Friday, December 31, 2010

-dari latif untuk iqbal di 2021-

Untuk dirikuku, 10 tahun dari aku menuliskan ini.

Ini awal tahun 2011, jadi pastikan, jika sekarang—itu artinya saat kau membacanya—belum bertanggal 1 januari 2021, maka kau telah melanggar aturannya. Kau telah terburu-buru. Meski tentu saja tak ada sanksi untuk itu. Kau bahkan tak dipersalahkan saat telah membacanya setahun dari dituliskannya surat ini. Atau sebulan, atau bahkan seminggu. Tapi aku berharap, harapan saat aku menuliskan ini, kau membacanya sepuluh tahun kemudian. Agar ada rasa kejut, mungkin.

Aku menuliskan ini, untukmu, yang tak lain adalah diriku sendiri sepuluh tahun lagi dari 2011, adalah karena satu sebab; karena sering kali yang paling efektif menasehati kita adalah diri kita sendiri. Sebab tak ada gengsi di sana. Sebab tak ada perasaan tergurui disana. Kau memang sering kali malu pada dirimu sendiri, tapi untuk kasus dinasehati sendiri, rasa-rasanya tak ada alasan untuk kau sampai malu untuk sekedar menuruti tiap penggal nasehatnya. Dan itu kabar baik.
Iqbal,--masihkah kau berkenan dipanggil dengan panggilan itu? Itu adalah panggilan umum orang-orag sekarang. Sedikit yang memanggil Latif, beberapa saja yang memanggil Iq—,apakah kau masih ingat saat ini? Ya, aku akan bercerita. Aku awali surat ini dengan sebuah cerita. Tentang masa belasan tahun yang lalu—itu artinya masa kanak-kanak kita. Aku takut sepuluh tahun lagi, saat kau membaca surat ini, kau telah mengalami kesulitan memanggil kembali kenanganmu tentang masa kanak-kanakmu yang ceria di sudut Pasuruan yang pelosok. Maka untuk itulah, menjadi kewajibanku untuk mengabarkan masa kanak-kanak itu ke masa depan.

Iq, --kupanggil ini saja ya? Meski awalnya kau sedikit tak nyaman dengan panggilan ini oleh sebab kesannya yang terlalu feminim, akhirnya kau cocok juga dengan panggilan ini yang terdengar unik--, ada banyak sebenarnya yang bisa diceritakan dari masa kanak-kanak itu. Tapi aku akan menceritakan tetang satu hal. Sadarkan kau, mungkin itu termasuk sepotong waktu dalam hidupmu yang begitu membahagiakan. Ingatkah kau, bagi kanak-kanak kita dulu, kebahagiaan itu bisa berarti menacari ikan di sungai, atau mencari capung di sawah, atau bermain bentengan di halaman tetangga yang luas. Tentu saja televisi, video game, atau perkara orang dewasa belum mengusik masa kanak-kanak kita kala itu. Itu kabar baiknya.

Mengherankan ya? Sungguh mengherankan kala sekarang aku melihat kebahagian itu berarti plesir ke luar negeri, menginap di hotel mewah, atau memiliki rumah mobil mewah. Tak semua memang begitu, tapi sebagiannya iya. Standar kebahagiaan begitu tingginya hingga seolah kebahagiaan begitu rumitnya. Aku heran, tapi mungkin itulah letak keadilannya. Adil? Apakah kau bingung? Oh..oh...kumohn jangan bingung. Sebab jika kau bingung, artinya kau sudah tak memiliki jejak pemikiran dirimu sendiri 10 tahun sebelumnya.

Ok..ok..mari kita bicarakan letak keadilnnya itu. Pernahkah kau lihat sepasang petani nampak bahagia saat menyantap makan siang berbungkus daun pisang di gubuknya, di tengah sawah? Juga pernahkah kau melihat sepasang orang kaya yang nampak menikmati hidupnya saat pelesiran di kapal pesiar wah? Aku memakai kata ‘nampak’ untuk keduanya sebab tentu saja kita tak pernah tahu apakah sejatinya mereka bahagia atau tidak. Kita hanya melihat yang nampak. Tapi untuk contoh ini, anggaplah yang nampak adalah yang sebenarnya.

Keadilannya seperti ini; petani itu sudah merasa bahagia dengan ‘hanya’ makan sebungkus nasi di tengah sawah, sementara pasangan orang kaya itu baru bisa merasa bahagia saat sudah bisa kelililing dunia dengan kapal pesiarnya. Adil bukan? Petani yang tak memiliki banyak sarana, sudah merasa bahagia dengan makan siang di tengah sawah, sementara pasangan kaya yang banyak uangnya itu, baru bisa bahagia saat sudah keliling dunia dengan kapal pesiarnya. Si miskin –meski petani tak melulu miskin sebab semakin banyak saja petani kaya—bisa bahagia dengan bermodal nasi bungkus, sedangkan si kaya baru bisa bahagia setelah merogoh kocek untuk menikmati kapal pesiar mewah.

Tapi itu contoh yang biasa. Di bumi yang semakin tua ini, segala hal ada contohnya. Yang baik, ada sepasang orang berpunya yang sudah bahagia dengan jalan kaki berdua. Tapi di sisi lain, sesuatu yang miris, ada orang yang tak berpunya yang baru bisa bahagia kala memiliki mobil mewah. Yang pertama sudah bahagi adengan hal sederhana justru ketika memiliki banyak hal yang membuat orang kebanyakan bahagia, sedangkan yang kedua baru merasa bahagia setelah mendapatkan sesuatu yang masih di angan-angannya. Yang pertama berpeluang bahagia setiap saat, yang kedua berpotensi bersungut-sungut tiap waktu. Maka, dari kedua model di atas, pertanyaannya adalah, kau berada di model yang mana? Di salah satunya atau di pertengahan di antaranya.seharusnya kau mampu merenungkannya.

Iq, kebahagiaan itu memang seringkali juga masalah pengharapan. Masalah ekspektasi. Masa kecilmu, di segala keterbatasannya, di segala kemurniannya kala racun televisi tak begitu menggurita, tak banyak ekspektasi untuk sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan itu bukan tentang berwisata—itu kemudian menjadi alasan kenapa kau jarang sekali berkunjung ke tempat-tempat wisata di masa kecilmu-, kebahagiaan itu juga bukan tentang mempunyai video game—kau dulu menginginkannya, tapi kau tak menempatkan itu sebagai standar kebahagiaan-. Kebahagian masih tentang hal-hal sekitaran yang amat mudah terjangkau. Kebahagian masih tentang hal-hal sederhana. Hingga, ketika ekspektasi itu justru membuahkan sebuah realisasi yang lebih, maka menjadi bertingkatlah bahagianya. Berbeda jika kau meletakkan sebuah hal yang melangit untuk standar kebahagian, maka ketika kau tak mencapainya, menjadi bersungut-sungutlah kita.

Contoh lain, yang boleh saja tak begitu analog, adalah seperti ini. Dalam sebuah kontes menulis, seseorang mengabarkan kalau kau tak menyabet juara apapun. Kau pun kemudian mempersiapkan diri untuk tetap bahagia hanya dengan predikat peserta. Maka, ketika di pengumuman resmi kau justru menyabet juara tiga, kau akan bahagia sebahagia-bahagianya. Berbeda halnya jika seseorang itu mengabarkan sebelumnya kalau kau memperoleh juara pertama. Kau akan mempersiapkan kebahagian sebagai juara pertama. Maka, ketika di pengumuman resmi kau justru dinobatkan sebagai juara ketiga, menjadi sirnalah kebahagiaan itu. Sakit sesakit-sakitnyalah justru yang mendera. Padahal keduanya sama; juara ketiga.

Iq, bagaimanakah keadaan kau? Kebahagiaan ini, konon katanya yang menjadi impian orang. Orang kemudian memiliki banyak jalan untuk menggapainya. Tapi, aku berharap dengan sangat, bersederhanalah dalam menujunya. Kau bisa menjadi apa saja saat membaca ini, tapi jangan pernah berubah menempatkan standar kebahagiaan. Sederhana tadi. Jangan menjadi orang yang sudah-sudah, yang awalnya sudah cukup bahagia makan berlauk tempe, tapi menjadi berubah saat segala kemudahan menghampirinya, yang bahkan sate kambing, apalagi tempe, tak mampu lagi memenuhi rasa bahagianya. Standarnya mulai berubah.

Tapi Iq, tentu saja, standar kebahagiaan ini berbeda dengan cita-cita, dengan segala hal yang ingin kau gapai. Kau boleh meletakkan standar kebahagiaan itu begitu sederhananya, tapi kau mesti melangitkan cita-cita. Sebab keduanya memang berbeda, yang satu tentang penerimaan, yang satunya lagi tentang pencapaian. Maka bila kedua hal itu berpadu, standar kebahagiaan yang begitu sederhana dan cita-cita yang begitu melangit mempesona, hasilnya akan dua; kau bahagia dengan gapaian cita-cita, atau kau (tetap) bahagia dengan gapaian cita-cita yang tak berhasil sempurna. Keduanya sama-sama indah. Meski dengan kadar yang berbeda.
Begitulah, Iq! Begitulah! Satu bahasan dan aku sudah melembarkan dua halaman kata.

Sepuluh tahun dari aku menuliskan ini, tentu saja aku tak tahu kau telah ada di mana. Jikalau Allah masih berkenan memberimu amanah waktu, kau tentunya sudah berusia matang. Kau mungkin telah mapan dengan pilihan-pilihan hidupmu, telah merasa teguh dengan pikiran-pikiranmu. Tapi aku masih berharap, kau masih mau mencerna surat pendek ini. Ini juga pikiranmu, Iq. Pikiran anak muda, mungkin. Yang mestinya masih penuh idealita. Kau pastinya telah melahap lebih banyak asam garam kehidupan, telah menyaksikan dan mengalami segala realita. Maka untuk itu, aku ingin kau sejenak merenungkannya, mendekatkan idealita dan segala realita itu. Apakah berimpit atau justru sudah bertolak belakng? Kau tentu masih ingat dengan tempelan di kamar kos jaman kuliahmu dulu: ‘Yang mempertemukan antara idealita dan realita adalah kesungguhan’. Kesungguhan! Ya, kesungguhan. Coba kau pikir-pikir, adakah kata itu sudah dalam menghuni waktumu.

