Wednesday, March 31, 2010

SENSITIVITAS

Dulu, kira-kira setahunan yang lalu, saat saya pertama kali memasuki kompleks pebrik ini, saya bisa merasakan sesuatu yang menyakitkan menusuk-nusuk gendang telinga saya. Memasuki daerah dengan kebisingan hingga mencapai 110 db, dan lebih terbiasa dengan suara-suara pelan, kebisingan itu berasa seperti serbuan tiba-tiba yang memaksa saya untuk segera menggerakkan jari menutup lubang telinga. Refleks. Berharap akan ada penurunan kekuatan suara kala lubang telinga itu tersumbat tangan saya.

Itu kemudian ternyata hanya di awal-awal. Hari-hari berlalu dan saya mulai familiar dengan dua buah piranti bernama ear plug serta ear muff. Sartu jenis  peralatan safety yang wajib dikenakan untuk meredam efek kebisingan yang setia menyergap. Dengan alat itu menempel di telinga saya, masih ada memang kebisingan yang menerabas masuk dan tertangkap indera dengar saya, tapi itu dengan intensitas yang jauh dari yang sebenarnya. Kedua alat itu telah berhasil mereduksinya. Meredamnya hingga efek ‘kesombongan’ dini itu bisa dicegah. Maka jadilah, salah satu alat itu setia menemani kami menjelajah area pabrik oleh sebab dua hal : karena kebisingan itu menyakitkan dan karena kami tak ingin mengalami penurunan pendengaran.

Kini, setahun berlalu, tiba-tiba saya menemukan sesuatu yang bertolak belakang dengan apa yang saya lakukan dulu. Kini saya mulai kerap memergoki diri saya sendiri enak saja jalan di areal pabrik tanpa ada pelindung telinga. Bukan karena kebisingan itu tak ada, tentu saja kebisingan 110 db itu masih gagah perkasa meningkahi suasana, tapi hal itu terjadi lebih karena saya kerap kali secara ajaib tak menyadari telah berjalan di area dengan kebisingan di atas normal. Anda mungkin bertanya, kemana saja telinga saya… Tenang, telinga saya masih normal, masih ada dua dan insyaAllah masih berfungsi dengan baik. Anda tak perlu berteriak keras-keras kalau hanya untuk memanggil saya. Tapi saya, dalam hal ini, lebih suka mengalamatkan penyebab hal tersebut pada sebuah kata : SENSITIVITAS.

Sensitivitas! Ya, setahunan yang lalu, saya memang terbiasa  dengan intensitas suara yang normal-normal saja, maka ketika tiba-tiba telinga saya disergap kebisingan yang abnormal, itu akan terasa jelas mengganggu dan tak butuh lama bagi saya untuk refleks menutupkan sesuatu ke telinga. Ada renggang yang lebar antara intensitas suara normal yang menjadi kebiasaan dengan kebisingan abnormal yang tiba-tiba datang. Sesuatu yang tak biasa yang membuat saya amat mudah mengenalinya. Sebab begitulah, kita lebih mudah menangkap ketakbiasaan. Kini, ketika kebisingan itu menjadi menu harian saya, ketika setiap hari saya rasai keberadaannya meski dengan ber-ear muff ria, maka tak ada lagi jarak itu. itu menjadi dekat saja, menjadi biasa-biasa saja, hingga saya jadi alpa untuk menyadari bahwa saya telah berada di sebuah areal dengan kebisingan abnormal tanpa pelindung telinga. Saya telah mengalami penurunan sensitivitas atas kebisingan. Maka jadilah, kesadaran akan bising itu sering kali telambat. Ada waktu tenggat yang parah.

Masalah sensitivitas ini, tentu saja kalau tidak disikapi dengan bijak bakal menjadi bumerang. Ketika saya menganggap sepele masalah ini dan enak saja tak memakai pelindung telinga kala di lapangan—oleh karena perasaan bahwa kebisingan itu tak lagi menyakitkan mungkin, maka penurunan sensitivitas itu bakal menjalar lebih jauh ke sebuah efek yang lebih permanen : penurunan pendengaran. Dan efeknya parah. Jika penurunan sensitivitas tak menyebabkan orang lain berteriak-teriak untuk memanggil kita, maka penurunan pendengaran justru menyebabkan efek yang berkebalikannya. Amat-amat berbahaya.

Sensitivitas! Ya, satu kata itu, yang berawal dari kealpaan saya memakai ear muff padahal alat itu sudah dengan indahnya bertengger di helm yang sedang terpakai, ternyata kemudian berhasil membawa saya ke kesadaran-kesadaran lain terkait sensitivitas. Sensitivitas ini ternyata juga berlaku pada hal-hal lain. Ketika saya mulai ‘nyaman’ berbohong dengan tak lagi ada degup kencang tak nyaman yang menyertainya seperti dulu, itu karena sebab sensitivitas saya akan hal tersebut mulai jauh berkurang. Saya sudah terbiasa dengan hal itu, sudah biasa melihat pertunjukan kebohongan di depan saya, sudah biasa dibohongi juga. Hal itu berlangsung terus menerus dan tak ayal menggerogoti sensitivitas saya yang amat mungkin saat-saat tersebut abai untuk memakai piranti safety macam ear muff tadi. Saat sensitivitas saya akan kebohongan menurun dan menganggap biasa sebuah kebohongan, maka tinggal tunggu waktu saja kalau kebohongan itu saya sendirilah pelakunya. Dan itu sungguh-sungguh berbahaya.

Kawan, begitulah. Jika kita mulai tak begitu menyesal saat terlambat sholat berjamaah, atau tak lagi panik saat menyadari hafalan yang masih itu-itu saja, atau tak lagi tak enak hati mengambil makanan berlebihan padahal tak jauh dari kita ada banyak yang bahkan tak mampu mengecap sebutir nasi, itu barangkali karena sensitivitas kita akan hal-hal tersebut yang telah terdegradasi. Kita terlalu sering bergelut dalam kubangan yang membiasakan hal itu. Waktu demi waktu, hingga kitalah pada akhirnya yang menganggap biasa hal itu.

Jika memang begitu, karena memang kubangan itu sudah menjadi keseharian kita, agaknya kita perlu sering-sering mendatangi komunitas-komunitas lain yang berkebalikan dengan kubangan tadi. Sebuah forum yang justru mempertajam sensitivitas kita. Sebuah majlis yang kebaikan selalu menjadi aromanya. Sebagai benteng. Sebagai penyeimbang. Mungkin itu berumur beberapa menit saja dalam sehari, atau dengan intensitas pekanan, atau yang lain.

Ah, pengingat itu memang benar, bahwa salah satu tombo ati, iku serawung karo wong sholeh…

Jaga kami Ya Allah…!

