Saturday, January 30, 2010

Surat seorang ibu untuk anaknya

Berbilang tahun yang lalu, Nak! Di sebuah malam yang telah larut, mungkin menjelang fajar, kala tangis mungil itu merobek kelam, buncah benar hati ini.  Tak ada yang benar-benar mampu dengan utuh menggambarkan suasananya, tidak juga seperlima bagiannya. Bahagia tak terungkap membekap senyap. Mungkin itulah saat, dimana sakit dan bahagia berbaur tak tentu. Hingga orang-orang tak pernah tahu dengan pasti, apa yg merembesi pipi, itu air mata oleh sebab apa.

Kau yang kelima kalinya. Kelima kalinya untuk dua hal sekaligus.  Kelahiran kelima, laki-laki kelima. Mungkin sebelum-sebelumnya ada sedikit harap, kala mengelus mesra perut yang kian membuncit, hari demi hari, semoga perempuan pada akhirnya Allah titipkan. Agar lebih beraneka rumah ini, agar lebih beragam suara-suara ini, agar kelak ada yang menggantikan untuk menyapu halaman ini. Besar sekali harapan itu, tapi Allah jualah yang mengetahui apa yang terbaik. Kau yang lahir, Anakku, seorang lelaki. Menjadi penggenap formasi pandawa lima itu. Menjadi Sadhewoku. Tapi sama sekali tak ada kecewa, Sayang! Energi kebaikan yang tertabung sedikit demi sedikit untuk penyambutan sang puteri, sepenuhnya terlimpahkan sudah. Kepadamu.  Sang putera.

Selalu indah skenarioNya.

Kaupun bertumbuh. Menjadi penyejuk pandangan mata. Aku masih ingat kala itu, kau belum juga genap dua tahun. Sedang lucu-lucunya. Amat menggemaskan. Dan saat itulah, kali pertama secara formil  kau memposisikan ibu menjadi  seseorang yang begitu bangganya menjadi ibu. Ibumu.  Saat itu, bangganya ibu menggendongmu untuk mengiringi capaianmu menjadi pemenang  kontes itu. Hanya level kecamatan memang. Tidak terlalu besar. Bersaing dengan anak-anak desa lainnya. Tapi sebuah predikat ‘bayi tersehat sekecamatan’ cukup menyejukkan hati bahwa ibu ‘mampu’ membesarkanmu dengan baik. Kesejukan yang akan selalu kunanti di sepanjang pergerakan usiamu. Menunggu kejutan-kejutanmu.

Kau spesial, Anakku. Meski kalimat ini ibu ucapkan ke semua anak-anak ibu, tapi tetap saja kau spesial. Spesial bagi ibu, spesial untuk zamanmu. Orang-orang boleh bilang kalau itu hanyalah subjektivitas seorang ibu untuk anaknya, tapi ibu bilang ini adalah bahasa cinta seorang bunda untuk buah hatinya. Dan kau pasti jauh lebih tahu, bahwa cinta tak pernah berbohong.

Waktu pun meniti jalannya. Bergerak konstan meski sesekali sepertinya berakselerasi. Kemudian, yang telah terjadi pun terjadi. Kau bersekolah. Menemukan lingkunganmu yang baru. Mulai mengerti ini itu, mulai memahami hal-hal baru, membaca banyak hal, hingga kemudian ibu sadar, ibu mulai tertinggal jauh. Tidak seperti hal umum bahwa ketertinggalan menciptakan jarak, ketertinggalan ini malah membahagiakan benak. Seorang ibu tak pernah cemburu kala anak-anaknya melebihi capaiannya, Anakku.

Begitulah, kau menjadi kau yang sekarang. Menjadi kau yang menemukan salurannya. Pintar (~ hmmm…setiap ibu pasti menyifati anaknya dengan kata ini ~)! Mulai mampu menasehati Ibumu ini. Ah, seperti baru sekejap yang lalu saja Kau belajar mengaji, lalu malam harinya mengigaukan melafalkan huruf hijaiyah dalam tidurmu. Sepertinya baru beberapa waktu yang lalu saja terlewat, Kau menghampiriku dalam ragu, lalu mengutarakan sesuatu, meminta pertimbangan, menginginkan persetujuan. Dan kini, apa yang terjadi adalah sebuah keniscayaan yang sudah amat ibu ketahui bakal terjadinya. Memang kau masih menghampiriku, tapi dengan wajah pasti. Memang kau beberapa kali masih mengutarakan hal-hal yang ada di pikiranmu itu, tapi tidak untuk meminta banyak pertimbangan seperti yang dulu-dulu, atau memperoleh persetujuanku, melainkan lebih kepada pemberitahuan-pemberitahuan atas sesuatu yang telah pasti kau putuskan. Anakku, saat itu, saat kau mulai mampu memutuskan sendiri apa-apa jalanmu, ibu makin sadar, bahwa kau bukanlah milikku, kau telah menjadi milik jamanmu, kau telah menjadi kepunyaan masa depanmu.  Dan meninggalkan ibu di sini –ya,masih di sini- menyenyumimu. Menyenyumi tiap tapak langkahmu.

Anakku, kau pasti heran atas tulisan ini. Tidak biasa-biasanya, mungkin batinmu. Sebab memang hari ini tak biasa. Hari seperti inilah, bertahun-tahun yang lalu, kau pertama kali memecah resah. Resah yang menghinggapi bapakmu. Hari itulah kau dilahirkan. Hari itulah kau mulai menghisap udara ini. Dan bila hari itu hari ini berulang secara tanggal, tentu saja dengan tahun yang berselisih usiamu, tak ada yang bisa diambil selain sebuah kesadaran, bahwa kau yang sekarang, adalah seseorang  yang dibesarkan oleh kolaborasi sebuah nyawa, sebentuk cinta, sebulatan tekat, segunung kerja keras, seluasan pengorbanan, dan sehamparan ikhlas. Maka ibu berharap, kata-kata itulah yang kemudian menyifatimu, menghiasi seluruh usiamu. Hingga waktumu habis.

Maaf, seperti yang sudah-sudah, lagi-lagi tak ada kado untuk hari spesialmu ini. Tidak juga lilin-lilin kecil untuk kau tiup, tidak juga sebuah perayaan. Maafkan ibu. Kau pasti sudah mengerti mengapanya.  Kau sudah jauh lebih pintar tentang masalah ini. Tentang filosofi-filosofi ini.

Akhirnya, selamat ulang tahun, Anakku. Bila kau dulu pernah bilang, bahwa jika waktu bisa kembali berulang, kau ingin kembali terlahir di rahimku, maka kali ini ibu juga ingin berucap; bahwa jika waktu kembali berulang, ibu ikhlas untuk kembali mengandungmu, sembilan bulan lamanya, lalu melahirkanmu kembali, meski nyawa adalah taruhannya.