Sepuluh tahun dari awal tahun 2011, dan aku tak tahu di lingkungan seperti apa kah kini kau berada. Semoga kau tetap dalam lindungan Allah, lewat perantara orang-orang yang begitu istiqomah menjagamu mungkin.

Oke.. Sampai di sini dulu. Entah ini surat ke berapa yang kau baca dari dirimu yang dahulu. Tapi yang aku tulis, ini adalah yang pertama. Hanya saja aku tujukan untuk diriku sepuluh tahun nanti. Mungkin besok-besok, aku akan menuliskan untuk diriku setahun, dua tahun, atau lima tahun yang akan datang.

Sampaikan salamku untuk keluargamu. Aku akan senang jika mereka ikut membaca surat kecil dari calon kepala keluarganya ini.

Bandung
1111


-dari iqbal, untuk latif di 2021-

Tuesday, December 28, 2010

Monday, December 27, 2010

-maaf dan terimakasih-

Maaf dan terimakasih, beruntunglah kita memiliki dua kosakata ini. Dua kata ajaib yang menimbulkan perasaan tenteram. Dua kata yang, apalagi diucapkan dengan sepenuh hati, dapat mengurangi kebuntuan hidup dan kepengapan perasaan. Dua kata yang indah.

Maaf dan terima kasih, dua kata yang tak melulu tentang siapa yang bersalah dan siapa yang berjasa. Maaf dan terima kasih adalah dua kata yang menyiratkan kebesaran jiwa. Maka kemudian, tentang apakah akunya yang memang bersalah, ataukan dianya lah yang berjasa, menjadi sekunder. Sebab maaf dan terima kasih memang dua kata yang menyehatkan jiwa, yang sering lahir dengan tulus dari pribadi yang sehat pula. Orang-orang yang sehat, akan mengerti benar hal itu.

Pengalaman berikut mungkin sedikit menerangkan. Dalam sebuah pertandingan sepak bola antar angkatan. Ada gengsi di sana, ada kebanggan pula di sana. Maka berlangsung panas. Berkali-kali kontak fisk terjadi, sebab itu memang sebuah keniscayaan dalam sepak bola. Tabrakan-tabrakan tak disengaja pun terjadi. Maka terjadi lah itu; dua orang bertabrakan kaki. Lalu entah apa pasal, mungkin ia merasa dicurangi—meski sepengamatan saya jelas-jelas tidak, si kakak tingkat melayangkan tendangan tanpa alasan ke bagian pantat seorang teman secara bertubi-tubi. Sebegitu cepat kejadian itu. Semua melongo. Tapi segera tersadarkan atas kejadian itu. Dan, tahukah anda? Sekat-sekat angkatan kadang sudah meluntur dalam sebuah medan pertandingan seperti ini. Adik angkatan pun kadang bsa menjadi berani hingga perkelahian pun bisa saja terjadi. Tapi, untungnya, sebelum kejadian tak dinginkan benar-benar terjadi, masih ada yang sehat dari kedua aktor kejadian itu. Dan, lagi-lagi, dan memang begitulah seharusnya, kata maaf sebagai solusinya. Si adik tingkat langsung mengucapkan maaf. Duhai, kami teman-temannya, awalnya tak rela ia meminta maaf duluan. Bukannya dia yang dikasari, bukannya si kakak tingkat yang sok senior dengan seenaknya sendiri main tendang, bukannya itu di pertandingan profesional akan berbuah kartu merah bagi si penendang? Bukannya itu...? Tapi itu lah kebesaran jiwa. Si kakak tingkat hanya lah disergap emosi sesaat. Emosi yang ditunggangi senioritas hingga mengubur segala rasionalitas diri. Maka kata maaf teman saya itu kemudian membangunkannya. Membuang jauh emosinya. Bahkan mungkin secara telak melucuti segala keangkuhannya. Ia tersadarkan. Ia malu pada dirinya sendiri. Dan pertandingan pun kemudian berlanjut, seolah tak terjadi apa-apa.

Di lain tempat seorang pembuka pintu, mungkin sejenis security. Di tempat-tempat perbelanjaan mungkin, di instansi-instansi mungkin. Tugasnya sama, cenderung mekanis mungkin; membuka pintu bagi tiap pengunjung, sambil mempersilakan dengan ramah. Dengan senyum terbaiknya tentu. Demikianlah, saat demi saat, jam demi jam, hari demi hari. Semuanya serba begitu, monoton. Menjemukan mungkin. Hingga kadang secara tak sadar menggerogoti kadar keramahan dan senyum indahnya. Tapi seorang pengunjung kemudian menyegarkan kembali. “Terima kasih, Pak”, demikian sapanya saat dibukakan pintu. Sambil tersenyum ramah. Menyiratkan sebuah penghargaan dan penghormatan lebih. Sebuah kebesaran jiwa yang melampaui batasan-batasan mengungkung macam perasaan ‘itu kan sudah menjadi tugasnya’. Maka lihatlah pak pembuka pintu itu. Mendadak saja ia disergap bahagia. Merasa terhargai. Dan kemudian kita kembali melihat senyum indahnya yang mengembang, tak lagi menyurut.

Tapi sayangnya itu tak berlaku umum. Ada saja orang-orang yang enggan bahkan untuk sekedar mengucap ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. Dan maaf saja, apabila ini terjadi di Jakarta. Saat itu saya memang berada di sana, dan hendak ke Bandung. Maka saya memesan satu tempat dari sebuah perusahaan jasa travel dengan keberangkatan jalan dewi sartika. Beres. Cukup via telepon. Tapi kemudian saya mendapat info kalau yang jalan dewi sartika itu tidak ke cihampelas, tempat nginap saya. Yang di Pancoran lah yang tujuan akhirnya di Cihampelas. Maka pesan juga lah saya yang di Pancoran itu. Beres juga. Cukup via telepon juga. Awalnya, sempat masa bodoh untuk tak perlu membatalkan yang di jalan dewi sartika, toh saya belum bayar. Tapi tersadarkan bahwa tentu saja itu bisa merugikan kalau seandainya ada penumpang yang ingin pesan tempat jadi tertolak gara-gara pesanan fiktif saya. Saya pun kemudian membatalkan pesanan itu via telepon. Mengatakan kalau saya jadinya pesan yang di Pancoran. Dan mengucapkan maaf di percakapan itu.

Lalu lihatlah keesokan harinya kala saya menuju tempat pemberangkatan di daerah Pancoran itu. Menjelang pukul satu siang dengan kondisi hujan. Saya turun dari taksi sambil terseok-seok mengangkat travel bag yang berat. Memasuki ruangan. Sudah ada beberapa orang di sana yang menunggu. Petugasnya adalah seorang perempuan muda yang sudah tak terlalu mengenakkan bahkan sejak pertama kali menyapa. Entahlah, bagaiman tipe seperti itu bisa duduk di sebuah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pelanggan.

“ya, pak?”, katanya
“pemberangkatan ke bandung yang jam satu, mbak”
“sudah pesan tempat?”
“sudah. Kemarin via telepon.”
“atas nama siapa dan untuk berapa orang?”
“Iqbal, Iqbal Latif. Untuk satu orang”

Ia kemudian memencet-mencet keyboard. “tapi di sini tak ada pesanan atas nama iqbal. Adanya atas nama Yana pesan untuk empat orang. Dan semuanya sudah penuh delapan orang”.

Saya sudah illfeel sampai sejauh ini. Caranya mengajak bicara sungguh tak mengenakkan. Sayangnya saya tak bisa memperdengarkan langsung bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya itu. Cara menjawabnya tak seperti petugas bank yang bermuka menyenangkan dengan kalimat tertata dengan intonasi yang empuk. Cara menjawabnya, seolah saya adalah penumpang fakir miskin yang ke situ mengharapkan belas kasihannya agar diikutkan ke Bandung tanpa membayar.
“lo, kok bisa. Saya kan sudah pesan?”, saya mempertunjukkan raut kecewa.
“Harusnya Bapak konfirmasi lagi malamnya.”

Dan inilah puncaknya. Saya sudah gagal untuk mendapatkan satu tempat untuk pemberangkatan jam satu, dan kini saya dipersalahkan atas kegagalan saya itu. Duhai, mbak, apakah mbak tak mendapatkan training dahulu sebelum mendapatkan pekerjaan ini. Oke..oke, mungkin saja saya salah tak mengonfirmasi lagi. Ini adalah pengalaman pertama saya memakai travel ini dan sudah cukup yakin dengan kepastian tempat lewat telepon itu. Toh nomor telepon saya sudah dicatat hingga sudah kewajibannya lah yang mengonfirmasikan bila tempat itu penuh.

Percakapan-percakapan kemudian terjadi. Tapi lebih atas inisiatif saya. Saya masih menunggu ia mengucap ‘maaf, pak, nama bapak tak ada dalam dafttar di komputer kami. Mungkin petugas kemarin tak memasukkannya dalam daftar karena sistem kami kemarin dalam keadaan off line. Kalau bapak bersedia, bisa ikut pemberangkatan selanjutnya jam tiga. Sekali lagi maaf atas kejadian takmengenakkan ini’, tapi tak jua muncul. Ia terlihat sibuk sendiri dan mencueki saya yang berdiri bingung di depannya.

Bisa saja saya marah di situ mengingat pelanggan adalah raja. Tapi tak saya lakukan mengingat ketakadagunaannya selain melampiaskan kekecewaan. Saya kemudian menelepon jasa travel lain yang lokasinya tak begitu jauh. Memastika ada tempat yang kosong. Alhamdulillah ada tempat yang kosong tapi saya dipersyaratkan datang dalam waktu sepuluh menit. Waktu menunjukkan pukul satu kurang lima belas menit. Saya keluar dari ruangan itu dengan muka tak begitu ramah. Si petugas tak menyenangkan masih saja tak menyenangkan.

Gerimis masih turun tapi saya memaksakan keluar. Berteduh di pedagang kaki lima sampai kemudian ada taksi berhenti sendiri. Taksi ecek-ecek. Tapi tak ada pilihan, saya masuk juga.

“extrans, Pak. Graha nusantara”
“Graha Nusantara? Graha Anugrah apa, pak?”
“oh ya. Tahu, pak?”
Iya mengangguk.

