Tuesday, October 26, 2010

aku menyukai.......yang........

Hujan turun! Aih, harusnya aku senang. Sebab hujan memang menyenangkan. Mengamati lentik bulir-bulir air menitis tanah. Menyentuh kaca yang berembun, lalu menuliskan huruf-huruf dengan jemari. Bau tanah. Atau suara-suaranya—genting yang diketuk-ketuk atau dahan yang diterpa-terpa. Ritmis, dan kadang melankolis.

Tapi tidak menyenanghkan kala itu terjadi di pagi hari. Seperti hujan tadi pagi itu. Lihatlah, aku telah sempurna memakai setelan kerjaku. Melapisinya dengan selembar jaket hitam penangkis dingin kala menderu di jalanan. Tinggal memakai kaos kaki saja, lalu safety shoes. Sempurna.

Hujan! Mengapa? Mengapa itu turun justeru ketika aku hendak berangkat? Aih, pertanyaan itu, bukankah itu semacam penyesalan atas sebuah keadaan? Dan itu, tidaklah meluncur dari seorang yang menyukai keadaan itu. Jelas tidak. Mereka, para penyuka itu, akan mengulum senyum seraya bertahmid. Terimakasih ya Allah, terima kasih atas turunnya hujan ini. Berbinar.

Maka lihatlah aku, dengan muka sedikit terlipat, melepas kembali jaket hitamku. Menggantungnya kembali di gantungan baju balik pintu. Menggantinya dengan setelan jas hujan yang tersampir di seutas tambang. Malas-malasan memakainya, sambil awas menatap luaran. Berhentilah! Berhentilah minimal sejarak tempuh 6 km itu.

Begitulah! Mungkin aku perlu mempertanyakan kembali, benarkan aku penyuka hujan sejati. Betapa susahnya menyukai jika masih banyak ‘yang’ menyertai. Hujan yang tak terjadi di saat aku berangkat kerja, yang tak membadai, yang tak membanjiri, yang tak berhalilintar, yang ritmis, yang tak membasahi jemuran, yang tak lebat. Betapa banyak sarat. Betapa itu kian menyempit. Berapakah kemungkinan itu terjadi dengan ‘yang-yang’ tadi ikut serta mengiringi? Sedikit!

Aku menyukai hujan yang berair. Mungkin harusnya begitu. Harusnya aku menyertakan ‘yang’ yang memang. Bukankah hujan memang titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan—lain soal bila kau kemudian punya makna generalisasi dari hujan ini. Maka aku akan selalu menyukai hujan selagi orang-orang bersepakat bahwa definisi yang kusebutkan tadi adalah hujan. Hingga begitu luas semesta kesukaanku.

Bila kemudian banjir datang, badai menerjang, atau alasan kecil semacam cucianmu tak kunjung kering, tak akan ada lagi kutukan buat hujan. Terima kasih ya Allah, lewat hujan yang berakhir banjir ini, kau tunjukkan pada kami bahwa kami sudah terlalu. Kemudian aku akan (kembali) menanam pohon rindang di halaman rumahku (aih, bulir-bulir air yang memantul dari daun-daun juga tak kalah cantiknya), melepas paving di halaman (biarlah…biarlah air meresap, meski sedikit becek), atau membuat tempat jemuran yang terbebas dari hujan. Berharap orang-orang juga akan melakukannya

Mengendarai motor pelan-pelan di tengah guyuran hujan, sepertinya asyik juga. Itulah yang harusnya terucap. Terserah! Terserah bila kemudian ada wajah cemas yang melepasnya. Itu hanyalah bonus yang menambah syahdunya. Yang menambah bobot acara menerjang hujan itu. Menambah nilainya.

Aku menyukai…….yang…… Sepertinya, akhir dari semua ini, aku harus pandai-pandai mencari pengisi titik-titik kedua atas titik-titik pertama yang telah kuputuskan. Sebab, inilah yang bakal menentukan jangkauan kesukaanku. Juga kualitas tentunya, mungkin. Juga yang pasti nilanya.

Aku tak sanggup lagi meneruskannya, Kawan! Ataukah memang sudah selesai. Mungkin.

 

 

Friday, October 22, 2010

SOP Peminjam Buku

Seperti benda kesayangan, seperti sesuatu yang didapat dengan penuh perjuangan, maka seperti itulah perlakukan buku ini. Bukan semata karena saya teramat mencintai buku-buku saya, atau sejumput materi yg harus saya keluarkan untuk mendapatkannya. Bukan! Bukan hanya itu. Tapi demi tersampaikannya pesan itu, demi semakin tersebarnya kebaikan yang ada dalam buku ini, dan juga demi semakin meluasnya penyebaran pengetahuan dalam kalimat-kalimat hidup ini . Dan itu, hanya bisa terjadi, saat buku ini terawat dengan baik, saat buku ini tersimpan dengan layak. Jadi, mohon sekiranya untuk tidak melipat halaman dalam buku ini. Itu amat buruk efeknya. InsyaAllah saya telah menyediakan sebuah pembatas buku dalam tiap buku saya (dan sekali lagi tolong jangan dihilangkan). Juga, mohon untuk tidak membaca sambil makan (apalagi makanan berair atau berminyak), atau sambil tiduran (yang memungkinkan anda tertidur dan menggencet buku ini). Anda mungkin lebih mengerti apa akibatnya. Dan, juga yang tak kalah pentingnya, mohon untuk tidak menggulung (terlalu keras) ke belakang satu sisi buku saat Anda membaca . Gunakan saja dua tangan untuk memegang dua sisi buku itu (cara inilah yang paling baik). Atau, kalau itu kurang membuat nyaman anda saat membacanya, maka peganglah bagian tengahnya saja saat membacanya. Dan satu tangan andapun bebas untuk melakukan hal lain.