 

(sebuah tulisan yang lebih banyak buat pengingat diri sendiri)

Sunday, March 14, 2010

Dialog Dua Lelaki

Langit belum memerah benar kala dua lelaki itu berdiam diri tanpa kata. Angin rebah dan keduanya duduk bersama meski bersela. Di pelabuhan kota yang tak banyak aktivitas, dan suara ombak yang menenangkan, keduanya belum juga memulai pembicaraan. Sepuluh menit belalu sejak mereka memarkir mobil, melangkah 10 meter ke timur, lalu tanpa pikir panjang begitu saja duduk di bibir jalan beton yang menjorok ke laut. Mata-mata masih saja menerawang ke depan, tidak untuk menujui sebuah objek, hanya ingin memandang lepas tanpa perlu mata berakomodasi. Mencoba mencari ketenangan.

Mudah sekali mengenali mereka. Siapapun itu, siapapun yang tanpa sengaja memandang dua lelaki itu, akan langsung dapat menyimpulkan kalau mereka adalah dua generasi yang berurutan. Bahkan, bagi yang mau repot-repot menatap dengan lebih menyelidik, tentunya akan mampu menyimpulkan dengan pasti kalau keduanya adalah bapak dan anak. Terlalu tegas persamaan wajah keduanya. Hidung itu, dagu itu, bentuk rambut itu, dan…..tatapan itu, begitu kuat menggariskan kalau keduanya punya pertalian darah yang begitu rapat. Tak terbantahkan.

Dan, memang benar. Dua lelaki itu bernama Sam dan Bram. Sam, lelaki yang lebih tua, memang bapak dari lelaki yang lebih muda itu; Bram. Hanya, pemandangan yang tergambar itu sama sekali tak memperlihatkan kehangatan hubungan bapak anak.

“Kau ingat, kapan terakhir kali kita ke sini berdua?”, si bapak membuka percakapan. Pelan, tanpa perlu menolehkan wajah ke lawan bicaranya.

Hening. Hanya suara muda-mudi yang duduk beberapa meter disamping yang terdengar meningkahi sore. Enam puluh detik berlalu.

“Hampir sepuluh tahun yang lalu. Kau masih lima tahun kala itu”. Pada akhirnya, pertanyaan itu harus ia jawab sendiri.

Hening lagi. Menghembuskan nafas kuat-kuat, si Bapak masih saja asyik menerawang ke depan. Wajahnya masih tenang, meski itu sama sekali tak menunjukkan apa-apa yang sedang bergejolak dalam dada. Momen ini penting, kekeliruan sedikit saja akan merusak apa-apa yang bakal terbentang di depan. Cukuplah kiranya, cukuplah kemarahan istrinya beberapa jam yang lalu sebagai sebuah bentuk pernyataan ketidaksetujuan atas sikap anaknya. Tapi cukup! Cukup samapai di situ saja. Tak perlu berlarut-larut. Kemarahan tak pernah menghasilkan penyelesaian apa-apa selain bibit kemarahan yang lain. Ia sadar betul akan hal itu.

Sesungguhnya, sakit yang sama juga menghentak dadanya. Ingin juga rasanya melontarkan kata-kata keras itu, memuntahkan semuanya ke lelangit rumah, menghujani sulungnya itu dengan kata-kata sarkas yang mampu ia buat, tapi…..ah, ia bersyukur kesadaran itu lebih cepat menyusup. Seketika melumerkan batu karang yang membekap dadanya. Kemarahan itu memang sebenarnya wajar saja. Bagaimanalah, bagaimana seorang bapak tak akan marah jika mendapati laporan bahwa anaknya seminggu terakhir tak muncul di SMA-nya, padahal tiap paginya si anak rajin mencium tangannya berpamitan ke sekolah. Bagaimanalah, bagaimana seorang bapak tak akan marah, ketika sulungnya itu, anak yang benar-benar ia harapkan, ketika dikonfirmasi akan hal itu malah dengan enteng menjawab, ‘males, Pa! Ribet sekolah. Ngerjain PR, ndengerin guru-guru yang membosankan, nggak boleh ini, nggak boleh itu. Lebih enak nongkrong-nongkrong saja sama temen-temen. Hepi-hepi’.

Kemudian, ia hanya bisa menyeret anak sulungnya itu, persis setelah istrinya tak punya lagi kosakata untuk melukiskan kekecewaan atas perilaku anaknya. Mendudukkanya dalam mobil, dan ia mulai menjalankan mobil itu membelah jalanan. Sudah tak ada lagi seringaii marah dalam wajahnya, tak juga ada sorot kecewa dalam tatapan matanya. Ia sadar, inilah saat dimana kebapakannya tengah diuji.

Pelabuhan inilah tempat kemudian mereka menuju.

“Kau paling suka bila kuajak ke pelabuhan ini. Berlari-larian sepanjang jalan beton ini. Cuek meski mama papa berseru khawatir. Kau sering jahil mengerjai papa dengan berpura-pura akan terjun ke laut itu”

“Sudahlah, Pa!”

“Maafkan papa kalau kemudian papa tak punya lagi waktu untuk mengajakmu ke sini. Maafkan papa jika tak punya waktu lagi main-main bersamamu sejak saat itu. Meski kau seringkali merengek minta ditemani ke pelabuhan ini. Ah, waktupun  berjalan. Enam tahun, delapan tahun, dua belas tahun, dan kini…… kau telah lima belas tahun. Papa tahu kau sudah mulai bisa bermain ke sini sendiri dengan teman-temanmu. Tanpa papa”

“Sudahlah, Pa! Itu sudah lama berlalu”

“Tidak, anakku! Ini penting. Berjanjilah! Berjanjilah kau mau memaafkan papa!”

Bram, si anak muda itu, hanya bisa menerawang. Menikmati cericit camar. Ia sama sekali tak punya persediaan kalimat untuk momen seperti ini. Sungguh, ia jauh lebih siap untuk sebuah caci maki, untuk sebuah kata-kata kasar sekalipun, untuk sebuah panggilan ‘anak kurang ajar’, tapi…untuk sebuah ucapan permintaan maaf, untuk sebuah panggilan ‘anakku’, ia tak punya antisipasi apapun untuk itu.

“Bram yang harusnya minta maaf”, hanya kalimat itulah yang pada akhirnya keluar,”Bram sudah keterlaluan mengucapkan kalimat itu di depan mama, di depan papa”

Sam menarik napas panjang. Ada bongkah-bongkah yang mulai mencair.

Beberapa jenak kembali berlalu. Seorang bapak tua nampak berhasil mengail seekor kerapu.

“Kau lihat bangunan pabrik di kejauhan itu?”

Bram menoleh. Iya?