Saya sudah percaya. Masalah tempat adalah makanannya. Tapi kepercayaan yang langsung menguap ketika ia berucap “kelewatan apa ya?”. Dan benar, memang kelewatan. Saya sudah gelisah mengingat waktu sepuluh menit yang diberikan tadi. Saya sudah nggerundel membahasakan kekesalan saya tentang kemungkinan tertinggalnya saya kembali karena sebab konyol ini. Tapi tak ada raut penyesalan sama sekali dari si sopir taksi. Tak ada pula kata maaf. Ia masih enjoy mencari putaran untuk kembali. Saya sudah lemas, membayangkan akan menunggu sejam lagi untuk pemberangkatan selanjutnya. Gelisah menatap jam di HP. Tapi tak ada gelisah di sopir taksi. Ia malah bersendawa berkali-kali seolah tak ada kekeliruan yang baru saja ia lakukan. Maka tak adil kah jika saya kemudian bersuudzon bahwa keterlewatan in adalah kesengajaan yang ia cipta agar argo meter terus berjalan?

Putaran kemudian di dapat. Kembali. Memutar kembali. Memasuki Graha Anugrah. Waktu sudh menunjukkan jam satu lewat. Terlihat ada mobil travel yang sudah bersiap-siap. Tapi belum berangkat. Segera saya keluar. Berlarian sembari membawa bawaan. Menuju ke petugas travel. Negosiasi sebentar. Alhamdulillah sapat.
Tapi hikmahnya kemudian adalah, mobil travel hanya berisi lima orang termasuk saya. Sungguh berbeda jika saya memaksakan naik travel pertama yang sudah penuh terisi semua. Allah memang punya sekenario hebat atas segalanya. Termasuk ketika saya di perjalanan membaca buku ‘Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan”nya Komaruddin Hidayat, dan menemukan tulisan tentang ‘Maaf Dan Terima Kasih”. Hingga saya menuliskan ini.

Perjalanan tetap indah.


Thursday, December 23, 2010

dari sekian banyak penumpang yg sedang menunggu penerbangan ini, tak satupun yang kulihat melaluinya sembari membaca buku

perkenalkan, namaku latif, namanya khair (-lanjutan selesai-)

ia memanggilku 'latif', mencoba menyelisihi lainnya yang memanggil dengan 'iqbal'. Katanya, "sebagai doa. Latif artinya lembut". Tapi kemudian ia juga meminta kata ‘khair’ sebagai panggilannya. Sebuah panggilan dari penggal pertama kata namanya yang sebuah. Sebagai doa juga, demikian mungkin inginnya.

Kami sudah mulai berkawan sejak menapaki awal kuliah. Adalah sebuah kontrakan kecil di sudut keputih sebagai wadahnya. BNI 45 nama kontrakan itu. Kefamilieran mungkin menjadi alasan pemilihan nama itu, selain tentu arti yang terkandung. BNI adalah kepanjangan dari Baitun Nurul Ilmi, sedangkan 45 adalah nomor rumah kontrakan kami yang 45 A.  Setahun usia kebersamaan di kontrakan itu. Sebab selanjutnya ia memutuskan untuk pindah. Sesuatu yang awalnya aku sesali, tapi kemudian kumaklumi.

Tapi tentu saja, akhir yang dimaksud itu hanyalah akhir untuk  kebersamaan dalam wadah satu kontrakan. Kita masih satu jurusan, kita masih satu organisasi, dan kita masih mempunyai kesamaan aktivitas yang membuat kerap jalan bareng. Saat-saat kita kumpul bareng masih panjang.

Ketika acara futsal bareng sabtu pagi, pas masih sekontrakan, kita lebih sering menjadi dua orang yang harus saling berhadapan. “Khair dan iqbal jangan satu tim!”, demikian seseorang sering protes pas pembagian tim. Sebuah isyarat agar distribusi kekuatan tim bisa merata. Aku sudah hafal betul bagaimana caranya membawa bola, sama dengan dia yang sudah paham benar bagaimana gayaku menggiring bola. Sebagai kawan se-tim itu penting, sebagai lawan juga penting. Kau akan tahu dimanakah harus berposisi saat seorang kawan membawa bola saat hafal benar gayanya, sama halnya kau juga akan dengan mudah merebut bola dari seorang lawan saat kau tahu betul kebiasaan-kebiasaannya saat membawa bola.

Dua kalimatnya kemudian yang begitu menancap padaku hingga kini. Yang pertama di sebuah malam lewat sebuah SMS saat aku baru saja diputuskan oleh forum untuk menjadi koordinator IC Ormaba. “Jika menjadi koordinator instruktur adalah sebuah beban berat, maka jangan minta beban yang ringan, tapi mintalah punggung yang kuat agar bisa memanggul beban itu”, demikian bunyi sms itu tepat saat aku masih saja menata hati atas keterpilihan itu. “kami tunggu di ruang himpunan malam ini”, demikian lanjut sms-nya malam itu. Ia adalah koordiantor SC untuk Ormaba kala itu. SMS-nya malam itu, adalah kalimat tepat di saat yang tepat. Maka tak heran lah jika itu kemudian begitu dalam menghunjam.

Kalimat keduanya datang di kala hujan. Kami hendak pulang ke kosan kala itu. Berjalan kaki bersama. Tapi naas, baru saja melangkah, ketika baru sampai di Teknik Mesin, sebuah jurusan yang terletak di sepanjang jalan menuju kos dari jurusan kami, hujan turun. Maka tak ada yang bisa dilakukan selain berteduh di sebuah emperan. Menunggu. Menunggu yang sayangnya menjadi lama sebab hujan tak kunjung mereda. Maka aku mulai mengeluh tentang perut yang lapar. Hari memang telah sore dan baru paginya saja perut terisi nasi. Tapi kemudian, lagi-lagi kalimatnya menenangkan; “semakin lapar akan semakin nikmat nanti makannya”. Agak sedikit bercanda ia mengucapnya, tapi jelas ada kebenaran. Ia mengajak untuk sebuah kenikmatan lebih yang bakal tergapai, untuk ketakenakan yang sekejap ini. Dan memang, kalimatnya ini ternyata tak melulu tentang makan. Ada hal besar di sana.

Khaerudin namanya. Satu kata itu lah memang penggalan lengkap dari kata ‘khair’ yang ingin ia panggilkan padanya. Orang Tegal yang besar di Jakarta. Ia adalah gambaran orang jakarta yang amat berkebalikan dengan model orang jakarta yang diperkenalkan di sinetron-sinetron murahan. Di buku album kenangan SMA-nya, ia mendapat pedikat ter-calm.

Kemudian, akhir 2008, atau awal 2009, ia berpamitan. Sambil menyerahkan beberapa buku yang ia amanahkan untuk dikembalikan ke seorang teman lain, ia menghampiri kontrakan. Ia berpamitan untuk kembali ke jakarta dan memilih mencari kerja di sana. Perpisahan itu berlangsung sederhana saja. Tak terbayangkan kalau pada akhirnya itulah kali terakhir kita bertatatap muka untuk jangka waktu yang lama.

Dan itulah memang, akhir pertemuan kita. Bahkan ketika pada akhirnya saya hijrah ke Bontang, kemungkinan untuk bertemu itu kian mengecil. Saya sering heran untuk masalah ini, ternyata momen-momen bersama dengan teman-teman dulu itu, sering kali tak saya sadari bahwa bisa saja itu menjadi momen terakhir kita bertatap muka, apalagi yang berjamaah. Kesadaran itu baru terbentuk kala masing-masing dari kita sudah saling berpencaran jauh. Si ini sudah di sini, si itu di pulau situ. Perlu banyak hal yang harus diatur bahkan untuk sekedar bertemu, apalagi yang disebutkan tadi; berjamaah. Saling mencocokkan jadwal cuti, mengorbankan waktu pulang yang langka, serta yang lain. Jadilah  kemudian momen kumpul bersama dengan teman-teman—teman dekat khususnya—menjadi sebuah kemustahilan kala tak ada niat yang benar-benar. Bukan keinginan sambil lalu, atau kerinduan sesaat atas romantisme masa lalu.

Dan tentang Khaerudin ini, hanya bisa mendengar kabar ia kerja di PT anu, kemudian berpindah ke PT anu lainnya. Mengawasi  perkembangannya dari facebook, sesekali pula melihat penampakannya yang terbaru. Menurutku, ia jauh lebih gemukan. Penilaian yang boleh jadi sama darinya tentang aku. Tapi tak masalah senyampang fakta itu berarti kabar baik.

Suatu ketika ia sms. Mengabarkna dirinya yang berada di Balikpapan, serta menanyakan tentang bagaimanakah menuju Bontang dari Balikpapan itu. aku kemudian memberikan alternatif-alternatif transportasinya, harapan untuk bisa bertemu  setelah sekian lama itu pun ada. Pekerjaannya yang terbaru memang memungkinkannya untuk berkunjung dari satu lokasi ke lokasi lainnya, dari pulau satu ke pulau lainnya. Tapi, sayangnya, kesempatan itu belum menjadi milik kita. Karena alasan alokasi waktu yang minim, ia membatalkan kunjungannya ke Bontang itu dan memilih kembali ke Jakarta.

Kemudian ada juga kesempatan saat aku ada training di Bandung. Karena penerbangan memang adanya ke jakarta, maka mampirlah aku ke sana. Tapi lagi-lagi sayang, karena waktunya yang masih suasana lebaran, saat itu ia masih mudik di Tegal. Jadilah acara ketemuan itu kembali gagal.

Hingga beberapa hari yang lalu. Kesempatan baik itupun kembali datang. Aku kembali ada training di Bandung dan segera saja kuinfokan rencana itu kepadanya. Karena acaranya hari senin sedangkan jumatnya cuti bersama, maka jadi panjanglah kesempatan itu.“ke Dufan yuk?”, demikian balasnya di salah satu sms. Membuat saya nyengir, tapi kemudian menjadi tak apa menyadari fakta aku belum pernah ke sana.

Kini, pertemuan itu pun sebentar lagi menjadi nyata. Tak sabar rasanya melihat ia yang sekarang, mengetahui beratbadannya, melihat sendiri nomor celananya. Mungkin kita akan sedikit mengenang masa lalu, lalu berbicara banyak masa depan. Sambil melepas rindu.

Kini pertemuan itu sejarak sekali penerbangan Balikpapan-Jakarta. Segera saja.

 

Pojokan Bandara Sepinggan

Subuh

Sunday, December 19, 2010

beras-basah




Hasil jepretan kala berkunjung ke pulau beras basah sabtu kemarin.. Beras basah adalah pulau kecil di pinggiran bontang sejarak 15 menit memakai speed boat...

