Friday, December 16, 2011

berbahagia dengan menyelami masalah

Apakah bagian terbaik dari sebuah masalah? Telah menyelesaikannya.

Malam itu pekerja itu lapor. Saya sebenarnya ada di dekatnya, menyaksikan apa yang sedang ia kerjakan sehingga tahu betul apa yang terjadi. Tapi, saya belum mengambil kesimpulan apapun akan hal itu. Jadi tak bersuara. Diam mengamati. Berpikir, apa gerangan yang menyebabkan ini semua.

“sedotannya nggak kuat, pak!” ini tentu saja pemberitahuan, tapi juga keluhan.

“tidak sekuat kemarin kah?”

“iya, pak. Kuatan kemarin”

Pekerjaan kala itu sederhana saja. Mengeluarkan butir-butir katalis dari bejana reaktor. Hanya saja, karena memang tak ada fasilitas hand hole di bawah yang memungkinkan untuk dibuka sehingga butir katalis itu nggrojok begitu saja, maka satu-satunya cara adalah dengan mengeluarkannya dari man hole atas. Untuk memakai drum lalu dikeluarkan ke atas pakai crane, tentu saja akan lambat, apalagi kalau ditimba pakai tali satu per satu. Bakal berpekan-pekan katalis 30an meter kubik itu bakal sempurna terkeluarkan. Maka disedot kemudian menjadi pilihan yang paling menarik dari berbagai alternatif mengeluarkan katalis itu.

Nama alatnya vacuum blower. Prinsipnya sederhana, yaitu dengan membuat sebuah bejana seukuran 1,5 m3 di alat itu menjadi bertekanan di bawah tekanan udara sekitar. Kemudian, di sebuah lubang yang menjorok dari bejana itu, disambung dengan selang yang kemudian dihubungkan dengan bejana yang berisi katalis. Begitulah. Karena sifat fluida mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, maka katalis yang berada pada tekanan atmosferik akan terfluidisasi dan tersedot melalui selang itu. Tinggal seorang pekerja saja yang mengoperasikan selang itu untuk didekatkan ke katalis yang hendak disedot.

Tapi malam itu sedotannya tak kenceng lagi. Tentu saja ini sebuah masalah. Jika dibiarkan seperti ini, pekerjaan akan berpotensi molor karena laju tersedotnya katalis menjadi berkurang. Rentetannya bakal panjang bila dibiarkan.

Saya kemudian naik, menelusuri tiap selang yang terjuntai tersebut. Analisis pertama penyebab masalah itu adalah kebuntuan. Ya, beberapa katalis memang mengalami caking karena temperaturnya yang memang mendekati ribuan. Bongkahan-bongkahan tersebut yang tidak terhancurkan lebih dulu sehingga lolos kesedot, berpotensi menimbulkan kebuntuan di sepanjang selang. Saya raba-raba selang itu, saya pukul-pukul, saya amati lebih lama di tiap sambungan yang menjadi titik tersering terjadinya kebuntuan, tak ada gejala buntu itu sama sekali. Tapi saya terus melangkah. Kemudian saya turun, menjangkau vacuum blower itu. Menaikinya untuk mendekati titik pertemuan antara bejana vacum dengan selang. Jadi, lubang di bejana itu berupa pipa yang menjorok keluar. Di pipa tersebutlah selang itu kemudian dimasukkan.

Kebahagiaan itu menemukan. Serupa kebahagiaan menemukan kunci yang lama dicari ternyata terselip di pojokan, perasaan yang sama berlaku ketika saya sadari di selang yang mendekati titik pertemuan dengan moncong pipa itu, beberapa bagian nampak bocor. Aha, tentu saja, dengan bahan katalis yang dari nikel, dengan kecepatan sedotan yang lumayan cepat, katalis-katalis yang membentur dinding selang plastik itu pada akhirnya mengikis dinding tersebut perlahan-lahan, hingga akhirnya bocor. Maka menjadi terjawablah pertanyaan si pekerja tadi, tentang kenapa sedotannya tak sekencang sehari sebelumnya, sebab ternyata daya sedot itu terbagi dengan kebocoran tadi.

Saya kemudian meminta operator mematikan vacum blower, memotong bagian selang yang bocor, memasangnya lagi, dan hasilnya, hanya butuh 20 menit saja kini untuk memenuhkan bejana vakum tersebut. Tentu saja kerja menjadi lebih cepat.

Begitulah, di antara kesulitan ada kemudahan, di antara kesusahan ada kebahagiaan, dan di antara masalah ada jalan keluar. Hanya bagi orang-orang yang berpikir.


Selamat hari sabtu!

Thursday, December 15, 2011

Friday, December 9, 2011

Salah

Aku salah, bila menganggap tak akan ada lagi ujian, kala aku memutuskan bersegera untuk merengkuh kebaikan..

Waktu-waktu memang telah lewat, meninggalkan jejak-jejak yang boleh jadi begitu melekat.

yg punya ebook 'komitmen muslim sejati' fathi yakan, minta dong? butuh cepet, nih

Tuesday, December 6, 2011

Friday, December 2, 2011

-malam sabtu bersama ust basuki abdurrahman-

Dona Windy Astuti

“Iqbal, kalau ada perlu, dipanggil saja, tak usah dicolek”

Bagaimana aku akan melupakan kalimat itu. Enam tahun telah berlalu dari saat pertama kali terucap. Di sebuah pagi yang berangsur siang. Di sebuah kelas yang sebenarnya hiruk. Adalah seorang perempuan yang mengatakannya. Namanya, Dona Windy Astuti.

Bukankah itu kau?

Sadarkah kau, Don, kita dipertemukan oleh sebuah pilihan pada bulatan-bulatan yang kita isi di kolom pilihan jurusan pada kertas pendaftaran SPMB. Diuji oleh soal-soal pilihan ganda pada waktu yang sama dan tempat yang berbeda. Kemudian, bertemu di sebuah kampus pinggiran Surabaya dengan status sebagai mahasiswa. Tapi bukan karena itu, kan? Kau tahu betul akan itu. Bukan karena kita sejurusan sematalah yang membuat kita kemudian lebih jauh mengenal.

Kalimat di atas tadi, adalah kalimat yang kau ucapkan saat berada di sebuah kelas yang bukan ruang kelas jurusan kita. Memang, saat itu bukan kuliah jurusan, hingga orang-orang yang berada di dalamnya juga bukan semuanya adalah teman sejurusan. Sebagai mahasiswa baru, kita, serta yang lain, memang wajib mengikuti kuliah bersama dengan jurusan-jurusan lain. Namanya adalah Tahap Persiapan Bersama. Akan ada berbagai macam jurusan di dalam satu kelasnya, meski tetap saja ada teman sejurusan juga di dalamnya, dalam jumlah sedikit. Ya, ada dua orang saja teman sejurusan dalam kelasku kala itu; kau, dan seorang lagi. Di dalam kelas itulah, kalimat itu terucap.

Adalah menjadi hal biasa jika teman sejurusan lebih cenderung untuk mengelompok sendiri. Duduk berdekatan sebab memungkinkan lebih mudah untuk bertanya satu dan lain hal. Karena lebih dulu akrab. Apalagi, untuk kuliah-kuliah perdana dimana tak banyak anak lain yang lebih diakrabi. Dan itulah kita, yang bertiga kala itu. Sama-sama duduk di baris terdepan. Atau di baris terdepan dan kedua, tapi untuk satu kolom yang sama atau berhimpit. Untuk beberapa pertemuan awal.

Aku ada perlu kala itu. Padamu. Entah, ingin menanyakan hal apa. Aku juga telah lupa. Mungkin tentang masalah angkatan yang memang menjadi begitu runyam bagi seorang mahasiswa baru kala itu. Dan aku tahu, kau, lebih aktif di sana. Hingga akan banyak informasi yang didapat dengan menanyaimu. Kau akan selalu bersenang hati menceritakan semuanya dengan semangat berlipat-lipat.

Aku kemudian mencolekmu dengan sebatang pena. Ya, tentu, aku tahu, aku tak melakukannya dengan tangan telanjangku. Aku tahu kau seorang wanita, dan aku pria. Tak boleh. Apalagi melakukannya pada seorang perempuan yang begitu santun, rapat pula menutup auratnya.

Tapi ternyata, kau tetap terganggu; “Iqbal, lain kali kalau ada perlu, dipanggil saja. Jangan dicolek”. Lihatlah, Don, pemilihan katamu adalah bukti kesantunan itu. Tak ada intonasi menyalahkan, tak ada kata-kata menghakimi. Hingga membuatku malu bahkan untuk memberi sebuah argumen pembenar tindakanku. Hari itu pelajaran pertamaku dimulai.

Di lain hari kau menegur begini :”Iqbal, duduknya bisa agak ke sanaan!”. Itu adalah kalimatmu ketika kau mulai risih dengan jarak duduk kita yang terlalu dekat. Bukan benar-benar maksudku sebenarnya untuk berimpit meski dalam kursi yang berbeda.  Beberapa kali aku bertanya dan kau menjawab. Sering pula kau menanyakan sesuatu dan aku berkewajiban menjelaskannya. Dan tentang kuliah yang hitung-hitungan, maka tak enaklah rasanya jika menjelaskannya tidak dalam satu kertas dimana konsentrasi kita sama-sama di situ. Maka aku pun mungkin sedikit lalai mengindahkan aturan itu. Hingga kalimat itu muncul, yang membuat aku kembali mengatur posisi dudukku sampai batas aman.
Itu adalah dua pelajaran awal yang membekas. Ah, membekas memang bukan melulu tentang sebuah hal besar. Membekas kadang juga tentang persoalan yang terlihat kecil tapi begitu jernih tertuang. Membekas kadang juga tentang sebuah mula. Dan untuk dua hal tersebut, Don, kau adalah seorang guru yang baik untuk membekaskan pelajaran pada muridnya. Kelak aku sangat menyukuri bahwa interaksi awalku di dunia kampus ini diisi oleh orang-orang baik macam kau.

