Tuesday, November 30, 2010

(catatan Perjalanan3) Kepulangan

Ada yang berubah dari kota ini. Lekak-lekuknya yang dulu –semasa SMA—begitu aku akrabi kini perlahan mulai asing dan manglingi. Ada jajaran ATM kini di sudut areal kantor pos (mungkin ini sudah menjadi sebuah tuntutan). Alun-alunnya pun sudah dipermak cantik meski ukurannya mengecil. Toko-toko di kanan kiri jalan juga mulai banyak yang tak dikenali lagi.

Pasuruan dalam kacamata seorang perantau yang pulang kampung. Jelang pukul tiga dini hari. Beberapa sudut masih remang sebab tak terlalu terang tersentuh cahaya. Sebentar lagi fajar. Mungkin. Entahlah, tiba-tiba berada di daerah dengan perbedaan waktumemang  kerap kali membingungkan.

Turun dari bus antar kota dengan sedikit kebablasan itu, tak ada yang bisa kulakukan selain melangkahkan kaki menuju pusat kota. Menyeret tas yang roda-rodanya menimbulkan irama kala bergesekan dengan aspal. Suasana sepi, tapi beberapa orang nampak mulai berangkat menuju pasar. Berada di kota sendiri nampaknya memang benar-benar menimbulkan rasa nyaman, meski dalam waktu yang tak tepat seperti ini.

“kalau mau nyampai sms!’, demikian bunyi sms itu. Berjam-jam lalu, agar bisa segera dijemput. Tapi, bahkan sampai turun dari bus ini, aku masih enggan merogoh ponsel. Lebih memilih terus melangkah menuju alun-alun.

Semakin menuju alun-alun, yang persis di depannya berdiri dengan megah masjid jami’ Pasuruan, orang-orang mulai terlihat lebih banyak. Tentu saja dengan pakaian khas Pasuruan, bersarung dan berkopyah. Beberapa terlihat berangkat sambil naik motor, sedangkan satu dua yang lain lebih memilih naik becak. Juga yang berjalan saja. Yang terakhir, sepertinya rumahnya dekat saja, di gang-gang tersebut—ah, ya, kampung kauman orang-orang biasa menyebut.

Dua ratus meteran melangkah, kemudian kurogoh sakuku. Meraih ponsel lalu memencet sebuah nama. Beberapa jenak menunggu, lalu tersambung.

Berbicara….

“tak enteni nang alun-alun”

“ok”

Memutuskan sambungan dan meneruskan langkah. Beberap meter lagi hingga bayangan yang tertangkap retina adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan kepada keduluan. Aih, dari sekian banyak perubahan itu, ini yang tak berubah ; pedagang kaki lima dengan meja panjang menjual minuman dan ketan hangat serta beberapa pengunjung bersarung  santai mengobrol. Di sanalah kemudian aku menepi.

“STMJne wonten, bu?”, pintaku pada ibu penjual. Memang pilihan itu lah yang paling masuk akal. Kopi, selain tak suka-suka amat, aku sudah merencanakan untuk segera tidur setiba di rumah demi menebus waktu tidur yang terenggut di jalanan. Sedang teh, agaknya kurang spesial untuk hari yang spesial ini.

“wonten”

“setunggal, nggih?”

Kembali duduk di bangku panjang. Menikmati Pasuruan jelang fajar. Orang-orang mulai berdatangan ketika STMJ segera tersaji. Cukup cepat. Cukup cepat pula menghangatkan badan yang terguncang-guncang sepanjang Ponorogo-Pasuruan. Hingga cepat saja menyisakan setengahnya.

“Ketane setunggal, Pak”, kali ini pertmintaan ditujukan ke yang laki-laki. Ada dua orang yang melayani penjualan itu.

Ketan! Inilah sebenarnya yang khas. Ketan dengan taburan koya dalam wadah-wadah kecil. Koya adalah serbuk yang terbuat dari kedelai sangrai dengan bumbu-bumbu tertentu yang tak terlalu kuketahui. Penjual ketan ini, yang boleh jadi bapak ibu yang sekarang melayani ini, sudah ada di sekitaran masjid jami’ ini bahkan sejak waktu yang mampu saya ingat.

Enak! Definisi inilah yang kemudian aku temukan kala telah menyantap ketan itu. Subyektif sangat mungkin. Adalah suasana, adalah tempat, adalah kenangan memang sering kali mengintervensi masalah rasa ini. Dan jelang fajar itu, aku memang memutuskan momen makan ketan itu,

Tak butuh lama untuk menandaskan ketan dan STMJ itu. Tinggal menyisakan wadah-wadah kosong yang teronggok di meja. Orang-orang pun kian berdatangan, meski berat untuk dikatakan banyak.

“Pinten, Bu?”, pada akhirnya aku menghampiri penjual itu untuk membayar.

“wolung ewu”, si Bapak, justru yang menjawabnya.

Kuserahkan selembar sepuluh ribu. Beberapa saat kutunggu hingga si bapak menyerahkan kembaliannya. Terima kasih.

Kembali duduk. Kembali menikmati kota dalam balutan remang.

Pasuruan, mungkin aku sudah tak terlalu mengenalmu. Tak lagi akrab dengan detail-detailmu lagi. Jika suatu saat ada yang bertanya tentang dimanakah letak penjual makanan yang enak, aku bakalan berpikir panjang untuk kemudian menggeleng. Tak tahu.

Lihatlah, alun-alun yang dulu penuh PKL itu kini telah cantik. Meski belum benar-benar cantik. Aku bahkan tak tahu proses pembangunannya, kapan memulainya, dan berapakah anggaran yang dibutuhkan untuknya. Benar-benar tak tahu bagaimana kota ini bertumbuh. Dengan cara apa. Tak tahu pula bagaimanakah penduduknya kini. Seperti apa.

Jalan-jalan kini penuh dengan kendaraan. Itu yang kutahu dari kepulangan dulu. Motor-motor telah meraung-raung meningkahi hari. Khas kota-kota indonesia. Kredit-kredit kepemilikan motor sepertinya semakin mudahnya. Dealer-dealer sepeda motor semakin menggila menetapkan target penjualan. Entah! Entah bakal seperti apa kota ini bertumbuh. Aku sepertinya sudah tak menjadi bagian dari itu, sayangnya. Aih, bahkan namaku telah tercoret dari catatan sipil sebagai penduduk kota ini.

Sebuah motor kemudian tepat berhenti di depanku. Bertukar senyum. Menuntaskan rindu. Aku angkat tasku. Untuk kemudian melaju. Tentu saja, aku telah menjadi salah satu dari dua orang yang melaju itu.

 

 

 baca juga : catatan perjalan 1dan catatan perjalanan 2

      

(catatan Perjalanan3) Kepulangan

Ada yang berubah dari kota ini. Lekak-lekuknya yang dulu –semasa SMA—begitu aku akrabi kini perlahan mulai asing dan manglingi. Ada jajaran ATM kini di sudut areal kantor pos (mungkin ini sudah menjadi sebuah tuntutan). Alun-alunnya pun sudah dipermak cantik meski ukurannya mengecil. Toko-toko di kanan kiri jalan juga mulai banyak yang tak dikenali lagi.

Pasuruan dalam kacamata seorang perantau yang pulang kampung. Jelang pukul tiga dini hari. Beberapa sudut masih remang sebab tak terlalu terang tersentuh cahaya. Sebentar lagi fajar. Mungkin. Entahlah, tiba-tiba berada di daerah dengan perbedaan waktumemang  kerap kali membingungkan.

Turun dari bus antar kota dengan sedikit kebablasan itu, tak ada yang bisa kulakukan selain melangkahkan kaki menuju pusat kota. Menyeret tas yang roda-rodanya menimbulkan irama kala bergesekan dengan aspal. Suasana sepi, tapi beberapa orang nampak mulai berangkat menuju pasar. Berada di kota sendiri nampaknya memang benar-benar menimbulkan rasa nyaman, meski dalam waktu yang tak tepat seperti ini.

“kalau mau nyampai sms!’, demikian bunyi sms itu. Berjam-jam lalu, agar bisa segera dijemput. Tapi, bahkan sampai turun dari bus ini, aku masih enggan merogoh ponsel. Lebih memilih terus melangkah menuju alun-alun.

Semakin menuju alun-alun, yang persis di depannya berdiri dengan megah masjid jami’ Pasuruan, orang-orang mulai terlihat lebih banyak. Tentu saja dengan pakaian khas Pasuruan, bersarung dan berkopyah. Beberapa terlihat berangkat sambil naik motor, sedangkan satu dua yang lain lebih memilih naik becak. Juga yang berjalan saja. Yang terakhir, sepertinya rumahnya dekat saja, di gang-gang tersebut—ah, ya, kampung kauman orang-orang biasa menyebut.

Dua ratus meteran melangkah, kemudian kurogoh sakuku. Meraih ponsel lalu memencet sebuah nama. Beberapa jenak menunggu, lalu tersambung.

Berbicara….

“tak enteni nang alun-alun”

“ok”

Memutuskan sambungan dan meneruskan langkah. Beberap meter lagi hingga bayangan yang tertangkap retina adalah sebuah pemandangan yang mengingatkan kepada keduluan. Aih, dari sekian banyak perubahan itu, ini yang tak berubah ; pedagang kaki lima dengan meja panjang menjual minuman dan ketan hangat serta beberapa pengunjung bersarung  santai mengobrol. Di sanalah kemudian aku menepi.

“STMJne wonten, bu?”, pintaku pada ibu penjual. Memang pilihan itu lah yang paling masuk akal. Kopi, selain tak suka-suka amat, aku sudah merencanakan untuk segera tidur setiba di rumah demi menebus waktu tidur yang terenggut di jalanan. Sedang teh, agaknya kurang spesial untuk hari yang spesial ini.

“wonten”

“setunggal, nggih?”