Maka, pada akhirnya kembalikanlah buku ini tepat pada waktunya (biasanya waktu yang saya berikan maksimal satu minggu). Bukan (hanya) karena saya tak percaya pada Anda, tapi adalah sudah menjadi kebiasaan  manusia untuk terlupa, lalai, dan kadang ceroboh. Maka, sebelum hal-hal yang tidak diinginkan menimpa buku ini, kembalikanlah! Karena jika tidak, bersiap-siaplah untuk menerima terror SMS dari saya. Dengan isi yang hampir seragam : ini sudah seminggu lebih, mohon untuk segera mengembalikan buku saya.

Selamat membaca!

Salam

iqb@l

 

 Tulisan tercetak miring di atas adalah tulisan yang saya print dalam sebuah kertas untuk kemudian saya fotokopi banyak-banyak. Digunting untuk merapikan bagian-bagian tak penting, unutuk selanjutnya ditempel pada halaman terakhir buku-buku yang saya miliki. Tapi, itu dulu.

Dulu yang saya maksud adalah masa kuliah. Tak banyak buku yang saya miliki kala  itu, tapi yang sedikit itulah yang begitu saya jaga betul. Saya termasuk orang yang cerewet dalam meminjamkan buku. Berpesan banyak hal. Jangan begini, jangan begitu. Mulanya saya sampaikan saja. Satu persatu. Hingga saya sadari itu tak terlalu efektif sebab banyak juga yang  iya iya saat dikasih tahu tapi nyatanya nggak nggak saat mengembalikan. Buku saya lecek juga. Maka muncullah ide itu; menempelkan SOP di halaman terakhir buku. Pemikiran saya sedehana saja, saat ia membaca buku itu, sedikit banyak ia akan membaca tulisan kecil itu. Jika saya tak terlalu bisa berdramatisasi dalam ucapan langsung, maka setidaknya saya bisa menyampaikan pentingnya menjaga buku itu dalam sebuah kalimat-kalimat yang lebih menghunjam dalam kertas kecil itu.

Dan sedikit banyak itu cukup berhasil. Beberapa teman jadi terlihat hati-hati dalam memperlakukan buku itu. Tidak ngasal. Lebih bertanggungjawab.

Hanya saja, kebiasaan menempel kertas kecil dalam buku itu cuma bertahan sampai masa kuliah saja. Setelah bekerja yang justru lebih banyak buku yang saya beli, hilang sempurna kegiatan itu. Dengan menyampulinya saja sudah merasa cukup. Entah kenapa penyebabnya, apa karena sudah jarang yang meminjam buku saya di tempat baru ini, atau karena tak banyak lagi waktu untuk 'main-main' seperti itu, atau karena saya sudah menaruh percaya apada peminjam-peminjam buku di sini. Atau, karena tiap buku yang saya beli setelah bekerja tak melalui pertarungan yang dasyat seperti halnya ketika masih mahasiwa. Yang sedikit banyak masih berpikir tujuh kali untuk memutuskan membawa buku ke kasir. Memikirkan tentang jatah uang makan yang disunat habis-habisan bila memutuskan untuk membeli buku. Hingga setiap buku yang dibeli kala itu punya kesan mendalam hingga begitu mencintainya.

Ah, semoga bukan hanya alasan yang terakhir saja yang berlaku. 

Monday, October 18, 2010

tolemu pulang, mak

Tolemu pulang, Mak. Diambang senja yang digerayangi malam. Matahari yang karam dan mega yang dulu kerap kita pandangi dari pinggiran teras, menjelma semuanya menjadi larik-larik rindu yg mulai kusam. Semuanya meluncur saja dan aku tak kuasa membahasakannya dengan kata. Tapi, lihatlah, leleki yang sama dengan yang kau gendong dalam selendang cokelat dulu, berdiri kokoh menyandang ransel berat itu. Menyusur jalan mendebu. Jalan yang dulu, tentu. Rumah kita, Mak, di ujungnya, menawarkan jawaban segala rahasia atas misteri mega, senja, sore yang syahdu, dan segala perangkatnya. Aku tahu, kau masih suka duduk menjelang maghrib menghadap mega yang kian redup. Dan kelepak kelelawar yang terbang lebih dini dari yang seharusnya, menyantapi buah jambu milik kita. Sebentar lagi, aku ingin membuktikan, masihkah kau menyisakan satu tempat untukku duduk membersamaimu.

 Tolemu pulang, Mak. Lima ratus meter lagi menuju pandangmu. Di jalan ini, yang sudah berapa ratus, atau berapa ribu kali kita lalui. Yang telah begitu setia menempa. Tak kutemukan memang pemandangan yang dulu. Sepasang bapak ibu berbonceng sepeda kumbang, itu ternyata menjadi dulu. Sedulu kebersamaanku dan kau.

 Tolemu pulang, Mak. Menjinjing senja yang sarat gumpalan rindu. Dari tabungan hari demi hari, sore demi sore. Yang tak akan pernah habis kuurai. Yang tak mungkin luruh kuseduh. Memandang wajahmu.

 Mak, mungkinkah kau mengijinkan? Teduh wajahmu kau pinjamkan pada orang yang akan kau angguki kelak. Selamanya. Agar tak perlu lagi karena, agar tak perlu lagi meski; merinduinya.