Dua semester usia pertemanan kita dalam ikatan sekelas Tahap Persiapan Bersama itu. Dua kali dalam sepekan, Selasa dan Kamis. Dua mata kuliah tiap kalinya. Memang, kita masih satu jurusan kala itu, tapi memiliki kesamaan dalam sebuah perbedaan macam sejurusan dalam komunitas multi jurusan itu, memberi nilai lebih dalam hubungan pertemanan itu.

Apalagi yang perlu kuceritakan. Kau seorang yang tekun, Don. Jujur sejujur-jujurnya, minimal sepengetahuanku. Tak pernah kulihat kau tolah-toleh saat ujian berlangsung. Orang-orang mungkin mengira kau lancar mengerjakan soal-soal ujian itu hingga tak perlu repot celingukan mencari kesempatan. Tidak! Tidak selalu. Aku tahu jelas hal itu. Setahun sekelas, dengan intensitas bertukar pikiran tentang mata kuliah yang begitu kerap, sedikit banyak memahamkanku, juga mungkin memahamkanmu.

Suatu saat, saat aku tengah menonton nilai akhir mata kuliah Tahap Persiapan Bersama-ku di sebuah tempelan papan pengumuman, kau muncul dengan teman perempuanmu, teman sejurusanku juga. Saat itu aku baru balik dari pulang kampung untuk mengisi liburan semester. Seperti biasa, lepas itu, aku akan tergopoh-gopoh menuju kampus untuk menengok nilai-nilai yang keluar.

Kau menyapaku, membuatku memalingkan muka dan sejenak mengalihkan pandang dari tabel berisi nama-nama dan huruf-huruf di sampingnya. Dengan senyum-senyum kemudian kau berucap, “Nilaimu bagus ya, Bal? Cuma ada tiga orang yang dapat A.”

Aku tersenyum juga kala itu, Don. Tapi pahit. Aku tentu tahu benar, baru saja aku melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Bersanding di namamu dalam tabel nilai itu, sebuah huruf ‘D’. Dan itu artinya kau tak lulus mata kuliah ini. Tapi lihatlah, tak ada kesedihan yang terlalu. Kau justru tersenyum. Kemudian menyampaikan selamat dengan kekhasanmu. Hati siapa yang tak teriris-iris, Don. Ah, yang menggetarkan sebenarnya bukanlah kesedihan itu, tapi kekuatan menghadapi kesedihan itulah yang justru mengoyak-ngoyak nurani. Hari itu kau memberiku pelajaran yang ketiga.

Selanjutnya, kita justru sering berinteraksi dalam wadah organisasi. Dari pertemuan sebatas ruang kuliah menjadi ruang syuro. Dari tentang kuliah menjadi tentang strategi organisasi. Kau masih seperti yang dulu. Masih santun, dengan kalimat yang terpelihara. Jauh dari menyakiti. Hingga tak heran kau menjadi orang yang bisa diterima di banyak golongan. Tak terlalu mengherankan pula jika kemudian kau terlihat dimana-mana. Langkah kakimu memang cepat, dengan gaya berjalan yang selalu terlihat terburu-buru. Kaki-kakimua seakan tak cukup cepat untuk mengakomodasi kehendakmu yang begitu melesat.
Dan waktu, memang benar-benar melesat. Di semester-semester akhir perkuliahan, di sebuah siang, aku terkejut ketika kau tiba-tiba berkata ini dalam sebuah pertemuan yang kebetulanm, “Iqbal, ibunya sakit rematik ya?"

Aku, sambil tersenyum mengiyakan. Sejenak heran darimana kau mengetahuinya, namun secepat kilat tersadarkan kalau info itu pasti kau dapatkan dari membaca blogku. Beberapa waktu lalu aku memang menulis tentang ibu meski tak spesifik tentang penyakit rematik itu.
"Itu, soalnya ibu saya juga pernah. Dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Minum parutan sayur manisa. Yang biasa dibuat sayur itu"

Aku tersenyum lagi. Duh, aku tak tahu energi kebaikan apa yang begitu baik kau simpan. Untuk kau tebarkan kemanfaatannya kepada siapa saja di sekelilingnya. Saat menulisnya, aku sama sekali tak mengharapkan tanggapan tentang solusi mengatasi rematik itu. Tidak! Tapi, lihatlah! Kau menjelmakan tulisan itu sebagai peluang untuk berbagi kemafaatan ke sekitarnya. Berbagi kebaikan. Membuat orang akan senantiasa nyaman membersamaimu.
Dan, melesat. Benar-benar melesat.
 
Hingga 2 Juni 2009 itu. Di suatu pagi. Saat itu aku telah terpisah jauh dari tempat kita dulu pertama kali bertemu. Memang, setelah merantau untuk tunututan kerja, aku tak banyak lagi mengikuti perkembangan teman-teman, termasuk kau, Don.. Yang kutahu, satu semester setelah aku lulus, kau lulus juga. Itu saja. Tak lebih. Tak tahu, atau bahkan tak tahu menahu tentang aktivitasmu setelahnya.

Tapi sms itu, kemudian mengabarkan segalanya:
“Innaalillahi wa innaa ilayhi rojiun”, bukankah itu pembuka untuk sebuah sms pemberitahuan tentang kematian, “telah meninggal teman kita, Dona Windy Astuti, hari ini di jakarta”
Entah apa yang ada di perasaanku kala itu, Don. Sempat terbengong tak percaya. Berharap SMS ini keliru. Berharap SMS ini hanya main-main belaka. Tapi ternyata tidak, Don! SMS lain kemudian datang menyerbu untuk memberitahukan hal yang sama. Maka secepat kilat kemudian aku sign in yahoo messenger, log in Face book. Menyapa teman-teman, mempertanyakan kebenaran.

“Benarkah?”

“Bagaimana bisa?”

“Ceritanya bagaimana?”

Tak ada yang benar-benar tahu dengan pasti, Don. Semuanya serba simpang-siur. Tapi yang pasti, aroma duka menyeruak. Kalimat-kalimat bela sungkawa sontak memenuhi status FB, milist angkatan ramai membicarakan kronologis. Tak jelas, tapi dari keterangan yang patah-patah, kemudian aku mendapatkan kronologis seperti ini:

Kau diterima kerja di jakarta. Kemudian mengikuti orientasi kerja semi militer. Menginap. Saat itu lepas sholat subuh, teman  sekerjamu menjemput ke kamarmu untuk bersiap-siap mengikuti acara, tapi kau mempersilakan temanmu itu untuk duluan. Saat itulah, saat temanmu sudah di luar untuk duluan, terdengar sebuah benda berat jatuh berdebam dari dalam kamar. Saat dilihat, kau sudah ditemukan ambruk di dalam kamarmu.
 
++++++
 
Dan, di sujud itu, beberapa jam setelah kabar itu, aku tergugu. Pertahanan selama beberapa jam itu akhirnya jebol juga. Tak tertahankan lagi. Sungguh, kau terlalu baik. Terlalu banyak hal-hal baik yang kau catatkan. Mengingatmu adalah mengingat kebaikan. Maka, jika air mata ini adalah kesaksian akan kebaikanmu di muka bumi ini, maka aku berdoa, Don. Aku berdoa, semoga itu menjelma menjadi bulir-bulir yang memperberat timbangan kebaikanmu. Semoga.

 

Friday, November 25, 2011

-pengalungan medali-

Sukakah kau melihat prosesi pengalungan medali? Saya suka. Entah itu seagames, asiangames, terlebih olimpiade, saya akan selalu suka menyaksikan detik-detik itu kala medali dikalungkan dan lagu Indonesia raya mulai dikumandangkan seiring merah putih yg perlahan dikibar naik. Ya, atlit Indonesia yang menanglah yang menjadi syarat berlipatnya kesukaan saya melihat prosesi itu. Sebab, ikatan emosional sebagai orang sebangsa, akan membuat saya lebih masuk ke dalam prosesi itu.

Bahkan ketika saya masih kanak-kanak dulu, seusia SD atau bahkan SMP, saya kerap kali berandai-andai bahwa suatu saat saya lah yang bakalan di podium itu, menerima kalungan medali, lalu berdiri takjim menatap merah putih sembari mulut melirihkan Indonesia raya. Lalu, andai-andai saya akan berlanjut dengan andai-andai lain. Yaitu, ketika saaya menerima kalungan medali itu, maka orang-orang terdekat saya, mungkin keluarga, akan menyaksikannya dengan haru, meski hanya lewat tayangan televise. Maka meski hanya sebuah andai-andai, saya tahu, saya akan sangat bahagia saat itu. Terkadang memang, yang paling membahagiakan itu bukan karena kau bangga atas prestasimu, tapi kesadaran bahwa orang-orang terdekatmu, orang-orang yang mencintaimu, akan ikutan banggalah yang menjadi penyebabnya.

Tapi memang, menonton prosesi pengalungan medali itu, adalah saat-saat yang melankolis. Saat kau mencoba masuk ke apa yang kau lihat, saat kau mencoba memaknai yang kau tatap, saat kau menyadari mata atlit itu perlahan berkaca, saat itulah kau akan menemukan dirimu mendongak ke langit-langit ruangan demi mencegah apa yang sudah berkaca itu berlarut-larut. Tapi tak apa. Ada saat ketika itu baik, ada saat ketika itu tak baik. Maka mencoba menempatkannya sesuai koridor dan kadarnya adalah sesuatu yang mesti diupayakan.

