Thursday, September 30, 2010

pilihan-suka-tidaksuka

Sepertinya memang begitu; awalnya kita akan sulit mengaku, atau menyebutkan; sesuatu yang seperti apakah yang kita sukai? Sulit saja rasanya. Rasa-rasanya apa yang kita pilih untuk kita sukai tersebut, tak mengerucut terhadap satu spesifikasi tertentu hingga kita memutuskan untuk menyukainya. Misal untuk tinggi atau tipe wajah untuk seseorang, misal biru untuk sebuah warna, misal polos untuk sebuah corak baju, misal ini untuk sebuah itu. Kita merasa biasa-biasa saja dan tak (mampu) mengakui kalau sebenarnya ada ciri khusus dari yang kita sukai itu.

Saya sepertinya dulu begitu. Tentang warna, saya dulu akan sulit kalau ditanyai warna apakah yang lebih saya sukai dari yang lain. Saya menganggap tak ada yang spesial dari warna tertentu maka  tak perlu perlakuan spesial lah terhadap salah satu warna tersebut. Sama saja. Hingga saya menyadari, dalam perjalanan waktu, kok sepertinya ada sebuah pola khusus yang bisa disarikan atas sebuah pilihan-pilihan yang saya jatuhkan. Ini tentang warna. Bila memilih baju, saya lebih sering memilih warna ini dari pada warna itu. Bila memilih peralatan lain (yang memberi peluang untuk memilih dengan berbagai macam warna), saya ternyata lebih memilih warna ini juga daripada yang lain. Dalam memandangpun, saya lebih nyaman memandang suatu objek dengan warna ini daripada warna itu. Hingga secara diam-diam pun, saya mulai berkesimpulan kalau saya menyukai warna ini, lebih dari warna itu.

Pada awalnya memang ketaksadaran. Dan suatu yang tak disadari tak mungkin untuk diceritakan. Lebih sering menganggap segalanya serba normal dan tak ada yang spesial. Tak terkhususkan. Sebab segalanya serba otomatis, ujug-ujug, dan diluar kendali kita. Seperti gerakan pompa jantung dibandingkan helaan napas. Pompaan jantung di luar kendali kita, sedangkan helaan napas di dalam. Kita bisa mengatur berapa helaan napas kita per menit, tapi tidak untuk berapa kecepatan jantung kita memompa darah.

Apakah memang begitu? Rasa-rasanya juga tidak. Sebab memilih adalah sebuah keputusan. Maka segala yang kita putuskan (bukan terputuskan), akan perlu diri kita untuk campur tangan. Bukankah kita memilih baju warna ini karena kita yang mengambilnya dari gantungan yang terpajang, mematut-matutnya, mecobanya di bilik sempit, lalu membawanya ke kassa. Dan sebuah keputusan, apalagi ada sebuah jedah waktu untuk mempertimbangkan, akan selalu berlandasan. Sekecil apapun itu. Landasan itulah yang harusnya tersadari untuk kita kumpulkan dengan landasan-landasan lain dalam kasus memilih hal yang sejenis guna membentuk sebuah pola. Pola  yang kemudian kita generalisir untuk menjawab pertanyaan tentang yang bagaimanakah yang kita sukai.

Lalu mengapa kita bisa tak menyadarinya? Mungkin jawabannya ini; sebab landasan yang menjadikan kita memutuskan untuk memilih ini dibandingkan itu tadi, terbangun tidak melalui sesuatu yang seketika. Ada proses. Evolusi, bukan revolusi.  Perlahan-lahan. Sedikit-demi sedikit. Hingga tak terasa, hingga tak tersadari tadi. Jadilah itu kemudian sebagai keputusan tak sadar. Kita menyadari telah memutuskan itu, tapi tak sadar mengapa memutuskan itu.

Seperti kasus warna itu tadi. Bila kita mampu mengingat lebih jauh, rasanya pilihan warna kita dulu tak seperti yang sekarang ini, bahkan berkebalikan. Waktu kecil dulu suka yang ngejreng-ngejreng, sekarang tak lagi. Dulu suka merah, sekarang biru. Dulu suka yang cerah, sekarang yang kelam-kelam. Berubah. Berubah yang tak instant. Berubah yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pemahaman, lingkungan, pengetahuan, serta yang lain. Dan itu berlangsung perlahan-lahan. Bergerak halus mempengaruhi kita. Hingga tak tersadari tadi.

Ujug-ujug kita lebih memilih warna ini saat membeli baju. Ujug-ujug kita suka buku bersampul warna ini saat melihat-lihat di toko buku. Ujug-ujug kita damai melihat warna ini. Ujug-ujug.

Maka kemudian, apa yang terjadi saat kita sudah sadar benar apa yang kita sukai. Jawabannya bisa jadi berbeda. Ketika kau sudah punya definisi tentang apa yang kau sukai, kau akan sedikit mengurangi sebuah fase bernama memilih. Ketiadaannya ini, boleh jadi menyenangkan, boleh jadi membosankan. Dalam kasus memilih baju, kita akan langsung cenderung menuju baju-baju dengan warna yang kita sukai, baru kemudian model. Atau, kalau kita sudah tahu benar model baju yang bagimanakah yang kita sukai, kita akan langsung menuju baju dengan model tersebut baru kemudian memilih warna. Maka kemudian akan muncul satu akibat dengan dua penafsiran yang berbeda; waktu yang dihemat atau ‘keasyikan’ memilih yang terpangkas. Dua tafsiran inilah yang kemudian mebedakan si pelaku.

Contoh lainnya seperti ini. Taruhlah Anda ke sebuah toko buku. Kasus pertama Anda ingin mencari buku x. Anda tahu betul judulnya, tahu betul penulisnya. Maka yang Anda lakukan tinggal ke komputer yang tersedia dan mengetikkan judulnya. Tinggal klik, maka tampil. Lalu Anda tinggal menuju rak yang disebutkan. Selesai! Beda lagi untuk kasus kedua, Anda ke toko buku untuk mencari buku. Tak tahu judulnya, yang penting mencari. Mungkin novel, tapi tak terspesifik judulnya apa. Maka Anda mulai menjengkali setiap sudut toko buku itu, mengamati tiap judul yang menarik Anda, membaca resensinya, menimbang-nimbang harganya, sampai….aha! Sepertinya sudah Anda temukan bukunya. Lama? Mungkin iya. Menyenangkan? Mungkin juga iya.  Mengasyikkan?? Mungkin juga iya. Yang pasti, beda rasanya dengan ketika menemukan buku pertama.

Lalu sekarang, manakah yang Anda pilih? Bagi saya, agaknya kita perlu sekali-kali menjadi orang yang masa bodoh dengan kesukaan kita. Memulai dari awal. Sebab proses menemukan itu ternyata menyenangkan. Ada kepuasan. Semakin lama semakin asyik. Tentu saja, ini berlaku kala tak ada keterburu-buruan, kala banyak waktu yang kita punya. Tak ada pula kejhar tayang…

Mari memilih! Dengan mengenyampingkan sejenak kesukaan kita. Memulai dari nol. Barangkali, cara ini yang justru lebih jernih. J

 

 

NB: Saya menulis ini, kecuali tiga paragraf terakhir, di Bandung. Awalnya ingin menceritakan kalau saya menyukai Bandung ini oleh sebab pohon-pohon tingginya sepanjang jalan. Membuat adem mata yang melihat. Tapi, entahlah! Kok jadinya malah tulisan ini. Ternyata saya tak mampu mengontrol gerak jemari saya yang meliar. Dan, sepertinya, hasilnya liar juga.. Ha ha.. Yuk didiskusikan!

 

 

 

Wednesday, September 29, 2010

Masjid UI, TM Bookstore, dan bakso Lapangan Tembak

kalau anda terjebak di postingan ini, pastikan anda telah membaca postingan saya sebelumnya. Sebab ini kelanjutan dari sebelumnya. Hanya tentang pengalaman saya ke jakarta. Dan, dengan sangat berat hati, saya nyatakan kalau tulisan ini nggak ada pentingnya sebenarnya. Hanya karena permintaan dari beberapa pembacalah yang kemudian saya tergerak untuk menuliskannya. Itung-itung buat latihan nulis


*******

Selesai sholat dhuhur di masjid UI, kami kembali berjalan melalui rute yang sama dengan berangkat tadi. Saya tak bisa berbohong kalau saya suka rutenya. Trotoar yang nyaman dan dahan-dahan yang merindangi cukup membuat saya nyaman untuk menyusurinya meski di siang hari sekalipun. Apalagi, kala itu, dibantu cuaca yang sedang mendung. Klop sudah.

