Monday, April 19, 2010

k-e-r-a-s-a-n

Apakah yang aku artikan tentang kata ‘kerasan’? setahun lalu, kata ini sering kali dilontarkan kepadaku. Berupa pertanyaan. Membutuhkan jawaban tentunya, meski satu dua kali tampak tak lebih dari sebuah basa-basi, menjadi kata pemantas saat mengetahui aku telah menghuni sebuah tempat baru. Sampai sekarang pun masih, meski dengan intensitas yang lebih jarang. Aku terkadang menjawab pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban normatif, kadang sedikit bercanda, kadang apa-adanya, kadang juga menjawab asal-asalan. Tapi yang pasti, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan itu.

“Kerasan nggak disana, Bal?”

Aku kesulitan. Sejujurnya, aku tak terlalu tahu benar apa yang dimaksud kerasan itu. Bukan karena ketaktahuan atas kata kerasan itu sendiri, tapi justru karena aku buta akan arti kata kebalikannya: tak kerasan. Ini unik, karena bagiku, kita akan benar-benar tahu   makna sesuatu saat kita menguasai kebalikan dari sesuatu itu. Aku akan tahu benar apa itu enak saat aku juga paham apa itu tak enak. Kau tentunya akan kesulitan menjelaskan dengan sempurna kata kerasan atau enak itu kepadaku dalam sebuah kata-kata, sebab memang kata-kata itu baru bisa berhasil dimaknai dengan benar kala sudah dirasai. Bukan diperbincangkan apalagi diperdengarkan. Dan itulah masalahku, aku sepertinya gagal untuk menamai sebuah keadaan yang melandaku sebagai sebuah ketidakkerasanan. Entah karena tak kerasan itu memang tak pernah melandaku atau justru karena aku saja yang gagal mengidentifikasi bahwa apa yang terjadi padaku seharusnya disifati dengan kata tak kerasan. Entahlah.

Bagaimana begitu? Tentu saja. Ketika aku berteriak lantang bahwa aku kerasan, bagaimana aku bisa seyakin itu jika aku tak tahu benar apa itu tak kerasan. Jangan-jangan saat aku bilang kerasan, sebenarnya aku sedang tak kerasan.  Bisa saja, kan? Bukankah dua kata yang berlawanan kadang begitu dekat indikasinya. Seperti benci dan cinta. Bukankah saat kau benci seseorang kau akan sering memikirkannya. Sebuah hal yang sama persis dengan kelakuan saat kau cinta seseorang.

Aku dulu kadang menjawab pertanyaan itu dengan sebuah indikasi saja, bukan sebuah simpulan ‘kerasan’ atau ‘tak kerasan’. Ini lebih objektif harusnya. Meski yang aku sampaikan kata sifat juga, tapi setidaknya aku jauh lebih mengerti arti kata sifat itu. Kata rindu, nyaman, ingin, enak, setidaknya lebih aku rasai dengan lebih baik ketimbang kata kerasan. Maka kata itulah yang sering aku pakai untuk mengganti kata kerasan untuk jawaban pertanyaan tadi. Semoga saja mereka-mereka yang menanyai mampu menyimpulkannya sendiri…

Setahun berlalu dan sudah kadaluarsalah kiranya jika pertanyaan yang sama diajukan padaku. Meski satu dua masih ada saja penanya kesiangan. Tapi aku tak kebingungan lagi. Bukan karena aku telah mahir benar menerjemahkan makna kerasan dalam sebuah rasa, atau karena aku telah mampu membahasakan apa-apa yang terjadi padaku sebagai kerasan atau tak kerasan, tapi justru karena aku tak lagi menganggap hal itu sebagai faktor utama untuk aku tetap tinggal. Itu tak lagi penting. Yang lebih penting adalah apa yang akan aku lakukan di sini dan mimpi-mimpi apa yang ingin aku bangun di sini. Jika itu besar, megah, dan begitu terhormat, maka ‘kerasan’ seperti yang didefinisikan oleh KBBI hanyalah soal waktu, hanyalah soal rasa yang bakalan mengikut di belakang.

Pada awalnya, di sebuah tempat baru, kita mungkin tak pernah punya kenangan-kenangan tentang tempat itu. Sebab kita memang baru saja di situ. Begitupun aku dulu. Itulah mengapa mulanya kita (atau aku) masih sering terbayang-bayang tempat lama yang mungkin telah memenuhi ruang memori kita dengan peristiwa-peristiwa yang indah. Sesuatu yang mungkin kau sebut dengan rindu. Itu wajar! Yang harus dilakukan kemudian adalah bagaimana kita mulai menyicil peristiwa-peristiwa hebat, amal-amal jempolan, kegiatan-kegiatan unggulan di tempat-tempat baru kita. Semakin kita bersegera menyicilnya, semakin kita cepat mengumpulkannya, maka semakin cepat pula kita punya daya ikat dengan tempat baru itu. Sebuah kenangan! Sebab apa yang berlaku ke kita, apa yang kita lakukan, itulah yang bakal menjadi kenangan. Dan itu harus besar, harus spesial. Sebab hanya yang spesiallah yang bakal terkenang.

Maka bila daya ikat itu telah kuat melekat, mungkin kerasan yang kau maksud itu sudah nyata tercipta. Kita kemudian akan dengan suka rela menyebut tempat baru kita itu sebagai ‘rumah’, sebagai ‘kampung halaman’, sebagai ‘tanah air’. Dan apa yang dikatakan oleh Fahd Djibran dalam bukunya, nampaknya akan segera berlaku buat tempat baru kita, bahwa rumah (-atau kampung halaman, atau tanah air-) adalah sebuah tempat di mana segala kenangan tertanam, segala doa tercurah, segala harapan bertumbuh, dan rasa rindu harus dituntaskan di sana

Sudahkah itu berlaku di tempat-tempat baru kita, kawan??