Ya, ini tak apa. Saat kau bisa memastikan bahwa apa yang mengaca itu adalah janji, bahwa kau akan melakukan hal dengan capaian yang sama atau bahkan lebih dari apa yang kau lihat, maka itu menjadi tak apa. Tentu saja tak harus lewat saluran dengan yang kau lihat. Akan ada banyak jalannya. Jalan yang lebih dekat dengan kita. Dengan efek membanggakan yang sama, dengan tingkatan membahagiakan orang-terdekat yang tak jauh beda.

Maka yang perlu kita pastikan, menonton prosesi pengalungan medali adalah menonton diri kita sendiri. Menonton kita di masa depan. Kita akan berada di posisi itu. Menjadi pemenang, menjadi juara, atas diri kita sendiri. Meski tidak untuk dikalungi medali, meski tidak melalui seremoni, meski tidak disiarkan televisi. Jika tidak esok, itu pasti esoknya lagi. Pasti.



Kecubung 17
26nop

Disambangi orang tua itu, rumah berantakan langsung rapi..haha

Benar, lebih banyak hal yg tidak kita lakukanlah yg kita sesali. Bukan yg kita lakukan, meski itu sebuah kesalahan.

Saturday, November 19, 2011

-melompat-

Ada saat dimana aku ingin waktu melompat saja. Menghapus beberapa tanggal ke depan untuk kemudian seketika berada di saat yang diingini. Entah tertidur (yang terasa) sejenak, selayaknya ashabul kahfi, untuk kemudian terbangun dengan tanggal yang tertera di kalender telah meloncat sepekan, sebulan, atau hanya beberapa hari saja.

Tapi tidak. Betapa waktu di depan begitu menggelisahkan, betapa bentangan saat-saat yang bakal dilalui terasa bakal begitu memberatkan, tetap saja itu mesti dilalui. Belum ada keajaiban. Tak ada lompatan-lompatan waktu seperti yang kuinginkan.

Sebab itu lah memang jalannya. Waktu itu lah memang yang akan menuakan. Tapi renik-renik hidup yang mengisi tiap satuan waktu itu, masalah-masalah yang terasa memberatkan itu, kala terselesaikan dan terlalui dengan baik, adalah anak tangga menuju kedewasaan. Maka aku harus terus melaluinya, merasainya, menerabasnya, sertakmengenakkan apapun itu. Mengabaikan lintasan-lintasan pikiran untuk berharap waktu meloncat saja sebab itu hanyalah sisi lain kekerdilan diri.


Maka kemudian, ada saat dimana aku khusyuk berdoa, di detik-detik menuju perjuangan. Untuk sebuah penenang, untuk sebuah keyakinan, untuk sebuah pegangan; ‘Ya Robbi, jadikan punggung ini lebih kokoh dari sebelumnya, sehingga akan ringan saja, beban yang begitu berat mulanya”

Demikialnlah. Ini lah aku kini. Tersusun atas jutaan peristiwa, terbentuk dari ribuan hari. Bukanlah manusia kuat memang, sebab beberapa kali masih limbung dihantam peristiwa. Tapi bolehkah aku berkata, bahwa kini aku telah  mampu tersenyum lebar, kala  menghadapi peristiwa yang dulu begitu memberati. Maka semoga saja, itu hasil dari pembelajaran melewati hari-hari.  Yang mematangkan, yang mendewasakan. Hingga akan sampailah di sebuah titik, dimana aku akan mampu tersenyum, tiap kali menghadapi renik-renik hidup, apapun tingkatannya, seberapapun dosisnya. Semoga.



#tulisan sugesti
#sedang galau dalam arti general, bukan spesialisasi

Friday, November 11, 2011

tarbiyatul aulad dalam sebungkus nasi pecel

Tempat itu memang sudah menjadi langganan saya untuk dihampiri tiap paginya. Ketika saya tak puasa, sejak saya memutuskan untuk mewajibkan diri sarapan, saya akan selalu berhenti di depan bangunan sederhana itu untuk menunaikan rutinitas pagi saya. Memarkir motor, lalu saya akan melangkah menuju seorang perempuan yang , ketika saya menghampirinya, lebih sering sibuk membungkus pesanan-pesanan yang memang kerap ia dapatkan. Dengan bungkus daun pisang, ia kemudian mulai melayani saya, menanyai apa lauk yang saya inginkan, untuk kemudian ia akhiri pembungkusan itu dengan mengunci bungkus daun pisang itu dengan potongan lidi di kedua ujungnya.  Bungkusan berpindah ke tangan saya, sepuluh ribu rupiah berpindah ke tangan si ibu penjual.

Ibu itu menjual nasi pecel, tapi bukan tentang itu saya ingin menuliskan ini. Sudah dua harian yang lalu saya ingin menuliskannya, tapi baru sekaranglah kehendak itu terlalu kuat mendesak-desak untuk diledakkan di atas keyboard. Adalah sebuah pemandangan. Ya, adalah sebuah pemandangan yang saya temui ketika saya membeli nasi pecel itu lah yang begitu mengganggu saya hingga saya mesti menuliskan ini.

Dulu-dulunya, televisi berukuran besar itu, yang memang berada di ruangan yang sama dengan dagangan itu digelar, lebih sering menampilkan tayangan televisi macam berita atau program olahraga. Tapi dua-tiga hari ini tidak. Entah kenapa, saya juga tak terlalu tahu. Toh, saya hanya sebentar saja. Paling lama mungkin sepuluh menit kala pelanggan begitu banyaknya. Lainnya, hanya selintasan saja. Lalu pergi. Maka saya tak sampai taraf terlalu jauh seperti menanyakan tentang kenapanya.

Televisi itu sekarang menampilkan game. Entah game apa, yang pasti pukul-pukulan; ada jagoan, ada premannya. Dan seorang bocah kecil, dengan raut yang sepertinya belum sempurna benar terbebas dari aura kasur, tengah khusuk memegangi piranti dimana tombol-tombol yang memungkinkannya untuk mengatur si jagoan yang sedang ia lihat berada. Sekitaran pukul setengah tujuh saat saya berada di kedai nasi pecel itu, dan saya tahu, itu adalah jadwal dimana seorang anak seharusnya sudah sibuk mandi dan mempersiapkan diri untuk menuju ke sekolahnya. Tapi ia tidak.

Ah, terus terang saya juga tak tahu apakah ia memang tak bersekolah. Bukan maksudnya tak bersekolah dalam artian tak bersekolah sama sekali. Saya yakin ia punya sekolah. Maksud saya, mungkin ia sedang masuk siang karena keterbatasan ruang kelas. Mungkin, meski itu sangat kecil untuk kota Bontang ini---saya tak pernah mendengar cerita tentang hal demikian. Tapi pemandangan itu, pemandangan seorang anak tengah sibuk sendiri dengan gamenya di pagi hari dimana pikiran harusnya begitu fresh, adalah pemandangan yang menerbitkan dua hal yang seharusnya bertolakbelakang; miris dan syukur.

Syukur! Entahlah, hal seperti ini kerap datang justru untuk pemandangan sebaliknya. Melihat anak kecil begitu asyik main game itu, membuat saya kemudian melihat diri saya sendiri. Aduh, ternyata benar, apa-apa yang dulu begitu berat kita lakukan, banyak sekali yang kini justru kita syukuri begitunya. Saat seusia anak itu, saya begitu memimpikan punya game watch. Amat menginginkannya hingga ketika saya pergi ke kota, dan mampir di sebuah toko yang menjual game watch ini, saya akan memandangnya lama sembari melirik harganya yang kemudian membuat ciut hati—ah, berapa lama kiranya seratus rupiah yang saya dapatkan tiap berangkat sekolah itu harus saya kumpulkan untuk dapat memboyongnya. Saya memnag tak pernah merengek ke orang tua untuk hal-hal sekunder macam begini.

Waktu berjalan, dan anda bisa menebaknya, game watch itu tak pernah saya miliki. Hingga sampai pada sebuah titik dimana saya sudah tak menginginkan game watch itu lagi. Kemudian, berwaktu-waktu setelah itu, saya menyukuri keadaan itu. Meski dulu terasa berat,  ternyata kini saya malah bersyukur tak pernah kesampaian membeli game watch ini. Saya bersyukur saya tak pernah merengek minta dibelikan. Karena jika itu kesampaian, boleh jadi saya akan seperti bocah yang saya ceritakan di awal. Saya mungkin akan sibuk dengan mainan itu. tak sempat lagi untuk berpanas-panasan di sawah, atau bermain air, atau berlarian di halaman main bentengan sama teman.

Itu lah kemudian yang membuat saya miris. Anak sekecil itu, saat banyak hal menyenagkan lain yang bisa ia lakukan, malah sibuk di depan kotak ajaib sambil main game. Tidak, bukannya saya tidak membolehkannya sama sekali main game. Tapi, ah, itu masih pagi. Hari efektif pula. Apa jadinya jika sebelum berangkat sekolah saja, asupan yang pertama memenuhi otaknya adalah tentang gambar-gambar maya tokoh jagoannya.

Tapi orang tuanya mendiamkannya saja. Itu yang membuat miris. Entah, apakah ia menganggap itu baik-baik saja sebab dengan begitu ia tak perlu banyak mengganggu aktivitasnya melayani pelanggan. Entah, apakah ia menganggap itu bukanlah sebuah persoalan sebab belum ada ilmu apapun pada dirinya yang mempermasalahkan apa yang dilakukan anaknya itu. Entahlah. saya tak berani menduga-duga lebih lanjut. Mungkin ia punya alasan baik untuk hal itu.