Kembali duduk di bangku panjang. Menikmati Pasuruan jelang fajar. Orang-orang mulai berdatangan ketika STMJ segera tersaji. Cukup cepat. Cukup cepat pula menghangatkan badan yang terguncang-guncang sepanjang Ponorogo-Pasuruan. Hingga cepat saja menyisakan setengahnya.

“Ketane setunggal, Pak”, kali ini pertmintaan ditujukan ke yang laki-laki. Ada dua orang yang melayani penjualan itu.

Ketan! Inilah sebenarnya yang khas. Ketan dengan taburan koya dalam wadah-wadah kecil. Koya adalah serbuk yang terbuat dari kedelai sangrai dengan bumbu-bumbu tertentu yang tak terlalu kuketahui. Penjual ketan ini, yang boleh jadi bapak ibu yang sekarang melayani ini, sudah ada di sekitaran masjid jami’ ini bahkan sejak waktu yang mampu saya ingat.

Enak! Definisi inilah yang kemudian aku temukan kala telah menyantap ketan itu. Subyektif sangat mungkin. Adalah suasana, adalah tempat, adalah kenangan memang sering kali mengintervensi masalah rasa ini. Dan jelang fajar itu, aku memang memutuskan momen makan ketan itu,

Tak butuh lama untuk menandaskan ketan dan STMJ itu. Tinggal menyisakan wadah-wadah kosong yang teronggok di meja. Orang-orang pun kian berdatangan, meski berat untuk dikatakan banyak.

“Pinten, Bu?”, pada akhirnya aku menghampiri penjual itu untuk membayar.

“wolung ewu”, si Bapak, justru yang menjawabnya.

Kuserahkan selembar sepuluh ribu. Beberapa saat kutunggu hingga si bapak menyerahkan kembaliannya. Terima kasih.

Kembali duduk. Kembali menikmati kota dalam balutan remang.

Pasuruan, mungkin aku sudah tak terlalu mengenalmu. Tak lagi akrab dengan detail-detailmu lagi. Jika suatu saat ada yang bertanya tentang dimanakah letak penjual makanan yang enak, aku bakalan berpikir panjang untuk kemudian menggeleng. Tak tahu.

Lihatlah, alun-alun yang dulu penuh PKL itu kini telah cantik. Meski belum benar-benar cantik. Aku bahkan tak tahu proses pembangunannya, kapan memulainya, dan berapakah anggaran yang dibutuhkan untuknya. Benar-benar tak tahu bagaimana kota ini bertumbuh. Dengan cara apa. Tak tahu pula bagaimanakah penduduknya kini. Seperti apa.

Jalan-jalan kini penuh dengan kendaraan. Itu yang kutahu dari kepulangan dulu. Motor-motor telah meraung-raung meningkahi hari. Khas kota-kota indonesia. Kredit-kredit kepemilikan motor sepertinya semakin mudahnya. Dealer-dealer sepeda motor semakin menggila menetapkan target penjualan. Entah! Entah bakal seperti apa kota ini bertumbuh. Aku sepertinya sudah tak menjadi bagian dari itu, sayangnya. Aih, bahkan namaku telah tercoret dari catatan sipil sebagai penduduk kota ini.

Sebuah motor kemudian tepat berhenti di depanku. Bertukar senyum. Menuntaskan rindu. Aku angkat tasku. Untuk kemudian melaju. Tentu saja, aku telah menjadi salah satu dari dua orang yang melaju itu.

 

 

 baca juga : catatan perjalan 1dan catatan perjalanan 2

      

Friday, November 26, 2010

MU, saya, dan wawancara kerja ; tentang kesukaan

Dulu, sekitaran dua tahun yang lalu, dalam suatu sesi wawancara kerja, sesaat setelah saya mengatakan sepakboal sebagai salah satu hobi saya, Pak Pewawancara menyusulnya dengan sebuah pertanyaan standar; “klub favoritnya apa?”. “Manchester United”, begitu jawab saya. Dan cepat. Untuk sesuatu yang kita favoriti, harusnya memang cepat. Tak perlu berpikir.

Sebenarnya, pertanyaan itu salah juga. Sebab, tak ada hubungan yang langsung  antara kesukaan bermain bola dengan kecintaan terhadap sebuah klub sepakbola. Hanya saja memang keumumannya begitu. Seorang yang suka main bola, cenderung suka nonton bola, yang pada akhirnya akan mempunyai klub favorit juga.

“Pemain favoritnya siapa di MU?”, demikian lanjut Pak Pewawancara.

“mmm…tidak punya pemain favorit”

“Lo, kan biasanya kalau menyukai suatu klub pasti punya pemain favorit?”

Sampai di sini saya agak ‘malas’. Sebab ini memasuki fase berargumentasi yang takutnya menjurus pada ngecap. Memang, tak ada pemain spesial yang saya sukai di MU. Tak ada. Pemain keluar masuk ke sana dan saya tetap menyukai MU bahkan sejak pertama kali saya mulai menggemari sepak bola macanegara. Tak menyepesialkan pemain tertentu inilah yang membuat kesukaan saya pada MU lebih langgeng. Berbeda dengan yang mengidolakan figur tertentu. Idolanya berpindah klub, maka berganti pula lah klub kesukaannya. Begitu seterusnya.

“lalu apa yang membuat menyukai MU?”, demikianlah pada akhirnya pertanyaan Pak Pewawancara itu.

Nah, ini dia. Mengapa harus selalu ada alasan untuk menyukai sesuatu? Setiap orang akan sulit menjawab dengan pas ketika ditanya tentang alasan mengapa ia menyukai sesuatu. Kalaupun ia berhasil menjawab, itu tak 100 % benar. Bahkan bila dipertanyakan ulang, ia bakalan ragu atas jawabannya itu. Seperti itulah apa yang saya jawabkan kemudian.

“Permainannya pak! (bla bla bla)”

Tak 100 % begitu, juga tak 100 % tak begitu. Permainannya, tentu saja, ini masuk salah satu faktor. Bukankah lebih sering klub-klub besar, yang notabene permainannya lebih bagus, lah yang diidolakan orang-orang. Macam Barcelona, macam Madrid, macam Milan, macam Chelsea. Tapi kemudian saya tahu tak begitu juga, sebab kita sering kali masih setia dengan sebuah klub bahkan ketika permainan klub itu kian memburuk. Ini mungkin tentang cinta mati.

Entah bagaimana saya terhadap MU tadi. Sepertinya sejak saya menyukai MU, tak pernah klub ini memperlihatkan level permainan yang begitu merosot. Tak pernah sepertinya ia lepas dari posisi lima (atau bahkan tiga) besar klasmen akhir kompetisi. Prestasinya tak terlalu fluktuatif, hingga memang harusnya kadar kesukaan penggemarnya , yang menyukainya karena faktor permainan, tak berfluktuatif juga. Prestasi memang tak selalu ekivalen dengan permainan, tapi, dalam kasus ini, untuk mudahnya, bolehlah kita anggap sama.

Tapi baru-baru ini, saya menyadari satu hal; boleh jadi yang saya ungkapkan ke Pak Pewawancara itu banyak benarnya. Level permainanlah yang menyebabkan saya menyukai MU tadi. Setelah rasionalitas mulai lebih kentara, daftar prioritas mulai menderet, saya mulai tak terlalu antusias menonton MU di layar kaca kala melihat permainannya mulai mengecewakan. Perlahan, saya mulai tak mbelan-mbelani begadang hanya untuk menontonnya bertanding sebab sebelumnya sudah sering dikecewakan oleh permainannya yang mulai monoton dan sulit memperoleh peluang untuk mencetak gol. Kini, saya mulai sering mencukupkan diri dengan menonton highlightnya, atau kalau pun tak sempat, melihat beritanya di detiksport sudah mewakili. Tapi tentu, saya masih menyukai klub ini, dengan kadar suka yang boleh jadi amat berbeda dengan ketika klub ini menunjukkan level bermain yang bagus dulu. Di era Ronaldo mungkin, di era Roy keane mungkin. Bahkan, ketika suatu saat jika MU mencapai level permainan terburuk, hingga harus terdegradasi  mungkin, sepertinya saya akan masih memiliki bibit suka meski setitik. Yang suatu saat akan kembali meruah kala menyaksikannya kembali ke level permainan terbaik.

Aih, saya jadi berpikir, agaknya ini juga berlaku terhadap hal-hal yang lain.  

jeda--,

Hanya gol dari sebuah tendangan penalti memang. Bukan juga ia yang berandil atas ditiupnya peluit tanda tendangan pinalti itu. Tapi lihatlah ekspresi lelaki itu, lihatlah bagaimana ia melakukan selebrasi atas keberhasilannya mekakukan eksekusi pinalti itu! ia berlari ke penjuru, ia berteriak kesenangan seakan melepaskan diri untuk mencapai sebuah kemerdekaan. Lalu terlentang. Kegembiraan seakan begitu menggejolak di dalamnya. Juga kelegaan. Selebrasi itu, kemudian diakhiri dengan manis oleh peluk selamat rekan sepermainan.

Lelaki itu, Wayne Rooney. Lelaki yang berlari kencang ke penjuru dengan raut gembira dan kepala dikibas-kibaskan itu Wayne Rooney. Tentu, ekspresi itu,  tercipta bukan hanya karena golnya lah yang kemudian menjadi penentu kemenangan timnya malam itu. Menjadi satu-satunya gol yang tercipta pada pertandingan MU kontra Rangers di match daya kelima liga Champion itu. Tapi, adalah fakta bahwa baru satu gol yang ia ciptakan di musim ini, itu pun dari titik pinalti, agaknya menjadi jawababn atas ‘berlebihannya’ ekspresi Rooney itu. Penantian panjangnya pun, pada akhirnya, tertuntaskan.

