Tuesday, July 27, 2010

kebetulan yang tak pernah kebetulan

Tentu saja tak ada yang kebetulan. Itu sungguh-sungguh terencana.

Semuanya benar-benar terdesain:

Maka, saat kau tiba-tiba saja punya rasa membuncah tentang sosok rosul pasca memperoleh buku "Muhammad Lelaki penggenggam Hujan" -sebuah perasaan yang kau syukuri sekaligus rutuki. Rutuki karena kenapa tak dulu-dulu menyambangi- , membeli buku-buku shiroh lain dengan semangat, itu bukanlah sebuah yang begitu saja kala tiba-tiba di masjid dimana kau menunaikan lima waktumu, ba'da maghrib itu, imam masjid dengan merdu mengumumkan akan adanya kajian baru oleh ustadz lama tapi baru : sejenak bersama rosul. Hei, bukankah beberapa hari sebelum itu kau sempat memperbincangkan ustad yang dulu mengisi kajian tafsir itu. Memperbincangkan tentangnya yang pergi ke Mesir dan belum juga kembali. Dulu kau hanya beberapa kali bertemu. Kau suka caranya membagi ilmu.

Semuanya benar-benar terprogram:

Maka suatu saat itu, di suatu waktu saat kau merasa punya banyak pertanyaan tentang banyak hal, tentang problematika hidup yang membelit pikiranmu, lalu ketika kau melaksanakan tilawah rutinanmu, memulai dari ayat lanjutan dari ayat terakhir bacaanmu, kau kemudian menemukan sebuah pembahasan yang sama persis dengan 'pengganggu' pikiranmu itu, hei, itu memang skenarionya. Kau bahkan harusnya menyempatkan banyak waktu untuk menemukan tiap hal dari potongan hidup ini, di kitab 30 juz itu.

Semuanya benar-benar tergariskan:

Maka saat kau harus membuat sebuah keputusan, dari sebuah pilihan atau pencarian, petang itu, bukanlah sebuah keisenganlah yang menyebabkan kau tetap memilih bertahan pasca sholat maghrib itu -bertolak belakang dengan petang pekan-pekan lalu- dan memilih memojok untuk sejenak mentausiyahi ruhanimu dengan kalam ilahi -bukankah jarang-jarang kau membawa mushaf kecilmu?-. Sebab, saat itulah, ternyata kajian pekanan itu membahas sebuah hal yang sebenarnya menjadi jawaban atas apa yang ada di dirimu : sholat istikhoroh.

Lalu, masihkah kau menyangkal?

.::Maafkan kami yang bodoh, ya Allah! Maafkan kami! Bimbing kami selalu ke petunjuk itu!::.

Monday, July 19, 2010

Repost- Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Parenting & Families
Author:Neno Warisman
Prioritas itu benar. Ilmu itu harus selalu lebih dulu daripada amal. Sebab ilmulah yang bakal memberi tahu tentang benar tidaknya sebuah amal. Sebab ilmulah yang kemudian menjadi dasar. Bukan malah sebaliknya, amal baru ilmu. Sebab jika itu yang terjadi, pelajaran yang kita dalami lebih sering kepada upaya untuk membenarkan atas amal yang kita lakukan. Jelas, itu sama sekali tak benar.

Learning by doing itu juga tak benar. Sungguh buruk efeknya. Cukuplah kiranya belajar sambil mengerjakan ujian sebagai contohnya. Sangat tidak efektif. Menghabiskan waktu, grogi, keringetan, tergesa-gesa, dan rawan toleh kanan-kiri. Berbeda halnya jika pemahaman itu telah tertanam dalam di diri kita, telah kita pelajari dengan tekun sebelum-sebelumnya, maka kita akan memasuki ruang ujian dengan ketenangan yang luar biasa, dengan kepercayaan diri yang menyala, dan senyum. Sebab yang bakal tersoalkan selanjutnya, hanyalah pengembangan dari pemahaman yang sudah terinternalisasi. Ah, mudah saja! Begitu kiranya.