Beberapa menit saja kami jalan, ketika pada akhirnya sudah sampai di ‘pintu gerbang’ untuk kami kelauar dari kawasan kampus. Melewatinya. Kemudian, berganti menyusuri jalanan yang terbilang sempit dengan kanan-kiri (atau kanan ya? Lupa) pemukiman penduduk.  Entah sudah berapa lama saya tak berjalan menyusuri rute seperti ini. Menghindari becekan, melangkahi jeglongan . Ah, berjalan memang selalu memberi banyak pelajaran.

“Toko bukunya ada di mall itu!”, teman saya mengarahkan mukanya ke sebuah bangunan tinggi di depan kami. Saya, hanya mengikuti arah pandangnya tanpa perlu menyahuti ucapannya. Masih terus melangkah.

“Lantai berapa?”. Baru saja, adalah pertanyaan saya ketika kami sudah sampai di lantai pertama. Lantai pertama dari yang kita jejaki. Teman saya hanya tersenyum. Mengedikkan bahu. Saya paham, ia juga belum pernah ke sini. Mengetahui lokasi TM Book Store pun dari internet. Hampir tiga tahun di jakarta, ternyata memang tak membuatnya tahu banyak tentang jakarta. Tapi lumayan, setidaknya sampai saat itu, dia adalah guide yang baik.

“Tanya satpam saja nanti”, lagi-lagi ucap saya ketika kami sudah ada di eskalator.

Tapi ternyata tak perlu tanya. Akhirnya, papan petunjuk yang tiba-tiba terlihat sudah cukup memberitahukan. Sebuah arah.

Toko buku itu tak terlalu besar. Belum memasukinya saya sudah bisa mengetahui besarnya. Hanya kaca-kaca transparan yang membatasinya dari luaran. Besarnya, kalau boleh saya bandingkan, sepertinya seukuran dengan Togamas DTC Surabaya. Jauh lebih kecil apabila dibandingkan dengan Gramedia Matraman, toko buku pertama yang saya jujuki ketika sampai di jakarta, semingguan sebelumnya. Tapi mendingannya, di sini ada diskon. Hal yang tak ditemui di gramedia matraman.

Kami pun masuk. Tentu, setelah menitipkan ransel di penitipan. Menukarnya dengan sebuah kartu. Lalu, segera menuju deretan buku-buku yang masih saja memesona.

“kamu mutar-mutar saja nyari buku. Aku ambil buku terbuka dan nyari posisi duduk yang enak”. Saya tersenyum mendengar penuturan teman saya ini. Tetap saja, dengan ukuran tubuh yang di atas rata-rata itu, ia masih seperti ketika kita jaman kuliah dulu: susah diajak jalan.

Tak ada yang spesial dari toko buku ini selain masalah diskon tadi. Pelayanannya biasa-biasa saja, jauh apabila dibandingkan dengan yang saya terima di Gramedia Matraman. Tak ada yang sibuk menawari tas belanjaan meski saya kerepotan memegang buku belian. Sepertinya, petugasnya pada sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.

Di sini, saya menemukan novel pakistan yang pernah saya cari-cari, nemu juga ‘Janji Lelaki’nya Pro-u, serta nyicil beli tafsir Ibnu Katsir. Serta yang lain. Dan, lagi-lagi, jebol lah pertahanan saya untuk tak beli buku banyak.

Menuju kasir, menggesek atm, melangkah keluar. Sempet ternginang-ngiang akan nominal yang telah saya kelujarkan untuk pembelian buku ini. Dan, hei! Ada penyampulan gratis.

“Yang harga 25.000 ke atas, ya, mb?”, ini hanyalah pertanyaan retoris saya tentang persyaratan sampul gratis tadi. Sebenarnya sudah jelas tertulis, sampul gratis untuk buku seharga 25.000 ke atas setelah diskon.

“iya, mas”

“boleh saya tinggal makan? Saya makan di sebelah ini”, ini sebenarnya permintaan yang retoris juga. Tak mungkin ia menolak. Apalagi hanya sekedar ditinggal untuk makan di sebelah toko buku itu.

“iya! Iya, boleh”, sahut petugas penyampul sambil tersenyum. Tangannya cekatan menyambut buku yang sartu persatu saya keluarkan dari tas kresek. Saya harus memilah mana yang dapat fasilitas sampul gratis mana tidak.

Bakso lapangan tembak, demikian nama tempat makan di sebelah toko buku itu. Sebenarnya saya malas makan di tempat-tempat franchise macam begini. Lebih baik cari yang khas daerah setempat. Tapi oleh sebab, ‘kayaknya di sini saja deh biar hemat tenaga’, saya ngikut juga. Sepertinya teman saya sudah kelelahan jalan bolak-balik ke masjid ditambah ngubek-ubek toko buku.

Di dalam, ada beberapa orang menempati tempat duduk. Tak sepi, juga tak terlalu ramai. Ada pula dua orang akhwat-akhwat yang tengah makan di sudut dekat kaca. Awalnya, heran juga. Tak biasa (bagi saya). Apalagi dari penampakannya yang sepertinya masih mahasiwa. Dulu, langganan makan saya pas masih berstatus mahasiswa sepertinya warung-warung sederhana dekat kost, atau kalau pas lagi pingin ya tahu thek yang kebetulan lewat, atau paling banter nasgor  tenda sepanjang jalan. Tapi, ah, mungkin inilah jakarta.

Mencari tempat duduk. Dan memang, sudut dekat kaca itulah yang sempurna. Ada lalulalang kendaraan yang bisa diindera. Dulu, teman sekamar saya selalu memilih tempat duduk dekat kaca seperti ini tiap kali ujian. Alasannya sederhana: “kalau lagi buntu bisa nyari inspirasi melihat luar”. Saya, kala itu, diam-diam meniru caranya.

Sepertinya ini kali kedua saya makan di Bakso lap tembak ini. Kalau tak salah, yang pertamanya di bandara sepinggan. Pulang dari tarakan kala itu, menunggu penerbangan lanjutan ke Bontang. Saat itu pesan mie ayam bakso. Standar saja. Sebab hanya itu saja yang saya suka, sepertinya. Dan, di jakarta ini, pada kesempatan kedua ini, oalah, lagi-lagi mie ayam bakso itulah pilihannya.

Beberapa menit terlewati sampai makanan itu datang. Selanjutnya, tak terlalu banyak yang bisa diceritakan. Makan, ngobrol pekerjaan, ngobrol politik sedikit (demi melihat poster pak Nurmahmudi), ngobrolin teman. Sampai akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi.

Saya bangkit dari tempat duduk, mencoba mencari kasir. Dua orang akhwat yang lebih dulu datang nampak belum beranjak. Mungkin betah, mungkin makannya lama, atau mungkin untuk alasan norak ini : ‘mumpung beli di sini, dilama-lamain saja..lumayan kursinya empuk J’. Tapi, hei! Mana kasirnya? Saya melongok-longok ke tempat mbak-mbak petugas tadi mengeluarkan pesanan kita. Beberapa petugas  di situ melihat saya tapi tak satupun berinisiatif untuk melayani. Sepertinya bukan di sini, pikir saya. Untunglah kemudian teman saya menunjukkan sebuah arah lewat isyarat mukanya. Ho ho, ternyata di pintu masuk posisinya.

Membayar makan. Kembali ke kasir toko buku mengambil buku yang disampul. Melangkah kelauar kembali ke masjid UI. Tak ada yang istimewa. Standar-standar saja. Baru sejaman kemudianlah membuat saya mengingatnya ingin tertawa. Ha ha. Dari SMS-SMS.


 

Bontang FC vs Persema! nanti malam -tumben tentaratentara pada ngikut njagain-

Tuesday, September 28, 2010

KRL perdana

“Ransel disandang di depan!”, demikian teman saya memulai menjelaskan SOP-nya. Saya terdiam tapi menuruti penjelasannya. Mengikutinya yang menuju loket penjualan tiket. Saat itu kita baru tiba di stasiun cawang.

“seribu lima ratus?”, tanya saya ketika petugas tiket memberi kembalian 2000 untuk uang lima ribu yang teman saya bayarkan untuk kami berdua. Tujuan kami, kala itu, depok. Saya tak tahu apakah itu jauh atau dekat dari cawang sini, tapi edntahlah, 1500 sepertinya sebuah nominal yang mengejutkan. Kemudian, teman saya itu, demi menjawab pertanyaan saya tadi, hanya mengangguk sambil tersenyum misterius. Mungkin ingin berkata, ‘begitulah!’

“murahnya”, spontan kata itu terucap dari mulut saya.  Tentu saja murah berdasarkan subyektivitas saya. Hidup jauh dari ibu kota dan terlepas dari hingar bingar jawa memang mengharuskan saya untuk sering kali melakukan kalibrasi tiap kali harus ke jawa. Termasuk masalah harga ini.