Semua bakalan setuju kalau Rooney bukanlah pemain bola kacangan. Ia pemain top jagad ini. Sudah banyak gol yang ia ciptakan di hampir semua level kompetisi. Maka, dengan catatannya yang mentereng itu, tidak menjadi istimewa lagi lah harusnya gol ke gawang Rangers itu. Toh itu hanyalah fase penyisihan grup yang boleh dibilang tak terlalu spesial. Apalagi, disarangkan ke gawang tim yang tak terlalu mentereng macam Rangers. Harusnya memang biasa-biasa saja.

Tapi gol itu spesial. Sesuatu yang kembali bisa kau lakukan setelah begitu lama tak mampu kau lakukan, selalu spesial. Ada energi tersendiri. Siapapun pelakunya. Tak terkecuali Rooney ini. Sebab musim lalu ia begitu gemilang, sebab musim lalu gol-gol begitu mudahnya lahir dari kaki dan kepalanya, maka ketika kran gol itu tiba-tiba mandeg di musim ini, ada kerinduan yang sangat akan spesialisasinya itu. Keadaan yang mungkin sedikit terlupakan saat itu sudah menjadi biasa, saat gol-gol begitu mudahnya ia cipta.

Sesuatu yang mulai menjadi biasa akan kembali spesial saat kau sejenak menjauh dari kebiasaan itu.

Mungkin begitu. Meski tak selalu dapat diterapkan di segalanya. Jika kau mulai bosan dengan suatu keadaan yang sebenarnya kau sukai mulanya, pergi saja! Pergi saja dari keadaan itu sejenak. Tentu saja bukan untuk menyingkir, hanya menghindar saja. Menghindar yang tak lama. Dan rasakanlah saat kerinduan itu kembali hadir mengetuk-ngetuk. Kerinduan untuk segera kembali dan tak berlama-lama. Kerinduan seperti rindunya Rooney untuk menciptakan gol lagi. Kerinduan itu, seperti tabiatnya, tak perlu kau nanti-nantikan datangnya. Ia akan segera hadir dengan sendirinya. Amat lancang.

Jeda. Itu lah mungkin sebutannya. Semacam koma untuk menarik napas dan melihat sekitaran, bukan titik yang mengakhiri kalimat. Koma yang mengharuskan untuk meneruskannya, bukan titik yang memberi alternatif untuk memberhentikannya. Jeda-jeda yang produktif pastinya. Jeda-jeda yang tak mubazir harusnya.

 

Wednesday, November 24, 2010

ketika saya 'terlupa' membayar ongkos main mancing

Saya bersyukur malam itu ‘terlupa’ membayar ongkos main mancing-mancingan.

Awalnya begini. Sudah lewat dari  jam delapan malam ketika keponakan saya mengajak mampir ke sebuah pasar malam yang sedang digelar di satu lapangan bola pinggir jalan. Lokasinya, memang berada di antara rumah saya dan rumah nenek keponakan saya itu. tentu saja yang dimaksud dengan nenek keponakan saya dalam kasus ini bukanlah orang tua saya.

Malam hari itu memang kami mengunjungi nenek keponakan saya itu. Awalnya, keponakan saya dan ayahnya saja yang ikut. Bermotoran berdua. Lalu, karena melihat saya yang mungkin sudah mulai asing dengan kondisi Pasuruan, maka diajak serta lah saya. Motoran bertiga.

Dan hari itu memang ada pasar malam. Orang-orang di tempat saya  menyebutnya dengan dermulen. Isinya, aneka mainan anak-anak; semacam mainan keranjang yang berputar (entah apa namanya), mobil-mobilan dalam rel (entah apa pula namanya), serta yang lain. Dan, keponakan saya itu, bersikeras ingin mampir bahkan sejak kami mulai berangkat.

Kesepakatan yang terjadi kemudian adalah bahwa kami akan mampir ke dermulen itu pas baliknya. Itu dilakukan agar tak mengganggu jadwal utama kepergian kita. Awalnya, saya tak terlalu antusias. Bahkan, pas baliknya,  ketika kami sedikit lagi nyampai di lokasi, saya masih kurang bersemangat. Mungkin demikian juga ayahnya, kakak saya itu. Ayahnya mulai menawarkan sebuah alternatif yang saya yakin bakalan ditolak mentah-mentah : ‘Nggak usah ke dermulen saja, ya?’. Benar, tentu saja, keponakan saya menolak. Penawaran pun diubah dengan melakukan kesepakatan bahwa keponakan saya itu hanya boleh main satu jenis permainan  saja. Ia mengangguk. ‘Janji?’, demikian saya ikut menimpali. ‘Janji!’, keponakan saya cepat menyahut. (Kawan, masalah kesepakatan dan janji ini, mengingatkan saya pada buku-buku parenting yang saya baca. Berbeda dengan di buku yang masih sebatas teori, hari itu saya merasakannya langsung. Ternyata itu penting. Sebagai pembelajaran tanggung jawab atas keputusannya sendiri)

Motor kemudian masuk ke lapangan. Menuju ke sebuah tempat yang ditunjuk keponakan saya. Awalnya saya tak tahu itu permainan apa sampai keponakan saya menjelaskan: ‘mancing-mancingan’.  Agaknya itu jenis permainan baru di arena dermulen ini sebab ketika saya kecil tak pernah menjumpai permainan macam begini.

Keponakan saya segera turun begitu motor berhenti. Segera berlari sesaat setelah meminta uang pada ayahnya. Kemudian, menuju ke penjaga permainan itu. Saya sih tak terlalu memperhatikan, hanya sekilas melihat keponakan saya bertransaksi dengan si penjaga yang diakhiri dengan diserahkannya sebuah joran pancing pada keponakan saya.

“Ambil gih kembaliannya!”, demikian minta kakak saya itu pada saya. Bukan dengan kata-kata kemudian saya menjawabnya, tapi dengan langkah. Segera saya dekati keponakan saya yang sedang asyik dengan pancingannya. Meminta uang kembalian. Di genggamannya, ada uang lima ribu yang terlipat-lipat. Mulanya, ia ragu, tapi uang itu lah yang kemudian ia serahkan pada saya.

Permainan memancing yang saya maksud itu adalah sebuah bak berair dimana ikan-ikanan dan buah-buahan plastik mengambang di atasnya. Di moncong ikan tersebut (atau di tangkainya kalau itu buah) disisipkan sebuah paku. Dan paku itulah yang menjadi jawaban atas keheranan saya tentang bagaimanakah joran pancing itu bisa mengaitnya. Sebab, ternyata, di ujung benang yang pangkalnya terikat di joran, ada sebuah magnet kecil. Jadi ketika keponakan saya itu jeli menempelkan biji magnet ke paku yang tersisip di ikan atau buah, maka ikan atau buah itu akan terangkat. Sederhana saja.

Tak perlu waktu lama, keponakan saya segera menyelesaikan misinya. Keranjangnya telah penuh dengan ikan dan buah yang berhasil ia angkat. Ia pun mengembalikan ikan dan buah itu ke bak untuk kemudian bangkit dari duduknya. Mengembalikan joran pancing, lalu nampak memilih aneka mainan yang tergantung di dekat tempat meletakkan joran itu. Saya ikut saja, sebab tak terlalu tahu mekanismenya. Keponakan saya kemudian mengambil sebuah mainan ketika tukang pancing datang. “Yatrane!”, begitu katanya lirih. Saya, yang mengira bahwa harus membayar untuk mainan yang baru saja diambil keponakan saya, sudah  merogoh saku untuk mengambil uang lima ribu tadi ketika kakak saya yang berada di kejauhan melarang. “Nggak usah, Bal. Hadiahe iku”. Saya pun mengurungkan niat, melihat si tukang pancing sebantar, lalu berlalu.

Keponakan saya naik, dan saya juga naik. Motor kemudian melaju.

Entah mengapa, seratusan meter meninggalkan arena dermulen, sambil motor tetap melaju, saya nyeletuk: “Cuma begitu saja lima ribu!”

“Nggak, bal, tiga ribu saja, kok.” Kakak saya menjawab.

“La ini kembaliannya lima ribu!”. Saya tak mau kalah. Memang, uang yang diserahkan keponakan saya tadi lima ribu. Sangkaan saya, yang paling masuk akal, sepuluh ribu lah uang mulanya.

“Lo, tadi tak kasih lima ribu, kok!”

“Berarti!”, kami terkaget. Tersadarkan atas sesuatu. “tadi sudah banyar, kah, Put?”

“Belum,” Puteri, keponakan saya itu, pelan menyahut, “ La tadi uangnya diminta lek iqbal”

“Tadi, kan, kayak langsung bayar gitu?”

“Sama orangnya disuruh bayar nanti saja”

Maka berputarlah motor dengan penumpang tiga orang itu. Sudah lima ratus meter dari lokasi acara. Dengan sedikit senyum. Dengan sedikit mengolok-olok keponakan kecil saya. Ah, saya bersyukur atas kesalahpahaman ini. Bersyukur. Sungguh jarang momen seperti itu bisa tercipta. Saya yakin, sangat yakin, momen itu akan terekam dengan baik di kepala kanak-kanaknya. Keteladanan selalu lebih baik dari sekedar kata-kata petuah. Praktek akan selalu lebih membekas daripada teori. Maka kemudian, semoga itu sebagai tonggak awal, sebagai titik mula, bagi keponakan saya itu, untuk sebuah kesadaran pemenuhan kewajiban diri dan pemenuhan hak orang lain. Serta kejujuran. Untuk selanjutnya ia genggam selalu.

“belum mbayar, ya, tadi, mb?”, demikian kahirnya kata saya ketika kembali ke arena dermulen tadi.

“belum.”

“Kok tadi nggak diminta?”, tanya saya lagi. Saya tahu tadi dia sempat meminta uang pembayaran. Tapi ia seolah membiarkan saya berlalu tanpa membayar ongkos main mancing-mancingan tadi.