 

Friday, October 15, 2010

Dongeng negeri Kami



Jika kau datang ke kota kami, dan mempunyai cukup waktu untuk mendengarkan sebuah kisah, maka duduklah sejenak bersama kami. Dengarkanlah cerita yang disampaikan turun temurun oleh ibu-ibu kami setelah lelah bekerja seharian. Tidak panjang. Dan semoga kau tak bosan mendengarnya. Cerita inilah yang diceritakan dengan suara lembut menjelang tidur kami. Tentu saja bukan agar kami lekas tertidur. Mana mungkin kami tertidur oleh cerita semacam ini. Cerita itu diceritakan karena memang kami butuh cerita. Sama halnya anak-anak yang lain juga membutuhkan cerita. Juga, sama seperti halnya ibu-ibu membutuhkan cerita untuk diceritakan pada anak-anak mereka.

Marilah, mari dengarkan cerita yang turun temurun diceritakan di kota kami. Cerita yang diciptakan oleh tetua kota kami. Dulu, dulu sekali. Saat orang-orang tua tak lagi punya cerita untuk diceritakan. Semoga saja cerita ini berguna. Tentu kau sudah tak mempunyai cerita untuk kau ceritakan pada anak-anakmu menjelang tidur mereka. Tentu, karena ceritamu telah dirampas cerita-cerita di sinetron itu. Tentu, karena ceritamu telah diburamkan oleh cerita-cerita lain. Tentang cerita pembantaian itu, penganiayaan itu, serta hal-hal sejenis yang sayangnya berhulu pada satu bentuk : kebiadaban .

Mari, mari dengarkan.....




Dahulu kala, berpuluh tahun yang lalu, ketika tahun baru saja memasuki millenium ketiga, tersebutlah seorang lelaki muda duduk kedinginan di kursi halte bus kota. Meski ia sedang duduk di sana, tentu saja ia tidak sedang menunggu bus kota, apalagi memanggil taksi. Tidak. Sama sekali tidak. Kau bisa melihatnya dari sepeda kayuh yang tersandar tak jauh dari duduknya. Tentu, seperti hari-hari biasanya, lelaki muda itu membawa sepeda.

Hari itu hujan deras. Entah ini pertanda apa, tapi seketika saja langit menjadi gelap. Awan pekat mengungkung kota. Dan tiba-tiba saja, tak lama setelah itu, air seolah begitu saja tumpah dari langit. Amat lebat. Sungguh menggetarkan melihat hujan selebat itu. Dan seperti biasanya, bila hujan datang, maka pemandangan di jalan-jalan yang terlihat adalah kendaraan yang saling berpacu. Beradu cepat sampai tujuan. Tak lagi peduli tentang keselamatan. Semuanya tiba-tiba menjadi pembalap kelas nasional.

Tapi tidak dengan lelaki muda itu. Ia memilih menepi. Menyandarkan begitu saja sepeda kayuhnya di pagar besi pembatas jalan. Memilih berteduh di halte bus yang sepi. Entah kenapa gerangan kali ini ia memilih menepi. Dulu-dulu, ketika hujan datang tatkala ia sedang dalam perjalanan seperti ini, maka ia tak pernah menghiraukan itu. Tetap saja ia kayuh sepeda bututnya melawan terpaan hujan. Tak peduli. Toh memang tak ada yang perlu ia takutkan bakal lecek terkena hujan. Tak perlu ada yang ia lindungi. Tidak juga tubuhnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa terguyur hujan seperti ini. Jadi tak perlu terlalu mengkhawatirkan tentang datangnya pilek-pilek, demam-demam, atau yang lain. Apalagi jauh-jauh memikirkan hujan asam.

Tak ada lagi selain lelaki muda itu yang duduk di halte tersebut. Tak ada, karena memang untuk apa? Tak mungkin memang orang mau duduk di halte itu dalam keadaan seperti ini. Untuk berteduh pun percuma. Ya, percuma. Karena dengan leluasa air akan menerobos mengingat angin yang berhembus kencang. Menerpa semuanya. Lalu apa yang sebenarnya dilakukan lelaki muda itu? Tak jelas. Tak ada gunanya memang ia berteduh di halte ini karena tetap saja dia basah kuyup terdera hujan. Ia hanya duduk terdiam. Mengangkat kaki menaiki bangku, melipat lutut, membenamkan wajah di sela kedua lutut yang tertekuk, lalu terakhir melingkarkan kedua tangan mendekap kedua kaki itu. Dan lagi-lagi membisu. Orang-orang yang melihatnya akan segera menyimpulkan kalau dia sedang menggigil kedinginan. Padahal sebenarnya tidak. 

Tak lagi ia hiraukan mobil-mobil yang melaju kencang. Tak ia pedulikan hujan yang kian menderas. Tak juga ia ambil pusing halilintar yang begitu keras menggelegar. Sama sekali tak ada yang ia pedulikan. Ia sempurna mematung. Amat memedihkan melihatnya.

“Apa yang kau pikirkan, anak muda?”

Sebuah suara. Sontak pemuda itu mengangkat wajah. Terkejut. Sejak kapan ada orang yang membersamainya.

“Apa yang kau pikirkan, Dani”.

Seorang tua. Memakai kain putih tipis yang dengan ajaibnya tak merasa kedinginan sedikitpun. Dan, hei...!

“Dari mana kau tahu namaku?”

“Tentu saja aku tahu, Dani. Untuk apa aku datang ke sini kalau aku tak tahu namamu”

“Apa….apa yang Engkau inginkan?”

“Menemuimu. Ya, hanya menemuimu. Berbicara sebentar denganmu. Tak akan lama. Apakah kau keberatan?”

Menggeleng. Lelaki muda itu hanya bisa menggeleng. Keterkejutan pada akhirnya membuat ia mengikuti saja ‘permainan’ ini.

