sepertinya cocok digunakan untuk bercengkerama berdua sambil menikmati senja. Di danau itulah, saluran-saluran dari seluruh kawasan ini pada akhirnya bermuara.

Tak ada musim hujan di sini! Sebab memang hujan melanda sepanjang tahun. Meski dengan intensitas yang berbeda di tiap bulannya. Tapi tak usahlah merisaukan datangnya banjir, sebab untuk ukuran yang tak terlalu luar biasa, daerah-daerah terbuka sudah lebih dari cukup untuk menyerap air hujan yang turun. Kalaupun tidak, saluran-saluran pengumpul air masih berfungsi dengan baik untuk mengalirkannya ke danau buangan tadi. Baru kalau danau sudah tak mampu menampung lagi, maka akan meluap ke jurang sebelah dengan terlebih dahulu menyeberangi jalan. Tahun lalu, rasa-rasanya itu cuma terjadi sekali saja.

Maka, hendakkah kiranya saya menukarkan kenikmatan ini dengan hingar-bingar metropolitan? Rasa-rasanya tidak kalau hanya untuk mencari sebuah keramaian dan kemacetan. Hingga saya tersenyum saja kala jalan-jalan ke Samarinda beberapa minggu yang lalu, seorang teman nyeletuk berkata, “kayaklnya enak kalau pabriknya di sini” demi melihat keramaiannya. Maaf kawan, bagiku bontang lebih dari cukup, terlepas tak ada Gramedia di sini, terlepas tak ada bandara di sini…


(Dalam hujan lebat yang perlahan mereda)