Temen saya, lagi-lagi, hanya tersenyum, lalu menyebutkan sebuah nominal yang tergolong murah yang harus dibayar bahkan jika harus ke bogor. Saya menatapnya antusias.

Kami beruntung kala itu. KRL pertama yang akan kami tumpangi tak lama lagi akan datang. Sebuah kebetulan yang kebetulan. Atau perjodohan. Pengalaman pertama memang seringkali mengesankan.

“Usahakan nggak pakai HP saat di kereta! Lebih baik kalau ditaruh di tas saja”, kemudian, dari teman saya juga, SOP kedua saya terima. Saya menurut. Lagipula tak ada rencana melewatkan momen pertama di KRL dengan hanya sekedar main HP. Tak perlu up date status pula, kan, hanya masalah naik KRL ini?

“Dompet?”, kali ini saya yang bertanya. Yang langsung teman saya tanggapi dengan, “kalau bisa, ditaruh di tas juga. Ditaruh di tempat rahasianya”.

Lagi-lagi saya menurut. Awalnya, saya kira dengan mengancingkan saku belakang itu saja sudah cukup. Aman. Tapi, ternyata. Baiklah!

Stasiun, saat itu, lumayan ramai. Tempat duduk untuk menunggu penuh. Dan itu, pertanda kalau kami juga akan berdiri di KRL nanti. Tapi, tak masalah!

Tak lama, KRL pun datang. Orang-orang berebut naik. Dan benar, kondisi sudah penuh, meski tak terlalu penuh. Tempat duduk sudah penuh terisi dan orang-orang sudah banyak yang bergelantungan di pinggir-pinggirnya. Ternyata memang tak ada gelang-gelang untuk bergelantungan laiknya busway. Sepertinya saya terlalu menggambarkannya seperti di film-film jepang. Tapi, lagi-lagi, tak masalah!

Mirip dengan kereta kelas ekonomi. Sepertinya, seingat saya, dulu di surabaya juga ada kereta sejenis ini. Tapi tak pernah saya naiki. Hanya kereta ekonomilah yang pernah saya coba. Ya, seperti yang saya kata, mirip KRL ini. Pedagang yang lalu lalang, penumpang dengan ransel di dada, peminta-minta. Mirip! Ah, ini pemandangan yang benar-benar membangunkan rasa kemanusiaan kita.

“ini halte UI”, sepertinya baru beberapa menit saja lepas dari stasiun cawang, saat teman saya mengatakan ini, “tapi kita tak turun di sini”. Tujuan kita kala itu adalah TM Bookstore. Saya juga masih belum tahu ada di mana. “Tapi di stasiun selanjutnya”, lanjut teman saya.

Di stasiun selanjutnya kemudian kami turun. Hari telah siang, meski tak terlalu panas oleh sebab mendung. Saya biasa saja samapai menyadari  ada bonus tambahan selain naik KRL perdana ini yang saya dapatkan; “kita sholat dhuhur di masjid UI dulu saja, ya?”

“dimana? Jalan kaki?”

“yup. Di situ. Dekat saja”

Tak terkata. Bahagia begitu saja rasanya. Ternyata Allah mengganti ketidakjadian menjejakkan kaki di masjid Salman ITB itu dengan kunjungan ke masjid lain yang juga ingin saya kunjungi: masjid UI.

Tak butuh waktu lama , kami pun melangkah. Di antara para mahasiswa.

 

 (-dari dramatisasi pengalaman naik KRL perdana-)

Sunday, September 26, 2010

cepatlah menyapa! (-surat untukmu, nak. dari calon ayahmu-)

Cepatlah menyapa! Cepatlah menyapa, Nak!

Di luar mulai menyepi, meski jalanan masih tetap saja ramai. Kerlap-kerlip lampu kendaraan masih memenuhi jalanan, meski malam mulai melarut. Orang-orang sudah semakin sukar membedakan mana siang mana malam. Tak peduli. Mungkin kelak, di masamu, orang-orang sudah tak lagi mampu membedakan. Sama saja. Jalanan akan semakin ramai, kapan saja.

Nak, tahukah kau? Baru saja ayah,- ah, akan seperti itukah kau kelak memanggilku-, melakukan sebuah perjalanan. Bukanlah perjalanan jauh sebenarnya, sebab sebelumnya itu hanya tertempuh tiga setengah jam saja dengan kereta api. Tapi baru saja, nak, ayah menempuhnya dalam lima setengah jam. Terlihat menjadi jauh, sebab kita memang sering kali mereduksi pengertian jauh. Mengukurnya dengan parameter waktu, bukan lagi jarak. Melelahkan. Ya, melelahkan memang, tapi tetap saja, selalu, perjalanan akan banyak mengajarkan. Mengajarkan kehidupan, memahamkan diri tentang rekan perjalanan. Juga, mengatakan pada kita dengan lantang, bahwa hidup dan kehidupan, tak melulu dunia kita yang mungkin hanya selingkaran. Ada banyak hal, ada banyak orang-orang, ada banyak potret, adsa banyak fragmen kehidupan. Itulah yang kemudian akan memperkaya jiwa. Maka untuk itu, Nak, nanti, cepatlah berjalan! Nikmati perjalanan pertamamu menjelajahi kehidupan. Antara kamar tidur menuju dapur. Hai, mungkin akan kau temukan ibu sedang merajang bawang.

Kau harus tahu ini. Di sepanjang jalan, akan banyak sekali yang bisa dilihat. Tapi tentu saja, dilihat yang bukan asal dilihat. Tadi kutemukan anak SD yang jajan di pinggir jalan, kutemukan juga sekelompok anak laki-laki kecil nampak basah kuyup kehujanan (atau berhujan-hujan? entahalah), juga, dua orang anak kecil berjalan di sebuah pematang sawah terasering di pinggir tol.  Ketiganya, dari yang terlihat, nampak menikmati benar aktivitasnya. Tak ada gundah di wajah polos mereka, tak ada sedih menyelip di senyum rekah mereka. Sebab mungkin seperti itulah dunia mereka. Dunia anak-anak. Dunia ceria.

Aku lalu mengingatmu. Mengingat yang tentu saja tak memiliki arti mencari yang terlupa. Sebab mana mungkin, kau belum juga hadir, belum juga pernah tertemui. Mengingat berarti memikirkan. Lalu pertanyaan ini mengemuka. Ah, akan dimanakah kau berada saat seusia mereka? Akan dimanakah kau bakal bermain? Akan dimanakah kau bakal belajar berjalan? Ayah juga tak sanggup menjawabnya. Sebab itu juga masih sebuah misteri, sebab ayah juga masih sebatas mengusahakannya. Tapi ngomong-ngomong, jika ayah diijinkan bertanya, kau ingin di mana? Ayah sekarang tinggal di pedalaman, Nak. Kalau itu tak berubah, dan kelak ibumu bersedia hidup terpencil dalam rumah mungil kita, dalam kota kecil kita, kau tak akan menemukan gedung pencakar langit, tak juga jalanan yang begitu lebar dan ramai dengan mobil-mobil hebat yang ayah ceritakan di awal tadi. Tapi, sebagai gantinya, kau akan melihat pohon-pohon tinggi, monyet-monyet menggendong anaknya yang lucu, juga tupai yang riang berloncatan di dahan-dahan tertinggi. Tentu saja penggambartan ayah itu adaah penggambaran sekarang. Tak tahu ketika masamu datang akan bagaimana, akan seperti apa. Maka itulah kemudian menjadi kewajiban ayah untuk membekalimu, sebab kau akan hidup di jamanmu, di jaman yang bukan seperti jaman ayah. Tapi baiklah, apapun itu, jika kau diberi pilihan untuk dua keadaan itu, kau suka yang mana? Ah, bolehkah ayah memastikannya? Kau pasti akan menjawab, kalau kau menyukai sebuah tempat, dimana ayah dan ibu di situ juga berada, dalam raga juga jiwa.

Kau mengerti, kan? Apapun itu, apakah kau akan terlahir di sebuah perkampungan padat penduduk , atau di keasrian desa seperti dulu ayah dilahirkan, atau di tengah hutan, atau di kaki gunung, atau di pesisir, yakinlah, akan selalu ada ayah ibu di sampingmu. Yang akan bersenang hati mengajarimu kata, mengenalkan dunia, dan menuntunmu, tentu saja,  ke jalan cinta. Kita, aku dan ibumu, akan berebut memelukmu. Atau bahkan memeluk bersama, lalu bersama juga membisikkan, ‘bertumbuhlah, nak! Bertumbuhlah!’. Dan kau kemudian menceracau, yang kemudian kita artikan sebagai caramu untuk berkata, ‘aku sayang ibu..aku sayang ayah’.