“Di situ, terdapat alat yang bernama Steam Turbine Generator. Bisa menghasilkan listrik bermega-mega watt. Untuk kemudian disalurkan buat menggerakkan listrik, menyalakan lampu. Sebentar lagi, saat gelap mulai menyelimuti kota, kerlap-kerlpi indah yang terlihat dari sini, itu salah satunya karena listrik yang dihasilkan generator itu. Seperti namanya, generator itu digerakkan oleh steam, oleh uap air. Dan tahukan kau, darimanakah steam ini bermula?? Dari laut ini, Anakku”

“,,,”

“Kau pasti bertanya-tanya, bagaimanakah caranya. Bukankah pelajaran di sekolah menjelaskan kalau kesadahan air laut itu tinggi, bahwa ia begitu korosif, bahwa ia akan menimbulkan kerak di tiap perlatan yang ia singgungi. Ya, fakta-fakta itu semuanya benar. Untuk itulah, sangat panjang perjalanan yang dilalui oleh air laut ini hingga ia bisa menjadi steam yang lebih bernilai itu, yang bisa menggerakkan generator itu. Air laut ini begitu berlimpah, begitu banyak. Ia menjadi sesuatu yang ‘kebanyakan’. Tapi, ketika ia telah bermetamorfosi menjadi steam, ia menjadi lebih bernilai. Ia menjadi mahal. Mahal dalam dua pengertian, denotatif maupun konotatif.

“Mula-mula air laut ini melewati fase desalinasi. Air lau ini ditawarkan. Dengan apa? Dengan banyak cara. Tapi yang lebih umum adalah dengan diuapkan, dengan dipanaskan. Uap yang diperoleh itu kemudian dikondensasikan lagi. Diembunkan. Untuk kemudian melewati tahapan selanjutnya. Tentu saja, tak semua air laut itu teruapkan. Tak semua air laut mampu melewati tahapan ini. Hanya 10 % saja yang berhasil teruapkan, yang berhasil menjadi tawar”

Langit mulai memerah. Pasangan muda-mudi semakin banyak memenuhi bibir jalan.

“Tahap selanjutnya adalah demineralisasi. Uap air yang telah terkondensasi itu memang telah tawar, tapi ia sama sekali belum memenuhi syarat untuk bisa menjadi steam bertekanan tinggi. Maka ia perlu dimurnikan lagi, didemineralisasi, dihilangkan mineralnya, hingga ia memang benar-benar air murni, benar-benar H2O. Di sana, di pabrik itu, alat yang dipakai adalah Mix Bed exchanger. Air tawar tadi melewati semacam zat yang disebut resin. Semacam disaring. Mineral-mineral akan terikat dalam resin itu, hingga air yang keluar menjadi air yang bebas mineral, meski tak sepenuhnya ‘bebas’. Setidaknya, ia telah memenuhi baku mutu yang ditentukan.

“Cukup? Tentu saja belum. Air bebas mineral tadi masih perlu dibersihkan dari polutan-polutan lain. Ia perlu dibersihkan dari oksigen terlarut dalam air tersebut. Oksigen tersebut akan sangat berbahaya untuk proses lanjutannya. Untuk itulah ia perlu ditangkap dari air. Maka ditambahkanlah zat kimia untuk menangkap oksigen itu”

“Apakah papa sedang berbicara tentang perjuangan hidup, tentang tahapan-tahapan ‘menyakitkan’ yang mesti kita lalui untuk menjadi seorang pemenang?”

“Papa berbicara tentang air laut. Terserah bila kau menafsirkan seperti itu. Kau tahu, disanalah papa mengahbiskan hari-hari, disanalah Papa bergelut dengan pekerjaan’

Hening…. Enam puluh detik kembali berlalu lambat.

“Baiklah, ijinkan papa melanjutkannya… “, menarik napas panjang, “Tahap terkahir adalah penguapan. Air itu diubah menjadi steam. Inilah saat yang paling menyakitkan itu, inilah saat yang paling kritis itu. Sebab ini adalah fase perubahan, fase cair menjadi fase gas. Di sebuah sistem perlatan yang disebut boiler, air ini dipanaskan dengan suhu tinggi, dengan tekanan yang tinggi pula. Keteledoran sedikit, kesalahan sedikit, bisa menyebabkan boiler ini meledak. Dan itu artinya bencana.

“Tapi, anakku, dengan prosedur yang benar, dengan langkah-langkah yang tepat, air tadi akan keluar dari boiler ini dalam bentuk steam yang berenergi tinggi, yang akan mampu menggerakkan steam turbine generator tadi. Sekarang, coba kau lihat karyanya. Bukankah kerlip lampu itu begitu indah dipandang. Bukankah kerlip lampu itu begitu semarak mencahyai.”

Suara adzan Maghrib terdengar dari masjid. Satu dua muda-mudi mulai meninggalkan pelabuhan. Melangkah gontai menelusuri jalan beton.

Si Bapak, sudah akan bangkit dari duduknya, kala tangannya terhalangi oleh sebuah pegangan. Ia menoleh.

“Besok bram akan masuk sekolah. Tapi bukan untuk Papa.”

Si Bapak meneruskan bangkit.

Tuesday, March 9, 2010

Tarakan...tarakan...

Lanjutan dari SINI

####

Salah satu hal yang membuat saya menyukai kota tempat saya tinggal saat ini adalah karena keteraturannya. Meskipun ada dua perusahaan besar yang berdiri megah di kota ini, tetap saja Bontang adalah sebuah kota kecil yang boleh dibilang sepi. Sepi, kalau dibandingkan dengan sebagian besar kota di Jawa. Karena itulah, jalan-jalannya tak seruwet kota-kota besar meski kadang perlu pengecualian untuk jam-jam tertentu. Khususnya mendekati jam-jam tujuh pagi untuk jalan menuju pabrik. Itupun hanya padat, tapi bukan semerawut. Lainnya, saya bersyukur bahwa tiap pertigaan, ataupun perempatan, bukanlah sebuah tempat dimana ironi sering menggejala. Semuanya lebih sering baik-baik saja. Tak ada (-atau lebih tepatnya minim-) kendaraan yang saling serobot, tak ada pengamen jalanan yang lebih sering berisik, tak juga ada pengemis jalanan menengadahkan tangan. Bagi saya, itu sudah cukup untuk mengkategorikannya ke dalam ‘teratur’.