Didiklah anakmu, sebab ia akan hidup di jaman yang berbeda dengan jamanmu. Duh, Gusti, benar apa yang disampaikan Ali ra. Jaman kanak-kanak kami tak ada kesenangan main HP, tak ada godaan main game komputer, tak ada begitu banyak acara televisi seperti sekarang. Sedangkan jaman anak-anak kami nanti…….., ah, kami mesti terus belajar untuk itu. Tak pernah henti. Tak pernah selesai. Sembari tak lupa, untuk senantiasa meminta pertolongan, kepada dzat pemilik segala; Kau.
 


 

Thursday, November 10, 2011

Ada tawaran ikut sertifikasi selam. Katanya sih murah. *menggoda

bookaholic : oktober '11

Aku bisa saja menyertakan banyaka kalimat-kalimat baik untuk membuat kalian manggut-manggut untuk kemudian memaklumi. Aku bisa juga membuat daftar kegiatan lain sebagai pembanding kalau akau melakukan hal hebat lain selain hal hebat ini. Tapi tak ada guna. Bahwa berapa banyak buku yang aku baca tiap bulannya, bukan tentang itu hingga aku menulisnya di sini.

Baiklah, ada dua buku yang terselesaikan untuk bulan ini:
  • Living Islam - Herry nurdi
  • 111 Kolom bahasa Kompas --banyak penulis
itu saja. Harap jauh-jauh dari postingan ini, sedang futur (membaca)

Wednesday, November 9, 2011

Tuesday, November 8, 2011

--mengenal--

Jika ada yang bertanya tentang seseorang yang paling anda kenal, kira-kira…siapakah seseorang yang kemudian, dari lisan kita, akan dengan sangat mulus meluncur namanya. Ah, barangkali kemungkinan untuk itu akan banyak. Beberapa mungkin akan menyebut salah satu anggota keluarganya, atau suami/istrinya, atau salah seorang temannya, atau kelompok lingkarannya, atau teman sekamar ngekosnya. Tapi, kalau saya tak salah, sesorang lain mungkin akan kesulutan menyebutkan satu orang pun yang memang paling ia kenal.

Begitupun saya. Jika pertanyaan itu ditujukan ke saya, mungkin saya akan butuh waktu beberapa jenak untuk menggali semuanya dari pikiran saya, untuk kemudian menyebutkan sebuah nama, yang barangkali, meskipun sudah meluncur dari mulut saya, saya tak benar-benar yakin akan kebenarannya. Bagaimanalah, kata mengenal itu belum juga saya pahami standarnya. Karena saya boleh jadi belum benar-benar mengenal diri saya sendiri—ah, bukankah ini kecelakaan? Ketika sebuah hal yang dulu begitu saya yakini, saya sadari tentang bagaimana-bagaimananya, hanya dalam hitungan hari yang tak mencapai dua pekan, saya ragukan kembali adanya. Mungkin ini masalah fluktuasi perasaan, pemikiran, atau apalah, tapi ini juga boleh jadi mengindikasikan tentang ketaktahuan saya tentang apa-apa yang sebenarnya saya ingini dan butuhkan.

Baiklah, lupakan paragraf kedua di atas! Tentang mengenal ini, boleh jadi akan panjang. Ketika kau sudah tahu tentang kegemarannya, tentang makanan favoritnya, tentang warna kesukaannya, atau tentang kesehariannya, apakah itu sudah dikatakan telah mengenal? Atau, ketika kau sudah tahu tentang obsesi-obsesinya, harapan-harapannya, pandangan-pandangannya tentang masa depan, atau orientasi hidupnya, apakah itu juga sudah layak dikatakan telah mengenal? Entahlah! Mungkin iya, mungkin belum. Atau, mungkin dikatakan iya dengan tingkatannya; cukup, lumayan, relatif. Tapi tidak tingkatan ‘benar-benar’.

Tapi memang tak ada yang namanya benar-benar mengenal. Jika kasus ini disematkan pada mengenal makhluk, manusia pula, tentunya tak ada yang namanya ‘benar-benar’, dimana itu menunjukkan sebuah kekomplitan, atau akhir. Tentu saja, sebab manusia bukanlah sebuah makhluk yang statis yang sama sekali tak mengalami perubahan. Di setiap waktunya, akan ada yang berubah dengannya. Entah cara berpikir, pengetahuan, tingkatan iman, atau kebugaran, yang mana akan membentuk sebuah tindakan yang barangkali tidak kita bayangkan akan ia lakukan dua jaman yang lalu.

Bahkan seorang suami, atau istri, butuh sepanjang hayat untuk mengenal pasangannya. Ketika sebuah ikatan pernikahan telah menyatukan mereka, dimana rumah telah menaungi mereka dalam sebuah wadah fisik, dimana waktu telah sama-sama mereka jalani dalam kebersamaan, ternyata kata mengenal itu belum juga berujung pada ‘benar-benar’.  Ada saja hal-hal baru yang bakalan tertemui, yang boleh jadi menjadikan satu sama lain tercengang, kaget, atau yang sejenisnya. Sebab kita memang makhluk yang hidup. Hanya sebuah pemahaman akan keberadaan, akan fungsi masing-masing, akan tujuan kebersamaan, menjadikan kebaruan itu hanyalah sebuah data pengaya dari bank kemengenalan satu sama lain.

Jika seorang pasangan yang sudah menjalani bertahun-tahun kehidupan bersama saja belum juga bisa dikatakan telah benar-benar mengenal, maka apa jadinya kita terhadap seorang teman kuliah, atau rekan kerja, atau teman jalan, yang mana intensitasnya kalah jauh bila dibandingkan dengan sepasangan itu. Ya, tentu saja masih jauh dari kata mengenal. Tapi tidak mustahil juga untuk mencapai taraf ‘cukup mengenal’. Pernah menginap bersama tiga hari berturut-turut, melakukan perjalanan bersama, serta pernah melakukan transaksi ekonomi, adalah pedoman yang bagus untuk standar kemengenalan kita akan seseorang. Sebab ketiga hal tersebut memang telah benar-benar mengurangi potensi kepura-kepiraan kita satu sama lain. Ya, mungkin ‘topeng’ itu belum sepenuhnya lepas, tapi sudah tak terlalu tebal, hingga satu sama lain akan dengan mudah mengintip sedikit wajah.

Siapakah yang lebih dulu mengajak sholat, bagaimanakah cara dia membuka keran air, kaki apa yang ia dahulukan saat masuk toilet, apakah dia terbiasa tak menghabiskan makanan di piringnya, jam berapa ia bangun, apa reaksinya ketika dalam keadaan panik, apa pula yang ia serukan pertama ketika melihat keindahan, bagaimana cara dia menghadapi kondisi diri yang tidak benar-benar dalam keadaan semangat, apa yang lebih sering ia lakukan untuk mengisi kesenggangan, apakah ia selalu menghabiskan air minum dalam segelas air mineral, adalah hal-hal kecil yang barangkali akan secara intens dapat kita amati dari seseorang yang kita ajak melakukan perjalanan dan menginap bersama. Hal-hal kecil mungkin, tapi dengan sedikit kejernihan akan menunjukkan tentang kebesaran. Tentang bagaimana seseorang membuka keran air saat wudhu, apakah lebar-lebar ataukah secukupnya, adalah sebuah fragment yang sedikit banyak akan menunjukkan kepada kita tentang concern seseorang tersebut –tentang lingkungan, tentang kaidah tak berlebihan, tentang keistiqomahannya meneladani nabinya. Begitu juga lainnya.

Begitulah, frase ‘mengenal seseorang’ pada akhirnya berbeda dengan frase lain semisal ‘makan nasi’. Bila makan nasi, kita bisa saja mengatakan ‘sedang makan nasi’ atau ‘telah makan nasi’. Tapi ‘mengenal sesorang’ agaknya tak akan pernah sampai pada taraf ‘telah mengenal’. Sebab itu adalah sebuah proses yang tak akan berkesudahan dan terus-menerus, sebab memang ada variabel waktu sebagai pembentuknya.

Terakhir, sebagai pamungkas jurnal iseng-iseng ini, apakah kau telah mengaku mengenal saya? Bila kau telah menjadi kotak saya sejak awal saya membuat MP ini, dan telah membaca sekian banyak jurnal-jurnal saya yang boleh jadi menyiratkan harapan, obsesi, dan pemikiran-pemikiran saya, mungkin kau akan mengatakan ‘cukup mengenal’. Tapi menurut saya, sepertinya kau sama sekali tak mengenal saya. Kau cukup mengenal ‘mylathief’ mungkin iya, tapi kau cukup mengenal saya sepertinya tidak. Sebab antara saya dan mylathief memang ada pemisah bernama kata-kata. Dan saya, amat mungkin menyembunyikan banyak dibalik kata-kata itu, yang boleh jadi amat busuk. Maka bila kau ingin tahu tentang saya, mungkin kau bisa bertanya pada teman serumah saya, atau teman sekamar ngekos dulu, atau teman tempat membagi resah. Tapi sepertinya itu juga belum cukup. Sangat belum cukup.

Salam!




mylathief itu........

Monday, November 7, 2011

'dekaplah aku lebih erat'

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita tidur saling memunggungi
tapi jiwa berpeluk peluk
senyum mendekap senyum

suatu saat dalam sejarah cinta kita
raga tak lagi saling membutuhkan
hanya jiwa kita sudah lekat menyatu
rindu mengelus rindu

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita hanya mengisi waktu dengan cerita
mengenang dan hanya itu
yang kita punya

suatu saat dalam sejarah cinta kita
kita mengenang masa depan kebersamaan
kemana cinta kan berakhir
di saat tak ada akhir.


Dalam sebuah kesempatan ngobrol pas ramadhan kemarin, Pak Cah, yang kebetulan saat itu diundang sebagai salah satu mubaligh untuk mengisi ceramah tarawih, menukilkan puisi Ust Anis Matta ini sebagai pembanding.  Tak kesemuanya memang, hanya bait pertama dari puisi di atas. Mungkin karena beliau tak hafal juga hingga tak menyebutkan keseluruhan.