--narasi lebih lengkap ada di jurnal http://mylathief.multiply.com/journal/item/168/catatan_liburan_beras_basah?replies_read=23--

Saturday, December 18, 2010

(catatan liburan) beras basah

Beras basah namanya. Unik memang. Sebuah pulau kecil tak berpenduduk di pinggiran Bontang. Tak kuketahui dengan pasti dari manakah nama Beras Basah itu berasal. Mungkin dari legenda macam asal usul nama kota Banyuwangi, atau karena alasan sederhana karena pasirnya yang putih hingga mirip beras, yang karena tersapu air laut menjadi basah ; jadilah Beras Basah. Entahlah.

Terkenal sekali pulau ini di sini. Awal-awal ke Bontang sini sekitaran Maret 2009 bahkan teman-teman sudah ada yang menggagas untuk mengunjungi pulau ini di akhir pekan. Menikmati deburan ombak atau sekedar memperoleh kebaruan suasana untuk lepas dari keseharian. Tapi kemudian rencana itu gagal. Ada berbagai faktor yang menyebabkan urusnya rencana itu terelaisasi dalam kerja. Salah satunya, seingatku, karena alasan safety.

Kegagalan rencana mengunjungi Beras Basah di awal ke Bontang itu, pada akhirnya dikuti kegagalan rencana berikutnya. Beberapa kali ada niat untuk mengunjunginya tapi tak satupun yang berbuah tindakan. Kebanyakan, lebih karena kurangnya kemenggebuan dalam keinginan itu. Hanya rencana lintas lalu yang tak terlalu mengikat. Hingga beberapa hari yang lalu, saat teman-teman kantor mengagendakan ke pulau itu ramai-ramai di hari Sabtu.

Ada berbagai macam cara menuju pulau itu. Tentu, karena itu sebuah pulau maka terserah dari mana kah orang-orang bertolak untuk menuju. Seluruh laut di sekelilingnya adalah jalannya. Tapi hari itu kita lewat pantai Marina. Sebuah pantai merangkap pelabuhan kecil yang berada di kawasan PT Badak. Karena salah seorang rekan kantor ayahnya menjadi karyawan di perusahaan tetangga tersebut, maka menjadi mudahlah urusan itu. Ada fasilitas bagi keluarga karyawan untuk menjangkau pulau kecil itu dengan menaiki speed boat yang disediakan perusahaan.

Kemudian, ternyata tak butuh waktu lama untuk menyeberangi lautan menuju pulau itu. Cepat saja waktu berlalu ketika mercusuar yang menjadi ciri khas pulau itu terlihat. Fakta adanya mercusuar di pulau ini aku ketahui dari mulut ke mulut selain dari jepretan orang-orang yang sudah pernah berkunjung ke sana. Sekitar lima belas menit waktu menyusuri lautan itu kala speed boat pada akhirnya telah merapat pada pelabuhan kecilnya. Pelabuhan kecil itu terbuat dari jembatan kayu ulin yang menjorok ke lautan. Kayu ulin ini, memang menjadi ciri khas bangunan laut di sini. Selain karena kuat dan liat, kayu ini memiliki keistimewaan dari ketahanannya terhadap air laut. Konon katanya, semakin direndam maka semakin kuat.

Sekitar pukul delapan pagi kala itu. Rombongan kami pun naik ke darat. Mengangkuti perbekalan dan mulai menyusuri pulau. Dan benar, kecil saja pulau itu. Sepertinya lebih besar sedikit dari luasan lapangan bola yang 110 x 70 meter. Abrasi dan kenaikan permukaan air laut benar-benar mengancam eksistensi pulau ini. Nampak terlihat beberapa beton dibuat di beberap sisi pulau untuk melindungi pulau dari kikisan ombak.

Vegetasi di pulau ini tak banyak. Karena memang kecilnya. Kelapa lah yang terlihat mendominasi. Tapi terlihat memang sengaja ditanam. Terlihat dari penyebarannya yang teratur dengan usia yang sepertinya seragam. Kemudian, ada pandan laut (itu kalau memang benar itu namanya), ada semacam tanaman menjalar yang entah apa namanya, serta beberapa pohon lain yang tak terlalu unik untuk disebut.

Lalu pantai. Pasir, pasir, dan pasir. Selalu menyenangkan menjejakkan kaki telanjang kita pada hamparan pasir lembut untuk meninggalkan jejak tapak-tapak. Jejak yang tak berusia panjang sebab tak butuh waktu lama sapuan ombak menghapusnya. Inilah pengandaian yang sering dipakai untuk mencatat kesalahan seseorang pada kita. Tulislah di hamparan pasir pantai, lalu biarkan ombak menghapusnya dengan segera, untuk kembali meninggalkan hamparan pasir yang mulus.

Ambil gambar, ambil gambar, dan ambil gambar. Itulah yang kemudian dilakukan. Sempat menyesal juga tak membawa peralatan renang saat menyadari laut yang begitu jernih yang seolah menantang untuk diterjuni. Seorang bapak, rekan kerja juga, nampak snorkling. Membuat iri. Sepertinya tak pernah sekalipun saya renang di laut, tapi entah mengapa ada semangat menggebu untuk mencobanya. Mungkin karena melihat deburan ombak yang tenang. Kemenggebuan yang sayangnya tak tersalurkan.
Satu jam berjalan mengelilingi pulau, saatnya makan perbekalan. Menunya kala itu adalah ayam bakar porsi besar. Cukup menuntaskan rasa lapar yang sebelum berangkat hanya diisi bubur beras merah porsi separuh. Dan, saat itulah, saat kami berkumpul untuk menyantap perbekalan, bapak yang snorkling tadi datang.

“nggak renang? Bagus lo!”, ujarnya sambil membawa sambungan kaki ikan duyungnya (entah apa itu namanya)
“Nggak bawa baju renang tuh, Pak”
“alah, pakai itu saja nggak papa. Nanti kering sendiri.”

Maka kemudian diperoleh lah kesepakatan itu. Lepas makan, dengan meminjamkan peralatannya, si bapak berjanji untuk mengajakku melihat terumbu karang sambil mencengkeramai ikan-ikan. Aku begitu antusias menjemput kesempatan itu.

Kawan, inilah yang kemudian terjadi. Tahu lah aku kenapa pengalaman pertama itu seringkali mengesankan. Aku, yang masa kecilnya lebih sering menghanyutkan diri di sungai kecoklatan di kala hujan, pada akhirnya untuk pertama kali menceburkan diri di lautan. Mengenakan kaca mata renang, sebab belum terbiasa memakai perlatan snorkling, serta kaki ikan duyung, dimulailah pengalaman pertama itu. Bergerak dari biir pantai: awalnya pasir, lalu rerumputan, lalu terumbu karang. Wah! Ingin histeris rasanya. Betapa terlambatnya aku mengetahui fakta keindahan ini. Keindahan yang dulu lebih sering terlihat di TV, ternyata dekat saja. Hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai. Bahkan dengan kedalaman tak lebih dari tinggi badanku.

Ada ikan zebra, ada ikan biru, ada ikan ini, ada ikan itu. Ah, betapa aku baru tahu kalau ikan-ikan indah itu dapat aku temui dengan mudahnya. Bahkan hanya dengan berbekal kaca mata renang. Bahkan dengan memakai celana kain dan kaos. Indonesia memang benar-benar kaya.

Puas memandangi terumbu karang, akhirnya kembali naik ke daratan. Cepat-cepat mengambil air mineral untuk membasahi tenggorokan yang sempat kemasukan asinnya lautan. Mesih begitu menggebu. Masih saja terpesona. Menginginkan membeli peralatan snorkling, mengiginkan Derawan, menginginkan Raja Ampat, menginkan Gilli Trawangan. Entah kapan.

Setelah menunggu beberapa saat, pukul sebelas, akhirnya speed boat jemputan datang jua.

(catatan liburan) beras basah

Beras basah namanya. Unik memang. Sebuah pulau kecil tak berpenduduk di pinggiran Bontang. Tak kuketahui dengan pasti dari manakah nama Beras Basah itu berasal. Mungkin dari legenda macam asal usul nama kota Banyuwangi, atau karena alasan sederhana karena pasirnya yang putih hingga mirip beras, yang karena tersapu air laut menjadi basah ; jadilah Beras Basah. Entahlah.

Terkenal sekali pulau ini di sini. Awal-awal ke Bontang sini sekitaran Maret 2009 bahkan teman-teman sudah ada yang menggagas untuk mengunjungi pulau ini di akhir pekan. Menikmati deburan ombak atau sekedar memperoleh kebaruan suasana untuk lepas dari keseharian. Tapi kemudian rencana itu gagal. Ada berbagai faktor yang menyebabkan urusnya rencana itu terelaisasi dalam kerja. Salah satunya, seingatku, karena alasan safety.

Kegagalan rencana mengunjungi Beras Basah di awal ke Bontang itu, pada akhirnya dikuti kegagalan rencana berikutnya. Beberapa kali ada niat untuk mengunjunginya tapi tak satupun yang berbuah tindakan. Kebanyakan, lebih karena kurangnya kemenggebuan dalam keinginan itu. Hanya rencana lintas lalu yang tak terlalu mengikat. Hingga beberapa hari yang lalu, saat teman-teman kantor mengagendakan ke pulau itu ramai-ramai di hari Sabtu.

Ada berbagai macam cara menuju pulau itu. Tentu, karena itu sebuah pulau maka terserah dari mana kah orang-orang bertolak untuk menuju. Seluruh laut di sekelilingnya adalah jalannya. Tapi hari itu kita lewat pantai Marina. Sebuah pantai merangkap pelabuhan kecil yang berada di kawasan PT Badak. Karena salah seorang rekan kantor ayahnya menjadi karyawan di perusahaan tetangga tersebut, maka menjadi mudahlah urusan itu. Ada fasilitas bagi keluarga karyawan untuk menjangkau pulau kecil itu dengan menaiki speed boat yang disediakan perusahaan.

Kemudian, ternyata tak butuh waktu lama untuk menyeberangi lautan menuju pulau itu. Cepat saja waktu berlalu ketika mercusuar yang menjadi ciri khas pulau itu terlihat. Fakta adanya mercusuar di pulau ini aku ketahui dari mulut ke mulut selain dari jepretan orang-orang yang sudah pernah berkunjung ke sana. Sekitar lima belas menit waktu menyusuri lautan itu kala speed boat pada akhirnya telah merapat pada pelabuhan kecilnya. Pelabuhan kecil itu terbuat dari jembatan kayu ulin yang menjorok ke lautan. Kayu ulin ini, memang menjadi ciri khas bangunan laut di sini. Selain karena kuat dan liat, kayu ini memiliki keistimewaan dari ketahanannya terhadap air laut. Konon katanya, semakin direndam maka semakin kuat.