“La, kayake terburu-buru mau pulang gitu”

“..”

Ah, tukan pancing yang baik.

Kami pun kembali pulang.

 

 

Monday, November 22, 2010

berita-berita baik yang terberitakan terus-menerus

Ada fenomena menarik ketika aku cuti kemarin. Di Bontang, kaltim, daerah yang melimpah dengan sumber energi itu, terjadi kelangkaan BBM jenis premium dan pertamax. Aku, yang sedang berada di jawa, tentu saja tahu akan hal itu bukan dari media tv atau radio. Aku, yang waktu itu kebetulan ngenet, mengetahui hal itu dari qn serta status FB seorang teman.

Aku tak tahu apakah orang-orang di luar bontang yang jauh itu tahu akan hal itu. Lewat siaran tv mungkin. Agaknya, tidak. Ho ho… Bontang itu jauh! Mungkin. Sepertinya tak ada wartawan yang nyanggong di sana. Hingga tak ada media yang mengabarkannya. Entahlah, anggapan ini juga bisa saja salah, sebab aku jarang nonton tv. Apalagi ketika berada di kampung halaman kemarin. Waktu di saat kepulangan kemarin, terlalu berharga untuk dilewatkan hanya dengan menonton televisi.

Ketika dalam perjalanan menuju Bontang via darat bersama beberapa teman yang kebetulan merasakan momen kelangkaan itu, aku nyeletuk begini : “kok nggak direkam saja, ntar dikirim ke metro tv”. Komentar itu aku celetukkan ketika ia bercerita tentang antrian mobil dan motor yang bahkan 100 meter lebih. Motor, kata teman seperjalanan itu, bahkan berbanjar tiga antriannya.

Seorang teman seperjalanan lain menambahkan : “iya, yah! Apalagi kalo ditambahi adanya aroma persaingan politik. Pasti bakal rame”.

Kami, semobil, tertawa. Memang, kelangkaan ini berbarengan dengan musim kampanye Pilkada. Pilkada kota Bontang. Ada enam calon yang bertarung.

Ngomong-ngomong tentang Pilkada, sudah tahu, kan, kalau yang maju salah satunya adalah istri wali kota in cumbent? Sang suami kebetulan sudah dua periode menjabat dan tak memungkinkanlah untuk mencalonkan lagi. Bahkan, tahu kah, kalian, kalau sebelumnya si istri ini jadi ketua DPRD? He he…sama seorang teman, aku bahkan sempat berkelakar, “kayakanya persoalan kota bontang ini diselesaikan di kamar tidur, ya?”. Si teman nyeletuk, “sambil nyisirin rambut si suami mungkin”. Kami tertawa-tawa.

Kalian agaknya tak tahu itu semua. Sepertinya, itu juga jarang disiarin berita. Beda sekali ketika dua istri bupati kediri sama-sama mencalonkan diri, atau ketika walikota Surabaya mencalonkan diri menjadi wakil wali kota. Ho ho..iya, yah, maklum itu di jawa.

Tapi itu tak penting, kawan! Tak penting kalau itu tak diliput televisi. Karena kalau diliput, bisa saja kesannya jadi tambah beribet. Serba lebay dan sejenisnya. Sebab itu yang sering kali aku tangkap ketika nonton berita. Maka aku bersyukur juga tentang kelangkaan BBM kemarin yang tak diliput TV. Kalau diliput, boleh jadi bakal geger nggak karuan sambil dibumbui hujatan ke pemerintah secara membabibuta. Malas juga, kan, mendengarnya?

***

“Karena media kita sudah terlalu penuh dengan berita-berita tak baik. Yang justeru menimbulkan pesimisme masyarakat, ketakgairahan. Maka menjadi tugas kita lah, orang-orang di daerah ini, untuk mengabarkan hal-hal baik tentang daerahnya. Tuliskanlah! Tuliskanlah hal-hal baik tentang kota anda yang tak pernah terliput keriuhan televisi. Berita-berita baik itu sungguh akan bermakna untuk menimbulkan optimisme. Bahwa harapan itu masih ada. Bahwa masih banyak hal-hal baik. Bahwa masih banyak orang-orang baik yang bertindak dengan segenap hatinya. Bahwa Indonesia kita ini mampu bangkit”

Kalimat di atas, adalah kalimat Anis Baswedan ketika menyampaikan kuliahnya di hadapan para karyawan baru beberapa bulan yang lalu. Tentu saja, setelah saya modifikasi. Tapi intinya seperti itu. Kabarkanlah hal-hal baik tentang sekitaran kita. Jadikanlah itu penyeimbang hal-hal tak baik yang beredar di berita televisi. Sebab yang diberitakan televisi, seringnya memang hal-hal tak baik. Kalau mengabarkan daerah, itu seringnya ketakbaikan juga. Tentang seorang ibu yang dituduh mencuri kopi lah, tentang orang gantung diri lah, tentang ini lah.

Maka, kawan, akan aku ceritakan satu hal baik di sini. Bila kalian sudah risih tentang suporter bola yang seringnya rusuh, melempari apa saja, merusak fasilitas umum, atau saling tawur bahkan dengan suporter seatributnya, maka kau perlu datang ke Bontang. Kau perlu menyaksikan laga Bontang FC. Duduklah di bangku semennya. Insyaallah, kau tak akan menemukan keributan atau bakar-bakaran, atau lempar-lemparan. Insyaallah. Insyaallah yang akan kau temukan adalah nyanyian pembakar semangat yang terus menyala bahkan ketika tim kesayangannya masih tertinggal dan hampir kalah. Pulangnya, kau tak perlu khawatir bakal terjadi bentrok meski Bontang FC baru saja dibantai dengan skor mencolok. Tidak! Insyaallah tidak! Mereka akan pulang dengan tertib tanpa perlu menyetop bus secara serampangan. Bahkan, bila kau jeli, akan kau lihat pula motor terparkir dengan rapi tanpa perlu dikarcis. Insyaallah itu juga bakal aman-aman saja.

Kau mungkin heran, harusnya suporter seperti itu, kan, bakalan meraih predikat suporter terfair play. Mengalahkan Aremania, Bobotoh, apalagi The Jack. Memang, harusnya begitu. Atau, kalau tak menjadi yang ter, masuklah kiranya menjadi salah satu nominasinya dan mulai diperbincangkan di kancah persuporteran. Tapi nyatanya tidak. Sekali lagi tidak. Kau bingung mungkin kenapa itu bisa terjadi, tapi aku dapatkan alasannya ini, kawan:

“Sebab tak ada yang mau meliput ke sini. Tak ada yang mau bersusah payah menjangkau daerah terpencil di sini ‘hanya’ untuk mengabarkan kebaikan yang terus menerus. Hingga mungkin taka ada yang tahu. Lihatlah, kau tak pernah menemukan highlight pertandingan Bontang FC ketika main di kandang, kan? Iya, tak ada. Mungkin, dan yang pasti bisa jadi salah, orang-orang TV itu baru mau mengabarkannya kalau ada kericuhan di sini. Kalau ada suporter yang membakar stadion. Kalau ada suporter yang menyerbu ke lapangan. Karena memang begitulah, tabiat siaran berita kita lebih suka memberitakan hal-hal jelek ketimbang hal-hal baik. Seorang bapak yang memperkosa anaknya jauh-jauh lebih menarik untuk diberitakan daripada seorang bapak yang berjuang membanting tulang untuk membesarkan kelima anaknya. Tabiat itu, boleh jadi menunjukkan tabiat kita yang lebih suka menggunjingkan keburukan orang daripada kebaikan-kebaikannya.”

Baiklah! Baiklah! Aku tak perlu marah-marah. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah mengabarkan hal-hal baik yang menginspirasi. Semoga kau tertular kebaikan itu. Semoga kau juga mau berbagi hal-hal baik di sekitaranmu! Semoga!

 

 

 

 

Sunday, November 21, 2010

pulang-kembali

Saya mengernyit-ngernyitkan dahi sendiri menyadari bagaiamanakah saya mendefinisikan kata ‘pulang’ dalam keseharian saya. Fenomena ini, baru saya sadari baru-baru saja.

Di kantor, setelah suara sirene menggema dari plant, sebagai pertanda akhir jam kerja, telah berlalu, saya akan menyebutnya dengan kata ‘pulang’ untuk aktivitas menuju rumah bujang yang disediakan perusahaan, tempat dimana saya tinggal. “Pulang dulu, yah!”, begitu kata saya seringnya pada teman yang memilih untuk menunda beberapa saat kepulangannya. Sebagai bentuk pamitan.

Di rumah bujang saya itu, tempat dimana saya tinggal dan menghabiskan waktu disana dengan tidur, mandi, makan, serta aktivitas harian lainnya, ternyata kata ‘pulang’ ini juga saya pakai. “Kapan pulang, Bal?”, demikian tanya teman serumah suatu ketika. “Minggu depan, sekalian cuti”, jawab saya. Tentu saja saya mengerti dengan maksud kata ‘pulang’ yang teman saya sebutkan itu. Sebelumnya, saya memang sudah menyatakan rencana kepulangan saya itu jauh-jauh hari. Pulang, dalam kasus ini adalah sebuah kata yang berdefinisi untuk sebuah aktivitas menuju rumah (orang tua) saya di kampung. Jadi boleh dikatakan, ketika sudah pulang, saya masih bisa pulang lagi.

Lalu bagaimanakah ketika saya sudah berada di rumah orang tua saya di kampung? Ternyata berbeda. “Kapan balek?”, demikian pertanyaan yang sering diajukan. ‘Kapan balek’, bukan ‘kapan muleh’. ‘Balek’, dalam bahasa jawa yang dipakai di lingkungan asal saya, diartikan sebagai ‘kembali’ dalam bahasa Indonesia. Sedangkan ‘muleh’ untuk ‘pulang’. Praktis, ketika saya berada di kampung halaman, kata ‘pulang’ tak lagi dipakai untuk menyebut aktivitas saya menuju ke rumah bujang saya di Bontang. Padahal, untuk aktivitas yang sama, ketika saya berada di kantor, saya menyebutnya dengan kata ‘pulang’.