Awal mulanya sepertti ini. Entah bagaimana caranya ketika perbincangan antara saya, seorang teman, Pak Cah, dan seorang ustad dari Semarang kala itu kemudian membahas Ust Salim A Fillah. Mulanya membahas tentang keproduktifan penulis muda ini, juga cerita kami yang pernah mengundangnya hadir di kampus, sampai kemudian Pak Cah bercerita tentang beliau yang pernah bertukar pikiran tentang gaya penulisan ust Salim di buku ‘Bahagianya Merayakan Cinta’. Saya tak ingat benar redaksionalnya, tapi pada intinya seperti ini.

“Akh, nanti, ketika antum sudah tua, antum akan tersenyum-senyum sendiri membaca tulisan antum yang sekarang. Karena antum masih muda, masih muda juga usia pernikahannya, bahasa yang antum pakai kebanyakan bahasa fisik; dekaplah, rangkul. Kalau antum sudah dewasa, sudah matang dalam perkawinan, sudah tua, maka akan seperti puisinya anis matta ini; kita tidur saling memunggungi-tapi jiwa erat berpeluk-peluk ”

Hmmm…waktu itu saya kebanyakan mengangguk-angguk membenarkan pernyataan Pak Cah tersebut. Benar, sepanjang ingatan saya membaca buku-bukunya Salim A Fillah yang tentang pernikahan,  judul-judul bab yang mengandung kata aktivitas fisik memang cukup banyak seperti yang diungkapkan pak Cah tersebut. Kalimat yang sebenarnya oke-oke saja sebab nyatanya begitu provokatif buat pembaca muda seperti saya.

Lepas dari itu, saya memang tak memastikannya dengan membuka-buka kembali bukunya ust Salim tersebut. Terlupa. Baru lah beberapa hari kemarin, ketika saya berkesempatan membukanya, saya jadi teringat percakapan dengan Pak Cah tersebut, dan membenarkan apa yang diucapkan beliau. Dekaplah aku lebih erat, itu adalah salah satu bab yang masih saya ingat –saat menuliskan ini, buku ini tidak di samping saya. Dekaplah, sebuah kalimat yang menunjukkan aktivitas fisik.

Entahlah, saya sebenarnya tak terlalu mengerti benar maksud kalimat fisik tersebut. Benar, memang kalimatnya ust Salim mengandung kata kerja yang menunjukkan aktivitas fisik, tapi yang dicontohkan sebagai pembanding yang merupakan kebalikannya, bagi saya lebih kepada maksud tulisannya, bukan bentuk kalimatnya,  tentang sepasangan dalam menjalani harinya lebih dipenuhi oleh interaksi jiwa, tak lagi fisik. Lalu, lepas dari itu, jika tulisan merepresentasikan orangnya, apakah itu berarti orang-orang muda dalam memandang sebuah pernikahan memang yang lumayan banyak dibayangkan adalah aktivitas-aktivitas fisik seperti ini?

Hmmm..bila saya mengambil contoh diri saya sendiri, saya memang kerap kali terkompori ketika melihat sepasangan muda ikhwan-akhwat berjalan mesra dengan saling memegang tangan. Tapi, saya juga terkompori ketika melihat seorang bapak tekun membimbing anaknya memasuki masjid. Bila kasus terkompori pertama lebih karena melihat aktivitas fisik, bolehkah saya sebut kasus terkompori kedua itu lebih kepada aktivitas nonfisik--lebih kepada ke kedalaman? Entahlah! saya juga tak mampu menjawabnya.

Atau, apakah seperti ini? Bila saya membaca buku pernikahan yang ditulis Ust Salim A fillah, efek kompornya memang begitu terasa hingga membuat menggebu untuk menyegerakan, tapi berbeda ketika membaca buku pernikahannya Ust Fauzil Adhim. Membaca bukunya Ust Fauzil, alih-alih mengompori, malah kerap membuat kita berpikir apakah kita memang siap, apakah kualifikasi yang disebutkan itu sudah ada di diri kita. Bila orang yang mulanya tak terlalu meikirkan pernikahan bisa terkompori untuk menikah lepas baca bukunya ust Salim, sepertinya saya tidak terlalu yakin hal yang sama berlaku jika ia membaca bukunya ust fauzil. Apakah karena ust Salim relatif muda sedangkan ust fauzil lebih senior? Ataukah karena sayanya saja yang mengmbil sudut pandang kalangan muda. Atau… Entahlah!

Tapi mungkin memang begitu. Tujuan penulisan bukunya lah yang memang berbeda. Mungkin bukunya ust salim tujuannya lebih untuk mengompori anak-anak muda untuk segera menikah sehingga kalimat fisik lah yang dipakai—itu pun jika pernyataan kalau anak muda lebih cenderung kepada hal-hal fisik itu memang benar. Sedangkan bukunya ust Fauzil tidak. Atau tidak sepenuhnya. Lebih kepada pemahaman-pemahaman dan sejenisnya.

Terakhir, tulisan ini hanyalah gathuk-gathukan saya saja. Jangan terlalu diambil hati. Bila ada benarnya, itu tentu saja datangnya dari Allah. Semoga yang belum menikah segera menemukan jodohnya, dan semoga yang sudah menikah dilanggengkan ikatannya, diberkahi kebersamaannya.

Wallahu a’lam




#tulisan ini, saya sadari sendiri, sepertinya permukaan sekali, tak tuntas. Tapi tak apalah. Mumpung saya sedang mau mosting tulisan macam ini.






Tuesday, November 1, 2011

(catatan perjalanan) : akhir

Entah mengapa suara peluit mengawali keberangkatan sebuah kereta. Serupa lengkingan uap panas yang meniup-niup celah sempit pada teko saat tekanannya menyamai tekanan sekitar--mendidih. Adakah memang perlu suara-suara untuk menandai keberangkatan? Gerbong yg perlahan melaju dan uap air yg sedikit demi sedikit membebaskan diri dari liquidanya.

Tapi mengapa mesti senyap mulanya? Stasiun masih di depan dan waktu menuju ke sana kita reka-reka dari gerak tak stabil jarum pengukur kecepatan. 'cepat, cepat! Sudah menjelang jam tujuh'. Tapi tak ada yg mengucap itu, kan? Seolah keterlambatan bukan sebuah soal sebab kita menjadi bebas untuk tak patuh pada lengkingan peluit penjaga stasiun.

Apakah kita memang menunda berkata-kata untuk diledakkan di garis batas yg dengan tak bergairah kini kita kejar? Kalimat-kalimat seloroh mungkin telah terpencil sebab kemunculannya hanya kian menambah pahit keadaan. Roda-rodapun berputar dalam bimbang seolah semuanya telah bermufakat menggagalkan sebuah rencana yang niscaya. Kita bahkan tak tahu apakah kita benar-benar sedang menginginkan untuk sampai.

Ah, pada akhirnya seorang dari kita berlari. Meninggalkan pintu mobil yg masih terbuka, membiarkan seorang lagi berbesar hati menutupnya. Lalu lari juga. Hai, mengapa semakin kita buat dramatis ini semua? Tidakkah ini harusnya berlangsung lambat, seperti fragmen perpisahan baik-baik dalam layar kaca.

Kereta belum juga berangkat, kita tahu benar hal itu. Belum ada tiupan peluit, maka harusnya kita tak perlu berlari. Tapi kita sadar, kita belum membeli sebuah hak untuk dua tempat pada gerbong yang telah berjajar.

Lalu, adakah sebuah kebodohan, atau keseruan yang lain, kala mbak penjaga loket menggeleng. Menabrak-nabrakkan jemari lentiknya pada keyboard, lalu sekali lagi menggeleng. Aha, aku tak tahu dengan pasti apakah kita menyesal atau terbahak menemukan fakta ini. Mungkin kita perlu bertanya pada diri masing-masing, adakah yang telah mendoa agar ini menjadi nyata.

Kita beringsut. Membiarkan putaran jarum jam menjatuhkan vonisnya. Memandang tabel keberangkatan, yang kemudian kita tahu, sama sekali tak memberikan jawaban. Seseorang kemudian berbisik, mestikah ini kita gagalkan, lalu kita pacu motor ke selatan, seperti rencana di sebuah pagi, di antara debur ombak karimunjawa?

Tapi mbak penjaga kemudian tersenyum. Ini kode, kan? Kode untuk sebuah kepastian buat hamba yang dengan sepenuh hati bersabar. Hingga meledaklah kita, hingga berlarilah kita. Aha, kita jadi bingung sendiri, apa yang sebenarnya sungguh-sungguh kita maui.

Ransel telah ditempatkan, tempat duduk diduduki, gerbong belum juga ada tanda-tanda diberangkatkan, saat kita tersadarkan, seseorang masih di luar. Ah, kita terlalu kerap membaca dan menulis cerita, bahwa keberangkatan itu mesti ada yang terpandang sedang tertinggal di luar lalu yang lain melambai-lambai di balik kaca dalam gerbong yang melaju. Hinga saat menyadari tak ada sesiapa di luar kereta sebab masih di luar sana, menjadi kuranglah rasanya.

'aku nggak boleh masuk'. Pada akhirnya kalimat itu yang berbicara. Entahlah, kemudian tak ada yang menyalahkan tentang kenapa ia tak sedikit saja berbohong kalau sedang mengejar kereta. Tak ada, tak perlu. Kita sadar. Kita akhiri saja hanya dengan suara, lalu huruf-huruf. Hingga lengkingan peluit meningkahi suasana. Lalu.... Selamat tinggal, jogja!