Sekitar pukul delapan pagi kala itu. Rombongan kami pun naik ke darat. Mengangkuti perbekalan dan mulai menyusuri pulau. Dan benar, kecil saja pulau itu. Sepertinya lebih besar sedikit dari luasan lapangan bola yang 110 x 70 meter. Abrasi dan kenaikan permukaan air laut benar-benar mengancam eksistensi pulau ini. Nampak terlihat beberapa beton dibuat di beberap sisi pulau untuk melindungi pulau dari kikisan ombak.

Vegetasi di pulau ini tak banyak. Karena memang kecilnya. Kelapa lah yang terlihat mendominasi. Tapi terlihat memang sengaja ditanam. Terlihat dari penyebarannya yang teratur dengan usia yang sepertinya seragam. Kemudian, ada pandan laut (itu kalau memang benar itu namanya), ada semacam tanaman menjalar yang entah apa namanya, serta beberapa pohon lain yang tak terlalu unik untuk disebut.

Lalu pantai. Pasir, pasir, dan pasir. Selalu menyenangkan menjejakkan kaki telanjang kita pada hamparan pasir lembut untuk meninggalkan jejak tapak-tapak. Jejak yang tak berusia panjang sebab tak butuh waktu lama sapuan ombak menghapusnya. Inilah pengandaian yang sering dipakai untuk mencatat kesalahan seseorang pada kita. Tulislah di hamparan pasir pantai, lalu biarkan ombak menghapusnya dengan segera, untuk kembali meninggalkan hamparan pasir yang mulus.

Ambil gambar, ambil gambar, dan ambil gambar. Itulah yang kemudian dilakukan. Sempat menyesal juga tak membawa peralatan renang saat menyadari laut yang begitu jernih yang seolah menantang untuk diterjuni. Seorang bapak, rekan kerja juga, nampak snorkling. Membuat iri. Sepertinya tak pernah sekalipun saya renang di laut, tapi entah mengapa ada semangat menggebu untuk mencobanya. Mungkin karena melihat deburan ombak yang tenang. Kemenggebuan yang sayangnya tak tersalurkan.
Satu jam berjalan mengelilingi pulau, saatnya makan perbekalan. Menunya kala itu adalah ayam bakar porsi besar. Cukup menuntaskan rasa lapar yang sebelum berangkat hanya diisi bubur beras merah porsi separuh. Dan, saat itulah, saat kami berkumpul untuk menyantap perbekalan, bapak yang snorkling tadi datang.

“nggak renang? Bagus lo!”, ujarnya sambil membawa sambungan kaki ikan duyungnya (entah apa itu namanya)
“Nggak bawa baju renang tuh, Pak”
“alah, pakai itu saja nggak papa. Nanti kering sendiri.”

Maka kemudian diperoleh lah kesepakatan itu. Lepas makan, dengan meminjamkan peralatannya, si bapak berjanji untuk mengajakku melihat terumbu karang sambil mencengkeramai ikan-ikan. Aku begitu antusias menjemput kesempatan itu.

Kawan, inilah yang kemudian terjadi. Tahu lah aku kenapa pengalaman pertama itu seringkali mengesankan. Aku, yang masa kecilnya lebih sering menghanyutkan diri di sungai kecoklatan di kala hujan, pada akhirnya untuk pertama kali menceburkan diri di lautan. Mengenakan kaca mata renang, sebab belum terbiasa memakai perlatan snorkling, serta kaki ikan duyung, dimulailah pengalaman pertama itu. Bergerak dari biir pantai: awalnya pasir, lalu rerumputan, lalu terumbu karang. Wah! Ingin histeris rasanya. Betapa terlambatnya aku mengetahui fakta keindahan ini. Keindahan yang dulu lebih sering terlihat di TV, ternyata dekat saja. Hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai. Bahkan dengan kedalaman tak lebih dari tinggi badanku.

Ada ikan zebra, ada ikan biru, ada ikan ini, ada ikan itu. Ah, betapa aku baru tahu kalau ikan-ikan indah itu dapat aku temui dengan mudahnya. Bahkan hanya dengan berbekal kaca mata renang. Bahkan dengan memakai celana kain dan kaos. Indonesia memang benar-benar kaya.

Puas memandangi terumbu karang, akhirnya kembali naik ke daratan. Cepat-cepat mengambil air mineral untuk membasahi tenggorokan yang sempat kemasukan asinnya lautan. Mesih begitu menggebu. Masih saja terpesona. Menginginkan membeli peralatan snorkling, mengiginkan Derawan, menginginkan Raja Ampat, menginkan Gilli Trawangan. Entah kapan.

Setelah menunggu beberapa saat, pukul sebelas, akhirnya speed boat jemputan datang jua.

Wednesday, December 8, 2010

----pahlawan di tiap masanya----

“Dulu kuliah nggak bisa beli makan enak karena nggak punya uang. Sekarang sudah kerja nggak bisa makan enak karena kolesterol”

Meski dengan sedikit candaan, beberapa kali saya menemukan kalimat ini terlontarkan. Sebagai joke atau bumbu penyegar pertemuan. Kemudian tertawa, kemudian seloroh. Tapi saya tahu, ada keseriusan dalam kata-katanya. Kala suatu hal yang dulu menjadi kesulitan telah teratasi, lalu ternyata muncul kesulitan yang dulu sebenarnya tak berarti, itu sungguh menggemaskan.

Tiap masa ada tantangannya

Lalu saya menemukan kalimat itu. Ini seperti halnya mahasiswa baru yang merasakan beratnya pengaderan, lalu berandai-andai tentang indahnya perkuliahan kala lepas dari kegiatan pepeloncoan. Maka, ketika masa itu telah datang, ia tersadarkan bahwa masa itu tak semudah dugaan awal. Ada praktikum-praktikum yang begitu menguras perhatian. Sama-sama merepotkan. Maka lihatlah perandaiannya yang berubah, “semoga cepat mencapai tingkat akhir, hingga lepas dari kegiatan praktikum yang begitu merepotkan”. Lalu….aih, masa tingkat akhir ternyata dipenuhi oleh  tanggung jawab lain   yang tak kalah ‘menggairahkan’. “semoga cepat lulus!”, demikian harapnya berubah, “agar bisa lepas dari kewajiban mengerjakan tugas akhir”. Dan kesudahannya pun dapat ditebak dengan mudahnya. Lulus kuliah ada tanggung jawab lain, bekerja pun juga. “menikahnya kapan?”, begitu yang sering terntanyakan. “kapan punya momongan?”, pertanyaan lain di fase lanjutan.

Tapi tiap masa ada pahlawan-pahlawannya

Ya, inilah kalimat optimisnya. Karena tiap masa punya tantangannya sendiri, maka ia pun memiliki penyelesaiannya sendiri. Maka ia pun punya pahlawannya sendiri. Yang boleh jadi tetap kita. Yang boleh jadi tetap kau, aku, atau mereka. Sebab satu penyelesaian kerap kali terspesifik untuk satu tantangan. Tantangan, adalah kata optimis untuk masalah.

Maka tak elok lah untuk saling mempertentangkannya

Aha! Ini lah itu. Karena tabiatnya memang begitu, karena setiap masa punya tantangannya sendiri, beserta penyelesaiannya sendiri, maka tak seharusnya dipertentangkan di antaranya. Masing-masing punya tantangan yang spesifik maka masing-masing memiliki penyelesaian spesifik. Tak melulu sama. Karena, saat kita mendapatkan penyelesaian atas tantangan kita, sesungguhnya kita sudah melangkah memasuki masa baru. Dan itu artinya ada tantangan baru , dan itu artinya harus ada penyelesaian baru. Kepahlawanan kita di masa sebelumnya, tak lagi cukup menyelesaikan tantangan di masa berikut. Perlu ada kepahlawanan baru.

Maka mari kita tengok kembali petikan kalimat di awal tulisan ini. Dan tersenyum lah kita. Jika aturannya harus menyesuaikan logika si pelontar kalimat, maka begitu sederhananya semuanya. Dan hidup, tentu saja menjadi tak adil. Sebab seseorang yang menemukan satu penyelesaian akan dengan mudah mengatasi tantangan lain hanya dengan bersenjata satu penyelesaian itu. Seperti seseorang yang sudah bekerja mapan menganggap semuanya menjadi mudah sebab masa kuliah faktor finansial lah yang kerap menantangnya. Tak bisa! Tak mungkin!

Kenyataan ini, sekaligus meniadakan pernyataan ‘masa SMA lebih menyenangkan dibanding masa kuliah’ atau ‘masa lajang lebih enak dibandingkan masa tak lajang’. Sebab itu tadi, tiap masa punya tantangannya sendiri. Yang tak pas lah untuk satu masa dilebihmudahkan dibanding yang lainnya. Semuanya punya proporsi tersendiri sesuai masanya.

Sebab telinga kita lah yang paling dekat dengan mulut kita, maka saat kita memberi nasehat, kita lah yang sebenarnya yang paling mula ternasehati

Dan pada akhirnya itu. Pada akhirnya semua ini tentang diri sendiri. Tentang membaca. Duhai, masa kuliah dulu, kala waktu membaca lebih banyak dan justru buku-buku yang terpunyai hanya beberapa, kepahlawanannya adalah mengurangi jatah makan untuk disisihkan membeli buku. Dan sekarang, kala ada penghasilan untuk membeli  buku, tapi ketersediaan waktu tak seperti semula, maka kepahlawanannya pasti beda. Pasti beda. Dan itu, boleh jadi dengan mengurangi jatah leyeh-leyeh, atau jatah tidur, atau jatah berdiam diri tanpa melakukan apa.

Selalu ada waktu untuk berbenah.

 

----pahlawan di tiap masanya----

“Dulu kuliah nggak bisa beli makan enak karena nggak punya uang. Sekarang sudah kerja nggak bisa makan enak karena kolesterol”

Meski dengan sedikit candaan, beberapa kali saya menemukan kalimat ini terlontarkan. Sebagai joke atau bumbu penyegar pertemuan. Kemudian tertawa, kemudian seloroh. Tapi saya tahu, ada keseriusan dalam kata-katanya. Kala suatu hal yang dulu menjadi kesulitan telah teratasi, lalu ternyata muncul kesulitan yang dulu sebenarnya tak berarti, itu sungguh menggemaskan.

