Monday, August 30, 2010

aku, ramadhan, dan bapak

:: maunya membuat FF. Maunya dikutkan lomba. Tapi entahlah, jadi nggak jadi. Saya tulis menjelang Ramadhan::


Ramadhan datang lagi, Pak! Dan aku menyambutnya dengan suka. Masih saja jauh darimu dan aku mengagendakan sebuah kegiatan harian sebagai pengisinya : tarawih keliling. Ramadhan-ramadhan lalu aku sebenarnya telah menginginkannya. Ingin yang tak pernah terlaksana. Tapi ramadhan ini, Pak, aku benar-benar ingin menuntaskan keinginan itu.

Secara kasar, aku telah membuat gambaran masjid-masjid yang bakal aku kunjungi. Mulai dari masjid kompleks perusahaanku, masjid kompleks perusahaan tetangga, juga masjid-masjid di kota, masjid-masjid yang jauh. Menyenangkan sepertinya. Bertemu orang-orang yang baru di tiap harinya. Bentuk masjid yang beda. Bau yang beda. Mungkin, juga dengan kegerahan yang beda. Tapi, Pak, mendadak aku disergap ngilu, tak ada surau dekat rumah kita masuk dalam daftarku.

Maafkan anakmu, Pak. Bahkan ramadhan ini lagi-lagi anakmu tak bisa membersamai puasamu. Bapak telah menua, dan aku tahu kulit perut itu semakin menempel, semakin tipis saja bila kupandang saat kau menyampingiku. Dan apa jadinya jika aku melihatnya saat kau menjalani puasamu. Tapi tetap saja, Pak, tak perlu kukonfirmasi, bapak pasti kuat menjalani sebulan puasa ini. Sebab Bapak percaya, bahwa jika jiwa itu telah berkehendak, maka badan tak akan kuasa untuk menolak.

Selamat menyambut ramadhan, Pak. Berbahagialah menyambut tamu agung kita. Persembahan terindah Allah di tiap tahunnya. Aku mencintaimu, karena Allah.

 

Sunday, August 29, 2010

-pemberhentian-

Barang kali memang saya terlalu membuat hidup ini berjalan lebih cepat.  Membaca tulisan di sini, merenunginya, seolah ada sesuatu dalam diri saya yang terketok-ketok dan melemparkan saya ke kedahuluan. Ada yang berbeda. Sepertinya memang tak banyak waktu lagi yang saya sisakan untuk termenung, melihat kanan-kiri, dan mencoba menikmati yang ada.

Hidup seolah saya buat lebih cepat dan terburu-buru. Tak ada ruang untuk sebuah kontemplasi. Waktu luang yang ada hanyalah waktu lelah dimana   digunakan untuk membaca pun hanya menyisakan seseorang yang tertidur di atas sofa dengan buku terjatuh di lantai. Ya, mungkin dorongan ini yang kurang, mungkin kekuatan ini yang lemah. Atau mungkin juga keseriusan ini yang cuma remah-remah. Mungkin itu. Tapi, saya rasa, ada hal lain.

Seperti yang tertulis dalam oase itu, memang hidup sebenarnya melaju dalam waktu yang tetap itu-itu saja. Sehari masihlah dua puluh empat jam. Tak kurang tak lebih. Hanyalah masalah relativitas lah yang kemudian membedakannya. Kita seolah menganggap waktu menyempit maka semuanya perlu dipacu sepacu-pacunya. Memacu motor kencang-kencang untuk selanjutnya mengerem cepat-cepat di perempatan. Terburu-buru mandi untuk kemudian terburu-buru berganti baju. Terburu-buru berangkat. Terburu-buru menglakson mobil bahkan kala baru sedetik lampu kuning menyala. Hingga tak ada jeda bahkan untuk menikmati sekitaran.

Tak ada waktu untuk berintim dengan pikiran-pikiran sendiri. Tak ada kesempatan bahkan untuk menjengkali diri sendiri.

Kecepatan itu, bukan keburu-buruan, mungkin baik-baik saja saat kita memang memerlukannya untuk pemenuhan tugas-tugas hidup yang telah terencanakan. Ada list kerja yang butuh untuk segera tertunaikan dan kecepatanlah salah satunya yang bisa memastikan itu bakal tertunaikan dengan baik. Tapi, bila sebaliknya, saat bahkan kita tak tahu untuk apa kecepatan itu kita lakukan, maka kekosonganlah yang bakal hadir. Serupa seorang pengendara motor yang memacu motornya cepat-cepat di batas kewajaran tapi kemudian hanya bisa terbengong ketika sampai di tujuan. Tak tahu untuk apa ia lakukan itu, sebab tak ada pekerjaan yang ingin segera dilakukan, tak juga kemenangan lomba yang sedang diperebutkan, hanya sebuah kepongahan menguasai jalan raya, atau sensasi merasakan ‘mengalahkan’ waktu. Kosong.