Berada di Tarakan, dan merasai benar apa-apa yang terlihat di pusat kotanya, saya sempat tercenung sebentar untuk sebuah gumam syukur bahwa saya hidup di Bontang. Mulanya, saya sempat iri demi melihat sebuah papan nama bertuliskan ‘Gramedia’ di salah satu sudut kotanya. Toko buku yang bagus memang menjadi ketiadaan yang sering kali saya sesalkan tentang kota saya, Bontang. Namun, menyusuri lebih lanjut lekuk-lekuk kota, rasa-rasanya tak pantas rasa iri itu saya semayamkan berlama-lama. Tarakan memang ramai, jauh lebih ramai mungkin dari Bontang, tapi tak eloklah rasanya ukuran keramaian sebagai parameter sebuah kemajuan, apalagi kenyamanan. Sebab, yang saya lihat selanjutnya adalah semacam keruwetan. Pertiga-pertigaan yang penuh klakson motor yang berebut ruang jalan, trotoar-trotoar yang tak nyaman--yang bahkan ada beberapa ruas jalan yang tak berpunya, serta panas jalanan berpadu dengan kekumuhan di beberapa ruas jalan, cukup sudah menjadi tiga hal yang menodai kata ‘ramai’ untuk disandingkan dengan ‘maju’, apalagi ‘ramai’ dengan ‘nyaman’.

Tarakan memang juga memiliki dua pusat perbelanjaan (-kalian boleh menyebutnya dengan mall-), tapi ini sama sekali tak membuat saya iri meski Bontang cuma punya satu. Apalagi setelah saya menelusri apa-apa yang ada di dua pusat perbelanjaan tersebut. Tak ada yang istimewa. Satu yang kemudian membuat saya cukup apresiatif dengan Tarakan ini adalah sebuah kawasan yang disebut dengan ‘Taman konservasi hutan bakau dan bekantan’. Ini hal langka, dan tak salahlah kiranya jika baru beberapa jam tiba di kota ini, saya langsung mengunjunginya. Tempatnya memang bagus, hanya berkarcis empat ribu per orangnya. Namun begitu masuk, Anda akan disambut keasrian sebuah gugusan bakau yang rimbun dengan akar-akarnya yang kokoh. Ada jalanan kayu tempat anda melangkah, maka susurilah! Kali-kali saja anda sedang beruntung menemukan Bekantan sedang asyik bergelanjut di dahan-dahan sambil menggendong anaknya –sebab itu salah satu keberuntungan yang saya peroleh. Tubuh gemuk dan hidung panjang kemerahannya sungguh mengemaskan untuk kita amati lama-lama.

Tak banyak kemudian yang saya kunjungi, karena memang panasnya bukan main—yang menciutkan nyali kala akan keluar ruangan. Ada pelabuhan Tengkayu I dan Tengkayu II. Tengkayu I letaknya bersandingan dengan ‘Taman Konservasi Hutan Bakau dan Bekantan’. Tak banyak yang bisa diceritakan selain geliat pelabuhan ini yang sepertinya sedang membangun diri. Ada sebuah jalan beton menjorok ke laut yang belum selesai digarap. Sedangkan Tengkayu II, bisa dikatakan sebagai pelabuhan penyeberangan. Di pelabuhan inilah speed boat yang menyediakan layanan penyeberangan ke pulau lain berada. Ada layanan ke Tanjung selor, ke Pulau Bunyu, ke Nunukan, atau mungkin ke Pulau Derawan yang terkenal itu. Yang saya sebutkan terakhir sepertinya tak ada penyeberangan reguler, kita harus menyewa speed boat dengan harga yang cukup fantastis (- belakangan saya tahu dari sopir angkot kalau untuk mencapai Derawan kita bisa melaluinya dengan jalur Tarakan-tanjung selor- Berau-Pulau derawan-).

Yang juga cukup terkenal di Tarakan adalah Pasar Batu—terbukti ketika saya tanya resepsionis dimanakah tempat untuk mencari oleh-oleh, ia merekomendasikan tempat ini. Di pasar inilah banyak kios-kios menjual produk-produk dari Malaysia. Ketika saya mengunjungi tempat ini, sebenarnya produk-produk malaysia yang dijual itu ada semua di Indonesia, hanya kemasannya yang beda dengan kosakata yang tertera seringkali menerbitkan tawa. Taruhlah seperti produk-produk Nestle, coklat cadbury, serta produk makanan lain. Hanya, kata Malaysia sering kali ‘menyihir’ pelancong jadi-jadian seperti saya. Jadilah saya termasuk pembeli barang-barang itu.

Untuk menjangkau tempat-tempat itu, tak perlu lah repot-repot. Ada banyak sekali angkot yang berseliweran. Cukup tiga ribu perak sekali jalan. Relatif murah, bahkan dengan penumpang dua orang saja si sopir dengan ikhlas menancap gas angkotnya. Tak perlu ngetem lama-lama seperti angkot di Jawa. Hanya memang, sepertinya tak ada angkot yang kondisinya baik. Hampir semuanya sudah masuk kategori ‘layak dimuseumkan’ dengan pintu diikat tali agar tak terlalu lebar saat dibuka. Beberapa kali naik angkot di sini, seperti halnya di Bontang, agaknya tak ada rute yang pasti dari tiap angkot. Tak ada Tulisan ‘A’, atau ‘WK’, atau ‘106’, atau yang lain sebagai pertanda jalur manakah angkot itu beroperasi. Warna angkotpun tak bisa dijadikan patokan. Jadi, asal Anda mau banyar, si sopir akan mengantar kemanapun kita hendak menuju.

Tarakan..Tarakan! begitulah. Kota yang memroklamirkan diri sebagai The Little Singapore. Kota yang sepertinya menjadi pusat perekonomian Kaltim bagian utara. Di kota inilah komoditas dari jawa singgah untuk kemudian diditribusikan ke tanjung Selor, Nunukan, atau Malinau. Kota yang mungkin bakal menbjadi bagian dari Kaltara, kalimantan Utara, bukan (lagi) Kaltim. Sebab dari beberapa spanduk yang bertebaran di sudut kota, sepertinya ada bola salju yang sedang digulirkan untuk membentuk propinsi sendiri menjadi Kaltara. Entahlah…

Pantai Amal, Meriam peninggalan Belanda, mungkin itulah salah dua yang bakal saya kunjungi di Tarakan suatu saat nanti, kala kesempatan kedua itu menyapa. Mungkin dengan rekan perjalanan yang berbeda.


 
 

Sunday, March 7, 2010

Curhat Perjalanan : Btg-Bpp-Trk

(Lanjutan dari sini)

***

Pukul tujuh pagi, hari Sabtu tepatnya, kami sepesawat lepas landas juga dari bandara PT Badak dengan menggunakan pesawat kecil Pelita Air. Ini adalah pengalaman pertama saya  menaiki pesawat jenis ini, tapi entahlah tak ada rasa ndredeg atau khawatir tatkala menaikinya seperti yang kadang diceritakan oleh teman-teman lepas menaikinya. Hanya saja, saya sempat merasa ‘berbeda’ kala memasuki ruang tunggu bandara. Memakai celana panjang (yang selalu) kepanjangan hingga selalu saya tekuk bawahnya, sebuah kaos ‘sponsor’ yang saya peroleh kala ikut lomba pemadam kebakaran sebulanan yang lalu, serta sebuah sandal slop karet kesayangan yang baru-baru saja dibeli seharga 20ribu, tiba-tiba saya merasa salah kostum demi melihat kanan kiri depan belakang saya. Saya sih memang berusaha cuek-cuek saja, tapi keadaan berbeda dengan kebanyakan itu memang sering menimbulkan ketidakenakan tersendiri. Sebuah kejelekan yang harus kita minimalisir.