-di sebuah kursi bus yang bergerak menuju surabaya-

Kulit lengan akhire podo ngglodhoki

(catatan perjalanan) ;infiltrasi budaya

Di sebuah kolom surat kabar, beberapa waktu sebelum jembatan suramadu diresmikan, saya pernah membaca tentang kekhawatiran penulis kolom tersebut tentang serbuan moderenitas ke Madura Surabaya secara tak terbendung pasca diresmikannya jembatan tersebut. Bukan tentang moderenitasnya yang benar-benar dikhawatirkan si penulis, tapi kesiapan penduduk local tersebut menghadapinyalah yang ia resahkan. Ia membayangkan, bagaimana jadinya penduduk yang lebih banyak hidup dalam kesederhanaan dan keluguan tersebut, tiba-tiba dibanjiri gaya hidup modern yang dibawa orang-orang yang melintas suramadu. Adanya Suramadu, mau tak mau, menjadikan pertukaran budaya itu berlangsung jauh lebih cepat dan massif, yang boleh jadi tak terkontrol. Apabila salah satu pihak belum siap, bisa tak baik akibatnya.

Kemarin, pertanyaan yang sama menyentil pikiran saya ketika saya telah resmi bercokol di bumi karimunja jawa untuk beberapa hari ke depan. Melihat keseharian orang-orang local, melihat tingkah pola anak-anaknya, lalu melihat para pendatang yang tak ada hentinya, pikiran itu datang dengan sendirinya; apa saja kiranya yang mereka serap dari para pendatang ini. Terbiasa dengan pergaulan itu-itu saja, dengan budaya itu-itu saja, terpisah sejarak 6 jam perjalanan laut dari kota Jepara, apakah yang kemudian berubah drastis pada kehidupan mereka ketika dua tahun belakangan ini, pulau tempat mereka tinggal tiba-tiba ramai diperbincangkan di komunitas backpacker internet untuk kemudian ramai-ramai jadi tujuan wisata orang-orang dari penjuru negeri dengan berbagai budayanya.

(sebagian dari) mereka mungkin memetik keuntungan dari itu. Kamar-kamar kemudian mereka sewakan untuk dijadikan tempat menginap para pendatang. Meski untuk itu, mereka harus mengorbankan diri dengan tidur di pojokan dapur seranjang berempat, tapi setidaknya ada uang tambahan sebagai penyambung hidup. Beberapa juga bekerja menjadi pramu wisata, beberapa mendirikan kios-kios penjualan cinderamata. Ekonomi menjadi tergerakkan. Tapi, ada sesuatu, pasti, yang perlahan-lahan tergeser. Masih jelas tergambar, di dermaga itu, ketika seorang pria local paruh baya menatap nanar dengan jakun naik turun ke sebuah objek. Saya bahkan tak perlu memastikan ke arah manakah sorot mata itu tertuju untuk menjadi tahu apa kiranya yang sedang ia pandang.

Selalu ada baik-buruknya memang. Keadaan semacam ini, memang selalu menjelma sebagai pisau bermata dua. Maka semoga saja, mereka, atau mungkin pemerintah, tak terlalu sibuk mengurusi satu mata yang terlihat menggiurkan, sehingga menjadi abai terhadap satu mata yang membinasakan. Sehingga menjadi seimbang—tak timpang.

Kabar baiknya memang ini; berduyun-duyunnya pelancong yang mengunjungi pulau ini, mau tak mau menyadarkan pemerintah setempat, bahwa pulau ini ada, dan juga bernilai. Sehingga kemudian fasilitas untuk mendukung itu dibangun. Pembangunan fisik terlihat di sana-sini. Maka semoga, seperti halnya harapan tentang seimbangnya mengurus dua mata pisau itu, mereka juga masih sempat untuk pembangunan karakter masyarakat, pengokohan mental, juga pemantapan keagamaannya. Maka jika tidak, beralasankah kekhawatiran ini? Jika panggilan sholat dari corong pengeras suara musholla yang bertebaran di seantero kampung ini, hanya akan berbalas satu dua langkah tertatih milik orang-orang renta produk Karimun Jawa purba. Terlalu berlebihan mungkin ini cerita, tapi bukan tak mungkin untuk menjadi nyata.

Monday, October 31, 2011

(catatan perjalanan) : samsung es75

“jodohnya membaca adalah menuis, jodohnya traveling adalah fotografi”

Sudah jauh-jauh hari sebenarnya saya pingin punya kamera. Tidak muluk-muluk kamera SLR, sih, toh saya masih amatiran. Cukup kamera saku dengan kualitas yang lumayan. Ada yang kurang saja ketika jalan-jalan, nemu sesuatu yang menarik untuk diabadikan dalam bentuk gambar, eh, ternyata tak punya kamera. Keinginan itu, semakin memuncak kala saya tahu, kamera teman serumah saya, yang biasanya saya sabotase untuk dibawa pergi-pergi, tak lagi ada di tangannya karena diminta ayahnya.

Maka kemudian saya sedikit galau dengan berburu kamera ini via internet. Bayangkan, mana bisa pergi ke sebuah pulau yang begitu indah kala dilihat dalam album foto di internet, tanpa dilengkapi dengan kamera yang bisa digunakan untuk mengabadikan hal yang sama seperti yang saya lihat tersebut. Maka saya kemudian mencari-cari info tentang standar kebagusan sebuah kamera saku, mencari-cari juga peringkat kamera saku ini dari berbagai versi, sampai bertanya langsung kepada teman yang kebetulan menggeluti dunia fotografi. Saya juga mencari-cari kamera ini dari situs penjualan barang jenis ini, bhinneka.com. Sempat terpikirkan untuk membeli saja via internet mengingat tak ada waktu lagi untuk beli via off line –di Bontang, tak terlalu leluasa beli barang sejenis ini. Tapi kemudian saya ragu, apa iya nanti barangnya bakalan sampai di rumah ketika saya belum berangkat ke Jawa. Kalau tidak, bakalan berantakan lah semuanya. Terpikirkan juga sebenarnya untuk mengirimkan kamera pembelian itu ke alamat teman di Jogja yang akan jadi rekan perjalanan ke Karimun Jawa. Pastinya bakalan lebih cepat dan kemungkinan untuk tak sampai ketika kami akan berangkat semakin mengecil. Namun lagi-lagi saya urungkan niat itu.

“Ada, di Jogja Tronik. Letaknya juga nggak jauh dari Jogokariyan”, jawaban ini lah yang setidaknya menenangkan saya masalah kamera ini. Kalimat tersebut adalah jawaban dari calon rekan perjalanan asal jogja atas pertanyaan saya apakah di jogja ada pusat penjualan kamera ini. Sebenarnya, sebelumnya juga, saya sudah menanyai dua calon rekan perjalanan saya apakah mereka berdua punya kamera digital. Keduanya menjawab iya, tapi saya kok merasa tak enak saja kalau tak membawa sendiri –ketakenakan yang di kemudian hari ternyata saya sadari tepat adanya 

Samsung ES75, itulah kemudian kamera yang saya dapat. Bukan atas rekomendasi seorang teman,bukan pula atas pengetahuan saya tentang kebagusan kamera, tapi hanya atas tanya jawab saya dengan si penjual kamera. Keputusan yang semoga saja tak terlalu buruk.

Bersenjata kamera baru itulah kemudian saya menjalani 4 hari 3 malam di karimun jawa. Tanpa bekal ilmu fotografi yang mumpuni, tanpa daasar pengalaman memotret yang kerap—sebab ini lah kali pertama saya punya kamera. Hanya bermodalkan ilmu sepertinya; sepertinya dalam sudut ini bagus, sepertinya kalo sambil tengkurap motonya oke, sepertinya momen ini bagus kalau diabadikan, sepertinya, sepertinya, dan sepertinya. Mungkin ternyata hasilnya ada yang jelek, lebih banyak yang biasa saja, tapi yang Alhamdulillah banget, ada beberapa di antaranya masuk kategori bagus—setidaknya menurutku dan orang-orang yang sudah melihatnya.

Begitulah, memiliki kamera, membuat yang terlintas tiap kali melihat sesuatu yang menarik adalah ini; ‘ah, kayake kalau diabadikan foto bagus, nih!’. Bagus juga, sih, minimal menurut saya. Sebab hal itu membuat kita lebih respek ke keadaan sekitar, lebih ‘memandang’ sekitaran. Bila dulu yang sering terpikir adalah ini, ‘ah, bagus juga kalau ditulis, nih!’, maka setidaknya kali ini memiliki pesaing dalam percaturan percikan-percikan pemikiran yang mengeremuni saya.

Terakhir, sebelum renik-renik perjalanan ini mesti diakhiri, jika anda merencanakan membawa kamera selama perjalanan, apalagi kamera yang cukup bagus, pesan moralnya adalah, pilihlah rekan perjalanan yang tidak terlalu hobi difoto. Jika tidak, niscaya kesempatan anda memfoto hal-hal menarik disekitaran, bakal tersita banyak untuk memenuhi keinginan-keinginan tak terbendung mereka. Percayalah! Sebab saya sudah mengalaminya .





(mungkin masih bersambung. Semakin menuju kembali ke Bontang)

Aih, jd beneran, ya, kalau lusa sudah harus balik ke bontang? *efekcutilama*

(catatan perjalanan) : Sepanjang Jogja-Jepara

“Yang kusuka dari sebuah perjalanan adalah aku tak perlu melakukan hal lain selain berpikir”

Kalimat itu bahkan baru terbaca ketika sepertinya aku –dan juga kami- telah memasuki akhir dari perjalanan. Ditulis oleh rekan perjalanan yang ketika beberapa kali aku tersadar dari tertidur, dalam kegelapan yang melingkupi kendaraan, sepertinya masih terjaga. Entah sepanjang perjalanan ia memang terjaga atau entah kebetulan pas aku terjaga ia terjaga.