“Ah, kenapa kau masih memikirkan hal itu, Dani? Kenapa kau tetap saja memikirkan tentang mengapa kau tetap saja begini? Mengapa kau tetap memikirkan mengapa-mengapa itu. Tentang mengapa kau tetap saja harus bekerja keras seperti ini bahkan ketika usiamu sudah menapak 20 tahun. Tentang mengapa kau mesti berhujan-hujan begini sementara yang lain mungkin sedang hangat bergelung guling di ranjang. Juga , tentang mengapa hidup seolah tak adil bahkan setelah semua penderitaan dan kerja keras itu. Mengapa kau tetap harus berdarah-darah memperjuangkan hidup sementara yang lain tertawa-tawa menikmatinya.”

“Mengapa kau tahu?”

“Kau bertanya lagi. Tentu saja aku tahu, Dani”

“Siapa kau-?”

“Tak penting siapa aku, Dani. Jauh lebih penting menanyakan siapa Kau?”

“Siapa aku? Permainan macam apa ini. Tentu saja aku tahu siapa aku. Tolong, tolong katakan apa sebenarnya maumu?”

“Untuk mengajakmu kembali, Dani”

“Kembali--?”

“Ya, kembali. Kembali yang akan menjawab semua pertanyaan itu. Kembali yang semoga membuatmu menjadi lega.” Lelaki tua itu mengalihkan pandangannya. Ke depan. Ke jalanan yang perlahan mulai sepi dari deru kendaraan. “Lihatlah ke depan, Dani. Lihat! Apa yang sekarang kau lihat?”

Ajaib. Tiba-tiba saja diantara hujan yang masih lebat itu, tergelar begitu saja sebuah pertunjukan. Tidak! Bukan satu, tapi dua pertunjukan. Tiba-tiba saja tergelar dua buah layar yang menampilkan dua potong kejadian. Begitu nyata.

“Apa yang kau lihat di layar sebelah kanan, Dani?”

“Bagaimana...Bagaimana bisa terjadi?”, anak muda bernama Dani itu tergeragap. Tak siap untuk melihat keajaiban ini.

“Jawab pertanyaanku, Dani. Apa yang kau lihat?”

“Ibu! Itu ibu”

“Benar sekali, Dani. Itu ibumu. Ibu yang kau cintai yang mungkin sekarang sedang merindukanmu, mendoakanmu di rumah. Dan anak kecil itu, Dani, yang menangis karena baru saja terjatuh itu, tentu saja itu kau. Itu kau, Dani. Kau pasti tak tahu, karena tak ada selembar foto pun yang bisa memberi tahumu tentang wajah kecilmu. Ibumu tak mungkin sempat untuk hal itu.

“Saat itu usiamu empat tahun, Dani. Lucu-lucunya. Ah bahkan kau lihat itu, kau tetap lucu meski sedang menangis. Tahukah kau mengapa kau menangis di areal persawahan itu? Saat itu kau berlarian, Dani. Kau berlarian di pematang sawah itu. Tentu saja ibumu membiarkanmu berlarian karena ia juga sibuk menyiangi rumput yang mengganggu tanaman sayurnya itu. Tak terlalu memperhatikanmu. Dan bisa ditebak, kau terjatuh dipematang sawah itu. Lalu menangis . Menangis keras.”

“Menangis--?”

“Ya, Dani. Menangis!” Lelaki tua itu menghela napas. Seolah menikmati betul raut keterkejutan yang tergambar jelas di wajah dani. “Lalu coba lihat di layar satunya. Seorang ibu dan anak kecil juga. Empat tahun juga sepertimu pada kala itu. Ini waktu yang sama saat kau menangis di sawah itu, Dani. Tapi tentu saja itu di kota yang jauh denganmu berada . Dengan latar tempat yang juga jauh berbeda. Itu mall, Dani. Mall! Pusat perbelanjaan yang saat kecil begitu ingin kau kunjungi.

“Lihatlah! Anak kecil itu menangis juga, Dani. Sama seperti kau, ia juga menangis. Menangis karena terjatuh. Dan tahukah kau kenapa ia terjatuh? Sama seperti kasusmu, Dani, karena ibunya mengabaikannya. Anak itu tiba-tiba memisahkan diri dari ibunya. Anak itu kebosanan, Dani. Anak itu kebosanan mengikuti ibunya yang sejak sejam lalu sibuk memilih pakaian mana yang harus ia beli”

“Lalu apa bedanya?”

“Tentu saja banyak bedanya, Dani. Bukankah ini yang beberapa kali kau sebut dengan ketidakberuntungan itu. Tentang nasib yang memaksamu sekecil itu harus bergulingan di pematang sawah yang mungkin saja penuh ular. Marilah kita lihat, Dani, marilah kita lihat apakah kau memang tak seberuntung itu.

“Tahukah kau, Dani, sebenarnya bapakmu telah melarang ibumu untuk membantunya di sawah. Bapakmu menginginkan ibumu biar mengasuhmu saja di runah. Menemanimu bermain. Tapi ibumi bersikeras ingin membantu, Dani. Ia bersikeras mengajakmu untuk ikut serta ke sawah. Meyakinkan bapakmu bahwa itu tak apa-apa, bahwa itu bagus untuk perkembangan psikologismu. Meyakinkan bapakmu bahwa mereka berdua harus lebih bekerja keras menjelang pendaftaran sekolah untukmu. Hingga terjadilah apa yang kau lihat itu, Dani. Kau lihat ibumu yang begitu sibuk mengurusi tamanam itu hingga terlupa olehnya dirimu. Ia sibuk, ia sibuk memikirkan baju seragam sekolah buatmu yang harus segera ia beli.