Agaknya, kata ‘pulang’ versi saya ini mempunyai sebuah tingkatan. Yang penyebutannya tak hanya merujuk ke tempat manakah saya bakal menuju, tapi juga dari manakah saya bertolak. Bila saya sedang berada di tempat kerja akan menuju rumah dinas, saya menyebutnya dengan ‘pulang’. Tapi bila saya sedang di kampung halaman akan menuju rumah dinas saya di Bontang, maka saya menyebutynya bukan dengan ‘pulang’, tapi ‘kembali’. Hingga, kemudian saya menyimpulkannya begini: ada setidaknya tiga tempat yang terkait pendefinisian kata ‘pulang’ ini. Yang pertama adalah kampung halaman, yang kedua adalah rumah dinas Bontang, yang ketiga adalah tempat selain keduanya. Jika saya berada di tempat ketiga, maka baik saya mau ke tempat pertama maupun tempat kedua, saya mengatakannya sebagai ‘pulang’. Jika saya berada di tempat kedua, maka kata ‘pulang’ hanya saya pakai ketika saya akan menuju ke tempat pertama.

Begitulah. Hingga ketika saya berada di tempat pertama, saya tak pernah memakai kata ‘pulang’ ini untuk menyebut aktivitas saya. Kata ‘kembali’ lah yang terpakai. “Nyuwun pamit, arep balek nang Bontang”, demikianlah kira-kira kalimat pamitan saya pada seorang tetangga. ‘Balek’, bukan ‘muleh’.

Tapi, bila mau berdalam-dalam merenunginya, agaknya kesimpulan di atas belum benar-benar sahih. Ada satu tempat lagi, yang bahkan ketika saya berada di tempat pertama, sah-sah saja untuk menyebutnya dengan ‘pulang’. Sebuah tempat yang ketika saya ternyatakan ‘pulang’, maka tak akan lagi merasakan ‘kembali’. Saya pun tak akan mampu memutuskan kapankah ‘pulang’ saya menuju tempat itu bakal terjadi. Hanya orang-orang sajalah yang kemudian menyebutnya dengan ‘berpulang’. Bisa esok, bisa tahun depan, bisa minggu depan, atau bisa sepersekian detik sejak saya tuliskan catatan kecil ini. Maka, karena kegaibannya itu, kita kemudian sering-sering mendoa: ‘seperti indahnya rasa kepulangan yang lain, ya Allah, pulangkanlah kami dalam keadaan indah!’ Aih, bukankah itu berarti khusnul khotimah.

 

 

Saturday, November 20, 2010

Friday, November 19, 2010

perahu nabi nuh versi keponakan saya

Tak mudah menanamkan cinta baca pada anak-anak. Terlebih di sebuah lingkungan yang sama sekali tak mendukung kegiatannya itu. Itu, saya rasakan betul ketika saya mencoba menanamkan cinta membaca ini pada keponakan saya.

Tiap kali pulang kampung, sebisa mungkin saya akan membawa sebuah buku buat keponakan saya ini sekaligus menanyakan buku yang kepulangan sebelumnya saya hadiahkan. Begitu pula kepulangan kali ini. Saat itu saya tengah berdua saja dengannya di ruang tamu sambil membaca buku bawaan dari Bontang. Ia menghampiri dan duduk dekat saya.

“bukunya yang dulu sudah dibaca?”

Tak menjawab, ia justru lari keluar dari ruangan dimana kita di situ berada. Dugaan saya, ia sedang mengambil buku yang saya maksud. Selama ini, ia sama sekali tak mau berbicara via telepon tiap kali saya menghubungi. Kepulangan saya sebelumnya saya membawakannya buku “99 Kisah menakjubkan dalam Al-Quran”.

“Sudah dibaca”, ulang saya ketika ia kembali dengan bukunya. Sampulnya terlihat lecek. Dan itu pertanda baik kalau ia telah membacanya

“Belum semua”, sahutnya seraya membuka-buka halaman buku. Tapi tak jua menemukan sebuah bab yang benar-benar ia seksamai untuk kemudian dibaca.

“Tak bacakan kah?”, saya menawarkan diri. Tak tahu ini baik apa tidak mengingat usianya yang sudah kelas 2 SD.

Saya buka halaman demi halaman buku itu untuk mencari cerita yang sekiranya pas.

“kalau ini bagaimana?”, saya tunjukkan sebuah cerita tentang hewan-hewan yang diselamatkan nabi Nuh di atas kapal.

Iya mengangguk.

Kemudian, saya mulai membacanya sambil sesekali menjelaskan maksudnya dengan bahasa saya sendiri. Awalnya, ia antusias mendengar sambil sedikit menanggapi namun segera saja terlihat mulai tak mengindahkan. Asyik dengan pikirannya sendiri seolah apa yang ia dengar hanya lewat begitu saja. Tapi, saya terus membacakan hingga usai.

Hari berganti dan saat itu saya, keponakan saya itu, dan ayahnya pergi naik motor. Saat itu malam hari dan kami melewati jalan desa menuju kampung kami untuk pulang kembali. Jalanan gelap maka segala yang tampak terang, meski jauh, menjadi terlihat.

“itu apa, lek Iqbal?”, tiba-tiba keponakan saya itu bertanya sambil menunjuk ke sebuah arah. Lek Iqbal adalah panggilannya untuk saya.

Yang ditunjuk adalah sebuah kerlap-kerlip cahaya lampu di sebuah ketinggian. Di atas pegunungan tepatnya. Sejak dulu, bahkan ketika kampung kami belum teraliri listrik, memang sudah ada kerlap-kerlip di atas gunung itu menandakan pemukiman penduduk. Hanya, kali ini kerlap-kerlip itu semakin banyak saja yang menandakan jumlah pemukiman yang meningkat.

“itu rumah di atas gunung. Yang menyala itu lampu di rumah-rumah. Nama desanya Pancur”,sahut saya,”Puteri pernah kesana?”

“nggak”, jawabnya cepat, yang dengan cepat disusul dengan kalimat lain: “kayak nabi Nuh, ya?”

Kontan saya tersenyum geli. Sewaktu bercerita kemarinnya saya memang mengisahkan tentang nabi Nuh yang membuat perahu besar di atas gunung. Ternyata, dalam ketakacuhannya ia menangkap apa yang saya ceritakan, minimal mengenai perahu di gunung itu.

Kemudian hari-hari berganti lagi sampai ketika saya berkunjung ke rumahnya. Menemukan buku gambar yang tergeletak begitu saja menggoda saya untuk membukanya. Ada banyak gambar-gambar hasil karya keponakan saya itu. Saya terus membuka-buka halaman buku gambar ketika keponakan saya ikut mendekat.
Tak ada yang menarik perhatian saya sampai kemudian mata saya tertumbuk pada sebuah lukisan pemandangan. Adalah jamak kalau lukisan pemandangan adalah sebuah gunung dengan mataharinya dan jalan yang muncul dari tengah gunung. Yang sedikit tak biasa kemudian adalah adanya laut dengan beberapa perahu di kanan kiri jalan tadi. Seingat saya, waktu SD dulu, kanan-kiri jalan selalu saya isi dengan persawahan kalau tidak pepohonan biasa.

“kok di gunung ada perahu, Put?” Tanya saya tersenyum sembari memperlihatkan lukisannya. Saya tahu anak-anak kecil memang sering kali memiliki imajinasi yang tak biasa.

Ia diam sebentar sembari mengamati hasil karyanya itu. Saya menunggu. Beberapa detik….. sampai….. “Perahunya nabi Nuh”

Sepersekian detik…..dan meledaklah tawa saya.


Wednesday, November 17, 2010

(catatan perjalanan2) sby-ponorogo

(baca tulisan sebelumnya, ya? he he)


Tapi aku ragu untuk menyatakan keberatanku lewat kata. Jadinya, aku hanya mengibas-ngibaskan tangan dengan gerakan berlebihan untuk memancingnya merasakan keberatanku. Entah bapak tua itu nyadar atau tidak. Aku tak tahu. Hanya saja, batang-batang rokoknya berlanjut sambung menyambung dengan jeda yang tak terlalu lebar. Tak beruntungnya juga, bapak tua ini bukanlah penumpang jarak pendek yang segera turun. Nantinya, seingatku, ia baru turun di sekitaran nganjuk.

Teman dudukku pertama adalah seorang bapak yang tak terlalu antusias saat aku pancing ngobrol. Jadinya, kami hanya berdiam diri dalam pikiran masing-masing. Saat itu aku belum berminat untuk membuka buku yang memang aku bawa. Bahkan, ketika aku membeli Jawa Pos dan kutawarkan dia untuk ikut membacanya, ia juga menolak. Dengan halus.

Teman duduk pertama turun dan diganti seorang anak kecil yang memang mebersamai ibunya. Tingkahnya lucu dan malu-malu saat aku tawari tahu sumedangku. Pertama kali menggeleng, namun segera saja ia comot juga sepotong tahu yangmemang aku sodorkan dengan cara sedikit mendesak. kebersamaan dengan bocah cilik ini, sebentar saja, sebab tak lama setelah itu ia kembali bergabung dengan ibunya yang duduk dua kursi di belakang.