Apakah yang kau bayangkan tentang perjalanan di dini hari? Aku sebenrnya sudah tak terlalu antusias membayangkannya. Menerobos kegelapan malam, terlonjak-lonjak di atas kendaraan yang melaju, serta dibuat pening oleh medan yang begitu berkelok-kelok, adalah sebuah keseringan tiap kali aku keluar dari Bontang untuk mengejar pesawat pagi dari Sepinggan Balikpapan. Dan tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain…,ya, tidur. Kalau tidak tidur, ya, menidurkan diri. Atau tertidurkan. Sebab akhir-akhir ini, aku sudah kapok dibuat habis isi perut sebab mabuk perjalanan. Belajar dari itu, terutama untuk perjalanan dinihri, setengah jam sebelum berangkat, aku kemudian selalu minum pil anti mabuk perjalanan. Maka kau sudah tahu konsekuensi dari yang kulakukan itu, kepala jadi terasa berat dan akan dengan mudah tertidur. Cara kerja pil anti mabuk ini sebenarnya memanipulasi saja, menurutku.

Maka aku tak akan sempat berpikir lagi. Beberapa saat lepas dari Bontang, aku mungkin sudah tak terlalu nyambung saat diajak ngobrol. Untuk kemudian sama sekali tak nyambung –benar-benar tertidur. Aku kemudian akan terbangun ketika jungkalan begitu keras pertanda lubang lebih besar menghadang, atauakibat rem mendadak akibat tikungan tajam. Begitu saja. Hingga subuh hari menjelang, mobil sempurna memasuki pelataran bandara.

Tapi aku pernah merasakan saat-saat dimana perjalanan adalah keseharianku, dimana berpikir, adalah paket tak terpisahkan darinya. Saat itu, aku paling suka memilih tempat duduk paling belakang di pojok kiri dari angkutan jenis colt atau elf itu. Mendekati jendela, sekaligus menjauhi keramaian penumpang yang seringkali terpusat di tempat duduk sekitar pintu. Itu terjadi di masa-masa SMA, 13 km jarak sekolahku dari rumah. Kau tahu, di masa-masa itu, tak ada kesenangan lain selain kesenangan membiarkan pikiran mengembara untuk menemukan jodohnya. Tak ada masa-masa up date status, tak ada juga saat-saat utak-atik hp untuk melihati sms. Yang ada, mungkin waktu khusyuk memintal kata –waktu SMA aku senang bikin puisi. Atau kalau sedang tidak malas, murajaah bacaan yang aku hafal. Atau menerawang saja. Tiga tahun, seperti itu. Pulang dan pergi. Kecuali saat aku mendapatkan teman perjalanan hingga angkutan tiba di gang menuju rumah.

Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dan yang sebelumnya, itu terjadi sepanjang Bontang-Balikpapan. Sedang ini adalah tentang kekinian, apa yang terjadi hari itu, antara jogja-jepara. Bertolak dari Godean sekitar pukul 11 malam, duduk di deret paling belakang, apalagi yang bisa dilakukan? Mencoba tidur. Ya, tetap itu saja. Aku sadar, esok masih ada perjalanan yang tak kalah panjang. Aku harus bugar, aku harus tetap sehat.

Aku bahkan tak tahu kota-kota apa yang kulewati. Biasanya, sepanjang perjalanan seperti itu, aku akan melongokkan pandangan ke luar untuk sekedar mencoba mencari papan nama yang mencantumkan kota yang kulewati itu. Setidaknya aku bakal tahu jalur yang kulewati. Suatu saat, itu akan berguna. Suatu sat yang entah.

Entah sudah berapa kali kepalaku terantuk bodi mobil, sebab jalanan yang bergelombang atau pengemudi yang mengerem mendadak. Untungnya, aku menguasai deret terbelakang, sehingga sekeras apapun goncangan terasakan oleh penumpang deret terbelakang, aku setidaknya masih bersyukur bisa merebahkan badan –toh, itu juga pilihanku. Tapi satu keadaan yang jelas-jelas menolong, yang membuat perjalanan itu menjadi berlipat menariknya, adalah fakta bahwa setelah akhir dari perjalanan lima jam menembus malam ini, aku akan sampai di sebuah tempat, dimana dari tempat itu lah aku akan bertolak menuju ke sebuah pulau yang telah merampas hari-hariku belakangan ini tentang bayangan keindahannya. Kau pasti tahu, segala kesusahan untuk menuju keindahan, keindahan juga.

Aku terus tertidur, meski sama sekali tak bisa dikatakan nyenyak. Hingga aku rasakan mobil terhenti. Seingatku, lima dari enam penumpangnya kemudian turun untuk ke toilet, termasuk aku. Selain kami bertiga, ada tiga penumpang lain memang yang ikut serta travel ini. Seperti kami, mereka juga akan pergi ke Karimun Jawa. Hanya saja memakai jasa tour wisata yang berbeda dengan kami.

Dua rekan perjalananku, yang mulanya hanya kukenal lewat jejaring MP, turun terlebh dulu. Baru kemudian aku. Mobil ini berhenti di sebuah SPBU, entah dimana. Aku juga belum tertarik untuk mencari-cari nama tempat itu. Lebih tertarik untuk segera menjangkau toilet.

Aku sudah selesai dari keperluanku di toilet ketika penumpang perempuan sepertinya masih antri di toilet perempuan. Kemudian memilih duduk-duduk di luar. Agaknya kurang dari sejam lagi sudah masuk waktu subuh.

“berapa lama lagi, mas?”, tanyakau pada pengemudi travel ketika tiba di depanku.

“ini sudah sampai. Hanya saja ini Jepara Kota”.

Tujuan kami semua memang Pelabuhan Kartini jepara. Dan sepertinya, merujuk jawaban si pengemudi, itu berada di pinggiran kota. Entahlah.

Aku kemudian memilih tak melanjutkan percakapan. Mengeluarkan HP, membuka opera mini, terhubung ke MP. Kemudian menemukan qn yang aku tulis di awal tulisan ini. Tersenyum. Sejauh ini, kalau tak salah, ini lah qn pertama yang ditulis oleh salah satu dari kami bertiga terkait perjalanan ini. Tapi aku tak mengomentari qn itu kala itu.

Tak butuh waktu lama, beberapa saat kemudian mobil kembali melaju. Lalu sampai. Sepertinya, adzan subuh belum juga berkumandang.



(masih bersambung. Sepertinya serial catatan perjalanan ini lebih banyak berisi renik-renik perjalanan, tak banyak kronologis atau info yang menjelaskan. Catatan sejenis, serta foto-fotonya, ada di rekan perjalanan saya. Sayangnya saya sedang on line versi mobile sehingga tak bisa memberikan tautannya. Tapi ID mereka malambulanbiru dan keluargabahgia. Silakan dicari di postingan terbaru mereka)

Sunday, October 30, 2011

(catatan perjalanan): Di Lereng Merapi

Mungkin ini lah memang beda daerah pesisir dan pegunungan. Maka ketika beberapa hari berikutnya seorang rekan perjalanan bergumam tentang keadaan pulau karimun dengan kalimat ‘subhanallah, ya, di sini. Siapa kira-kira dainya’, saya menyahutinya dengan, ‘memang begini kalau daerah pesisir. Dulu syiar islam lebih sering lewat laut’. Sebab yang saya tahu, memang kebanyakan daerah pesisir, meski itu hanya pulau kecil terpencil, kultur islamnya masih sangat kental. Pulau Gilli di probolinggo, serta pulau Masalembu di utara Madura adalah contoh konkritnya. Berbeda dengan daerah pegunungan, lebih sering islamnya samar-samar hingga mudah digoncangkan. Daerah lereng gunung Bromo adalah contohnya, selain, tentu saja, merapi.

Ya, merapi. Setelah hanya bisa menyeksamainya lewat berita di televise, atau membacanya via internet, akhirnya berkesempatan juga saya mengunjunginya, mesi tidak secara keseluruhan. Adalah Pak Joko Kadir, tokoh utama dibalik pengalaman pertama saya ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, siang itu saya masih lelah. Membayangkan untuk rebahan sejenak sebagai pengganti waktu tidur semalaman yang hanya dihabiskan dengan terjungkal-jungkal di kendaraan, sebenarnya opsi menarik, tapi ajakan untuk melihat pembangunan salah satu masjid di merapi, ternyata jauh lebih menarik.

Masjid yang saya kunjungi berada di desa nduwet. Daerah Merapi pertengahan, belum sampai ke atas, begitu penjelasan pak Joko. Rencanya, masih lanjut beliau, masjid ini bakal menjadi base camp apabila terjadi apa-apa di atas. Selain tentunya sebagai pusat syiar islam di sana.

Tidak sampai lama waktu saya habiskan di sana. Sebab pukul satu siang, ada kewajiban lain yang mesti ditunaikan; menghadiri pernikahan teman di Auditorium UNY. Maka ba’da sholat dhuhur berjamaah di sebuah ruangan yang difungsikan sebagai masjid pengganti, meluncur turunlah kami semua.