“Lalu coba lihat kembali layar satunya yang kau sebut dengan keberuntungan itu, Dani. Perempuan itu juga lalai, lalai menjaga anaknya. Tapi penyebabnya lah yang membedakannya, Dani. Perempuan itu lalai karena ia sibuk memilih baju yang bakal ia beli. Ia sibuk memilih baju manakah yang paling cocok digunakan menghadiri pernikahan puteri pejabat itu. Ia ingin terlihat wah, Dani. Ia dilanda euforia membayangkan begitu anggunya ia memakai stelan baju pesta yang dilihatnya. Dan ia melupakan anaknya. Lupa, Dani. Anaknya menjadi sama sekali tak penting. Ia baru sadar tatkala mendengar tangis anaknya itu. Berlagak tergopoh-gopoh mencari, menghampiri anaknya. Mendekapnya. Tapi kepalsuan tak mempunyai arti apa-apa di mata anak-anak, Dani. Itu sama sekali tak mampu meredakan tangisnya. Anak itu semakin menangis kencang. Membuat ibu muda itu salah tingkah dilihati orang-orang. Tentu saja ia tak terbiasa menangani anaknya yang rewel seperti itu, Dani. Tentu saja, sebab biasanya bukan dia yang mendiamkan anaknya yang rewel. Baby sitter, Dani. Baby sitter yang biasa melakukannya.

“Tapi lihat ibumu, Dani. Ibumu tak panik. Ibumu hanya tersenyum kecil melihat kau menangis. Ia menghampirimu, mendekapmu. Bercup-cup ria sambil bergumam pelan: ‘anak ibu nggak boleh nangisan. Harus kuat. Ayo, mana yang sakit biar ibu lihat. Sudah..sudah nggak papa gitu’. Dan berbeda dengan anak kecil tadi, Dani, kau seketika terdiam. Rapat memeluk ibumu. Merajuk sebentar. Bermanja-manjaan sekejap. Dan sepuluh menit berselang, kau sudah sibuk bermain kembali di pematang sawah itu. Sendiri. Ibumu bisa kembali melakukan pekerjaannya”

“Hentikan!”

“Kenapa, Dani? Oh ya, maaf kalau itu mengingatkanmu pada alamarhum bapakmu. Maaf. Itulah mengapa bapakmu tak ditampilkan dalam tayangan itu, Dani. Bapakmu sebenarnya ada juga di sawah itu. Tapi jauh dari kalian berdua. Dia sedang mengecek aliran air yang mengairi sawah.

“Tapi maaf, Dani, meski kau tak bersedia, aku mesti melanjutkannya. Meski kau masih mengingat almarhum bapakmu, aku mesti meneruskan cerita ini. Kau sudah melihatnya, Dani, dan kau berkesempatan menerima penjelasannya. Sekarang mari kita jawab pertanyaan itu, Dani, pertanyaan yang sering kali begitu mengusikmu. Inikah yang kerap kau sebut dengan ketidakberuntungan itu, Dani? Inikah? Benarkah kau lebih tidak beruntung dibandingkan anak itu? Aku tahu kau sudah memiliki jawaban, Dani, tapi tak perlu kau jawab sekarang. Simpan saja. Karena masih banyak yang ingin aku tunjukkan padamu. Masih banyak penjelasan yang harus aku sampaikan padamu.”

“Masih banyak--?”

“ya, masih banyak. Tapi kita harus berhenti sejenak. Kita perlu menikmati hujan ini bukan?. Hujan ini rahmat. Meski orang-orang mengatakannya sebagai penyebab banjir, biang longsor, atau hal-hal jelek yang lain. Tapi tetap saja hujan ini adalah anugerah, Dani. Ada janji kehidupan dari titik-titiknya. Hanya manusia saja yang serakah, Dani. Memenuhi sungai-sungai itu dengan sampah-sampah, menggunduli hutan-hutan itu dari pepohonan. Mengacaukan segalanya”

Anak muda itu hanya mematung.

“Dan aku ke sini juga karena hujan, Dani. Tadi, ketika hujan pertama kali menetes dengan derasnya, orang-orang pada mengutuknya, sumpah serapah menguar dimana-mana. Mereka tak siap mendapati hujan setiba-tiba itu. Lupa kalau dulu mereka mengharapkan hujan cepet turun kala kekeringan melanda. Tapi kau tidak, Dani. Saat hujan tiba-tiba saja turun, kau justru tersenyum. Menggumam syukur karena itu memberimu waktu mendinginkan diri. Sejenak bermain-main. Lepas dari problematika hidup. Itulah jawaban mengapa kau mendapatkan kesempatan ini, Dani.

“Kau selalu mencintai hujan. Sejak dulu. Kau teramat bandel untuk masalah ini. Kau gemar sekali hujan-hujanan. Meski ibumu sudah teriak keras-keras. Meski halilintar menggelegar keras mencekam bumi. Kau tetap saja asyik bermain di pancuran air yang mengucur dari talang tetangga itu. Saling berebut dengan teman-teman kecilmu, yang sama seperti kau, juga bandel untuk masalah hujan ini”.

Anak muda itu menelam ludah. Tersenyum kecut mendengarnya. Kata-kata pak tua itu cukup mengingatkannya akan kesenangan-kesenangan kecil itu. Hal yang teramat langka baginya.

Beberapa menit berlalu dengan hening. Meski tentu saja itu bukan berarti tak ada suara. Rinai hujan masih keras menerpa apa saja. Gaduh. Benar-benar gaduh. Tapi bukankah hening, tak selalu keadaan hampa suara?

“Kita harus memulainya lagi, Dani. Mari, lihatlah kembali kedua layar itu! Apa yang kau lihat? Apa yang kau lihat sekarang, Dani?”

(Bersambung. Insyaallah)


Friday, October 8, 2010

hari aabtu ini berarti celana training biru, kaos biru, dan sepatu hitam : jelajah hutan

percakapan imajiner II

“lama sekali kau tak datang?”