Tiap masa ada tantangannya

Lalu saya menemukan kalimat itu. Ini seperti halnya mahasiswa baru yang merasakan beratnya pengaderan, lalu berandai-andai tentang indahnya perkuliahan kala lepas dari kegiatan pepeloncoan. Maka, ketika masa itu telah datang, ia tersadarkan bahwa masa itu tak semudah dugaan awal. Ada praktikum-praktikum yang begitu menguras perhatian. Sama-sama merepotkan. Maka lihatlah perandaiannya yang berubah, “semoga cepat mencapai tingkat akhir, hingga lepas dari kegiatan praktikum yang begitu merepotkan”. Lalu….aih, masa tingkat akhir ternyata dipenuhi oleh  tanggung jawab lain   yang tak kalah ‘menggairahkan’. “semoga cepat lulus!”, demikian harapnya berubah, “agar bisa lepas dari kewajiban mengerjakan tugas akhir”. Dan kesudahannya pun dapat ditebak dengan mudahnya. Lulus kuliah ada tanggung jawab lain, bekerja pun juga. “menikahnya kapan?”, begitu yang sering terntanyakan. “kapan punya momongan?”, pertanyaan lain di fase lanjutan.

Tapi tiap masa ada pahlawan-pahlawannya

Ya, inilah kalimat optimisnya. Karena tiap masa punya tantangannya sendiri, maka ia pun memiliki penyelesaiannya sendiri. Maka ia pun punya pahlawannya sendiri. Yang boleh jadi tetap kita. Yang boleh jadi tetap kau, aku, atau mereka. Sebab satu penyelesaian kerap kali terspesifik untuk satu tantangan. Tantangan, adalah kata optimis untuk masalah.

Maka tak elok lah untuk saling mempertentangkannya

Aha! Ini lah itu. Karena tabiatnya memang begitu, karena setiap masa punya tantangannya sendiri, beserta penyelesaiannya sendiri, maka tak seharusnya dipertentangkan di antaranya. Masing-masing punya tantangan yang spesifik maka masing-masing memiliki penyelesaian spesifik. Tak melulu sama. Karena, saat kita mendapatkan penyelesaian atas tantangan kita, sesungguhnya kita sudah melangkah memasuki masa baru. Dan itu artinya ada tantangan baru , dan itu artinya harus ada penyelesaian baru. Kepahlawanan kita di masa sebelumnya, tak lagi cukup menyelesaikan tantangan di masa berikut. Perlu ada kepahlawanan baru.

Maka mari kita tengok kembali petikan kalimat di awal tulisan ini. Dan tersenyum lah kita. Jika aturannya harus menyesuaikan logika si pelontar kalimat, maka begitu sederhananya semuanya. Dan hidup, tentu saja menjadi tak adil. Sebab seseorang yang menemukan satu penyelesaian akan dengan mudah mengatasi tantangan lain hanya dengan bersenjata satu penyelesaian itu. Seperti seseorang yang sudah bekerja mapan menganggap semuanya menjadi mudah sebab masa kuliah faktor finansial lah yang kerap menantangnya. Tak bisa! Tak mungkin!

Kenyataan ini, sekaligus meniadakan pernyataan ‘masa SMA lebih menyenangkan dibanding masa kuliah’ atau ‘masa lajang lebih enak dibandingkan masa tak lajang’. Sebab itu tadi, tiap masa punya tantangannya sendiri. Yang tak pas lah untuk satu masa dilebihmudahkan dibanding yang lainnya. Semuanya punya proporsi tersendiri sesuai masanya.

Sebab telinga kita lah yang paling dekat dengan mulut kita, maka saat kita memberi nasehat, kita lah yang sebenarnya yang paling mula ternasehati

Dan pada akhirnya itu. Pada akhirnya semua ini tentang diri sendiri. Tentang membaca. Duhai, masa kuliah dulu, kala waktu membaca lebih banyak dan justru buku-buku yang terpunyai hanya beberapa, kepahlawanannya adalah mengurangi jatah makan untuk disisihkan membeli buku. Dan sekarang, kala ada penghasilan untuk membeli  buku, tapi ketersediaan waktu tak seperti semula, maka kepahlawanannya pasti beda. Pasti beda. Dan itu, boleh jadi dengan mengurangi jatah leyeh-leyeh, atau jatah tidur, atau jatah berdiam diri tanpa melakukan apa.

Selalu ada waktu untuk berbenah.

 

Monday, December 6, 2010

--kerajaan senja--

Mungkin kau tak pernah mendengar namanya. Tidak pula kau temukan dalam literatur sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, atau dalam buku-buku kuno di perpustakaan2 tua negeri ini. Karena, cerita mengenai kerajaan ini, hanya diriwayatkan turun-temurun lewat tuturan orang-orang tua pada anak-anaknya. Didongengkan menjelang tidur. Berharap mereka segera terlelap, Berharap mereka bermimpi indah.

Nama kerajaan ini adalah kerajaan senja. Tentu saja bukan karena waktu di negeri ini melulu senja. Tidak. Tentu saja tidak. Waktu di kerajaan ini seperti waktu pada umumya daerah tropis dalam planet ini. Merasakan waktu siang dan malam yang hampir berimbang. Dengan saat pergantian waktu diantara keduanya selalu menjadi waktu yang istimewa. Hanya saja, kerajaan ini terletak di pinggiran sebuah pantai yang mempesona, serta kitaran hutan lebat melingkupi di sisi lainnya. Maka kemudian tak ayal, saat senja adalah detik-detik yang hebat bagi seluruh warga.

Maka bila kita berbicara tentang kerajaan, kita akan membicarakan seorang raja, seorang putri yang cantik jelita, serta rakyat jelata. Dan karena saya lebih suka bercerita tentang hal-hal baik, maka tentu saja kerajaan ini adalah kerajaan yang baik. Rajanya adalah raja yang baik, memerintah dengan baik pula. Adil dan bijaksana. Tidak sibuk memperkaya diri, tidak pula sibuk dengan perempuan-perempuan di sekitarnya. Sebab ia memang hanya memilki seorang perempuan. Seorang istri. Seorang permaisuri yang bisa menjaga diri. Permaisuri yang mampu menenangkan di saat gulana. Yang mampu mencandai di saat resah.
Rakyat kerajaan ini tak banyak, hanya terdiri atas beberapa desa. Tak terlalu padat pula penduduk yang mendiami tiap desa itu. Tapi mereka hidup dalam berkecukupan. Rukun, dan tak sibuk bergosip di kedai-kedai nasi yang lumayan banyak bertebaran di sudut2 desa. Saat pagi masih menyisakan dingin, mereka telah bergegas menuju sawah. Riang bekerja sambil membawa kerbau2 menuju kubangan. Berjam-jam berikutnya, ketika senja merona di barat jauh, mereka baru akan beranjak pulang. Berduyun sepanjang jalan desa. Membentuk siluet senja yang menggetarkan bagi siapa saja yang memandangnya.

Dan selanjutnya adalah puteri semata wayang raja. Duhai, akan sulit mendiskripsikan bagaimana ia begitu dicintai rakyatnya. Ia cantik? Ya, tentu saja, jika yang dimaksud cantik adalah tampilan fisik yang membuat seorang yang sekilas menatapnya bisa terjungkal dari langkahnya. Tapi, yang membuat setiap pria bujang di negeri itu memimpikan sang puteri menjadi labuhan hatinya justru karena ia tampil seperti perempuan kebanyakan. Ia amat ‘manusia’. Berbaur. Tersenyum saat bertemu orang-orang. Santun pula dalam bertutur kata. Ia mengawali harinya dengan bercengkerama dengan penduduk di pematang sawah, tak sungkan pula menceburkan diri dalam lumpur. Yang kontan membuat pembantu pribadinya berteriak-teriak mencegah. Tapi apa daya, teriakan itu sama sekali tak mampu mengurungkan niat sang puteri. Sama sekali tidak. Sebab ia akan segera balas melototi si pembantu. Maka mengkeretlah sudah .

Sudah menjelang dua puluh satu tahun, tapi belum juga ada tanda2 kalau sang puteri akan melepas masa lajangnya. Sudah tak berhingga pangeran dari negeri seberang yang datang meminang, tapi tak satupun dari kesemuanya berbuah penerimaan. “Ada apa?”, “Lelaki seperti apakah yang diinginkan puteri?”, demikianlah pertanyaan2 yang mengganjal di hati penduduk tiap kali pinangan seorang pangeran ditolak. Pertanyaan2 yang tak pernah terjawab. Pertanyaan yang pada akhirnya tenggelam sendiri oleh rutinitas kerja.

“Tentu saja puteri ingin ayahanda. Tentu saja Puteri ingin segera mengakhiri penantian ini. Berkeluarga seperti yang ayahanda kehendaki. Tapi bagaimana mungkin! Bagaimana mungkin Puteri akan menerima jika yang datang tidak membawa apa2 selain sekotak batangan emas serta kilatan mata penuh selidik.”, demikianlah puteri menyanggah ketika pada akhirnya sanga raja tak tahan untuk tidak bertanya.

Berlalu. Hari-hari pada akhirnya melaju seperti sedia kala. Penjelasan itu sebenarnya belum seutuhnya dapat dimengerti oleh raja, tapi ia menerima. Hanya pemahaman atas apa-apa yang tak terkatakan dari puterinyalah yang membuat ia mampu melakukannya.

Dan hari berjalan seperti sedia kala. Tetaplah menyenangkan. Tak ada lagi pertanyaan mengganjal di hati-hati penduduk. Raja pun tak lagi sibuk mencari tahu dengan bertanya. Tidak pula memikirkannya. Ah, puterinya amat bahagia dengan keadaannya sekarang. Senyumnya masih selepas masa kanak-kanaknya. Sungguh teramat tak bijaksana kalau ia harus melakukan apa2 yang sempat terpikirkan beberapa waktu lalu. Perjodohan paksa. Cukuplah kiranya tradisi itu dihentikan sampai generasinya. Jangan untuk anaknya.