Begitu juga saat saya membaca ‘Matahari Odi Bersinar karena Maghfi’ ini. Berharap bakal ada pemahaman yang lebih dulu terbangun jauh hari sebelum medan itu benar-benar tergelar.Berharap bakal ada ilmu yang lebih dulu tertanam sebelum amal itu mau tak mau mesti terlakukan. Dan benar saja! Bertajuk sebagai sebuah buku pengasuhan anak yang menggetarkan, buku ini akan menggiring anda ke sebuah pemahaman, bahwa menjadi ibu, atau orang tua, sungguh adalah sebuah profesi mulia yang sama sekali tak bisa disepelekan. Ada tanggung jawab di sana. Sebuah tanggung jawab untuk mengantarkan buah-buah hati kita menuju jalan cinta. Sebuah seni.
Mbak Neno Warisman, penulis buku ini, sungguh dengan indah menyajikan 23 opera keluarga –begitu beliau menyebut tulisan-tulisannya kali ini- dalam buku ini dengan hati. Dengan bahasa yang lincah dan penuturan yang ekspresif, mbak neno berhasil menyajikan penggal-penggal kehidupan rumah tangganya bersama tiga buah hatinya dengan sukses. Sebuah celoteh anak-anak biasa sebenarnya. Tapi, di tangan seorang ibu yang paham betul tentang kesempatan sekecil apapun mesti direbut, maka celoteh atau tingkah pola ketiga buah hatinya itu bisa menjadi jalan untuk sebuah pemahaman tentang ketauhidan atau kearifan.

Lihatlah di opera pertama! Mbak neno bercerita tentang puteri keduanyanya yang bertanya tentang nabi Musa. “Bu, emangnya nabi Musa ketemu Tuhan?”, begitu tanya puterinya. Akuilah kawan, bukankah itu pertanyaan hebat untuk anak sekecil itu? pertanyaan yang seringkali tinggal perrtanyaan karena teralamatkan kepada orang tua yang tak paham benar bahwa keingintahuan anak harus tertuntaskan dengan sebuah jawaban benar dan memuasakan untuk anak seusianya. Tapi alhamdulillah, pertanyaan tadi mampir ke telinga seorang bunda yang ‘benar’. Maka itu mejadi golden opportunity baginya yang harus segera direbut. Mbak neno kemudian berhasil menggiring pertanyaan tadi ke sebuah pemahaman tentang tauhid dengan dialog-dialognya yang memikat. Duh, saya kemudian berpikir, bukannya masalah tauhid inilah yang bertahun-tahun digarap nabi terhadap sahabat-sahabatnya, maka harusnya ini pulalah yang pertama kali kita tanamkan kepada anak-anak kita.
Di opera lainnya, kita dapat membaca tentang penanaman pemahaman itu bahkan dapat lewat hal yang remeh temeh macam permainan ular tangga. Bermula tentang keengganan Maghfi, si tengah, yang enggan untuk ikut main ular tangga lagi sebab seringkali ia lah yang jadi si kalah itu. Tak pernah sama sekali ia menang. Saya tercenung membaca ini sebab sering juga keponakan saya mengajak saya main ular tangga ini dan tak pernah terpikirkan sama sekali bahwa media itu amat sangat bisa untuk dijadikan media pemahaman. Tapi mbaka Neno, dengan subhanallah sekali berhasil menangkap gelagat itu dan mengonversikannya dengan sebuah pemahaman tentang –lagi-lagi- katauhidan.

“Fi…bunda ngerti apa yang Maghfi rasakan…,tapi Fi, selama main ular tangga kan Maghfi belum pernah berdoa sungguh-sungguh kepada Allah.. Iya kan?”, demikian kata mbak Neno.

“Aku berdoa..”

“iya, tapi belum sungguh-sungguh, kan”

Subhanallah, demikianlah, walaupun beresiko, dialog itu berujung dengan sebuah kemenangan perdana Maghfi di arena ular tangga. Sebuah kemenangan yang anehnya juga dirayakan teman sepermainannya. Rupanya, teman sepermainannya juga bosan melihat maghfi yang selalu menderita kekalahan.

Dan masih banyak lagi.