Cepatlah menyapa, Nak! Tak sabar rasanya mengajarimu alif, yang akan kau jelmakan menjadi sebaris doa. Menikmati keterbataanmu yang menggemaskan. Menikmati pertanyaanmu yang mengejutkan. Ayah akan banyak belajar darimu, Nak, tanpa perlu malu-malu.

Cepatlah menyapa! Tak sabar rasanya mengajakmu duduk bersama di atas lonteng itu. Menatap bulan bintang bersama, menyapa angin malan berdua, dan memperbincangkan Tuhan. Maka ayah akan mengutip surat cintaNya ini, seraya mendekapmu, seraya mengajakmu menatap keluasan angkasa, untuk mengajakmu mengartikan siang-malam-Nya:

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,

Dan bulan apabila mengiringinya,

Dan siang apabila menampakkannya,

Dan malam apabila menutupinya,

Dan langit serta pembinaannya,

Dan bumi serta penghamparannya,

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu,

Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

 

Lalu ayah akan lama menatap kedua bola matamu. Mencari pertanyaan yang menjejak di sana. Meski kemudian mungkin tak sanggup lagi berkata, demi melihat mata mungilmu, demi melihat binar-binar kebingungan itu; ‘Kau, Nak, adalah fitnah bagiku, tapi di sisi lain, juga pelapang jalan menuju tempat kembali terbaik itu. Maka mari, Nak, bersama ayah ibu, menjalin ikatan teguh itu, yangbukan ikatan semu’.

Cepatlah! Kau sudah sampai mana? Ada berapa surat yang kau baca? Aha, dua, kan? Satunya, itu berarti surat dari ibu. Pastinya lebih panjang, kan? Mungkin seperti itu nantinya, ibu akan lebih banyak bicara. Tapi kau harus yakin, setiap katanya adalah mutiara. Maka janganlah sekali-kali kau berkata ‘ah’ padanya. Apalagi mengeraskan suaramu. Jangan, Nak, kumohon! Ia mungkin tak marah, tapi itu akan membuat Dia marah.

Baiklah, maukah kau sedikit memobocorkan surat ibumu? He he, kau jangan tertawa! Sebab ayah memang tak tahu isinya. Ibumu, tidak sedang berada di samping ayah saat menuliskannya, atau di ruang tengah hingga ayah bisa mencuri-curi lihat sambil lewat, atau di keheningan malam dalam sebuah kamar saat ayah tertidur. Tidak! Ayah bahkan belum tahu siapa ibumu. Orang mana, tinggal di mana, seperti apa, atau spesifikasi yang lain. Tapi yakinlah, Nak, ia akan mencintaimu, seperti ayah juga telah mencintaimu. Bukankah ia telah mengirimu sepucuk surat? Itu artinya, ia telah memikirkanmu jauh sebelum Allah menghadirkanmu dalam dirinya. Dan kau harus yakin, saat ia telah mulai mengaharapkan kebaikan dalam dirimu, maka sesungguhnya ia telah memperbaiki dirinya. Jauh-jauh hari. Sebab ayah yakin dengan pernyataan seorang alim ini, Nak, ‘wahai, anakku, sesungguhnya aku mendidikmu jauh sebelum kau dilahirkan. Melalui akhlakku, melalui ibadahku’. Ayah tertegun.

Maka, Nak, suatu saat, saat kami telah dipertemukan Allah, akan segera kami tulis surat lebih detail untukmu. Sebuah surat hasil kongres kecil kita. Ayah mengetikkannya, sedang ibu mendiktekannya. Atau dibalik, ibu menuliskannya, ayah mengomongkannya. Atau, kita saling mengoreksi. Berdiskusi panjang. Sambil membuka kitab 30 juz kita, sambil mencermati sabda dan perilaku nabi kita. Itulah kemudian yang kita sebut grand desainmu, nak. Panjang mungkin. Melelahkan juga mungkin. Untuk itulah, kita kemungkinan akan bergantian mengetikkannya, sambil saling menyiapkan secangkir teh yang akan menguapkan penat. Ayah akan sangat bergairah menuliskannya, meski lelah. Kelelahan untuk kebaikanmu akan selalu menyenangkan, Nak. Selalu.

  Akhirnya, cepatlah menyapa, Nak! Cepatlah bertumbuh. Ayah sudah tak sabar lagi, bergantian dengan ibumu, mendongengimu sebelum tidur. Menceritakan tentang kesederhanaan Abu Dzar Al-ghifari, atau kepahlawanan Khalid bin Walid, atau kecerdasan Zaid bin Tsabit. Juga menceritakan bagaimana keimanan itu bisa mengubah seorang budak hitam  menjadi salah seorang penghulu surga; Bilal bin rabah.  Dan, yang pasti, akan sering-sering kami ceritakan lelaki mulia itu ; Muhammad SAW. Kelak, ayah ingin kau telah jelas menemukan teladanmu.

Cepatlah menyapa, Nak! Sebab itu berarti, jalan menuju hadirmu, juga lebih cepat menyapa.

 

Salam

Calon ayahmu

 

Kutuliskan ini, di ketinggian 11 lantai, sambil melirik jalanan yang masih sarat cahaya. Ba’da perjalanan bandung-jakarta.

 

 

 dibuat untuk sekaligus mengikuti lomba di SINI

Sunday, September 19, 2010

menjelajahi ITB. Serasa jadi mahasiswa lagi. Kayaknya memang masih pantas.. *catatannya insyaAllah menyusul

benar-salah

“Yang berbuat salah kemungkinan bakal bisa berbuat benar, demikian pula yang benar, ada kemungkinan bakal berbuat salah”

Seorang bapak melemparkan kalimat itu di pagi tadi. Membuat saya sejenak mencerna dan merenungkannya.Kalimata sederhana memang, tapi bisa berarti dalam. Betapa sekarang, boleh jadi tak banyak yang benar-benar memahami kalimat ini dengan benar. Apalagi sampai mengaplikasikan makna yang tersirat darinya.

Pagi itu dalam sebuah sambungan telpon kami berbicara tentang kambing hitam. Kambing hitam dalam artian konotatif.Tentang seseorang yang sukanya mencari kambing hitam atas sebuah kesalahan. Lalu mencacimakinya dengan sebuah umpatan menusuk, melukai, dan teramat kasar hingga seolah si bersalah adalah orang yang tak mungkin berbuat benar. Menggoblokkannya dengan penggoblokan yang terlalu. Seolah si terdakwa adalah orang yang bakal abadi dengan kesalahannya. Seolah si pencaci adalah orang benar yang tak akan mungkin berbuat kesalahan (yang sama). Juga seolah si benar adalah si orang yang kekal dalam kebenarannya.

Mungkin rumusan ini sudah benar-benar tersingkirkan; Bahwa kita yang benar kali ini, boleh jadi akan salah di lain waktu. Dan kita yang salah kali ini, amat sangat mungkin bakal benar di lain kesempatan. Maka semuanya haruslah sewajarnya. Sebab ternyata kita semua, amat sangat mungkin berada di posisi manapun. Tak terkecuali menjadi si bersalah itu. Jadi jika pada suatu kesempatan kita dalam posisi benar, lalu ada seorang yang berbuat kesalahan (tak disengaja), dan kita memutuskan untuk membodoh-bodohkannya, mencacinya habis-habisan, maka itu tak ubahnya kita yang sedang mencaci dan membodohkan diri sendiri untuk sebuah waktu di masa depan. Sebab ternyata memang  tak ada yang bisa menjamin kalau kita bakal terbebas dari kesalahan yang sama.

Maka mungkin yang kita butuhkan sering-sering adalah tarikan nafas panjang. Lalu istighfar. Mengandaikan kita sendiri lah yang berada dalam posisi tersalahkan. Sehingga kita tak akan larut dalam keasyikan mencari kambing hitam, tak juga terbuai dengan enaknya menyalah-nyalahkan. Kita akan bergerak mencari penyelesaian. Sebab ternyata memang tak banyak masalah yang terselesaikan dengan hanya mengetahui siapa yang salah. Lebih banyak bahkan tak penting untuk tahu siapa yang salah. Tersebut atau tidak si bersalah, sama saja.

Yang terpenting memang evaluasi. Agar kesalahan yang sama tak terulang. Tentang mengapa itu bisa terjadi, tentang apa yang mesti dilakukan. Bukan tentang siapa yang paling salah, dan bukan tentang ‘kok bisa-bisanya sih dia melakukan kebodohan itu?’. Sebab orang yang terlalu ribut mencari siapa yang mengunci pintu yang sebelumnya terbuka, sering kali terlupa kalau ada pintu lain yang tak terkunci. Sebuah pintun yang kemudian  memungkinkannya meloloskan diri dari gedung pengap itu.