Kami akan menuju Balikpapan. Jika ditempuh via darat, Bontang-balikpapan ini bisa ditempuh 5 jam. Itupun batas minimal dengan syarat jalanan lancar dan lengang. Keadaan itu, bisa didapatkan kala melakukan perjalanan darat di larut malam. Tapi dengan via udara ini, seperti yang diberitakan oleh mbak pramugari sewaktu pesawan akan lepas landas, waktu 5 jam itu bisa direduksi menjadi 35 menit saja. Cukup singkat, yang karena cukup singkatnya, buku ‘Selimut Debu’ yang saya bawa untuk membunuh jemu di udara, hanya terbaca beberapa halaman saja.

Mendarat di balikpapan dengan mulus, kami langsung menghubungi perwakilan perusahaan di bandara. Memberitahukan rencana perjalanan dinas ke tanjung selor, meminta dicarikan pesawat ke Tarakan, lalu terakhir menadatangani sebuah form isian. Tak menunggu waktu lama, kami kemudian harus segera check in, sebab ternyata pesawat menuju Tarakan akan lepas landas jam 09.40.

Bagi Anda yang tak tahu letak Bontang, Balikapapan, seta Tarakan di Peta, saya bisa memberi gambaran sederhana. Balikpapan adalah sebuah kota di Kaltim sebelah selatan, sedangkan Tarakan adalah sebuah pulau terpisah yang terletak di Kaltim sebelah utara. Sedangkan Bontang, kota tempat saya pertama kali berangkat, itu terletak di antara balikpapan dan Tarakan. Jadi jika saya awalnya terbang dari Bontang ke Balikpapan, lalu terbang lagi dari balikpapan ke tarakan, itu sama saja saya berbalik arah untuk kembali melewati kota awal saya tadi. Tapi memang begitulah, hanya dari balikpapan penerbangan ke Tarakan itu berada.

###

Saya baru tiga kali naik pesawat. Yang pertama saat saya pertama kali berangkat ke Bontang naik Lion Air, yang kedua pas pulang kampung natal kemarin naik City Link. Baik pulang atau baliknya kala itu memang naik City Link. Dan sekarang, angka itu bertambah jadi empat dengan mandala Air sebagai pengukirnya. Ya, tepat sesuai jadwal yang tertera, kami sudah memasuki pesawat. Ada mbak-mbak pramugari bermake up tebal yang (selalu) tersenyum ramah. Saya berani sumpah, jika mbak-mbak itu memakai riasan yang wajar-wajar saja, senyumnya akan jauh terlihat lebih ‘ramah’.

Terbang!! Saya cukup kaget juga melihat pesawat yang relatif penuh. Tarakan bukanlah sebuah kota besar, bukan ibu kota propinsi juga, jadi cukup mengagetkan kala penerbangannya lumayan padat penumpang—(atau karena pengetahuan penerbangan saya yang seadanya??). Awal-awal, waktu di udara saya gunakan membaca koran sindo yang kebetulan tersedia di nomor duduk sasya. Tak lama, setelah dibolak-balik, ternyata tak ada lagi yang menarik perhatian saya. Saya pun berganti dengan melanjutkan membaca ‘Selimut debu’ yang baru beberapa halaman terbaca. Tapi, lagi-lagi, tak begitu lama ngantuk mulai mendera.

Entah berapa lama saya tertidur. Saat bangun, teman saya sepertinya juga baru tertidur. Iseng-iseng kemudian teman saya membuka majalah mandala yang ada di setiap kantong depan tempat duduk kita. Teman saja itu tiba-tiba teringat ia pernah membaca artikel tentang traveling di Tarakan dalam sebuah penerbangan yang entah. Inilah kemudian kebetulan itu, ternyata memang ada panduan traveling di daerah tarakan dan Tanjung selor di majalah itu. Lengkap dengan tempat-tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi, serta penginapan-penginapan yang tersedia. Tak banyak memang yang ditawarkan, tapi kemudian saya tertarik pada satu tempat : Hutan Mangrove dan konservasi bekantan di Tarakan.

Tak lama ternyata penerbangan itu. Kami akhirnya mendarat juga. Sepertinya waktu perjalanan tak sampai satu jam. Entahlah, saya lupa mencatat persis pukul berapakah saya mendarat. Mungkin sewaktu balik nanti akan saya kabarkan berapa menit tepatnya. Lepas dari membaca-baca majalah itu, terdengar pengumuman kalau pesawat akan segera mendarat.

Bandara itu kecil saja. Landasannya bahkan terkesan horor dengan kanan kirinya masih tanah agak becek setelah sepertinya diguyur hujan. Waktu landing, agak ngeri-ngeri juga karena tak begitu mulus prosesinya. Namun, yang membuat terlihat hebat adalah sebuah tulisan ‘bandara Internasional’ pada nama bandara itu. Satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, apakah parameter penyematan kata internasional pada nama sebuah bandara .
Selain Mandala Air, ternyata ada juga Batavia Air yang sedang ‘parkir’. Atau bahkan mungkin baru mendarat juga. Kamipun turun dari pesawat. Dengan setengah-setengah menutup telinga, kami cepat menuju ruangan. Berisiknya bukan main sebab ternyata si batavia Air itu mesinnya masih menyala. Serasa di ruang compresor dengan kebisingan 110 dB.

Sekecil landasannya, ruang kedatangan itu kecil juga, hanya lebih besar sedikit dari ruangan kelas SMA saya dulu. Untungnya, masih tersedia fasilitas conveyor untuk mempermudah pengambilan barang. Entahlah, mungkin conveyor ini termasuk salah satu syarat penyebutan Bandara Internasional tadi. Hanya, uniknya, saya sempat mendengar mbak petugas informasi melalui pengeras suara mengumumkan sesuatu yang menggelitik, yang intinyaa meminta pemilik mobil yang sedang terparkir dan menghalangi kendaraan pengangkut barang bagasi untuk segera menyingkirkan kendaraannya. Saya jadi berpikir, kok bisa-bisanya kendaraan itu masuk Bandara.  Ataukah kendaraan Bandara? Entahlah!!

Tapi, yang pasti, akhirnya nyampai juga… Alhamdulillah!!