Di buku ini pula, mbak Neno bercerita tentang sebuah konflik yang terjadi di anak-anak dengan bagaimanakah harus diselesaikan. Tentang bagaimana ia menghadapi anak pertamanya yang seolah cuek bebek melihat ibunya tergolek lemah tiga hari di ranjang, tentang si sulung yang minjam uang dari adiknya dan seolah-olah sok lupa dengan hutangnya itu, juga tentang si bungsu yang merasa terkucilkan karena mbaknya lebih banyak teman dari pada dia, dan tentang yang lain. Sebuah penyelesaian-penyelesaian yang hanya bisa sanggup diselesaikan oleh ibu-ibu yang mau repot demi perkembangan anaknya.

Membaca buku ini, saya harus menyediakan jeda yang lumayan sering tiap kali menyusuri kalimat-kalimatnya. Untuk sebuah senyum kecil, atau untuk sebuah rasa haru yang diam-diam menelisik, atau untuk sebuah keheningan yang sengaja saya ciptakan untuk mengunyahnya. Tak bisa tidak, buku ini mengajarkan kembali tentang keajaiban dunia anak-anak yang sayang sekali seringkali termarjinalkan oleh ulah orang-orang macam kita, orang dewasa. Padahal, jika itu bisa tereksplorasi lebih dalam, dari rumah-rumah mungil kita, bukan tak mungkin akan tumbuh pemimpin-pemimpin masa depan yang tak hanya berbadan kuat, berakhlak mulia, tapi juga betauhid jempolan. Bukankah itu bisa jadi anak-anak kita? Belajarlah!!

Sunday, July 4, 2010

t-u-j-u-a-n

Tiba-tiba ingin berbicara tentang harapan. Tentang sebuah atau sesuatu yang bakal tertemui, atau terlaksanakan, atau teraktualisasi. Tentang sebuah titik nun jauh di depan : tujuan.

Malam itu kelam. Larut pula. Rintik hujan mulai menitik-nitik, mendingin, meski tak juga segera melebat. Dan sepi. Tak menyenangkan sekali rasanya sendirian menembus jalanan berbatu itu. Ditambah isu-isu yang kian merebak tentang kawanan perampok jalanan yang sering berkeliaran di tengah malam, maka lengkaplah sudah kolaborasinya untuk menciutkan nyali siapa saja yang hendak atau sedang sendiri melintasi jalan itu. Lebih mudah untuk mengurungkannya daripada memaksakannya. Lebih aman. Tapi, hei!  Ternyata itu tak berlaku buat bapak itu. Lihatlah, ia sendiri saja. Tak ada sama sekali yang membersamainya. Dengan berjalan kaki pula. Tapi dengan sekali melihatnya, sungguh kau akan segera tahu kalau itu bukan langkah tergesa sebab takut. Langkah yang mencepat itu, yang seolah beradu dengan rintik hujan yang kian menghunjami tanah, sama sekali bukanlah sebuah reaksi atas kekhawatiran atas dinginnya malam, atau atas desas-desus kekejamana perampok, atau atas sunyi yang membangkitkan bulu roma. Lihatlah matanya! Lihatlah binar di wajahnya! Maka yang akan kau temukan bukanlah wajah pucat pasi khas seorang penakut, tapi lebih kepada sebuah optimisme, wajah merindu, serta selaksa harap yang ingin segera tertuntaskan. Hingga, beberapa saat setelah itu, saat kaki beralas sandal jepit karet itu memasuki sebuah halaman rumah mungil di pojok desa, akan segera terkuaklah jawaban dari semuanya. Dua orang di mulut pintu itulah jawabnya. Seorang perempuan berwajah rembulan, dan seorang gadis mungil bermata menawan.