“ya..kau banyak berubah”

“mengapa-? Kau lama sekali”

“sebab kau tak pernah memanggilku”

“sejak kapan kau perlu dipanggil untuk datang”

“ok! Maaf, kuralat; sebab kau tak menginginkanku”

“hah? Kau benar-benar lucu, bukankah yang sebelum-belumnya aku juga tak pernah baik menyambut tiap kedatanganmu”

“tapi tetap saja, kau menginginkan kedatanganku kala itu”

“bagaimana bisa?”

“aku kira kau sudah mengerti akan hal ini. Orang-orang memang seringkali pura-pura mengingkari apa yang sebenarnya ia ingini”

“maksudmu?”

“tanyakan pada hatimu! Kau bahkan telah kehilangan waktu berdialog dengan hatimu”

“..”

“baiklah, aku tak punya cukup banyak waktu. Aku hanya ingin sampaikan satu hal : segeralah buat keputusan!”

“eh? Maksudmu--?”

“kau tak perlu pura-pura tak mengerti”

“aku serius!”

“apa kau kira aku main-main?”

“ya!”

“kalau begitu aku perrgi saja. Sepertinya tak ada gunanya berlama-lama di sini. Assalamu’alaykum”

“hei, tunggu! Kau masih bisa datang, setidaknya beri aku sedikit waktu”

“….”

“Wa’alaykumsalam”

Monday, October 4, 2010

fragmen

Siang hari yang terik. Di pinggiran cafĂ© kapal, mengahadap laut lepas,lelaki itu berdiri. Mencoba menghindar dari keriuhan yang terjadi di dalam. Menyingkir. Tapi, suara orang-orang menyanyi itu tetap saja terdengar, meski dengan intensitas yang lebih terreduksi.  Laut setidaknya lebih menarik untuk dinikmati.

Lalu, seorang lelaki lain menjajari. Mengarahkan matanya ke titik yang sama dimana ia mengarahkan penglihatannya. Tapi diam saja, tak menyapa. Tak juga menatap.

Dwtik berlalu dalam diam. Di kejauhan, nampak dua orang nelayan dengan perahu kecilnya mencoba menjala ikan. Di siang yang terik itu. Tak merasa payah, tak merasa panas.

“Nggak ngambil cuti? Seminggu lagi sudah bisa, kan?” Lelaki itu, setelah beberapa menit yang beku, akhirnya berbicara. Menatap sebentar ke lelaki yang baru saja menjajarinya.

Menoleh, “sepertinya tengah tahun.”

“tengah tahun-?”

“ya. Tahun depan. Sepertinya sampai akhir tahun ini belum ngambil.”

“kenapa?”, menoleh lagi. Kali ini menatap tajam lelaki teman ngobrolnya itu.

“nggak perlu saja. Belum ada keperluan tepatnya”

“…”, menarik napas.

“kamu?”

“Entahlah!”. Berhenti, terdengar sebuah lagu baru ternyanyikan menggantikan lagu sebelumnya. “mungkin akan aku ambil tiga kali”

“apakah yang pertama adalah idul adha besok?”

“Yap! Sepertinya ini sudah lebih dari sekedar perlu, seperti bahasamu”, lelaki itu mencoba tersenyum, meski lebih terlihat getir, “ Bapak sudah tua”

“ya?”, entahlah! Ia juga tak tahu sendiri mengapa kata itu yang muncul. Antara ketakmengertian dan kekagetan.

“bapak sudah tua. Sudah mulai sakit-sakitan.”, menghembuskan nafas panjang, membuang muka ke laut. Mencoba menghindarkan ekspresi mukanya tertangkap lawan bicara.

“….”, mengangguk-angguk pelan, mencoba mengerti, “lalu yang kedua?”

“yang ketiga mungkin lebaran tahun depan. Masih lama memang, tapi bukankah harus memakai jatah cuti periode ini juga, bukan?”

“ya….,ya…,ya…., kalau untuk idul fitri, sepertinya kita sama”, tersenyum sebentar. Mencoba memecah kekakuan yang melanda, “kau memang harus pulang tahun depan kalau tak ingin jadi bang Thoyyib.

Tertawa. Tertawa bersama. Membiarkan suara-suara terbawa semilir angin laut yang menerpa.

“lalu yang kedua?”, pertanyaan yang sama oleh penanya yang sama.

Lelaki itu menghentikan tawanya. Menatap lelaki teman bicaranya lekat, sedikit misterius. Ada senyum mengambang di bibirnya. Tipis. Teramat tipis, “sepertinya acara di dalam sudah selesai. Sebaiknya kita segera pulang.”

“eh…, baiklah!”

 

 

sepertinya memang perlu mempersering memakai kosakata-kosakata bahasa indo yang sering kali terlupa.. (baru tahu kalo rasio/perbandingan itu padanannya adalah nisbah)

Saturday, October 2, 2010

menyukai itu memutuskan

Waktu ke Bandung kemarin, dari dua kali acara makan nasi kotak masakan sunda, seorang teman selalu menyodorkan terung bulat mentahnya untuk diikhlaskan pada saya. Ia, yang meskipun bisa dikata orang sunda, tak menyukai sayuran aneh itu. Dan saya, yang jawa timur asli, ia anggap menyukainya. Untungnya, anggapannya tepat, maka saya dengan ikhlas melahapnya. Padahal, itu kali pertama saya memakannya. Sepertinya, kalau tak direbus, atau digoreng, sepengetahuan saya, paling-paling terung dilodeh. Tapi, tetap saja, meski mulanya agak ragu-ragu, saya memakannya juga.