Saturday, March 6, 2010

Mendadak (Tanjung Selor via) Tarakan

Lepas membaca The Naked Traveler, kala keinginan lama untuk keliling indonesia itu tiba-tiba dengan sangat sukses dibangkitkan Trinity, si penulis buku itu, di sebuah sore saat saya baru saja tiba di rumah, layar ponsel saya menunjukkan seseorang sedang menelpon. Saat itu ponsel  memang saya silent dan tak juga mengaktifkan nada getar, jadi suatu kebetulan sekali jika saya refleks merogoh ponsel di saku celana dan mengambilnya untuk dipindahtempatkan ke meja. Nama patner kerja saya yang tertera dalam layar itu. Jarang-jarang sebenarnya ia menelepon, kebanyakan sms. Dan jika kemudian ia menelepon kala itu, hanya ada satu kemungkinan yang melandasinya ; masalah pekerjaan.

Dan benar saja;

“Bal, besok hari senin sama selasa kita dinas”.

Sumpah, saya benar-benar kaget kala itu. Kaget-kaget senang lebih tepatnya. Kekagetan yang setidaknya diakibatkan oleh  tiga hal. Yang pertama karena faktor hari senin dan selasanya. Bayangkan, hari itu jumat sore, menjelang maghrib, jika memang acara dinasnya hari senin dan selasa, maka setidaknya saya sudah harus berangkat ahad atau sabtu. Jika sabtu, itu artinya besok. Dan jika berangkat besok, maka malam ini saya harus cepat berkemas. Dan jika malam ini berkemas, maka….

Yang kedua karena ini bakal pertama kalinya saya dinas. Sekali lagi, pertama kali. Kata pertama kali selalu menjadi sesuatu yang istimewa yang seringkali dengan senang hati membuat seseorang mau mengabadikannya dalam ingatan. Kita akan lebih mudah untuk dimintai cerita tentang pengalaman pertama kita melakukan sesuatu, atau merasakan sesuatu, atau memiliki sesuatu. Ketimbang pengalaman yang kedua, ketiga, keempat, atau kebanyak.

Yang ketiga karena siangnya saya ‘ngiler’ pingin datang di Islamic Book fair yang sedang digelar di Jakarta oleh sebuah status YM teman. Sejak jaman kuliah, saya sebenarnya sudah memendam hasrat ingin mengunjungi pagelaran itu. Ingin merasakan bagaimanakah rasanya berada di antara lautan buku, di antara stand-stand penerbit, atau berebut meminta tandatangan penulis favorit. Anda mungkin bingung,  apa sebenarnya hubungannya antara Islamic Book dengan dinas. Tak ada hubungan langsung sebenarnya. Hanya, seringkali kata dinas diasosiakan dengan dinas ke jakarta oleh karena kekerapan perjalanan dinas ke sana dari perusahaan saya.

“Ke tanah grogot”

Begitu lanjut teman saya pada akhirnya. Sebuah kelanjutan yang berhasil mengeliminir alasan ketiga dari penyebab kekagetan saya tapi semakin menebalkan alasan pertama. Memang, saya tak terlalu familiar dengan nama  kota itu, tapi dari kebiasaan membaca Kaltim Pos pas jaman masuk kerja shift dulu, setidaknya saya punya gambaran bahwa itu adalah sebuah kota di Kaltim yang sepertinya bakal menempuh perjalanan yang berat untuk menjangkaunya.

Dua info penting itu saja setidaknya yang teman saya sampaikan via telpon kala itu. Sebab ia sendiri memang belum begitu jelas mengetahui tentang dinas tak biasa ini. Hanya saja, lewat komunikasi lanjutan setelahnya, ia mengabarkan kalau kami akan menghadiri sebuah seminar kementerian lingkungan hidup. Ia juga mengabarkan kalau ba’da maghrib kami disuruh ke rumah kadept untuk mengambil surat perintah dinas.

Entah seperti apa perasaan saya kala itu, antara senang, kaget, bingung, dan entahlah. Senang, karena apa yang dibangkitkan Trinity dalam The Naked Traveler itu ternyata tersalurkan juga. Meskipun harus dibingkai dengan sesuatu yang bernama ‘dinas’, setidaknya saya bakalan menjejakkan kaki di satu kota baru yang namanya hanya saya dengar saja sebelumnya.  Kaget, karena lasan yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Dan bingung, karena saya, dan teman saya tentunya, buta sama sekali mengenai Tanah Grogot itu; bagaimanakah cara menuju ke sana, bagaimana nantinya di sana, serta bagaimana-bagaimana yang lain.

****
Ba’da maghrib, kami berdua kahirnya tiba juga di rumah Kadept. Disambut ramah oleh bapak Kadept, kami berdua masuk dan mulai duduk di sofa. Di sanalah kemudian saya mendapatkan penjelasan lebih lengkap tentang potongan informasi sebelum maghrib tadi. Kita akan menuju tanjung selor kebupaten Bulungan, bukan Tanah Grogot yang sebelumnya diinfokan teman saya. Acaranya juga bukan Seminar Kementerian Lingkungan Hidup tapi Rakorda Lingkungan sekaltim. Masalah ketiba-tibaan, itu karena memang fax undangannya datang sore itu juga. Sebenarnya bukan Departemen Dalpros—departemen tempat saya bernaung-- yang seharusnya berangkat, tapi Departemen K3LH. Merekalah yang lebih berkompeten dengan masalah ini. Hanya saja karena tak ada satupun yang bisa berangkat, maka jadilah departemen lain yang paling dekat dengan masalah lingkungan ini yang berangkat. Dan itu adalah Departemen Dalpros.

Masalahnya, Bapak Kadept juga tak tahu banyak mengenai Tanjung Selor itu. Beliau kemudian hanya memesankan pesawat untuk kami terbang dari Bontang ke balikapapan esok pagi. Anda mungkin tahu, bahwa bandara Sepingganlah bandara terbesar di Kaltim. Di bandara Sepinggan itulah aktivitas penerbangan dengan menggunakan pesawat kecil berada, bahkan ke kota-kota kecil di Kaltim.

Sampai saat itu, kami belum tahu bakal naik apa ke Tanjung Selor dari  Balikpapan.

***
Bertanya dan googling, dua hal itulah yang bisa kami lakukan di sisa malam itu. Saya bertanya, dan teman saya googling sebab ada koneksi internet di rumahnya. Beruntungnya, saya punya kakak yang pekerjaannya memfasilitasi dia memilki teman-teman di pelosok Kaltim. Segera saya kabari dia dan berharap ada informasi yang bakal saya dapatkan.

Tanjung selor itu terletak di kaltim sebelah Utara, sudah mendekati Malaysia. Ada dua opsi yang paling rasional menuju ke sana—yang tidak rasional tentunya via darat yang katanya bakal menempuh seharian. Yang pertama naik pesawat kecil dengan tujuan langsung Tanjung Selor tapi tidak setiap hari ada penerbangannya. Yang kedua naik pesawat komersil ke Tarakan lalu menyeberangi laut naik speed boat ke Tanjung Selor.