Punishment memang perlu. Sebagai reminder. Sebagai jalan perbaikan. Maka, karena tujuannya baik itulah sudah menjadi sebuah keharusan kalau itu dilakukan dengan baik-baik pula. Sebab memang tak ada kebaikan yang ditempuh dengan cara tak baik, sama seperti halnya tak mungkin ketakbaikan berubah menjadi kebaikan hanya karena ditempuh dengan cara-cara baik. Hingga, jika kita ingin si bersalah tak melakukan lagi kesalahannya, maka cara-cara seperti mencaci dan menggoblokkan sudah pasti tereliminir demi melihat tujuan tadi. Karena, selain ia belum tentu mampu memperbaiki kesalahannya, cara itu sudah barang tentu menggoreskan satu luka di hatinya. Luka yang mungkin butuh waktu lama untuk menyembuhkannya.Bahkan akan mungkin terpendam. Terpendam untuk bisa mencuat kapan saja.

Maka benarlah apa yang diucapkan ust Umar Mitha dalam tausiyahnya Ramadhan lalu; Kau jangan sedih saat orang tak menyukaimu karena kebenaranmu. Tapi sedihlah saat orang tak menyukaimu karena akhlakmu.

Ah, semoga akhlak bagus kita, turut serta mengiringi kebenaran kita,

Wallahu a’lam

19 sept 2010

Pinggiran Raden Saleh

 

 

Thursday, September 16, 2010

pembiaran-

Saya baru saja keluar dari masjid kala menemukan bocah kecil itu berdiri di halaman masjid dalam keadaan seperti kebingungan. Wajahnya menatap ke dalam masjid tapi ragu apakah akan memutuskan menuju ke sana. Usianya masih masuk kategori batita dan tentu saja saya mengenalnya sebab setahu saya ia seringkali saya temukan di masjid bersama ayahnya.

Tebakan saya kala itu ia sedang kehilangan ayahnya dan sedang mencari-cari lewat pandangnya dari halaman masjid. Saya yang seringkali menepuk-nepuk pelan pipi bocah tersebut kemudian berinisiatif mengajaknya menemui ayahnya. Tapi sial bagi saya sebab ternyata saya agak ragu jamaah yang manakah bapak si bocah ini. Sepertinya saya lebih sering memperhatikan si bocah daripada si ayah bocah. Maka, kemudian saya tawarkan saja pada si bocah untuk mencari sendiri ayahnya sambil saya temani. Mungkin ia dilanda rasa takut berada dalam keadaan sendirian dan kehilangan sehingga masjid yang harusnya sudah familiar baginya menjadi tempat yang asing untuk ia jelajahi. Sayapun mulai hendak menuntunnya masuk kembali ke dalam masjid. Tapi, ternyata ajakan saya kemudian tak berbalas. Si bocah kemudian tetap bergeming. Tak menunjukkan niatan untuk mengiyakan ajakan saya. Dan, saat itulah ia terlihat mulai merengek dengan suara pelan yang memelas. Ada yang tertahan dari suaranya. Saya baru sadar, dari intensitas pertemuan kami yang sering itu, baru kali ini saya melihatnya (akan) menangis.

Untungnya, di saat saya bingung, seorang jamaah lain menghampiri dan mampu mengidentifikasi siapakah gerangan ayah si bocah kecil ini. Dan…aha, ternyata tebakan ragu-ragu saya di awal tadi benar. Ayah si bocah sebenarnya berada tak jauh dari lokasi. Ia sedang berdzikir di serambi masjid dan tentu saja mudah sekali menatap kami yang di luar tersebut. Tapi ternyata, di saat kami ingin memberitahu si ayah tentang keadaan si bocah, ia memeberikan sebuah kode yang membuat kami serta merta mengerti apa yang sedang terjadi. Kami pun memutuskan pergi dan meninggalkan si bocah.

Pembiaran! Ya, si bapak sedang melakukan pembiaran pada si bocah. Saya tak tahu mengapa bapak itu sampai melakukannya dan dengan harapan apa tepatnya bapak itu melakukannya. Hanya, yang saya tahu, bapak itu melakukannya.

Pembiaran! Ya, boleh jadi, itulah cara terbaiknya. Karena, seperti yang dikemukakan Anis Matta dalam Serial Cinta, tidak semua masalah memang harus diselesaikan. Karena memang ada banyak masalah yang justru selesai karena tidak dipikirkan dan tidak diselesaikan.

Dan pada kasus si bocah, bagi si ayah, membiarkannya sendiri itulah mungkin yang dianggap jalan terbaik menyelesaikan masalah pada si bocah. Membiarkan ia melakukan ‘pelepasan’. Perlu ketegaan memang. Tapi menjadi tak apa asal ada keyakinan bahwa si bocah akan baik-baik saja pada akhirnya. Sebab, lagi-lagi menurut Anis matta dalam bahasan yang sama, mekanisme pembiaran menuntut adanya keyakinan dan sedikit ketegaan.

Keyakinan dan ketegaan. Dua itu harus ada. Atau mungkin lebih tepatnya, dalam sebuah pembiaran, harus ada keyakinan dalam ketegaan . Yakin bahwa si bocah akan ‘terselesaikan’ dengan sendirinya dan pada akhirnya dengan sedikit malu-malu akan kembali menghampiri kita dengan lebih tenang tanpa masalah. Masalahnya sudah ‘terlepaskan’ dan ia sudah ‘tak bermasalah’. Dan mungkin pada saat itulah saat tepat untuk sebuah penjelasan.  Sebab memberi penjelasan saat ia tengah dalam puncak masalah, seringkali malah memperkeruh masalah.

Maka keyakinan, menjadi unsur penting dalam hal ini. Sebab pembiaran tanpa adanya keyakinan , hanyalah bentuk lain dari pelepasan tanggung jawab, atau pelarian dari masalah. Jika yang sebelumnya adalah penyelesaian dengan sendirinya, maka yang ini adalah kamuflase masalah. Atau penundaan.

Ada banyak masalah yang tak perlu kita selesaikan sebenarnya. Maka pengalaman, dan pemahaman, adalah instrument penting untuk membedakannya dari yang lainnya. Pengalaman menuntun kita untuk sebuah kecepatan, sedangkan pemahaman akan membuahkan ketepatan. Sehingga kemudian kita melihat, pengalaman tanpa pemahaman, lebih sering menghasilkan orang yang cepat gagal atau cepat berhasil dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan pemahaman tanpa pengalaman, seringkali menghasilkan keputusan tepat yang lebih lamban dari yang seharusnya bisa dilakukan. Yang berbahaya kemudian adalah, orang yang tak memilki keduanya. Anda pasti tahu sendiri kelanjutannya.

Wallahu a’lam.

  

Tuesday, September 14, 2010

kawan, toko buku di jakarta dan Bandung yang 'wajib' dikunjungi mana saja ya?

kalah--

Ini mungkin tentang seberapa sih yang kita butuhkan. Bukan tentang seberapa yang bisa kita ‘manfaatkan’

Atau entahlah!

Seperti ketika menelepon sebuah penginapan di sebuah kampus saat training ke luar pulau beberapa bulan yang lalu; ‘per malam berapa, bu?’. Dan ketika si ibu menjawab, ‘yang kamar mandi dalam 299 ribu, yang luar…… (-sekian ribu yang saya lupa – yg pasti lebih murah)’, saya menoleh ke teman yang membersamai saya untuk meminta pertimbangan. Lalu, “kamar mandi dalam, lah! Kan nanti sama-sama diganti”, begitulah jawabnya.

Dan lagi-lagi saya kalah. Karena kampusnya adalah kampus saya kuliah dulu, awalnya sempat terpikir untuk numpang di kontrakan saya yang dulu (-meski penghuninya sudah banyak muka-muka baru-), terus jatah penginapan yang diberikan perusahaan di-lump sum-kan. Cukup lumayan untuk dipakai mentraktir teman kontrakan dulu. Traktiran yang saya yakin amat membahagiakan mereka –sebab saya pernah merasakannya.

Kemudian alternatif itu tereliminir dan saya ikut-ikutan menginap di wisma kampus yang berbayar. Kami datang berdua dan tak enaklah kalo salah satunya di kontrakan satunya di penginapan, begitulah pemaklumannya. Dan ketika alternatif kamar mandi dalam dan luar itu mengemuka, di sinilah letak ujiannya. Keduanya sama-sama mungkin untuk dipilih sebab tarif maksimal yang ditetapkan perusahaan buat karyawan sekelas saya masih ada di atasnya. Hanya tentang fasilitas yang bakal saya dapatkan saja lah pembedanya.

Dan tentang seberapa besar fasilitas-fasilitas itu saya butuhkan lah sebenarnya sebagai wasitnya.

Tapi saya, lagi-lagi kalah.