Dulu, sepanjang ingatan saya, rasa-rasanya saya tak terlalu pecinta sayur. Memakannya pun hanya sebagai pendamping nasi dan lauk. Tak lebih. Orang-orang kampung memang begitu, yang utama itu adalah nasi. Yang penting ada nasi. Yang kedua baru lauk. Terserah itu lauk apa. Tak jadi soal kala lauk itu sumber karbohodrat juga, bukan protein seperti kebanyakan lauk yan g kitas kenal. Anda akan menemukan orang-orang kampung itu lahap makan dengan lauk dadar jagung atau dadar singkong. Tanpa sayur. Dengan sambel kerek pastinya.

Saya tak tahu kapan itu bermula. Entahlah, waktu tepatnya saya tak ingat. Hanya, saya tahu sebabnya kenapa sekarang saya tiba-tiba menjadi pecinta sayur. Sayur apa saja. Mau mentah atau matang, mau yang rasanya enak maupun yang tak berasa, mau hijau atau jingga, mau yang umum-umum atau yang aneh. Sebuah sebab yang saya cetuskan sendiri, bahwa sayur itu baik bagi kesehatan. Bahwa mengonsumsinya dengan kadar yang cukup, akan membawa kebaikan bagi saya. Bahwa sayur itu identik dengan sehat.

Begitulah! Begitulah itu bermula. Maka kemudian saya menjelma menjadi pecinta sayur. Awalnya, tiap kali menemukan sayur dalam acara makan, sepertinya saya tak terlalu nafsu-nafsu amat. Hanya sugesti dalam pikiran bahwa sayur itu baik bagi kesehatanlah yang kemudian mendorong saya untuk mengambilnya dengan jumlah yang lebih banyak dari yang orang lain lakukan. Habis pula. Hingga kemudian, sugesti-sugesti yang bertumpuk-tumpuk itu, yang menghasilkan tindakan-tindakan berulang, kemudian menghasilkan sebuah kebiasaan, sebuah watak yang melekat pada diri saya. Aha, saya telah jadi pecinta sayur. Tak jadi soal apakah sayur itu enak atau tidak enak buat anggapan orang kebanyakan. Tak jadi soal. Yang penting sayur. Sayur yang mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan untuk kesehatan. Cukup.

Sederhana memang. Saya menyukai sayur karena saya memutuskan untuk menyukainya. Saya memutuskan untuk menyukainya, karena saya menganggap ada kebaikan di dalamnya. Cukup. Itu saja. Soal ia dimasak dengan racikan istimewa, dengan penyajian yang yahud, itu persoalan lain, hanya bonus saja, tapi bukan menjadi sebuah syarat untuk sebuah keputusan menyukai tadi. Meski, tetap saja perlu.

Dan memang, harusnya, demikianlah! Sesederhana masalah sayur tadi, menyukai apapun, itu hanya masalah memutuskan. Sebuah keputusan yang bersumber dari keyakinan bahwa ada kebaikan pada apa yang kita sukai tersebut. Titik. Keyakinan itulah yang kemudian akan menuntun. Ketika kita merasakan betapa itu berat, betapa itu sepertinya tak nyaman, tak enak, kita akan tetap saja menyukainya –atau pada mulanya mencoba terus menyukai. Kita akan tetap menganggapnya indah. Sebab kita yakin, ada kebaikan pada itu semua. Sebab, sebuah keyakinan akan adanya kebaikan pada akhirnya, akan menegaskan pada kita, bahwa segala hal menuju itu, seberat apapun itu, adalah kebaikan juga. Hingga kemudian tak ada alasan untuk tak menyukainya. Seperti keyakinan akan adanya kebaikan pada sayur pare yang pahit, memakannya dengan ekspresi muka yang aneh sebab pahitnya pun menjadi nikmat juga. Pare yang pahit itu, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebaikan yang kita (yakini akan kita) dapatkan dari memakannya.

Ya…., ya….., ya….., menyukai adalah memutuskan. Maka memutuskan akan selalu butuh sebab. Sebab yang akan menentukan kualitas dan tingkat kesukaan kita. Seperti masalah sayur tadi. Ketika kita sudah memutuskan kalau kita menyukai sayur yang dimasak bening sebab itu menyegarkan, maka kesukaan itu tiba-tiba saja hilang kala kita melihat ia disajikan dalam bentuk lalapan. Beda halnya kala kita menyukai sayur sebab kita meyakini akan adanya kebaikan dari vitamin, mineral, dan serat yang dikandungnya. Masalah penyajian kemudian menjadi nomor dua. Bukan hal yang utama. Meski tetap saja perlu untuk meningkatkan tingkat kesukaaan. Tapi tidak untuk mengurangi.  Lalapan? Ok. Sayur bening? Lebih oke lagi? Sup? Mmmhhh…sepertinya maknyus.

Baiklah, jika sampai di sini, agaknya kita mulai perlu mendaftar apa saja yang harusnya kita sukai yang sampai saat ini belum kita sukai. Setelah itu, dari daftar itu, kita perlu membuat daftar sebab kenapa kita harus menyukainya. Sebab yang harusnya tak sembarang sebab. Sebab yang memungkinkan kita akan terus menyukainya, seberat apapun itu, setakmengenakkan apapun itu.  Lalu, seketika itu, kita putuskan untuk menyukainya. Pada walnya, kita mungkin merasa kalau kita menyukainya karena kita harus menyukainya. Semacam keterpaksaan. Tapi, percayalah! Seiring perjalanan waktu, ah, ternyata kita menyukainya karena memang menyukainya. Titik.

 

NB: lebih dipersembahkan untuk diri sendiri yang lebih sering membutuhkan syaratsyarat tak hakiki untuk menyukai sesuatu yang harusnya disukai.