Itulah kemudian info yang saya dapatkan. Ada dua opsi ke sana, tapi tanpa pikir panjang sepertinya saya sudah memutuskan untuk naiik yang mana. Tarakan! Mmmhhh, sepertinya menarik juga mengunjungi kota yang satu ini. Kota yang katanya sudah maju meski berada di sebuah pulau terpisah dari Kalimantan, kota yang katanya kaya dengan minyak, kota yang katanya indah, kota yang katanya penuh peninggalan sejarah, kota yang……sebentar lagi tak katanya. Atau sudah…??

He he.. Saat menuliskan ini saya sudah tiba di Tarakan.

Thursday, March 4, 2010

k-i-t-a : semacam kado pernikahan buat sahabat

Kawan, aku menuliskkan ini, saat di tempat yang jauh dari tempatku duduk sekarang, di sebuah majlis yang berjarak bentangan lautan dariku, di sebuah tempat yang akan bakal kau ingat dimana itu berrada, kau sedang melakukan perjanjian agung, sebuah perjanjian yang Al-Qur’an sebut sebagai Mitsaqon-gholizan. Sebuah sebutan yang hanya tiga kali disebut, satu  untuk perjanjian Allah dengan ulul azmi, serta satu lainnya untuk perjanjian Allah dengan bani israil yang untuk itu Allah mengangkat bukit Thursina.

Seagung itu lah memang perjanjian yang sedang kau ikrarkan, sobat! Seberat itulah memang ikrar yang sedang kau ucapkan, kawan! (kelak, aku akan bertanya, bagaimanakah kau menjalaninya)

Sepertinya masih hangat, saat kita pertama kali bersapa. Di sebuah ruangan yang masih asing, di sebuah hari yang mengawali status mahasiswa kita, aku menyapamu, dengan kosakata yang mana mungkin kau pahami. Aku memang belum tahu kala itu. “Asale teko endi?”, begitu kataku kira-kira kala itu. “Nggak bisa bahasa jawa”, begitu jawabmu. Ringkas, tapi cukup untuk menjelaskan. Kau kemudian melanjutkan, bahwa kau bukanlah berasal dari Jawa, tapi Madura. Sebuah jawaban yang di kemudian hari aku ketahui tidak begitu benar kau ucapkan. Sebab kau bukanlah dari pulau tersebut, bukan pula pulau-pulau kecil  yang menghimpitnya, tapi dari sebuah pulau yang tercecer di sebuah lautan antara kalimantan dan Jawa. Aku ternganga, adakah tempat seperti itu. Juga,yang jauh lebih penting, adakah penduduknya yang mampu menjamah belantara surabaya, menjadi bagian kecil penduduk indonesia; menjadi mahasiswa.

Kau menyebut pulaumu sebagai Masalembu.

Demikianlah itu bermula. Kemudian Allah menyatukan kita dalam kelompok-kelonmpok kecil  yang memaksa kita berinteraksi. Di semester pertama perkuliahan, kita selalu sekelas. Tentunya kita masih ingat masa itu, saat semangat belajar itu begitu tingginya, saat nilai ‘A’ itu begitu diburunya. Maka kita pun sering berdiskusi, tentang pemecahan sebuah soal kuliah. Masih ingatkan Kau,  saat kita mati-matian memecahkan soal Kimia Analisa I itu?? ingin berjingkrak rasanya, saat di akhir semester, pada baris nama kita, tertulis huruf kapital A. itulah nilai untuk kerja keras kita untuk kimia analisa I. Begitu bergembiranya kala itu, sebab di awal semester, bahkan ketika kita masih menjalani pengaderan, kita sudah kenyang dihantui momok tentang kuliah ini. (ah, sebenarnya bukan tentang kuliahnya)

Ah, aku hampir saja melupakan. Bukankah kita terlebih dulu sekelompok camp? Bagaimana mungkin kita akan melupakan malam itu, malam hari sebelum esoknya adalah hari pengumpulan peralatan untuk camp, kita berjalan menyusuri gang-gang keputih. Tak tahu malu menanyai tiap pedagang keliling yang kita temu; apakah mereka punya lampu petromaks yang bisa dipinjam. Tangan hampa yang kita dapati kala itu, itupun setelah kaki kita rasanya begitu lelahnya setelah berjalan tiada henti. Kau menyebutku kala itu sebagai seorang yang  bersikeras untuk sebuah tujuannya. Tapi kemudian aku baru tahu, kau adalah seorang yang lebih bersikeras untuk tujuanmu.

Akan sangat panjang kiranya bila kutuliskan semuanya. Tapi yang terpenting, kita kemudian dekat, lekat, dan bersahabat. Biarpun syarat untuk itu, adalah tiga hal yang dipersyaratkan Umar ra, rasa-rasanya kitapun dapat dengan mudah melaluinya. Berapa kali kita menginap bersama?? Rasa-rasanya sering. Berapa kali pula kita melakukan perjalanan jauh berdua saja? Rasa-rasanya juga sering. Berapa kali pula kita bertransaki ekonomi? Lagi-lagi, rasa-rasanya juga sering. Bukankah aku sering berhutang padamu? J

Maka tak ada yang bisa mencegah kedekatan itu terlegitimasi dalam sebuah bentuk yang bernama ‘partneran tugas akhir’. Kedekatan itu pun menjelma menjadi hubungan-hubungan ‘kerja’. Kita berangkat ke kampus bersama, ngelab bersama, ke masjid bersama, pulang bersama. Melakukan praktikum bersama, menjadi asisten bersama, nginep di lab bersama. Seseorang bahkan iri tentang kebersamaan kita. Kita tersenyum saja menanggapi celetukan itu. Namun itulah, aku rasa, jawaban tersederhana yang kita mampu.

Suatu saat, aku malu, saat mengunjungi kosmu kutemukan selembar kertas tertempel di dinding kamarmu. Apa yang tertulis di kertas itulah yang membuatku malu. Kau menuliskan peta hidupmu, rancangan-rancangan yang ingin kau gapai dalam hidupmu. Tentang kapan menikah, kapan menghajikan orang tuamu, kapan memensiunkan diri dari formalitas kerja.  Aku malu, sebab hal itu lebih sering hidup di angan-anganku tapi tak pernah kukonkritkan sepertimu. Maka tahun-tahun yang menjelang setelah itu, akan menjawab satu per satu tiap resolusimu itu.

Apakah kita sebuah partnership yang baik? Ah, aku tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu. Bila ukurannya hanyalah sekedar tak bertengkar, tak pernah saling ngiri tentang pembagian kerja, tak saling menggunjingi di belakang, sepertinya kita lulus. Rasa-rasanya (-semoga ini benar-) kita memang begitu. Saling memahami adalah sebuah kunci (*malu sekali menuliskan kata ini*), yang kita bangun lewat kebersamaan, juga saling bicara.