Tujuh hari menjelang hari ulang tahun Puteri yang ke 21. Tapi belum ada kabar yang berarti. Puteri pun belum menentukan dengan apa ulang tahunnya kali ini dirayakan. Memang, lima tahun belakangan, atas permintaan puterinya itu, raja memberi kebebasan Puteri untuk memilih sendiri perayaan ulang tahunnya, bahkan kalau perayaan yang dipilih adalah kesendirian. Tak ada pesta. Menyepi di kamarnya merenungi waktu yang telah ia titi. Seperti ulangtahun setahun yang lalu.

Rajapun pasrah kalau kali ini pun tak ada perayaan. Biarlah. Bukankah itu pertanda bagus. Bukankah itu pertanda bahwa puterinya telah beranjak dewasa. Semakin matang.

Raja tengah duduk2 santai ketika suara puterinya menyeruak dari luar

“Ayahanda!”
“Ada apa, puteriku? Tenanglah! Atur dulu nafasmu”
“Ayahanda, puteri telah menemukannya. Puteri telah menemukannya”
“Menemukan apa??
“Calon penerus tahta ayahanda”

(bersambung)

--kerajaan senja--

Mungkin kau tak pernah mendengar namanya. Tidak pula kau temukan dalam literatur sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, atau dalam buku-buku kuno di perpustakaan2 tua negeri ini. Karena, cerita mengenai kerajaan ini, hanya diriwayatkan turun-temurun lewat tuturan orang-orang tua pada anak-anaknya. Didongengkan menjelang tidur. Berharap mereka segera terlelap, Berharap mereka bermimpi indah.

Nama kerajaan ini adalah kerajaan senja. Tentu saja bukan karena waktu di negeri ini melulu senja. Tidak. Tentu saja tidak. Waktu di kerajaan ini seperti waktu pada umumya daerah tropis dalam planet ini. Merasakan waktu siang dan malam yang hampir berimbang. Dengan saat pergantian waktu diantara keduanya selalu menjadi waktu yang istimewa. Hanya saja, kerajaan ini terletak di pinggiran sebuah pantai yang mempesona, serta kitaran hutan lebat melingkupi di sisi lainnya. Maka kemudian tak ayal, saat senja adalah detik-detik yang hebat bagi seluruh warga.

Maka bila kita berbicara tentang kerajaan, kita akan membicarakan seorang raja, seorang putri yang cantik jelita, serta rakyat jelata. Dan karena saya lebih suka bercerita tentang hal-hal baik, maka tentu saja kerajaan ini adalah kerajaan yang baik. Rajanya adalah raja yang baik, memerintah dengan baik pula. Adil dan bijaksana. Tidak sibuk memperkaya diri, tidak pula sibuk dengan perempuan-perempuan di sekitarnya. Sebab ia memang hanya memilki seorang perempuan. Seorang istri. Seorang permaisuri yang bisa menjaga diri. Permaisuri yang mampu menenangkan di saat gulana. Yang mampu mencandai di saat resah.
Rakyat kerajaan ini tak banyak, hanya terdiri atas beberapa desa. Tak terlalu padat pula penduduk yang mendiami tiap desa itu. Tapi mereka hidup dalam berkecukupan. Rukun, dan tak sibuk bergosip di kedai-kedai nasi yang lumayan banyak bertebaran di sudut2 desa. Saat pagi masih menyisakan dingin, mereka telah bergegas menuju sawah. Riang bekerja sambil membawa kerbau2 menuju kubangan. Berjam-jam berikutnya, ketika senja merona di barat jauh, mereka baru akan beranjak pulang. Berduyun sepanjang jalan desa. Membentuk siluet senja yang menggetarkan bagi siapa saja yang memandangnya.

Dan selanjutnya adalah puteri semata wayang raja. Duhai, akan sulit mendiskripsikan bagaimana ia begitu dicintai rakyatnya. Ia cantik? Ya, tentu saja, jika yang dimaksud cantik adalah tampilan fisik yang membuat seorang yang sekilas menatapnya bisa terjungkal dari langkahnya. Tapi, yang membuat setiap pria bujang di negeri itu memimpikan sang puteri menjadi labuhan hatinya justru karena ia tampil seperti perempuan kebanyakan. Ia amat ‘manusia’. Berbaur. Tersenyum saat bertemu orang-orang. Santun pula dalam bertutur kata. Ia mengawali harinya dengan bercengkerama dengan penduduk di pematang sawah, tak sungkan pula menceburkan diri dalam lumpur. Yang kontan membuat pembantu pribadinya berteriak-teriak mencegah. Tapi apa daya, teriakan itu sama sekali tak mampu mengurungkan niat sang puteri. Sama sekali tidak. Sebab ia akan segera balas melototi si pembantu. Maka mengkeretlah sudah .

Sudah menjelang dua puluh satu tahun, tapi belum juga ada tanda2 kalau sang puteri akan melepas masa lajangnya. Sudah tak berhingga pangeran dari negeri seberang yang datang meminang, tapi tak satupun dari kesemuanya berbuah penerimaan. “Ada apa?”, “Lelaki seperti apakah yang diinginkan puteri?”, demikianlah pertanyaan2 yang mengganjal di hati penduduk tiap kali pinangan seorang pangeran ditolak. Pertanyaan2 yang tak pernah terjawab. Pertanyaan yang pada akhirnya tenggelam sendiri oleh rutinitas kerja.

“Tentu saja puteri ingin ayahanda. Tentu saja Puteri ingin segera mengakhiri penantian ini. Berkeluarga seperti yang ayahanda kehendaki. Tapi bagaimana mungkin! Bagaimana mungkin Puteri akan menerima jika yang datang tidak membawa apa2 selain sekotak batangan emas serta kilatan mata penuh selidik.”, demikianlah puteri menyanggah ketika pada akhirnya sanga raja tak tahan untuk tidak bertanya.

Berlalu. Hari-hari pada akhirnya melaju seperti sedia kala. Penjelasan itu sebenarnya belum seutuhnya dapat dimengerti oleh raja, tapi ia menerima. Hanya pemahaman atas apa-apa yang tak terkatakan dari puterinyalah yang membuat ia mampu melakukannya.

Dan hari berjalan seperti sedia kala. Tetaplah menyenangkan. Tak ada lagi pertanyaan mengganjal di hati-hati penduduk. Raja pun tak lagi sibuk mencari tahu dengan bertanya. Tidak pula memikirkannya. Ah, puterinya amat bahagia dengan keadaannya sekarang. Senyumnya masih selepas masa kanak-kanaknya. Sungguh teramat tak bijaksana kalau ia harus melakukan apa2 yang sempat terpikirkan beberapa waktu lalu. Perjodohan paksa. Cukuplah kiranya tradisi itu dihentikan sampai generasinya. Jangan untuk anaknya.

Tujuh hari menjelang hari ulang tahun Puteri yang ke 21. Tapi belum ada kabar yang berarti. Puteri pun belum menentukan dengan apa ulang tahunnya kali ini dirayakan. Memang, lima tahun belakangan, atas permintaan puterinya itu, raja memberi kebebasan Puteri untuk memilih sendiri perayaan ulang tahunnya, bahkan kalau perayaan yang dipilih adalah kesendirian. Tak ada pesta. Menyepi di kamarnya merenungi waktu yang telah ia titi. Seperti ulangtahun setahun yang lalu.

Rajapun pasrah kalau kali ini pun tak ada perayaan. Biarlah. Bukankah itu pertanda bagus. Bukankah itu pertanda bahwa puterinya telah beranjak dewasa. Semakin matang.

Raja tengah duduk2 santai ketika suara puterinya menyeruak dari luar

“Ayahanda!”
“Ada apa, puteriku? Tenanglah! Atur dulu nafasmu”
“Ayahanda, puteri telah menemukannya. Puteri telah menemukannya”
“Menemukan apa??
“Calon penerus tahta ayahanda”

(bersambung)

ada nggak, ya, game scrable bhs indonesia? kayaknya it bgs utk memperkaya kosakata bhs indo kita

ada nggak, ya, game scrable bhs indonesia? kayaknya it bgs utk memperkaya kosakata bhs indo kita

ada nggak, ya, game scrable bhs indonesia? kayaknya it bgs utk memperkaya kosakata bhs indo kita

ada nggak, ya, game scrable bhs indonesia? kayaknya it bgs utk memperkaya kosakata bhs indo kita

Saturday, December 4, 2010

tentang segelas air yang tak melarutkan sejumput garam

Jawababnnya ada pada teori kelarutan. Alasan kenapa sejumput garam tak mampu lagi melarut dalam segelas air itu teralamatkan pada teori kelarutan. Lebih tepatnya, mungkin pada dua hal ini: jenuh yang sudah tercipta, atau pengadukan yang belum terlalu benar dan merata. Yang pertama berbicara tentang titik maksimal yang sudah tercapai, yang kedua menyinggung usaha yang belum nyata.

Garam tentu mempunyai nilai kelarutan tertentu, tergantung apa pelarutnya. Seringnya, dinyatakan dengan satuan berat per satuan volume pelarut. Nilai inilah yang kemudian tak bisa terlampaui. Jadi jika dalam segelas larutan garam konsentrasinya sudah mencapai kelarutan garam dalam pelarut tersebut, maka sejumput –atau bahkan sebutir-- garam yang kita tambahkan tak akan mampu lagi terlarutkan. Larutan itu telah jenuh dengan garam, maka garam yang tertambahkan hanya akan mengendap di dasarnya. Tak melarut. Atau kalau kita memaksa mengaduknya dengan sangat maka butir-butir garam itu hanya melayang-layang untuk kembali mengendap juga kala kita menghentikan pengadukannya.

Nilai kelarutan tersebut, tentu saja diperoleh dari serangkaian penelitian dan percobaan. Sedikit demi sedikit garam ditambahkan ke sebuah pelarut sampai sebuah titik saat pelarut itu tak mampu lagi melarutkan garam. Inilah kemudian nilai kelarutan tersebut. Nilai yang tak mungkin terlewati. Tentu, pada koridor parameter tertentu.