Lalu orang ketiga yang duduk adalah seorang ibu bersama puteranya. Tak butuh waktu lama untuk memancingnya berbicara banyak. Banyak sekali, seolah aku adalah orang yang sudah lama dikenalnya. Menceritakan anaknya yang berjumalah dua dengan yang sulung sudah duduk di bangku SMK. Menceritakan tentang suaminya yang menjadi karyawan di sebuah pabrik di mojokerto (ia meneyebut pekerjaan suaminya dengan sebuah kosakata yang tak terlalu nyaman di telinga : buruh). Menceritakan bibinya yang juga berada di Kalimantan, Balikpapan tepatnya (ia bercerita setelah dengan terpaksa aku sebutkan kalimantan sebagai tempat dimana aku bekerja). Dan, puncaknya, ketika dengan sertamerta ia bertanya, ‘sudah menikah?’. Haha..ini adalah pertanyaan yang kesekian yang ditanyakan oleh orang yang bahkan baru pertama aku temui. Aku tersenyum menidakkan. “nunggu apalagi, mas?”, ibu itu membalasnya dengan sebuah pertanyaan yang aku tahu tak membutuhkan jawaban.

Di mojo agung, Jombang, kemudian ibu itu turun. Aku menyesalkan kenapa ia segera turun sebab selama rentang ibu itu duduk di sampingku lah perjalanan menjadi lebih menyenangkan meski dalam cuaca yang mengalirkan keringat. Segera, setelah ibu itu berpamitan untuk turun, tempat duduk sebelah kembali kosong. Akupun kembali membuka lowongan. Menjuadi penguasa kursi untuk sementara. Tapi, itu kemudian tak lama.

Lagi-lagi, ibu-ibu. Aku lupa detailnya sebab tak terlalu bercakap-cakap dengannya. Subyektivitas mungkin yang membuat aku bahkan malas untuk membuka percakapan. Sebuah alasan yang sama yang mungkin dimiliki oleh bapak pertama yang tak terlalu antusias ketika aku ajak bicara.

Tak ada yang menarik, selain apa-apa yang bisa terlihat di luar jendela. Rute ini jarang-jarang aku lalui maka setiap tempat yang terlewatil menjadi menarik untuk dilihat sebab memang jarang terinderai. Sesuatu yang jarang itu memang menarik. Berkali-kali asongan naik turun dan berkali-kali pula pengamen jalanan manggung. Juga, tak lupa, seorang yang mengedarkan sebuah amplop putih lusuh dengan bubuhan tulisan pengundang iba, berucap sebentar, lalu kembali memungutinya dari para penumpang berharap tangan-tangan derma telah menyisipkan rupiah-rupiah ke amplop-ampolop yang semula kosong tadi. Kuhitung ada tiga orang yang memakai metode itu tadi. Yang pertama seorang yang terlihat cacat dengan tulisan tangan tak rapi (untuk tak mengatakannya cakar ayam). Tulisannya lumayan panjang dengan kemampuan meletakkan tanda baca yang sangat-sangat lemah.

Yang kedua kemudian adalah seorang remaja tanggung yang terlihat segar bugar. Catat: remaja tanggung. Amplopnya lusuh juga dengan tulisan tangan yang boleh dikata lebih rapi dari yang pertama. Yang ia tulis di amplop itu sungguh-sungguh singkat yang bahkan aku masih menghafal potongannya : untuk makan dan membantu orang tua. Terakhir, yang ketiga, adalah seorang ibu-ibu. Masih dengan amplop putihnya, hanya saja kali ini ia tak memamerkan tulisan tangannya yang mungkin saja juga tak rapi. Kali ini tulisan yang aku baca di amplop itu adalah tulisan produk komputer dengan font standar. Isi tulisannya, tak jauh beda.

Di terminal nganjuk, kemudian seorang pelajar puteri naik. Murid MAN, itu yang kutahu nanti dari badge yang terpasang di lengan bajunya. Sebentar celingukan menyeksamai bus yang lumayan penuh. Kemudian, ia memutuskan duduk di sampingku. Saat itu aku telah asyik dengan DDU-nya Salim (dengan beberapa kali ketiduran)hingga tak terlalu ingin ngobrol. Si pelajar, nampak diam saja. Dari gelagatnya, nampak betul kalau ia sudah hafal detail bus yang ia tumpangi. Mungkin tiap harinya ini adalah kendaraan pengantar ia menempuh mimpi.

Tak lama, kondektur menghampiri si pelajar. Ia, si pelajar, menyerahkan selembar lima ribuan dengan menyebutkan sebuah tempat yang tak kudengar. Kemudian, tiga lembar uang ribuan sebagai kembaliannya. Entahlah, aku sering kali tertarik hal begituan. Naik kendaraan umum hingga lulus SMA sedikit banyak berandil atas kesukaanku ini. Ongkosku tadi 28.000 (atau 22.000, ya?), yang berarti berkali lipatnya dari ongkos si npelajar berkacamata.
Yang menjadi masalah kemudian adalah ternyata si pelajar ini mulai terkantuk-kantuk. Berkali-kali kepalanya tertekuk-tekuk ke depan dan ini isyarat kalau tekukannya bakalan menyamping juga. Aih, jika yang disamping itu adalah seseorang perempuan yang bapaknya kau jabat erat dengan kalimat qobul setelah sebelumnya ia mengucapkan kalimat Ijab, maka kau akan dengan senang hati menyerahkan pundakmu, meski kepalanya memberati. Tapi ini?
Aku pun terpaksa memajukan dudukku dan merelakan diri untuk tak menyandarkan punggung yang sebenarnya telah kelelahan.

Sebentar saja si pelajar itu. ia pun turun dan keadaan mulai lowong hingga aku menguasai kursi yang sebenarnya berisi dua itu.
Menjelang Madiun (atau setelah, ya?), bus berhenti di depan sebuah pabrik rokok Sampoerna. Beberapa pekerja perempuan naik. Aku tak tahu apa karena tampilanku terlihat orang baik-baik hingga orang nyaman duduk di sampingku atau karena alasan tempat dudukku yang strategis hingga seorang karyawan perempuan memilih duduk di sampingku. Padahal bus sudah lowong.

Tapi kemudian aku membuka percakapan;

“Mlilir masih jauh nggak, mb?” Kuperlihatkan karcis busku dengan kata Mlilir yang tercoret spidol.
“masih jauh.”
“satu jam lagi?” Demikian kejarku. Kata jauh tentu saja lebih sulit untuk diterjemahkan.
“Oh, nggak nyampai”
Ouw, dekat berarti. “Mbak turun mana?”
“Ponorogo.”
“kalau begitu, kalau mau nyampai mlilir tolong diingatkan”. Ponorogo adalah tempat yang lokasinya berada setelah Mlilir. Begitulah informasi yang kudapatkan dari potongan karcis bus itu.

Mbaknya hanya tersenyum.

Ngepos Mlilir, demikianlah tempat turun bus yang diinfokan teman yang akan menikah ini. Tempat itu pula yang aku katakan pada kondektur bus, yang kemudian dibalas dengan anggukan. Aku sudah merangsek duduk di baris terdepan. Di luar, gerimis mulai turun. Bahkan cenderung membesar. Tentu, itu kabar buruk.

Ngepos mlilir yang dimaksud adalah sebuah pos polisi. Di situlah kemudian aku turun. Kupencet sebuah nomor dan tersambunglah aku dengan teman yang punya hajatan itu. Ia memerintahkan untuk naik ojek yang katanya mangkal di sekitar situ. Dan benar, tampa perlu kucari, seorang tukang ojek menghampiri bahkan ketika aku masih berbicara via telepon dengan temanku.

Kemudian, kusebutkan sebuah alamat yang diberitahukan temanku tadi. Pak tukang ojek mengangguk tanda mengerti. Ia, yang merasa di atas angin sebab ia seorang lah tukang ojek di situ serta merta menuju motor bututnya tanpa perlu mengajakku serta. Ia sudah yakin kalau langkahnya pasti akan aku ikuti.

“berapa pak?”. Kesalahan. Aku memakai bahasa indonesia yang mengesankan orang jauh dan ngota.
“lima belas ribu.”
“nggak sepuluh ribu?”
“lima belas ribu.” Mengucapkan itu, sambil memakai helm.

Baiklah. “saya nggak pakai helm nggak papa, Pak?”

Sedikit tersenyum. “nggak apa-apa.”

Ah, Bapak. Helm bukan karena ada polisi, Pak.

Kami tak jua berangkat. Pak tukang ojek masih juga terlihat sibuk. Malah kemudian sibuk mengambil mantel dari jok motornya demi melihat gerimis yang sepertinya lumayan juga membasahi baju. Gerak-geriknya nampak grogi seolah ini adalah kali pertama ia mengojek. Mungkin, dan ini analisaku yang baru terpikirkan kemudian, aku adalah penumpang pertamanya setelah menunggu seharian. Amat membucahkan hatinya lah pasti. Analisa serampanganku itu, tak pelak cukup membuatku tenteram bahkan jikalau toh ongkos naik ojek itu harusnya lima ribu saja.

Motor terstarter. Kami pun berangkat, dengan aku berlindung dari balik ponco pak tukang ojek. Gelap pastinya. Tak ada yang bisa dilihat. Tapi itu adalah konsekuensi jika aku ingin terlindung dari hujan.

Motor pak tukang ojek terus membelah jalan. Kulihat, waktu menunjukan jelang jam empat sore.

N-L-KT....dalam empat hari ke depan

Monday, November 15, 2010

(catatan Perjalanan) Kepulangan

Menjelang pukul sepuluh siang, ketika pesawat Lion Air dengan penerbangan JT-361 itu mendarat mulus di landasan Bandara Juanda. Udara panas seketika menyergap , seolah memberi salam perkenalan, semacam ucapan lirih dalam sayupnya,’selamat datang kembali, Sobat!’. Benar, tak terbantahkan memang, surabaya boleh jadi sama panasnya dengan kalimantan. Tapi, tentu, ada detail dari panas itu yang berbeda. Yang lebih rinci. Dan itu, yang boleh jadi menimbulkan rindu. Surabaya adalah kota perjuangan. Demikian, jargon yang dulu seringkali terdengar, atau terbaca. Perjuangan yang boleh jadi bermakna beda bagi tiap individunya.