Kalau saya memilih yang lebih murah, perusahaan akan menghemat sekian ratus ribu, yang boleh jadi sepele bila dibandingkan dengan kumulatif pengeluarannya. Tapi tetap saja penghematan. Sempat terlintas ini. Lalu hilang lagi. Tertutupi lagi.

Sebab ternyata variable penentu keputusan itu tak hanya tunggal dari lintasan pikiran kita. Ada orang lain yang juga sebagai variabel. Kita tak selamanya sendiri. Tinggal kemudian seberapa besar kita mengkreasikan variabel lintasan pikiran baik kita agar bernilai besarlah (-mungkin dikalikan tetapan besar, mungkin dipangkat seribu kan-)kuncinya.

Ini tentang perkawinan ide. Pergulatan orientasi.

Ada banyak pertarungan lain sebenarnya, tapi hari ini saya ingin membaginya yang itu saja.

 

** untuk seorang teman yang dulu dalam sebuah sambungan telepon pernah berucap : ‘ingin nangis rasanya, bal, bila mengingat masa-masa awal kita di kontrakan dulu’. Semoga kau masih mengingat masa itu sebagai tarbiyah, bukan sebagai puasa untuk kemudian kini saatnya berbuka

*** ditulis ketika kesempatan dinas luar pulau itu datang lagi dan kenikmatan-kenikmatan dunia macam gedung-gedung tinggi, kasur-kasur empuk, mobil-mobil berkelas bakal dari dekat terinderai.

Saturday, September 11, 2010

Si Rama yang memperkenalkanku pada Laila

-terimaksih kepada seorang akh yang mau berbagi cerita hingga aku bisa menuliskannya-

*******
Ia datang sekitar sebulan yang lalu. Mengetuk pintu dan kutemukan wajah menyenangkannya menyeruak di balik pintu. Kemudian, tersenyum lama dan menjabat tanganku juga dengan durasi waktu yang tak kalah lama. Ia memperkenalkan dirinya, lagi-lagi, dengan nama yang dulu-dulu ; Rama. Saat itu ia datang di sebuah maghrib.

Sejatinya, aku tak perlu terlalu terkejut atas kedatangannya. Sebab memang tak mendadak. Sesuatu yang sudah terencanakan tak pernah mendadak, kan? Jauh-jauh hari aku sudah tahu dia bakalan datang berkunjung lagi. Lagi, sebab memang ia berkunjung setahun sekali dan akan menginap dengan jangka waktu yang sering kali segitu-gitu. Bahkan, di jalan-jalan sudah sering kali kutatap spanduk-spanduk berisi ucapan sambutan. Baliho-baliho dengan sepasang wajah asing juga terjajar rapi di pinggir jalan, juga menyampaikan sambutan yang sama. 

Yang membuatku terkejut, atau salah tingkah, adalah ketika aku menyadari bahwa aku tak cukup mempersiapkan apa-apa untuk menyambut kedatangaannya. Serutin apapun kedatangnnya, ia tetaplah tamu istimewa yang hidangan istimewa juga lah mestinya sebagai jamuaannya. Tapi lihatlah, oi, rumahku bahkan berantakan dan sama sekali tak mengindikasikan bakal ada tamu penting yang bakal mengunjunginya. File-file kerja masih berserakan memenuhi meja kerja sementara koran-koran bergambar artis dan politikus juga tak kalah semerawutnya di lantai. Bahkan aku hanya menemukan air putih dingin kala kubuka lemari es kecilku. Seperti biasa.

Tapi kemudian, yang membuatku sedikt tenang, ternyata Rama sepertinya tak sedikit terganggu dengan keadaan itu. Ia kemudian masuk begitu saja, duduk di sofa rumahku yang mulai kumal, menatap sekilas, lalu kembali tersenyum. Ia menawarkan sebuah persahabatan hakiki yang sepertinya sulit kutemui tandingannya. Aku tercekat, bahkan hingga lupa mempersilakan air putih yang kuhidangkan.

Ia kemudian mengeluarkan selembar catatannya yang sebenarnya sudah aku tahu apa isinya. Setahun lalu ia juga mengeluarkan catatan itu. Sebuah catatan yang berisi 5 kalimat dari bab kedua dari kitab kami. Ia berhenti sejenak untuk memandangku, kemudian mulai membacanya, menjelaskan maksud dan kandungannya. Aku selalu terpanana mendengar uraiannya.

Begitulah! Mulai saat itu ia resmi tinggal untuk sekitar 30 hari ke depan. Dan akan menyertai kemanapun aku akan pergi. Ia senang dengan kebaikan-kebaikan, bahkan memberitahuku tentang nilainya yang tidak seperti biasanya. Ia menyebutnya dengan tarif premium. Maka kemudian ia membantuku untuk membuat target-target. Tentang daftar surat yang mesti dihafal, tentang berapa lembar dari Al-Qur’an yang mesti dibaca tiap harinya, tentang qiyamul lail, tentang infaq. Dan oi, ajaib, di awal-awal ia datang itu, aku seketika terlecut. Seketika berserba cepat menjemput kebaikan. Bila sedang malas, maka cepat-cepat aku tatap wajahnya yang teduh. Aku tahu, dengan menatapmnya seperti itu, semangatku akan bangkit lagi. Tapi kemudian aku kaget, ketika dalam puncak itu, ia menegurku dengan teguran yang menghentakkan, ‘jangan bersemangat karena aku, Akhi! Bersemangatlah karena dzat yang mengutusku!’

Ketika aku berangkat kerja, ia pun mengikutiku. Membonceng di motorku dan mulai membisikkan kalimat ini, ‘kau bisa bermotor pelan-pelan sambil murojaah Al-Qur’an’. Beberapa kali aku menurutinya namun banyak juga yang tidak, hingga kemudian tujuh hari terlewat. Oi, apalagi yang mesti aku katakan. Rutinitas itu memang kadang membunuh. Dan aku benci mengatakan ini; kedatangannya telah aku anggap sebagai rutinitas. Tujuh hari terlewat dan aku mulai menganggap kedatangannya sudah menjadi biasa. Aku melakukan ini itu karena memang ini itulah yang harusnya dilakukan kala ia datang. Tak ada greget lagi, tak ada kesan mendalam, tak ada pengalaman-pengalaman spiritual yang menjejak. Entahlah! Bukan karena aku tak menghormatinya lagi tersebab kewajiban melayani tamu itu hanya ada di tiga hari. Tidak! Aku melayaninya, menghormatinya, meski dengan kadar yang kusebutkan tadi.

Aku mulai  tertekuk-tekuk kala ceramah disampaikan, aku terkantuk saat sholat delapan rokaat ditegakkan. Sebenarnya aku berargumen kalau aku kelelahan akibat kewajiban seharian, tapi ia tak terima, memandangku tegas, ‘tidak, Akhi! Kau bisa saat kau ingin’. Kemudian ia menyarankanku untuk mencari masjid lain esok harinya. Mungkin suasana yang beda akan mengurangi tingkat rutinitasnya. Akupun setuju. Mulai merencanakan masjid mana saja yang bakal aku kunjungi. Esoknya, aku sadari kalau sarannya sedikit ada benarnya.

Dua puluh hari terlewat dan aku tahu tinggal sepuluh hari lagi ia tinggal. Aku tercekat. Ia, masih saja telaten mendampingiku mengevaluasi apa-apa yang telah aku lakukan. Membandingkannya dengan daftar targetan yang sudah kita susul di awal dulu. Maka kemudian inilah faktany; betapa banyak ketimpangan. Aku malu, tak berani lagi menatap wajahnya yang menenangkan. Segan bahkan untuk sekedar menyebelahi duduknya. Tapi, lagi-lagi ia menenangkan, ‘belum terlambat, Akhi. Masih ada sepuluh hari’. Dan ia kemudian mengajakku berlari. Lari yang dipercepat. Sangat cepat. Meski belum juga berruh. Aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu kenapa belum juga.

Hingga hari jumat sore itu. Malam ke-25. Ia mentausiyahiku panjang. Ia menasehatiku lama. Ya, hari itu hari jumat. Esok libur. ‘kau mesti tinggal di masjid ini, Akhi! Akan lebih banyak waktu untuk merenung, akan lebih banyak waktu mendekat, akan lebih banyak kesempatan berbuat’, demikian sarannya. Aku menggangguk dalam ragu. Tapi mau tak mau segera aku berbenah, menyiapkan ransel untuk keperluan, lalu mendaftar ke panitia.