Di sudut lain, seorang pemuda menekuri layar komputer di depannya. Usianya baru berbilang awal 20an. Sedang muda-mudanya. Sedang suka hura-huranya. Kau mungkin akan mengira ia sedang main game hingga selarut ini –kau tahu, kan, kalau jarum jam di ruangan pemuda itu telah menunjukkan pukul dua malam?-. Tidak!  Ia telah benar-benar meninggalkan kebiasaan buruk itu. Mata yang kini berkantung tebal itu sempurna menuju ke satu topik. Ke satu bahasan yang sebulan ini menyita seluruh energinya. Ke sebuah rangkaian penelitian yang bakal menentukan lulus tidaknya ia dalam studi ini ; skripsi. Ia tak tertekan, tentu saja. Ini berat, juga tentu saja. Kau pasti sudah mengerti kalau beda jauh antara tertekan dan berat. Seorang yang tertekan akan terlihat seperti pesakitan yang murung di ruang pengadilan, tapi sebuah tahapan-tahapan seberat apapun tak jarang masih menyisakan senyum simpul di wajah pelakunya. Maka pemuda kita ini, lihatlah, tetap saja ada binar bahagia di mata ngantuknya. Ya, ia memang lelah, tapi lelah yang memperkaya jiwa –kau tahu maksudku, kan?-. Tentu saja, apa yang terbayang di imaji lah jawabnya. Di situ, di sebuang ruang tak kasat mata yang ia ciptakan sendiri, di sebuah tempat dimana ia kerap kali sejenak menyerap energi, ada senyum orangtua nya yang nampak sumringah mengiringi prosesi wisudanya, ada juga kelebatan figur-figur masa depan yang akan direngkuh setelah tahapan-tahapan terencana, ada juga potret-potret kemanfaatan lebih yang bakal segera diraih pasca wisuda . Maka, itu sudah lebih dari cukup. Cukup untuk menggerakkan segalanya, cukup untuk menerabas semua kendala. Cukupuntuk menahan kantuknya!

Lalu, seorang lagi… Belum berpredikat bapak, tak juga  berstatus mahasiswa. Di sebuah hari yang awalnya nampak biasa-biasa saja, tiba-tiba saja menjadi berbeda. Tokoh kita, ya, tokoh kita. Bahkan dengan melihat penampakannya saja kau akan mampu menerka kalau ia sedang bahagia. Benar, tak ada tawa, tak ada gerakan berlebihan khas seseorang yang sedang dilanda suka. Tapi aura yang tersembul keluar itulah indikasinya. Ia akan pulang. Pulang untuk sebuah proyek kembali, pulang untuk sebuah kenangan, pulang untuk sebuah pemenuhan rindu. Dalam beberapa hari ke depan.  Ya, beberapa hari lagi. Beberapa hari yang bakal ia hitung mundur untuk ia senyumi ujungnya. Maka, duhai, sungguh hari-hari menjadi lebih berwarna, suara-suara menjadi begitu merdu menyanyikan lagu ‘yogyakarta’nya Katon Bagaskara. Tak ada yang menghitam, tak ada lagi yang menjengkelkan. Semuanya hanyalah remeh temeh ujian. Semuanya hanyalah laksana kerikil-kerikil kecil yang mesti disusuri untuk sebuah pencapaian tujuan : kepulangan. Semuanya jadi indah.

+++++

Kawan, saya tak pernah menganggap cerita di atas sebagai rekaan belaka. Sebab jika memang tak benar persis, orang-orang macam tiga orang di atas sesungguhnya banyak bertebaran dimana-mana. Di sini, di sana, atau bahkan di diri kita. Coba kita tengok sebentar. Lihatlah, kawan! Lihatlah bagaimana sebuah tujuan mampu menjadi pembeda. Lihatlah bagaimana sebuah kendala menjadi tak berarti apa-apa.  Lihatlah!

Tujuan-tujuan itu hanyalah renik-renik dunia. Hanya tentang senyum perempuan-perempuan pendamping kita, tentang kilatan cerlang mata anak-anak kita, tentang capaian-capaian dunia, tentang rindu, tentang keinginan. Tapi lihatlah efeknya! Lihatlah bagaimana itu bisa mengubah. Lihatlah bagaimana itu begitu dasyat bekerja. Lalu, cobalah membayangkan! Cobalah bayangkan bagaimanakah jadinya jika tujuan itu lebih dari itu. Lebih besar dari itu. Sebuah tujuan yang agung, yang memang tak terindra lahiriyah kita, tapi bisa jadi begitu dalam terinternalisasi.  Tentang sebuah pertemuan agung. Tentang kehidupan yang selama. Tentang janji Sang pencipta.

Sudahkah tujuan itu ada dalam hati-hati kita? Sebab boleh jadi keluh kesah ini, gerutuan ini, ketakbersemangatan ini, kemalasan ini, keragu-raguan ini, itu karena tak begitu dalamnya tujuan itu merasuki diri kita. Atau bahkan tak ada.  Naudzubillah.

 

Bontang!

(apa tujuanmu, Bal??)