Mungkin –meski tak seekstrim itu- itu terjadi dalam diri saya.

Dan poin dalam tulisan itu yang membangunkan kesadaran saya atas rutinitas dahulu adalah sebuah hal sederhana; berjalan. Ya Allah, betapa aktivitas itu telah begitu melekat dalam keseharian saya. Sejak dulu telah berbilang belasan tahun, hingga satu dua tahun yang lalu. Berjalan yang memberi saya kesempatan untuk mengakrabi diri dan lingkungan, berjalan yang mengajarkan saya senyum lama kepada pejalan lain (jauh-jauh hari sebelum klakson menggantikannya), berjalan yang menyediakan waktu untuk murojaah menyenangkan (-yg sulit digantikan sambil bermotor-), berjalan yang memberikan saya jeda, berjalan yang mau tak mau turut berandil besar menyehatkan.

Maka kemudian, ketika berjalan ini perlahan mulai tercoret dari aktivitas harian, tak ada waktu lagi lah untuk sebuah pemberhentian dari rutinitas yang kerap kali membosankan. Tak ada waktu untuk mempertanyakan, memperbaharui, atau merombak apa-apa yang telah pakem terlaksana. Hingga semuanya mengalir begitu karena telah memang begitu. Tak ada lagi esensi yang tergali. Hingga menjadi lelah. Hingga menjadi tak berasa.

Sebetulnya itu bisa tertutupi oleh ibadah rutin kita. Allah telah berbaik hati menyediakan jeda yang berfungsi lebih dari yang berjalan berikan. Lewat sujud-sujud kita, lewat malam-malam khusuk kita, lewat dzikir bada sholat kita. Namun, menjadi tidak saat itu pun juga dipenuhi oleh keterburu-buruan. Terburu-buru mengakhirkan dzikir, terburu-buru merapalkan doa, terburu-buru memaksa Allah segera menuruti keinginan. Terburu-buru.

Ada banyak kebutuhan ternyata yang telah kita tinggalkan. Menganggapnya sebagai sebuah beban. Seperti berjalan yang dianggap melelahkan dan melambatkan, seperti sholat yang dianggap rutinitas dan kewajiban.

Ah, maha besar Allah yang memberi apa yang menjadi kebutuhan kita. Seperti tiap bus kota yang selalu berterminal, seperti balapan F1 yang ber-pitstop, maka hidup juga butuh pemberhentian. Untuk berhenti sejenak, untuk merenung sejenak, untuk kemudian melesat lebih banyak. Melesat yang tak hanya melesat. Melesat yang punya arti banyak. Melesat oleh suatu sebab rancak.

 

NB : Selamat I’tikaf, kawan!

Wednesday, August 25, 2010

gadis-kecil- penjual-kolak

Mungkin memang benar kalau kita punya sepotong wajah yang benar-benar kita sukai. Sepotong yang tak merujuk ke satu orang, tapi sepotong yang merujuk ke satu bentuk ekspresi. Atau mungkin guratannya, atau mungkin lekuk-lekuknya. Atau mungkin warnanya. Atau mungkin entah.

Aku menemukan sepotong wajah itu di suatu sore yang masih terik. Matahari masih garang membakar kulit, tapi gerombolan orang-orang yang hendak pulang telah mulai berkurang. Semilir angin tak juga membelai. Dan saat itulah, tiba-tiba di sebuah sudut itu, aku mendapatinya. Jilbabnya biru teduh dengan cara memakai yang tak bisa dibilang rapi. Tatapnya menerawang jauh, sendu, dan terkesan romantis. Harusnya memang latar kejadian ini di sebuah taman dengan guguran sakura, tapi tak apalah, justru jauh lebih bermakna kala aku menemukannya terduduk di pinggir sebuah terusan penghubung antara halte dan sebuah tanah lapang tempat kendaraan terparkir berada.