Tapi tentu saja, kita bukanlah sepasangan yang sama-sama kuat, yang sama-sama lebih. Sebab pasangan yang ‘baik’ tak melulu yang seperti itu, tapi yang melengkapi. Kau mungkin masih ingat saat aku sibuk dengan blogku, kau tak pernah menegurku, sebab kau percaya bahwa masing-masing dari kita sudah sama-sama dewasa, yang telah amat paham arti sebuah prioritas, makna sebuah tanggungjawab.  Kepercayaan yang semoga kala itu tak aku campakkan.

Kau kadang begitu detail (-suatu hal yang aneh, yang harusnya akulah yg lebih detail ketimbang kau-), memperhitungkan sampai yang remeh-temeh, maka sekuat yang aku bisa, aku harus menjadi seseorang yang lebih memperhatikan esensi. Namun, di lain waktu, akulah yang tiba-tiba jadi tukang ngeluh, dan seketika kau yang harus menjadi peneguh. Bila aku sedang minus, maka kau harus jadi plus, bukan untuk saling disilangkan, sebab sudah pasti minuslah yang bakal tercipta. Tapi yang perlu kita lakukan hanyalah melengkapkannya. Dan masing-masing dari kita sudah tahu hasilnya.

Setahun saja waktu formal partnership itu. Tidak terlalu panjang untuk sebuah waktu yang tercatat oleh putaran jarum jam. Tapi, aku (-atau kita-) yakin, apa yang membekas sepanjang itu, akan selalu mencoba hidup dalam rentang usia kita. Mudah-mudahan aku tak berlebihan tentang ini.

Kita pernah menjalani hari yang padat suatu waktu. Berangkat pagi hari ke pasuruan, mengambil revisian laporan KP, merevisinya kemudian, mengeprintnya (-kita bahkan membawa sendiri printer dari surabaya-), dan mengumpulkannya lagi. Tak selesai  di situ, kita memang sempat istirahat sebentar di rumah, tapi sore hari sejam-an menjelang maghrib, kita kembali  ke surabaya. Menunaikan sholat maghrib di masjid Bangil, isya’ dan tarawih di masjid agung sidoarjo, lalu tiba kembali di kosan sekitar jam 9 (ingatkan aku, apakah ini terjadi dalam satu hari, kenapa aku tiba-tiba jadi lebih teringat akan peristiwa-peristiwa dan kacau dalam orientasi waktu)

Kita juga pernah mengalami pagi yang membingungkan. Datang subuh hari ke jogja, dan kita masih belum tahu akan melepas lelah di mana. Aku coba menghubungi temanku, sekedar menjadi penunjuk, tapi bukan untuk numpang di sana. Sebab memang tak memungkinkan untuk itu. Ia lalu menunjukkan sebuah kos harian. Terlihat kumuh awalnya (apalagi saat melihat kamar mandinya), tapi kita kuatkan.  Tak apalah. Hingga, beberapa jenak berlalu, pada akhirnya kita putuskan tak jadi menempatinya. Alasan nggak jadinya itulah yang sampai kini membuatku bangga. Saat kita melihat cowok-cewek berbagi kamar mandi. Oala, begitu mungkin batin kita kala itu, ternyata kos ini bercampur. Lalu kitapun mencari penginapan. Yang murah tentunya. Dan dapat. Lima puluh ribu perhari. Sempit, pengap, dan berbagi kasur kecil yang cuma sebiji. J

Kita juga pernah mengalami kebingungan kala tak ada tempat yang mampu menganalisa sampel penelitian kita, kita juga pernah berada dalam fase ‘nganggur’ secara bersama (masih ingatkah kau, tiap kali kukabarkan  kalau aku gagal di test ini test itu, kalimat yang kau ucapkan selalu, ‘berarti bukan yang terbaik’. Sebuah kalimat bertenaga yang selalu ingin aku percayai kala itu).

Dan, kita juga sering bercerita bersama. Berbicara banyak hal. Mulai politik hingga Chelsea-MU, mulai kecerian masa kecil hingga impian masa depan, mulai pekerjaan hingga pernikahan. ..

(*izinkanlah aku berjedah kala sampai pada kata itu*)

Pernikahan! Duh, memang Tuhan punya selera humor yang baik. Geli rasanya saat mendapatkan kabar bahwa kau akan menikahi perempuan yang menjadi istrimu sekarang. Masih terngiang rasanya, saat jaman kuliah dulu kita saling sepakat, bahwa “Yang jadi suaminya Diniyyah nanti harus orang yang dominan dan tegas!”. Sebuah simpulan yang dihasilkan oleh observasi kita (*bukan observasi mungkin tepatnya, tapi interaksi*) bahwa istrimu kini itu adalah seorang yang ngeyel dan pemaksa kehendak. (*Piss din J). Ternyata, kaulah yang jadi si dominan dan si tegas itu.

Sudah tiga halaman A4 dan aku harus segera menyudahi ini. Menuliskannya, sungguh menguras energi. Sebab itu menyelami kembali keduluan. Menggali emosi-emosi yang pernah singgah.

Maka, saat kini kau mempunyai partner baru, yang kau –juga aku-- harapkan bakal seperti itu selamanya, di dunia dan juga kampung akhirat, doa inilah yang bisa aku sampaikan (-ketika bahkan aku tak menghadiri acaramu-):

“Barakallahu laka Wabaraka ‘alayka wajama’a bainakuma fii khair”

NB1: Tulisan di awal itu tak bohong. Aku mulai menuliskan ini di sabtu sore, 20 feb 2010. Hanya masalah2 ‘kesibukan’lah yang melambatkan aku menuntaskannya. Semoga tak mengurangi esensinya

NB2:mungkin tulisan ini lebay. Aku tak menyangkalnya, meski tak juga mengiyakannya.

  

Wednesday, March 3, 2010

Dari Bontang ke Kelekat ; Foto-foto Perjalanan




Ketika seorang jamaah masjid, di sebuah malam ba'da maghrib, membisikkan kalimat ini, "mau iku ke pedalama tidak?", saya langsung mengangguk antusias...

Ketika seminggu lewat dan saya belum tahu kejelasan infonya, saya masih tetep antusias. (minimal nama saya sudah terdaftar)

Ketika H minus beberapa jam dan saya belum tahu apa-apa tentang perjalanan yang akan saya lakukan, saya masih mantap berangkat...

Ho ho. akhirnya di hari kamis, habis maghrib, disertai hujan deras, berangkat juga kita. Naik bus selama hampir 4 jam ke Tenggarong. Lalu tiga jam ke Kota bangun. Lalu 12 jam berperahu ke Kelekat. (bagi yang iseng-iseng, coba deh cari kelekat di google earth. Dekat-dekat Tenggarong)