Sendiri melangkah menuju tempat pengambilan bagasi. Sendiri yang tentu saja bukan berarti tak ada yang membersamai. Sebab, hai, bukankah penumpang yang lain juga melakukan hal yang sama. Melangkah menuju ke conveyor tempat tas-tas bawaan itu. Menungguinya untuk berputar. Beberapa menit. Beberapa menit. Dan, ah, itu!
Keluar. Menacari-cari bus damri yang akan mengantarkan ke terminal Bungurasih. Lima belas ribu katanya. Ya, katanya, sebab ini bakalan jadi yang pertama. Sebelum-sebelumnya, tak naik kendaraan ini. Di Juanda, tak terlalu banyak alternatif kendaraan yang bisa dipilih untuk dipakai jasanya mengantarkan kita keluar dari areal bandara. Taksi hanya satu jenis, semacam monopoli yang entah mengapa bisa melanggeng. Lainnya, carteran Golden Bird. Tentu, itu tak masuk alternatif untuk kali ini. Maka jadilah Bus Damri tadi yang terpilih. Memvariasikan sesuatu seringkali memberikan kita kesempatan belajar yang lebih.

Bus Damri berangkat dan aku mulai menghitung waktu hingga kendaraan ini menyentuh areal terminal Bungurasih. Bungurasih? Hai, ini sebenarnya penyebutan yang salah kaprah. Harusnya, nama terminal ini adalah Purabaya (sepertinya purabaya ini adalah nama seorang pangeran di jaman kerajaan dulu. Tapi entahlah. Nilaiku tak bagus-bagus amat untuk pelajaran sejarah ini). Dan Bungurasih, sepertinya adalah sebuah nama daerah tempat terminal Purabaya ini berada. Entahlah! Lagi-lagi aku tak terlalu yakin untuk hal ini. Aku berjanji akan mencari tahunya dengan segera.

Sepertinya menjelang pukul sebelas ketika aku tiba di terminal Purabaya. Aku sebutkan ‘seperttinya’ karena memang aku tak menyempatkan diri membaca waktu di ponselku. Lebih menyempatkan diri bergegas sembari menenteng tas bawaan. Kemudian, membeli karcis peron. Jelas tertulis di kaca loket itu harganya 200 rupiah perlembar, persoalan kemudian ketika aku menyodorkan selembar uang seribu lalu dibalas dengan selembar karcis dan sebuah koin lima ratus, agaknya itu masalah lain tentang salah satu ketakberesan negeri ini. Kali itu aku tak dalam keadaan cukup ‘sehat’ untuk mempermasalahkannya atau sekedar menunjukkan seringai ketaksenangan. Diam saja dan segera melangkah menuju ke ruang tunggu terminal.
Tak terlalu padat dan tak terlalu lengang runag tunggu itu. Ada beberapa hal yang telah berubah tapi aku tak terlalu antusias untuk menyeksamai perubahannya. Sejak dulu, aku tak terlalu menyukai suasana di terminal ini. Sungguh berkebalikan dengan antusiasmeku ketika menginderai setiap detail stasiun, bahkan yang terkecil seklaipun.

Sedikit ragu kemudian aku langkahkan kaki menuju tempat pemberangkatan bus. Memilih jurusan yang sesuai dengan kemanakah aku akan pergi. Bukan ke Pasuruan, atu jurusan Jember yang kucari. Atau lebih tepatnya, bukan menuju rumahlah tujuanku yang pertama ini. Tapi Ponorogo. Sejak kutahu bahwa jadwal cutiku berbarengan dengan seorang, eh dua orang, teman kantor yang melangsungkan pernikahan di Ponorogo ini, aku telah memutuskan kalau aku akan menghadirinya. Dan, karena Ponorogo dan Pasuruan adalah dua tempat yang boleh dikata bertolak belakang arahnya bila dilihat dari Surabaya, maka aku memutuskan untuk langsung menuju ke Ponorogo tersebut ketimbang untuk pulang dulu. Datang akadnya saja, demikian keputusan hatiku jauh-jauh hari dulu. Memang, akad nikahnya akan dilangsungkan nanti malamnya, sedangkan acara resepsinya keesokan harinya, jam dua siang pula. Skenarioku adalah, aku akan datang di ponorogo sekitar ashar dan akan langsung njujuk rumah teman itu. Rumah yang juga menjadi tempat bakal diselenggarakan prosesi akad nikah itu. Mungkin akan menunggu beberapa jam di sana sampai akad nikah digelar. Malam harinya, selepas akad nikah, aku akan undur diri dan segera balik ke Surabaya. Untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Pasuruan. Membayangkannya, sungguh aku merasakan diriku menjadi seorang petualang sejati.

Sudahkah aku kabarkan sebelumnya kalau jarak tempuh surabaya-Ponorogo adalah 5-6 jam? Ya, itulah waktu yang diinfokan seorang teman kala aku sms dia tentang berapa lama jarak tempuh ke ponorogo dari Surabaya. Kawan, itu bahkan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh Balikpapan-Bontang via kendaraan darat. Dan tahukah, Kau, Balikpapan-Bontang itu berjarak tak kurang dari 250 km. Tapi, dengan perjalanan sejauh itu, aku justeru melangkah kaki menuju bus ekonomi. Logikaku sederhana saja, semkain ekonomi, agaknya akan semakin beragam pengalaman yang aku dapat. Telah lama tinggal di Bontang dengan rutinitas yang itu-itu membuatku menginginkan hal-hal yang tak biasa. Termasuk masalah naik angkutan umum ini.
Hanya ada dua bus di jalur menuju Ponorogo. Aku kemudian masuk saja ke bus yang terdepan. Keduanya sama-sama tak ber-AC dan memilih salah satunya sama-sama berkonsekuensi akan disapai asap rokok penumpang lain. Maka, tentu saja pilihan yang tepat adalah memilih yang terdepan. Lebih cepat berangkat, lebih cepat sampai tujuan. Sederhana saja.

Aku duduk di dereten kursi yang berdua. Di sebelah kiri. Nomor tiga dari depan. Bus masih dalam keadaan kosong. Artinya, bakal ada menit-menit berlalu hingga mesin bus menyala dan pak sopir mulai menjalankan kemudianya. Tapi, lagi-lagi, aku ingin menikmati momen langka yang sudah dua tahun belakangan tak kutemui. Dan itu, para pengamen, para asongan dengan dagangan yang semakin variatif, adalah orang-orang yang menyediakan sebuah bidang tempat kita juga bisa berkaca. Berkaca lama.

Entah setelah menunggu berap menit ketika bus itu berangkat. Penumpang sudah banyak meski belum penuh. DI tangangku, ada lima bungkus tahu sumedang yang kubeli pada pedagang asongan sebagai pengganjal perut selama perjalanan. Sungguh beruntung aku yang sebelum berangkat, pas di Bontang sebleumnya, menyempatkan diri memakan nasi goreng dingin sisa semalam dari kegiatan Porseni perusahaan mengingat kesempatan untuk makan dengan benar itu tak tersedia. Buktinya, bakal tersaji jam-jam berikutnya, perutku tak juga unjukrasa untuk meminta jatahnya.

Bus sudah penuh, beberapa kilometer lepas dari Terminal Purabaya, ketika asap rokok pertama secara lancang mencandai wajahku. Menusuk-nusuk bulu hidungku. Refleks kutolehkan kepala mencari sumber masalah. Dan kutemukanlah wajah tak berdosa itu, tepat di belakangku, seorang bapak tua, kakek-kakek tepatnya, dengan ringannya meletakkan tangan yang jemarinya menggapit batang laknat itu, tepat di belakang kepalaku. Aih, perjalanan bakal memberat.

(bersambung)

Sunday, November 7, 2010

Perkenalkan, Namanya Dona Windy Astuti


 “Iqbal, kalau ada perlu, dipanggil saja, tak usah dicolek”

Bagaimana aku akan lupa kalimat itu. Pertama kali terucap, sekitar enam tahun yang lalu. Seorang perempuan mengatakannya. Namanya, Dona Windy Astuti.

Kami dipertemukan oleh sebuah pilihan pada bulatan-bulatan yang kami isi di kolom pilihan jurusan pada kertas pendaftaran SPMB. Diuji oleh soal-soal pilihan ganda pada waktu yang sama dan tempat yang berbeda. Kemudian bertemu di sebuah kampus pinggiran Surabaya dengan status sebagai mahasiswa. Tapi tidak! Bukan karena kami sejurusan sematalah yang membuat kemudian aku lebih jauh mengenalnya.

Kalimat di atas tadi, adalah kalimat yang ia ucapkan saat berada di sebuah kelas yang bukan ruang kelas jurusan kami. Memang, saat itu bukan kuliah jurusan, hingga orang-orang yang berada di dalamnya juga bukan semuanya adalah teman sejurusan. Sebagai mahasiswa baru, kami memang wajib mengikuti kuliah bersama dengan jurusan-jurusan lain. Namanya adalah Tahap Persiapan Bersama. Akan ada berbagai macam jurusan di dalam satu kelasnya, meski tetap saja ada teman sejurusan juga di dalamnya. Dalam jumlah sedikit. Ada dua orang saja teman sejurusan dalam kelasku kala itu. Salah satunya, ya Dona tadi. Di dalam kelas itulah kalimat itu terucap.

Adalah menjadi hal biasa jika teman sejurusan lebih cenderung untuk mengelompok sendiri. Duduk berdekatan sebab memungkinkan lebih mudah untuk bertanya satu dan lain hal. Karena lebih dulu akrab. Apalagi, untuk kuliah-kuliah perdana dimana tak banyak anak lain yang lebih diakrabi. Dan itulah kita, yang bertiga kala itu. Sama-sama duduk di baris terdepan. Atau di baris terdepan dan kedua, tapi untuk satu kolom yang sama atau berhimpit. Untuk beberapa pertemuan awal.