 

Kecubung 17

(sepertinya masih pagi-selepas mbubur ayam)

 

 

Friday, October 1, 2010

hari sabtu itu berarti..celana training, kaos oblong, dan sepatu diadora : futsall pagi

kebaikan (tak ikhlas) di masa lalu

Namanya, sebut saja Dani. Adik tingkat saya di jurusan. Berselisih tiga tahun. Dulu, sewaktu orientasi mahasiswa baru (kalian boleh menyebutnya dengan OSPEK), saya jadi SC-nya. Maka, boleh jadi, di awal-awal, sayalah kakak tingkat yang paling dekat dengannya. Mungkin.

Saya bisa diskripsikan orang ini sebagai tipe mahasiswa yang SO banget. Mungkin, persangkaan saya, ia masih menjalani euforia berstatus sebagai mahasiswa. Seorang mahasiswa  yang ia bayangkan dulu pas SMA sebagai intelektual yang kerjaannya belajar terus. Maka tak heran,  seringkali pas ketemu saya, yang ia tanyakan lebih sering masalah-masalah kuliah yang sedang ia hadapi. Bahkan terkesan berlebihan. Sepertinya yang ada di kepalanya hanya masalah pelajaran. Titik. Teman-teman di angkatannya, kalau tidak salah, kerap mengecapnya sebagai mahasiswa apatis yang tak mau memikirkan masalah angkatan. Setahu saya juga, ia malas berorganisasi.

Ketemu di masjid, ia pernah menyodori saya dengan soal fisdas. Di jurusan, tak jarang ia menanyakan ini itu terkait pelajaran. Bahkan, ia nekat juga mengunjungi kontrakan saya dengan membawa serta persoalan kalkulus. Saat itu saya sudah memasuki kuliah tingkat akhir sedangkan yang ia tanyakan itu adalah kuliah-kuliah tingkat awal yang tentu saja sudah lama tak saya pelajari lagi. Hmmm, saya harus mengaku di sini, disodori seperti itu, secara seketika tanpa pemberitahuan yang memungkinkan saya bisa mempersiapkan diri dan meluangkan waktu, awalnya sempat juga agak menggerutu di hati. Yang pertama karena saya harus membuka-buka dulu bukunya sementara ia menunggu. Mempelajarinya lagi sebentar sebab materi itu sudah lama saya terima. Yang kedua karena faktor mendadak tadi; terkadang ikhlas itu butuh persiapan. Karena, boleh jadi, ada rencana-rencana pribadi yang mesti saya batalkan karena sodoran pertanyaannya itu. Tapi, untunglah, saya tak pernah menolak sergapannya dulu. Meski berat di awalnya, toh akhirnya senang juga. Ada kepuasan tiap kali mampu menjelaskan sesuatu, memecahkan soal bersama, dan saat ia puas juga atas pertemuan kita waktu itu.

Selanjutnya, saya tak terlalu up date atas perkembangannya. Sekali saja say hello, dan berlanjut bertukar sapa via internet kala saya sudah di Bontang dan ia masih di Surabaya. Sampai kemudian kemarin, ia menyapa saya ketika saya baru saja sign ini di FB. “Saya sudah ngelab sekarang, mas. Di lab Dalpro. Terimakasih untuk les privatenya dulu”, kira-kira, seperti itulah sapaannya kala itu. Tentu saja setelah saya translate ke bahasa indonesia. Gaya Suroboyoannya masih kental, hingga tak heran ia masih saja kerap menyapa saya dengan bahasa suroboyoan yang ceplas-ceplos. Saya menjawab seadanya, dan…entahlah, tiba-tiba disergap bahagia. Tak terkata. Oi, perasaan ini sungguh ajaib. Rasa-rasanya saya tak ikhlas-ikhlas amat kala itu, agak menggerutu dalam hati meski tak terlalu. Tapi, lihatlah! Demi mendengar kabar bahagia itu, demi sebuah sapaan tentang keberhasilan yang ia nyatakan ada andil saya untuk itu, ada rasa bahagia yang diam-diam merayap.Menentramkan.

Ini baru andil yang kecil saja. Tak terlalu ikhlas bahkan. Tapi sudah begitu membahagiakan. Saya jadi bertanya-tanya. Lalu, bagaimanakah perasaan orang-orang macam ini ; seorang ibu yang menyaksikan anaknya diwisuda dengan hasil memuaskan, atau seorang bapak yang melihat putera kebanggaannya menggapai impian, atau seorang guru yang menemukan muridnya menjadi seorang profesor, jauh melampaui capaiannya. Pasti, pasti membahagiakan. Amat membahagiakan.

“IP-nya berapa?”, pada akhirnya, kalimat ini yang saya lontarkan di obrolan chat FB itu. Saya tahu, permasalahan IP, atau nilai, adalah hal yang menariknya.

Ia kemudian menyebutkan angka. Terbilang bagus. Bila ia mempertahankannya untuk empat tahun kelulusannya, maka ia akan menjadi wisudawan berpredikat cumlaude. “Mas”, kemudian ia melanjutkan, “sekarang aku sudat tobat. Sudah ikut organisasi. Ikut KINI, ikut organisasi alumni ESQ. Ini juga mau daftar jadi asisten Lab”

Saya tersenyum membaca istilahnya itu; tobat. Unik sekaligus ganjil. Gaya suroboyoannya tetap saja kental. Ah, dia juga telah berubah.

“mas, saya off dulu, ya?”, saya masih bahagia ketika pada akhirnya ia undur diri dari obrolan singkat itu. Hingga kemudian namanya menghilang dari daftar kontak yang sedang on line. Saya pun memutuskan logout. Dengan satu kesadaran; saya mesti sering-sering berbuat baik. Lebih ikhlas. Untuk kebahagiaan yang lebih baik, lebih kerap, serta insyaAllah yang lebih hakiki.

 

 

NB: sepertinya ada beberapa dialog dan kronologis  yang saya modifikasi demi keperluan cerita. Tapi substansinya tetap, kok! J