Maka dimulailah malam itu. Itu mungkin menjadi tilawahku terlama sejak ia datang. Aku bersyukur ia masih setia mendampingi. Jika lelah aku berhenti sebentar, mengisinya dengan kegiatan lain, lalu tilawah lagi. Dan ia tanpa bosan terus menyemangatiku. Malam telah larut dan aku masih terjaga. Duhai, apa pula yang menggerakkan ini jika hari-hari di belakang, di waktu yang normal untuk terjaga, bahkan untuk selembar saja butuh pergulatan. Duhai, apa pula yang menjalankan ini bahkan kasur-kasur empuk nan hangat sengaja ditinggalkan. Duhai, kekuatan macam apa ini. 

Hingga aku tak sanggup lagi. Tiba-tiba telah ertidur dengan mendekap al-Quran.
Pukul setengah tiga kala itu. Mungkin. Ketika sebuah suara membangunkanku. Auw, ternyata qiyamul lail akan segera dilakukan. Itu tadi suara imam. Seorang mubaligh dari ibu kota. Maka seketika aku terbangun, secepat kilat mengumpulkan kesadaran, bangkit dan segera menuju kamar kecil…

Dan kemudian berdirilah aku dalam barisan itu. Kaki menyentuh kaki. Pundak menggapai pundak. Larut dalam lantunan kalamallah. Hanyut dalam suasana penghambaan. Dan, saksikanlah ya Allah, dalam sunyi itu, kala hanya suara Quran yang menggema, kala semuanya nampak kembali mengecil dalam kebesaranMu, mata-mata mulai berkaca-kaca. Aku bahkan telah lupa kapan terakahir kali aku menangis dalam momen seperti ini. Tidak! Aku tidak tahu benar maksud dari yang kudengar. Aku tak paham. Aku hanya mendengar kata ‘naar’ disebut, maka itu tentang neraka. Maka aku mengecil seketika, menjadi tak berdaya serentak. Menjadi hamba. Lindungi kami dari api neraka, ya Allah!

Oi, betapa mengherankannya, bukankah untuk tarawih saja mata sudah sedemikian berat, mengapa tidak untuk di dini hari ini. Oi, bukankah untuk 45 menit tarawih tadi sudah demikian berat, mengapa tidak untuk waktu yang dua kali lipat ini.

Ya Allah, bersihkan hati kami dari riya’.. Potongan doa itu kemudian yang kumengerti dengan jelas dalam qunut panjang itu. Ouw, kau segera ingat orientasi-orientasi ngawur ibadahmu, sadar akan sikap diperbuat-buat demi pandang orang-orang di sekelilingmu. Ouw, air matamu mulai menderas. Menderas.

Ya Allah, bersihkan hati kami dari nifa’… ouw, apa kau mulai merasa sesak dan cairan kental mulai hendak keluar dari hidungmu.

Ya Allah, jadikan anak cucu kami ahli Qur’an- tiga kali diulang. Apakah itu cukup sudah untuk membongkar karang di hatimu. Melumerkannya selumer-lumernya. Lihatlah, lihatlah kau yang mulai jorok. Bukankah ingus itu sudah berleleran tak tertahankan. Bukankah air mata itu telah menyentuh jenggot tipismu. Menghangatkan pipi-pipimu.

Kau mesti bertanya, kau mesti bertanya ini air mata untuk siapa?? Pertanyaan yang harus kau sendiri menjawabnya.

Selesai!

Kemudian ia mengahmpiriku. Ah, ia sungguh-sungguh cerdik. Saat-saat seperti inilah memang saat hati manusia begitu terbuka menerima hidayah.’kau berniat untuk melanjutkannya hingga hari ke-30, kan?’, tanyanya. Dan aku mengangguk. Anggukan yang serta merta menyemangatinya untuk memberi penjelasan lainnya.

‘Kau harus bisa mempersunting Laila!’. Sergahnya

‘Siapa dia, apa kah dia saudaramu?’

‘Entahlah! Aku tak bisa menjelaskan hubungannya. Dia akan selalu datang tiap kali periode aku datang’

‘Apakah ada hal yang istimewa hingga aku harus mempersuntingnya’

‘Begini’, ia menatapkulekat,’jika ada 1000 Laila lain dijajarkan dan bergabung potensinya menjadi satu, niscaya itu masih lebih istimewa dibandingkan Laila yang kusebut tadi’

Aku ternganga..

Menjalani malam-malam dingin. Malam ke-26, ke-27, ke-28, ke-29, dan…hingga tibalah di penghujung itu. Malam ke-30. Duhai, apakah yang kau rasakan di malam itu? Apakah yang menghentak-hentak tak terganggungkan kala itu? Apakah yang mengalir di akhir qiyamul lail itu? Itukah penanda sebuah perpisahan dengan bulan yang dikasihi itu? Rasa kehilangankah itu?? Rasa kehilangankah itu? Rasa kehilangankah itu? Atau penyesalankah itu? Atau tidak untuk sebuah apa-apa.

‘Kau harus segera sahur, Akhi.’ Ia menyadarkanku.

Dan inilah, hari terakhir. Siang terakhir. Bahkan aku belum juga menyelesaikan 30 juz Al-Qur’an. Buruk sekali. Terburuk dari yang sudah-sudah (-itu kalau standarmu tentang 30 juz itu-).

‘Kau bisa mengahatamkan hari ini juga. Bukankah hari ini hari libur dan kau lebih luang untuk tilawah’, ia, si Rama,  kembali menenangkan.

Maka ia masih setia menemani bahkan di hari terakhir ia berada. Setia menemani tilawah di waktu dhuha. Setia menemani menghabiskan juz 29 di ba’da dhuhur. Juga setia menemani menghabiskan juz 30 di ba’da ashar. (-apakah kau masih ingat, apakah kau masih merasakan apa yang kau rasakan di tiga surat terakhir itu. Sejak kapan itu menjadi surat yang begitu dasyat? Bukankah itu surat yang ‘remeh-temeh’ yang bahkan sudah kau hafal sejak kanak-kanak? Lalu sejak kapan itu tiba-tiba menjadi begitu menggetarkan? Apakah karena perpisahan itu? Apakah karena akhir dari tilawahmu itu, dua tiga jam lagi juga bakal menjadi akhir dari sebulan ini. Maka teteskanlah air itu jika memang tetesan untuk dzat yang menjadikan hidup-)

Inilah kemudian berbuka terakhir itu. Merenung dalam. Renungan di akhir sholat maghrib itu. Terduduk lama dan tak juga bangkit. Malas untuk melanjutkan berbuka dengan yang berat. Ingin memeperlama duduk ini.

“Aku harus kembali, akhi’, ia mengagetkanku, ‘tapi percayalah, aku akan kembali. Mengetuk pintumu kembali. Menjabat tanganmu kembali. Membersamai tiga puluh harimu lagi. Senyampang kau masih bersahabat dengan Iman. Sebab ke setiap  yang bersahabat dengan Iman lah aku wajib mengunjungi.’

Aku tergugu.

‘Tentu saja jika tahun depan kau masih hidup. Tentu saja jika tahun depan kau masih diberi kesempatan oleh Sang Maha Hidup. Ah, jikalau kau tak diberi kesempatan itu, semoga Dia menggantinya dengan yang lebih baik. Ke sebuah tempat kembali bagi orang-orang yang dicinta. Ke sebuah tempat terbaik untuk kembali. ’

Aku masih tergugu dalam. Lama. Hingga kusadari ia telah memelukku erat. Sebuah pelukan khas perpisahan. Menepuk-nepuk punggungku yang tergoncang. Lalu pelan membisikkan, ‘ayo cepat bangkit! Buktikan kalau kau generasi rabbani, bukan generasi ramadhani. Cepat ambil ponselmu! Cepat hubungi keluargamu! Mereka juga punya hak atas dirimu. Besok sudah lebaran, kan? Dan sekali lagi kau telah memutuskan untuk tak membersamai mereka’

Maka maghrib itu, waktu yang sama dengan pertama kali ia datang, aku mengantarkannya pergi. Menjabat tangannya lagi, memeluknya lagi, menyentuh jari jemarinya yang sebentar lagi melesat. Tapi tunggu! Oi, sebelum melesat, ia masih sempat berbisik, ‘apa kau telah menjumpai Laila? Ia mempesona bukan?’.

Aku tersenyum malu. Mungkin aku telah mencintainya. Entahlah.



Tuesday, September 7, 2010

-hujung-

Pagi hari. Jalanan menuju pabrik semakin melengang saja. Tak sepadat seperti biasanya. Kau bahkan bisa berangkat lebih siang dan tak menemukan kerapatan kendaraan seperti yang sudah-sudah. Orang-orang semakin sedikit . Dan kau, kini, ‘bebas’ untuk memacu motormu kencang-kencang.

Konsentrasi orang-orang mulai mencair. Ashar, di musholla kantor yang kecil itu, kau tak perlu lagi berserba cepat wudhu untuk bisa memastikan satu tempat di shoffnya yang rapat. Tak perlu lagi dua gelombang  jamaah itu. Orang-orang sudah mulai pergi untuk mengisi shoff di tempat lain, tapi tidak di sini.