Aku ada perlu kala itu. Padanya. Entah ingin menanyakan hal apa. Aku juga telah lupa. Mungkin tentang masalah angkatan yang memang menjadi begitu runyam bagi seorang mahasiswa baru. Dan dia, Dona, lebih aktif di sana. Hingga akan banyak informasi yang didapat dengan menanyainya. Ia selalu bersenang hati menceritakan semuanya dengan semangat.

Aku kemudian mencoleknya dengan sebatang pena. Ya, tentu, aku tahu, aku tak melakukannya dengan tangan telanjangku. Aku tahu ia seorang wanita, dan aku pria. Tak boleh. Apalagi melakukannya pada seorang perempuan yang begitu santun, rapat pula menutup auratnya.

 

Tapi ternyata, ia tetap terganggu; “Iqbal, lain kali kalau ada perlu, dipanggil saja. Jangan dicolek”. Lihatlah, pemilihan katanya adalah bukti kesantunannya. Tak ada intonasi menyalahkan. Hingga membuatku malu bahkan untuk memberi sebuah argumen pembenar tindakanku. Hari itu pelajaran pertamaku dimulai.

Di lain hari ia menegur begini :”Iqbal, duduknya bisa agak ke sanaan!”. Itu adalah kalimatnya ketika ia mulai risih dengan jarak duduk kami yang terlalu dekat. Bukan benar-benar maksudku sebenarnya untuk berimpit meski dalam kursi yang berbeda.  Beberapa kali aku bertanya dan ia menjawab, sering pula ia menanyakan sesuatu dan aku berkewajiban menjelaskannya. Dan tentang kuliah yang hitung-hitungan, maka tak enaklah rasanya jika menjelaskannya tidak dalam satu kertas dimana konsentrasi kita sama-sama di situ. Maka aku pun mungkin sedikit lalai mengindahkan aturan itu. Hingga kalimat itu muncul yang membuat aku kembali mengatur posisi dudukku sampai batas aman.

Itu adalah dua pelajaran awal yang membekas. Ah, membekas memang bukan melulu tentang sebuah hal besar. Membekas kadang juga tentang persoalan yang terlihat kecil tapi begitu jernih tertuang. Membekas kadang juga tentang sebuah mula. Dan untuk dua hal tersebut, dia, Dona, adalah seorang guru yang baik untuk membekaskan pelajaran pada muridnya. Kelak aku menyukuri bahwa interaksi awalku di dunia kampus ini diisi oleh orang-orang baik macam Dona ini.

Dua semester usia pertemanan dalam ikatan sekelas Tahap Persiapan Bersama itu. Dua kali dalam seminggu, Selasa dan Kamis. Dua mata kuliah tiap kalinya. Memang, kita masih satu jurusan, tapi memiliki kesamaan dalam sebuah perbedaan macam sejurusan dalam komunitas multi jurusan itu, memberi nilai lebih dalam hubungan pertemanan itu.

Apalagi yang perlu kuceritakan. Ia seorang yang tekun. Jujur sejujur-jujurnya, minimal sepengetahuanku. Tak pernah kulihat ia tolah-toleh saat ujian berlangsung. Kau mungkin mengira ia lancar mengerjakan soal-soal ujian itu hingga tak perlu repot celingukan mencari kesempatan. Tidak! Tidak selalu. Aku tahu jelas hal itu. Setahun sekelas, dengan intensitas bertukar pikiran tentang mata kuliah yang kerap, sedikit banyak memahamkanku, juga mungkin memahamkannya.

Suatu saat, saat aku tengah menonton nilai akhir mata kuliah Tahap Persiapan Bersama-ku di sebuah tempelan papan pengumuman, ia muncul dengan teman perempuannya, teman sejurusanku juga. Saat itu aku baru balik dari pulang kampung untuk mengisi liburan semester. Seperti biasa, lepas itu, aku akan tergopoh-gopoh menuju kampus untuk menengok nilai-nilai yang keluar.

Ia menyapaku, membuatku memalingkan muka dan sejenak mengalihkan pandang dari tabel berisi nama-nama dan huruf-huruf di sampingnya. Dengan senyum-senyum kemudian ia berucap, “Nilaimu bagus ya, Bal? Cuma ada tiga orang yang dapat A.”

Aku tersenyum juga. Tapi pahit. Aku tentu tahu benar, baru saja aku melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Bersanding di namanya dalam tabel nilai itu, sebuah huruf ‘D’. Dan itu artinya ia tak lulus mata kuliah ini. Tapi lihatlah, tak ada kesedihan yang terlalu, ia justru tersenyum. Kemudian menyampaikan selamat dengan kekhasannya. Hati siapa yang tak teriris-iris. Ah, yang menggetarkan sebenarnya bukanlah kesedihan itu, tapi kekuatan menghadapi kesedihan itulah yang justru mengoyak-ngoyak nurani. Hari itu ia memberiku pelajaran yang ketiga.

Selanjutnya, kami justru serting berinteraksi dalam wadah organisasi. Dari pertemuan sebatas ruang kuliah menjadi ruang rapat. Dari tentang kulaih menjadi tentang strategi organisasi. Ia masih seperti yang dulu. Masih santun, dengan kalimat yang terpelihara. Jauh dari menyakiti. Hingga tak heran ia menjadi orang yang bisa diterima di banyak golongan. Tak terlalu mengherankan pula jika kemudian ia terlihat dimana-mana. Langkah kakinya memang cepat, dengan gaya berjalan yang selalu terlihat terburu-buru. Kakinya seakan tak cukup cepat untuk mengakomodasi kehendaknya yang melesat.

Dan waktu, memang benar-benar melesat. Di semester-semester akhir perkuliahan, di sebuah siang, aku terkejut ketika ia tiba-tiba berkata ini kala kami bertemu, “Iqbal, ibunya sakit rematik ya?"

Aku, sambil tersenyum mengiyakan. Sejenak heran darimana ia mengetahuinya, namun secepat kilat tersadarkan kalau info itu pasti ia dapatkan dari membaca blogku. Beberapa waktu lalu aku memang menulis tentang ibu meski tak spesifik tentang penyakit rematik itu.

"Itu, soalnya ibu saya juga pernah. Dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Minum parutan sayur manisa. Yang biasa dibuat sayur itu"

Aku tersenyum lagi. Duh, aku tak tahu energi kebaikan apa yang begitu baik ia simpan. Untuk ia tebarkan kemanfaatannya kepada siapa saja di sekelilingnya. Saat menulisnya, aku sama sekali tak mengharapkan tanggapan tentang solusi mengatasi rematik itu. Tidak! Tapi, lihatlah! Ia menjelmakan tulisan itu sebagai peluang untuk berbagi kemafaatan ke sekitarnya. Berbagi kebaikan. Membuat orang akan senantiasa nyaman membersamainya.

Dan, melesat. Benar-benar melesat.

 

Hingga 2 Juni 2009 itu. Di suatu pagi. Saat itu aku telah terpisah jauh dari tempat kami dulu bertemu. Memang, setelah merantau untuk tunututan kerja, aku tak banyak lagi mengikuti perkembangan teman-teman, termasuk Dona ini. Yang kutahu, satu semester setelah aku lulus, iya lulus juga. Itu saja. Tak lebih. Tak tahu, atau bahkan tak tahu menahu tentang aktivitasnya setelahnya.

Tapi sms itu, kemudian mengabarkan segalanya:

“Innaalillahi wa innaa ilayhi rojiun”, bukankah itu pembuka untuk sebuah sms pemberitahuan tentang kematian, “telah meninggal teman kita, Dona Windy Astuti, hari ini di jakarta”

Entah apa yang ada di persaanku kala itu. Sempat terbengong tak percaya. Berharap SMS ini keliru. Berharap SMS ini hanya main-main belaka. Tapi, ternyata tidak! SMS lain kemudian datang menyerbu untuk memberitahukan hal yang sama. Maka secepat kilat kemudian aku sign in yahoo messenger, log in Face book. Menyapa teman-teman, mempertanyakan kebenaran.

“Benarkah?”

“Bagaimana bisa?”

“Ceritanya bagaimana?”

Tak ada yang benar-benar tahu dengan pasti. Semuanya serba simpang-siur. Tapi yang pasti, aroma duka menyeruak. Kalimat-kalimat bela sungkawa sontak memenuhi status FB, milist angkatan ramai membicarakan kronologis. Tak jelas, tapi dari keterangan yang patah-patah, kemudian aku mendapatkan kronologis seperti ini:

Dona diterima kerja di jakarta. Kemudian mengikuti orientasi kerja semi militer. Menginap. Saat itu lepas sholat subuh, teman  sekerjanya menjemput ke kamarnya untuk bersiap-siap mengikuti acara, tapi ia mempersilhakan temannya itu untuk duluan. Saat itulah, saat temannya sudah di luar untuk duluan, terdengar sebuah benda berat jatuh berdebam dari dalam kamar. Saat dilihat, Dona sudah ditemukan ambruk di dalam kamarnya.

 

++++++

 

Dan, di sujud itu, beberapa jam setelah kabar itu, aku tergugu. Pertahanan selama beberapa jam itu akhirnya jebol juga. Tak tertahankan lagi. Sungguh, ia terlalu baik, terlalu banyak hal-hal baik yang ia catatkan, mengingatnya adalah mengingat kebaikan. Maka, jika air mata ini adalah kesaksian akan kebaikannya di muka bumi ini, maka ijinkanlah Ya Allah, bulir-bulir air mata ini menjelma menjadi butir-butir yang memperberat amal kebajikannya. Ijinkanlah!

(baru tw) hore! di kaltim pos sekarang ada rubrik cerpen