Pertama kali melewatinya, aku tak melihatnya. Atau mungkin lebih tepatnya tak terlalu memperhatikannya. Aku melihatnya, tapi aku alpa mengidentifikasi dia sebagai dia. Hanya berlalu di depannya yang terduduk. Melihatnya hanya karena semua objek di depanku sudah sewajarnyalah terlihat olehku. Tak lebih dari itu.

Kemudian, aku bisa bilang detail tentangnya justru ketika aku telah mengendarai motorku. Dari tempat motorku terparkir, untuk pulang, sekali lagi aku memang harus melewatinya. Meski dengan sisi yang berbeda. Saat itulah, oh Ibu, aku menemukan wajah itu menerawang sendu. Membuatku tertegun barang sebentar. Ia terduduk di depan dagangannya yang bahkan sesaat sebelumnya tak terlirik mataku. Tak terlalu banyak bicara untuk menawarkan dagangannya yang juga tak terlalu pasti kutahu jenisnya. Esok harinyalah kemudian aku baru tahu kalau ada kolak pisang dan gorengan di sebuah wadah kecil di depannya.

Aku tak berhenti dari motorku kala itu, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat lajuku seketika memelan dengan perlambatan yang drastis. Uow, dia masih kecil, ya aku jelas-jelas mengetahui kalau ia hanyalah gadis kecil. Tapi aku yakin, dari tatapan itu, oh Tuhan, itu bukanlah tatapan orang-orang tertekan yang terpaksa. Aku bisa membedakannya, tentu. Aku bahkan yakin (dengan setengah berharap), kesendiriannya menghadapi dagangannya itu, atas sebuah alasan baik. Atas sebuah kesadaran oleh sebab pemahaman. Atas sebuah mimpi.

Sebab di esok-esoknya, aku melihatnya tak sendiri lagi. Ada ibunya di situ. Dan ia tetap di situ, masih setia, membersamai sang ibu. Dengan tatapan yang itu-itu. Dengan langkahku yang melewatinya dalam ragu.  Mungkin ia menjadikan hal itu ltak ubahnya permainan yang menyenangkan. Tentang berapa kolak pisang yang laku, tentang berapa gorengan yang masih tetap terpaku.

Maka akupun akan menikmati setiap potongan sore itu. Setiap melewatinya. Setiap memastikan berpakah dagangannya yang masih tersisa. Setiap melewati tatapan menerawang sendunya.

Setiap….

  

Monday, August 23, 2010

(FF Ramadhan) Sepotong Tongkol Tujuh Ribu

Aku telah sampai di ujungnya kala yang ingin kubeli tak semuanya telah terbeli. Tadi, ada beberapa yang menarik perhatianku tapi tak juga menggerakkanku untuk mengambil dan kemudian membayarnya. Kini, tak mungkin kuulangi menyusuri gang sempit penuh manusia itu untuk melengkapi pembelianku.

Orang-orang kian berdatangan, kebanyakan sepertiku, pulang kerja dan memutuskan mampir sebentar mencari makanan berbuka. Di pasar kaget ramadhan ini. Di sebuah lorong sempit yang sepanjang sisinya disesaki meja-meja penuh aneka makanan khas berbuka.

Aku telah mendapatkan sayur, juga minuman manis berbuka, tapi belum juga kutenteng keresek berisi lauk berbuka itu. Aku tak membeli nasi sebab berencana  memasaknya sendiri.

Telah sampai di ujung keramaian ini, aku sama sekali tak berniat memutar lagi. Malas untuk kembali berjubelan dengan orang-orang yang juga sama sibuknya mencari makanan berbuka. Maka aku terpaksa menatap lapak dekatku yang sepi dari pembeli itu. Menu yang ditawarkan cukup menggoda tapi entah mengapa tak banyak yang tertarik menghampirinya.

“Yang tongkol ini berapa, Bu?”

Ibu itu menatapku. Beberap detik, seolah memastikan dengan pembeli macam apa ia berhadapan. Mulutnya terlihat bergerak untuk menyebutkan angka tapi tak jua angka itu keluar. Semacam ada keraguan. Hingga, “tujuh ribu pak”

Aku menarik napas. Tak tahu harus bagaimana. Aku tahu ibu itu telah berjuang antara menyebut angka yang memang seharusnya atau angka penyesuaian demi melihat seragam yang aku pakai. Aku yakin harganya tak naik. Kemarin, aku menanyakannya, masih enam ribu.