Di sepanjang jalan, di kanan kirinya yang penuh rumah-rumah karyawan, satu dua akan kau jumpai pintu-pintu yang mulai terkunci. Aura sepi menyeruak dan akan kau dapati juga lampu teras yang menyala meski matahari masih tengah garang.

Orang-orang tengah memenuhi hajat tahunannya.Satu per satu dan akan semakin membanyak untuk beberapa jam ke depan.

Tapi selalu, akan ada yang harus tetap tinggal. Bukan untuk sebuah pengingkaran keinginan, bukan untuk sok-sokan. Tapi justru untuk sebuah pemenuhan.

Dan itu tak melulu menyedihkan. Bahkan boleh jadi bakal lebih menyenangkan. Bahkan saat itu dilalui dengan kesendirian.

Lihatlah, masjid-masjid masih penuh dengan muka sumringah. Anak-anak berlarian penuh tawa. Hai, ini telah jadi kampung mereka. Bukankah udara pertama yang memenuhi paru-paru mereka adalah udara dari kota yang sama dengan pelataran tempat mereka berlari berada. Tak perlu dibincang tentang orangtua mereka yang jawa, yang sumatera. Tak perlu. Ini tentang mereka.

Kau kemudian tinggal menyusun jadwalmu; menjadi pengatur jamaah sholat ied –dengan menahan lapar sedikit mungkin sebab tak ada opor sebagai pengganti rutinitas sahur-, menghadiri open house-open house, mengunjungi rekan-rekan, juga membaca-menulis. Oi, bukankah itu tetap menjadi paket yang istimewa?

Maka nanti malam, yang sepertinya bakal menjadi penghujung ramadhan, di saat pikiran sebagian orang telah tiba di tanah seberang, kau masih mempunyai kewajiban untuk memenuhi targetan-targetan itu. Dan itu butuh semangat.  Semangat yang lebih. Bahkan lebih dari yang awal.

Kau masih penuh semangat, kan?  

Friday, September 3, 2010

ketika saya menjadi kidal

Ego, atau keakuan, memang seringkali membuat seseorang untuk lupa melihat sekitaran. Segala sesuatu yang tak sesuai dengan dengan si aku, akan serta merta menjadi tertolak. Sesuatu itu sudah pasti salah dan sudah tak perlu konfirmasi lagi untuk menyatakannya sebagai sebuah kesalahan.

Ceritanya tentang sewaktu saya melakukan perjalanan dinas ke Tanjung Selor via Tarakan pada akhir maret dulu. Entah karena keberangkatannya yang mendadak, atau karena dasar sayanya tak terlalu suka yang formal-formalan, saya lupa membawa sabuk. Padahal, tujuan dinas kali ini untuk menghadiri Rakorda Lingkungan yang sudash pastilah sifatnya formal. Kesadaran itu datang saat saya sudah tiba di bandara PT Badak, saat menyadari tak ada sabuk yang melingkari celana panjang saya. Saya memang hanya memakai celana dan kaos kala itu. Ujung kaos pun tak dimasukkan celana sehingga seperti yang biasa-biasa, saya tak memakai sabuk.

Saya sempat ‘panik’ sejenak sebelum akhirnya menyadari kalau sabuk itu, bisa saya beli di tempat-tempat persinggahan. Acaranya toh hari selasa dan kesadaran tak memakai sabuk itu terjadi di hari sabtu.

Saya kemudian membeli sabuk di sebuah pusat perbelanjaan di Tarakan. Dan di sinilah masalah keakuan tadi muncul. Setelah melalui proses memilih-milih, plus acara potong-potong sebab sabuknya terlalu panjang untuk perut (ramping) saya, saya menyadari kalau sabuk yang saya beli sepertinya terbalik. Setelah saya pakai, pangkal sabuk yang terbuat sari logam itu terposisi terbalik hingga tak sedaplah untuk dipandang. Terbaliknya, yang posisi harusnya di atas malah di bawah, begitupula sebaliknya. Untuk membaliknya, tentu saja saya harus membalik arah bersabuk saya, dan tentunya itu sangat merepotkan bagi saya yang terbiasa sebaliknya. Saya sempat berpikir kalau sabuk ini didesain untuk orang-orang khusus yang memang memiliki cara bersabuk khusus pula. Sempat bimbang juga hingga akhirnya tak mempermasalahkannya. Toh pangkal sabuk hanyalah berukuran secuil dan masuk kategori tak perlu dirisaukan saat posisinya tak sesuai lazimnya ia.

Kemudian waktu berjalan dan tak ada hal yang istimewa pada sabuk itu. Beberapa kali saya memakainya dan sepanjang beberapa kali itu, rasa-rasanya tak ada yang menegur saya masalah keterbalikan pangkal sabuk itu. Baik-baik saja. Sampai beberapa hari yang lalu.

Saya memang jarang memakai sabuk yang saya beli di tarakan itu, dan lebih memilih memakai sabuk yang diberikan perusahaan. Selain lebih sederhana, secara fungsional sepertinya sabuk ini lebih pas. Tak seperti sabuk yang saya beli di tarakan itu, sabuk ini memilki pangkal yang atas bawah sama hingga tak menjadi soal lah kalaupun terbalik.

Saat itu saya masih dzikir bada sholat dhuhur di musholla kantor. Adalah seorang bapak yang terkenal kocaklah yang pertama kali melontarkan celetukannya. Beliau menyoroti cara bersabuk saya yang terlihat berbeda. ‘kok sisanya ke kanan?’, begitu kata beliau kala itu. Awalnya saya tak terlalu peduli sebab mengira itu hanya gurauannya belaka yang memang kerap kali ia lontarkan. Baru, ketika saya menyadari apa yang disampaikannya benar adanya, saya mulai tertarik.

‘kok sisanya ke kanan?’ tadi menyoroti cara bersabuk saya yang membelitkannya di celana searah jarum jam. Berlawanan dengan arah thowaf. Selama bertahun-tahun memakai sabuk, baru kali itulah saya tersadarkan bahwa justru cara bersabuk sayalah yang ternyata khusus. Lepas diberitahu bapak tadi, saya langsung mengecek cara bersabuk tiap orang di musholla itu. Dan menjadi terperanjatlah saya kala menyadari memang sayalah satu-satunya yang bersabuk searah jarum jam.

Sontak saya teringat dengan acara membeli sabuk di tarakan. Ingin rasanya tertawa mengingat i’insiden’ itu. Kebodohan masa lalu ternyata bisa  menyenangkan juga untuk diingat.

Kejadian itu, kemudian mengantarkan saya kepada satu pertanyaan : Apakah saya kidal? Sebab hal yang samalah yang sebenarnya saya sematkan pada calon pembeli sabuk di Tarakan itu. Tapi kemudian tak perlu beberapa detik untuk menjawabnya. Cepat saja. Saya benar-benar normal dan tak kidal. Ke-kanan-an saya benar-benar dominan. Secara fisik saja, tangan kanan saya berukuran lebih besar dari yang kiri, sebab memang tangan kananlah yang lebih dominan dalam urusan kerja. Saya juga menulis dengan tangan kanan, meninju dengan tangan kanan, menggiring bola juga dengan kaki kanan.

Kemudian, selain masalah bersabuk tadi, hanya satu hal saja menunjukkan kekirian saya. Dan itu hanya masalah ngetik SMS di hp. Tapi sepertinya itu tak cukup kuat mengeliminir kekananan saya. Ho ho

 

(btw, kemarin pagi saya mencoba memakai sabuk dari arah sebaliknya. Hasilnya: sulit! Sudah terbiasa kali. He he)

 

 

-beritaberita mengejutkan-

"Pagi beriman, siang lupa lagi
Sore beriman, malam amnesia
Pagi beriman, siang lupa lagi
Sore beriman, malam amnesia"
(Gigi, amnesia)

dan Allah-lah Maha Pemilik Hati
seminggu ini bukanlah sebuah kebetulan kala berita-berita mengejutkan datang beriringan;

diawali teman kantor yang memutuskan berjilbab, di awal minggu..

lalu sms seorang karib yang mengabarkan kalau seorang teman angkatan -yang sayangnya saya tak terlalu dekat- memutuskan untuk keluar dari islam...

dan terakhir, menjelang jumatan tadi, seorang teman angkatan juga mengabarkan kalau seorang teman perempuan seangkatan yang lain memutuskan untuk berjilbab. Hal yang mengejutkan, sebab dia seorang nonmuslim yang taat. Allah telah memnberinya hidayah


-mmh..pekan yang nanonano-

Wednesday, September 1, 2010