Tapi akan selalu ada celah untuk berkelit dari keadaan. Rekayasa. Larutan yang telah jenuh dengan garam masih mungkin disusupi lagi garam. Merekayasa keadaan menjadi solusinya. Karena memang nilai kelarutan itu tergantung parameter tertentu. Temperatur salah satunya. Sudah jamak diketahui bahwa berbeda temperatur berbeda pula nilai kelarutannya. Dan karena lebih sering nilai kelarutan suatu zat naik seiring kenaikan temperatur, maka yang perlu kita lakukan kala nilai kelarutan sudah tercapai—larutan telah jenuh-- dan kita masih menginginkan sejumput garam itu melarut di dalamnya, adalah dengan menaikkan temperaturnya. Demikian, terus-menerus. Sampai menaikkan temperatur tak lagi mempunyai nilai yang signifikan untuk menaingkatkan kelarutannya. Maka saat itu, saat tak ada signifikansi dari usaha menaikkan temperatur itu, besarkan saja wadahnya. Ganti gelas itu dengan sebuah teko, lalu tambah pelarutnya.

Tapi berhati-hatilah! Berhati-hatilah tentang sebab kedua yang tersebut di awal. Jangan-jangan usaha kita mengaduk garam yang kuranglah yang menjadi penyebab gagalnya garam itu melarut dengan sempurna. Saat itu, jangan terburu-buru merekayasa keadaan, apalagi merutukinya. Cukuplah dengan mengevaluasi cara kita melarutkan garam. Jangan-jangan yang kita larutkan masih berupa bongkahan garam kasar yang luas kontaknya dengan pelarut mengecil. Jangan-jangan cara mengaduk kita yang masih lemah tanpa daya. Jangan-jangan kita yang kurang sabar. Untuk itulah, kemudian, menjadi sangat penting untuk menyadari kelarutan garam. Tentang berapa garam yang mampu terlarut. Kesadaran ini, akan memberi kita mata untuk bertindak. Tidak membabi buta menambahakan garam pada larutan yang telah jenuh, tak juga terlalu tergesa memanaskan larutan bahkan ketika hanya separuh saja nilai kelarutan yang telah tercapai.

Jenuh! Mungkin bukan hanya tentang keadaan yang telah menyesak. Mungkin bukan tentang lingkungan yang menyempit dan menggelisahkan. Mungkin juga bukan tentang kebutuhan sebuah wadah yang lebih besar dan melegakan--merekayasa. Mungkin, ini tentang usaha mengaduk yang kurang. Mungkin tentang kita. Kita!

Mengetahui kapasitas diri menjadi penting. Mengenali diri sendiri menjadi utama. Sampai manakah batas kita. Tapi, tak sesaklek nilai kelarutan tadi—dimana nilainya sudah tertentu dan tak bisa dilanggar, tentang nilai diri kita ini lebih lentur. Jika dalam pelarutan garam tak mampu melampau nilai kelarutannya, maka pada kita, kaidahnya menjadi begini: ‘jika kita sudah mampu mencapai suatu titik, maka kita harus mampu lebih dari titik itu’. Sebab kita memiliki sesuatu yang namanya pembelajaran. Jika kita sudah mampu melewati suatu keadaan yang begitu berat, sudah seharusnyalah kita mampu melewati suatu keadaan yang lebih berat dari itu.

Maka saya menyukai pernyataan rekan kerja ini. Rekan kerja yang ‘terlunta-lunta’ di korsel setelah beasiswa S2-nya diputus secara sepihak. Bekerja sebagai pencuci piring di restoran lalu lanjut menyapu lantai di stasiun, sepulang dari laboratorium di malam hari. Katanya, “jika saya diberi kesempatan untuk mengulanginya, maka saya meminta yang lebih berat dari itu. Agar saya tahu sampai sebatas mana kemampuan saya”. Ia ingin tahu titik jenuh dirinya.Sebab kesadaran untuk itu menjadi penting.

Jenuh. Memang tentang kita dan keadaan. Tentang usaha kita dan daya tampung lingkungan. Dan kita punya cara sendiri pastinya untuk mengatasinya. Dengan alasannya tentu. Antara menaikkan suhu, memperbesar wadah dan menambah pelarut baru, atau mengubah kerja kita dengan cara baru. Atau kolaborasi kedua atau ketiganya.

Jenuh. Mungkin tak terselesaikan dengan sekedar jeda.


tentang segelas air yang tak melarutkan sejumput garam

Jawababnnya ada pada teori kelarutan. Alasan kenapa sejumput garam tak mampu lagi melarut dalam segelas air itu teralamatkan pada teori kelarutan. Lebih tepatnya, mungkin pada dua hal ini: jenuh yang sudah tercipta, atau pengadukan yang belum terlalu benar dan merata. Yang pertama berbicara tentang titik maksimal yang sudah tercapai, yang kedua menyinggung usaha yang belum nyata.

Garam tentu mempunyai nilai kelarutan tertentu, tergantung apa pelarutnya. Seringnya, dinyatakan dengan satuan berat per satuan volume pelarut. Nilai inilah yang kemudian tak bisa terlampaui. Jadi jika dalam segelas larutan garam konsentrasinya sudah mencapai kelarutan garam dalam pelarut tersebut, maka sejumput –atau bahkan sebutir-- garam yang kita tambahkan tak akan mampu lagi terlarutkan. Larutan itu telah jenuh dengan garam, maka garam yang tertambahkan hanya akan mengendap di dasarnya. Tak melarut. Atau kalau kita memaksa mengaduknya dengan sangat maka butir-butir garam itu hanya melayang-layang untuk kembali mengendap juga kala kita menghentikan pengadukannya.

Nilai kelarutan tersebut, tentu saja diperoleh dari serangkaian penelitian dan percobaan. Sedikit demi sedikit garam ditambahkan ke sebuah pelarut sampai sebuah titik saat pelarut itu tak mampu lagi melarutkan garam. Inilah kemudian nilai kelarutan tersebut. Nilai yang tak mungkin terlewati. Tentu, pada koridor parameter tertentu.

Tapi akan selalu ada celah untuk berkelit dari keadaan. Rekayasa. Larutan yang telah jenuh dengan garam masih mungkin disusupi lagi garam. Merekayasa keadaan menjadi solusinya. Karena memang nilai kelarutan itu tergantung parameter tertentu. Temperatur salah satunya. Sudah jamak diketahui bahwa berbeda temperatur berbeda pula nilai kelarutannya. Dan karena lebih sering nilai kelarutan suatu zat naik seiring kenaikan temperatur, maka yang perlu kita lakukan kala nilai kelarutan sudah tercapai—larutan telah jenuh-- dan kita masih menginginkan sejumput garam itu melarut di dalamnya, adalah dengan menaikkan temperaturnya. Demikian, terus-menerus. Sampai menaikkan temperatur tak lagi mempunyai nilai yang signifikan untuk menaingkatkan kelarutannya. Maka saat itu, saat tak ada signifikansi dari usaha menaikkan temperatur itu, besarkan saja wadahnya. Ganti gelas itu dengan sebuah teko, lalu tambah pelarutnya.

Tapi berhati-hatilah! Berhati-hatilah tentang sebab kedua yang tersebut di awal. Jangan-jangan usaha kita mengaduk garam yang kuranglah yang menjadi penyebab gagalnya garam itu melarut dengan sempurna. Saat itu, jangan terburu-buru merekayasa keadaan, apalagi merutukinya. Cukuplah dengan mengevaluasi cara kita melarutkan garam. Jangan-jangan yang kita larutkan masih berupa bongkahan garam kasar yang luas kontaknya dengan pelarut mengecil. Jangan-jangan cara mengaduk kita yang masih lemah tanpa daya. Jangan-jangan kita yang kurang sabar. Untuk itulah, kemudian, menjadi sangat penting untuk menyadari kelarutan garam. Tentang berapa garam yang mampu terlarut. Kesadaran ini, akan memberi kita mata untuk bertindak. Tidak membabi buta menambahakan garam pada larutan yang telah jenuh, tak juga terlalu tergesa memanaskan larutan bahkan ketika hanya separuh saja nilai kelarutan yang telah tercapai.

Jenuh! Mungkin bukan hanya tentang keadaan yang telah menyesak. Mungkin bukan tentang lingkungan yang menyempit dan menggelisahkan. Mungkin juga bukan tentang kebutuhan sebuah wadah yang lebih besar dan melegakan--merekayasa. Mungkin, ini tentang usaha mengaduk yang kurang. Mungkin tentang kita. Kita!

Mengetahui kapasitas diri menjadi penting. Mengenali diri sendiri menjadi utama. Sampai manakah batas kita. Tapi, tak sesaklek nilai kelarutan tadi—dimana nilainya sudah tertentu dan tak bisa dilanggar, tentang nilai diri kita ini lebih lentur. Jika dalam pelarutan garam tak mampu melampau nilai kelarutannya, maka pada kita, kaidahnya menjadi begini: ‘jika kita sudah mampu mencapai suatu titik, maka kita harus mampu lebih dari titik itu’. Sebab kita memiliki sesuatu yang namanya pembelajaran. Jika kita sudah mampu melewati suatu keadaan yang begitu berat, sudah seharusnyalah kita mampu melewati suatu keadaan yang lebih berat dari itu.

Maka saya menyukai pernyataan rekan kerja ini. Rekan kerja yang ‘terlunta-lunta’ di korsel setelah beasiswa S2-nya diputus secara sepihak. Bekerja sebagai pencuci piring di restoran lalu lanjut menyapu lantai di stasiun, sepulang dari laboratorium di malam hari. Katanya, “jika saya diberi kesempatan untuk mengulanginya, maka saya meminta yang lebih berat dari itu. Agar saya tahu sampai sebatas mana kemampuan saya”. Ia ingin tahu titik jenuh dirinya.Sebab kesadaran untuk itu menjadi penting.

Jenuh. Memang tentang kita dan keadaan. Tentang usaha kita dan daya tampung lingkungan. Dan kita punya cara sendiri pastinya untuk mengatasinya. Dengan alasannya tentu. Antara menaikkan suhu, memperbesar wadah dan menambah pelarut baru, atau mengubah kerja kita dengan cara baru. Atau kolaborasi kedua atau ketiganya.

Jenuh. Mungkin tak terselesaikan dengan sekedar jeda.


tentang segelas air yang tak mampu lagi melarutkan sejumput garam

tentang segelas air yang tak mampu lagi melarutkan sejumput garam

Thursday, December 2, 2010

lalu lintas

<a href="http://feedjit.com/ir1/b668c72384761c7d/"><img src="http://feedjit.com/b/b668c72384761c7d.png" alt="&#39; ISMAP"></a>

lalu lintas

<a href="http://feedjit.com/ir1/b668c72384761c7d/"><img src="http://feedjit.com/b/b668c72384761c7d.png" alt="&#39; ISMAP"></a>