Sekali lagi aku menarik napas. Memandang ibu itu. Menimbang. Lalu memutuskan mengeluarkan lembaran tujuh ribu. “Satu saja, Bu”

 *****

Dibuat dalam rangka terprovokasi untuk mengikuti lomba yang diadakan mbak Intan di sini

Sunday, August 22, 2010

keira-keisha

Keira dan Keisha namanya. Aku bahkan telah menyukai keduanya saat wajah mungilnya menyeruak dari arah pintu. Lalu sontak menjadi primadona ruang kecil itu. Di antara wajah-wajah calon-calon karyawan yang sedang resah-resah senang menjalani rangkaian medical check up, juga di antara satu dua karyawan yang sedang menunggu jadwal medical check up tahunannya. Juga aku. Jika ada wajah yang mengalihkan duniaku saat itu, maka itu adalah wajah Keira dan Keisha.

Itu pertemuan pertama. Tapi tak membuatku untuk tak  menyenyuminya. Sebuah senyum pertemanan kepada keduanya, juga kepada ibunya. Kuncinya memang selalu begitu, baikilah puteri-puteri kecil mereka, maka otomatis kau telah membaiki ibunya.

Bergelombang rambut keduanya. Senada pula bajunya. Sama-sama manis pula senyumnya. Hei, aku sudah memberitahumu, kan, kalau memang kembar identik keduanya?

Lalu mereka duduk tak jauh dari dudukku. Dan, oh, aku tiba-tiba dirundung senang. Jarak yang mendekat dengan keduanya membuat hatiku girang. Si ibu tersenyum, sedang du puteri kecil itu tampak asyik dengan tempat barunya. Seolah itu rumahnya. Seolah itu kamarnya. Naik turun kursi tunggu rumah sakit itu. Acuh dengan mata-mata yang sibuk menatapnya.

Dan, kemudian, tanpa kuminta, si ibu memulai pembicaraan. Maka maafkanlah teman ngobrolku, aku harus mendekat dengan si ibu. Mendekat pula ke kedua puteri mungil itu. menyisakan jarak yang seukuran lengan kecil itu.

Cerita-cerita itu pun mengalir dengan lancar. Sekali lagi bukti, ya, sekali lagi bukti, bahwa seorang ibu akan selalu antusias menceritakan putera-puterinya. Sangat antusias. Bersedia menceritakan detail. Tak keberatan menceritakan kronologis, tak segan pula menjawab panjang pertanyaan pendek.

Maka kemudian aku tahu, baru dua tahun sembilan bulan usia keduanya, Keira lah yang bertindak sebagai kakak, bukan Keisha (atau terbalik? Entahlah..aku lupa), serta yang lain. Termasuk masalah nama yang kusebut-sebut sejak awal tadi. Hingga….., oh Tuhan, si Keisha mendekat, duduk persis di kursi di depanku. Pembicaraan antara aku dan si ibu mungkin sudah cukup sebagai sebuah bukti bagi Keisha bahwa aku bukanlah orang asing. Ia mulai menjulurkan tangan mungilnya, mulai menjangkau sakuku, lalu pelan-pelan mempermainkan kartu identitas karyawan yang kujepitkan di saku. Menggoyang-goyangnya pelan. Sementara aku bebas menatap lekat wajah lucunya, rambut bergelombangnya, juga tingkah aktifnya. Dan si Keira, duh, betapa aku menikmati momen ini. Ia nampak cemburu dengan acara menggoyang-goyang kartu identitas itu. Duduk gelisah di dekat ibu, naik turun kursi, dan tampak malu-malu kala mata kami beradu. Satu dua menit berlalu. Tiga menit dan seterusnya. Hingga kesempatan itu datang. Si Keisha turun dari kursinya, seolah akan memungut sesuatu yang jatuh. Ksempatan yang kemudian tak dilepaskan Keira. Tiba-tiba saja ia beranjak, segera menaiki kursi yang ditinggalkan kembarannya itu. Padahal Keisha belum sempurna turun, masih dalam proses, hingga kemudian tak ayal seolah mereka nampak berebut. Hingga aku yang repot mengatasi kejadian itu. Kerepotan yang untungnya masuk jenis kerepotan yang menyenangkan.

Dan tibalah masanya. Kala Keira sempurna duduk di kursi itu, ia menjulurkan tangannya juga, menjangkau saku kemejaku juga, menggoyangkan kartu identitasku juga. Meski dengan lebih malu-malu. Meski dengan tatap yang lebih ragu-ragu.

Ah, senangnya.