Tapi pengalaman yang lebih berkesan tentang Merapi justru datang keesokan harinya. Bermula di waktu Kajian Ahad pagi Masjid Jogokariyan. Saya ikut, meski tak berada di ruang utama. Kang Puji pengisinya, satu dari sekian dai yanbg sering diundang ke Bontang. Mungkin, karena melihat wajah saya yang asing, di akhir-akhir kajian tersebut, seseorang yang duduk di dekat saya menanyai nama saya dan asal. “iqbal, Bontang”, begitu jawaban versi singkatnya, yang tentu saja tak sependek itu sewaktu dialog persisnya. Dan menjadi antusiaslah saya ketika kemudian si lelaki yang duduk tak jauh dari saya itu menyebutkan seorang kenalan yang ia sebut sebagai temannya yang juga dari Bontang –yang secara kebetulan yang tak kebetulan, adalah mantan teman sekantor saya. Maka saya pun balik bertanya nama. “Fani”. “Fani Pro-U?”. Ada anggukan. Oh my Rabb, ini pasti bukan kebetulan, ini lah ternyata orang yang selama ini namanya sering tertulis di buku-buku pro-u yang say abaca, yang sewaktu kuliah pernah saya hubungi terkait bedah buku Salim A Fillah, serta yang sebulanan yang lalu membuat saya sedikit terkejut melihat namanya tercantum juga di buku tamu mess mubaligh masjig Baiturrahman Bontang.

“nanti kut saja ke Merapi. Sama Kang Puji juga. Melakukan pembinaan di sana. Kita sedang membuat Pesantren Masyarakat Merapi-Nerbabu”, pada akhirnya, tawaran ini lah yang paling saya suka dari bagian ini. Membuat saya punya kegiatan di ahad pagi ini.

Begitulah. Itulah awal yang membuat saya sedikit banyak mengerti kehidupan orang lereng merapi. Sebab ternyata, selain melakukan kunjungan ke pesantren yang sedang dibangun, tujuan kedatangan ke merapi kala itu adalah juga untuk mencarai sapi kurban di penduduk local yang nantinya untuk disembelih pas hari kurban di desa merapi juga. Ditemani Hafidz, seorang Dai muda yang ditugasi mengajar di sana, kami kemudian mengunjungi rumah-rumah penduduk yang sekiranya memiliki sapi yang mau dijual dan memenuhi syarat untuk dijadikan hewan kurban. Dari situ lah kemudian saya tahu tentang begitu ramahnya oraang-orang lereng merapi itu, dalam kesederhanaannyaa, mempersilakan kami untuk berkunjung ke rumahnya. “di sini, sarapan bisa tiga kali”, begitu kata hafidz membisiki saya. Dan benar saja, belum lewat satu jam kami dijamu makan siang oleh salah satu penduduk yang sepertinya menjadi kyainya dusun tersebut, semeja santap siang sudah menunggu kami di persinggahan berikutnya. Benar-benar keramahan khas orang kampung yang bahkan sudah sulit ditemui dikampung-kampung masa kini.

Tujuan terakhir kami kemudian adalah lokasi pembangunan Pesantren Masyarakat Merapi-Merbabu. Di sana, seperti yang dijelaskan oleh Kang fani, rencananya bakal dibina penduduk local merapi yang selanjutnya bertugas untuk menjadi dai di daerah asalnya. “Kalau mengandalkan dai dari kita di setiap desa rasanya berat. Cara ini lebih efektif”, kira-kira begitu beliau menjelaskan.Sungguh, sebuah ide besar yang hanya dimiliki oleh orang-orang besar.

Menjelang sore, mobil yang kami tumpangi pada akhirnya meluncur turun. Membawa serta cerita yang memperkaya benak. Malam harinya nanti, pengalaman lain yang tak kalah menggairahkan,dalaam hitungan jam, bakal segera dipentaskan; karimunjawa.

Seperti tak sabar saja menantinya.




(bersambung—silakan baca-baca catper sebelumnya; edisi di Bandara dan masjid jogokariyan)

Saturday, October 29, 2011

Leyeh-leyeh di masjid kampus. Menelusuri jejakjejak masa kuliah..

(catatan perjalanan) : Di Masjid Jogokariyan

Pertama, saya ingin menegaskan, bahwa bukan karena perkataan seorang bapak-bapak rekan kerja waktu acara perjalanan dinas beberapa pekan sebelumnya lah yang membuat saya memutuskan untuk melakukan perjalanan sebagai pengisi cuti tahunan kali ini. Bukan! Sama sekali bukan. Meskipun saya sempat merenungkan perkataannya dan membenarkan sebagian isinya, keputusan saya kali ini untuk lebih memilih jalan-jalan terlebih dulu sebelum pulang adalah sebuah keputusan independent yang terbebas dari pengaruh ucapan bapak tersebut. Maka, karena independensinya, insyaAllah saya tahu betul implikasi dari pilihan saya kali ini.

“Mas Iqbal, mumpung masih muda dan belum berkeluarga, kalau ngambil cuti, jangan dipakai untuk pulang semua. Sebentar saja pulang itu. Setelah itu pergi kemana gitu. Jalan-jalan ke kota lain. Nanti kalau sudah berkeluarga bakal repot dan nggak sempat lagi”, kira-kira, begitu lah petuah si bapak. Ada benar dan tidak benarnya, menurut saya. Memang, terlalu lama di rumah, kadang tak bagus juga. Seperlunya saja. Birul walidain, memenuhi rindu, menunaikan kewajiban, itu saja. Bila selesai, ya sudah. Maka memlih melakukan perjalanan yang mengayakan sebagai pengganti sebagiannya, adalah pilihan yang sungguh-singguh layak untuk dipertimbangkan. Mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi, bagi saya, adalah sebuah cara untuk menyegarkan kembali pikiran dengan ide-ide baru yang tak terlintas sebelumnya.

Tapi saya tak setuju kalau faktor masih muda dan belum berkeluarga sebagai alasannya. Tidak! Janganlah alasan itu jadi pilihannya. Sebab itu seolah, jika sudah tak lagi muda dan juga berkeluarga, menjadi sulit dan tidak asyik lah jalan-jalan itu untuk dilakukan. Padahal, lagi-lagi menurut saya yang tak berpengalaman ini, bukankah tak begitu seharusnya. Bahkan sepertinya malah lebih asyik. Bagi kalian yang pengantin baru, saya sarankan untuk melakukan perjalanan ini sebagai bulan madu. Tapi jangan pilih paket-paket eksklusif yang begitu memudahkan. Pilihlah paket-paket setengah mbolang. InsyaAllah bakal jauh lebih berkesan. Sebab bagi saya, jauh lebih romantis sepasang petani tua yang makan nasi jagung bareng di gubuk sawahnya, daripada sepasang muda-mudi duduk bercengkerama di beranda vila mewahnya.

Maka begitulah. Hari itu, dengan diantar teman yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, saya meluncur menuju Masjid Jogokariyan. Berencana menginap sehari di sana dan melewatkan fasilitas penginapan yang disediakan teman kerja yang pernikahannya rencananya akan saya hadiri. Masjid Jogokariyan ini memang telah mengundang minat saya untuk mengunjunginya, setelah seorang jamaah masjid di Bontang pernah menceritakan kesannya setelah mengunjungi masjid ini. Selain, tentu saja, masjid ini sering dibahas di buku-buku serta pembahasan di internet.

“ustad, saya sudah di Jogja. InsyaAllah hari ini menjuju Jogokariyan”, begitu sms saya ke ustad Jazir, ketua takmir masjid jogokariyan, ketika kami masih dalam perjalanan.

“ya, langsung saja menuju jogokariyan”, begitu jawab beliau singkat.

Memang, beberapa hari sebelumnya, dengan dibantu seorang jamaah masjid Bontang yang saya ceritakan sebelumnya, saya sudah mengonfirmasikan rencana kedatangan saya ini ke Ustad Jazir. Sedikit banyak, ikatan antara Bontang dan Ustad jazir ini cukup erat mengingat seringnya beliau diundang ke bontang, terutama pada saat bulan ramadhan.

Sesampai di Jogokariyan, kami bertiga sempat celingak-celinguk mencari seorang yang berkompeten yang bisa ditanyai serta diinformasii mengenai kedatangan saya. Tapi kosong. Hanya ada ibu-ibu yang sedang main pingpong di halaman masjid. Saya kemudian meraih ponsel dan memencet nomor HP ustad Jazir. Untung bagi saya, ternyata ustad Jazir ini ternyata yang berada di mobil yang baru saja memasuki halaman masjid. Saya pun segera menghampirinya.

Beliau kemudian membuka sebuah ruang dan mempersilakna saya untuk masuk. Sambil duduk dan mempersilakan saya duduk juga, beliau kemudian menghubungi seseorang, yang dari percakapannya, yang bakalan mengurusi saya.

“Sebentar lagi ada acara ke merapi juga. Melihat masjid yang kita bangun di sana. Ikut saja!”

Kalau boleh jujur, sebenarnya yang saya rencanakan ketika sudah sampai di masjid jogokariyan ini adalah istirahat dulu sampai dhuhur oleh sebab semalaman hanya bisa istirahat terguncang-guncang dalam perjalanan darat Bontang-Balikpapan. Sebab setelah duhurnya, saya mesti menghadiri pernikahan seorang teman kerja--hal yang menjadi alasan utama saya ke Jogja ini. Tapi tawaran ke merapi ini, tentu saja adalah tawaran yang terlalu menarik untuk tidak saya iyakan. Maka jadinya kalimat ini lah yang saya utarakan,”sampai jamberapa itu, ya, ustad? Soalnya jam satu harus menghadiri nikahan teman”

“ya, nanti bias dikomunikasikan langsung saja ke bapaknya yang pergi”

Saya hanya manggut-manggut. Sampai kemudian seorang bapak memasuki ruangan. Beliaulah yang ternyata bakal mengantarkan saya menuju ke kamar yang rencananya akan saya tempati. Sembari mengikuti si bapak, saya kemudian memberi kode ke teman yang mengantar kalau semuanya sudah oke dan saya bisa ditinggal. Entahlah, saya begitu bersemangat kala itu. Mungkin, karena ba’da mandi-mandi untuk menguapkan penat, pengalaman lain menanti untuk segera ditunaikan. Hingga pada akhirnya….ah, merapi, betapa kau yang selama ini hanya bisa kutonton dan kubaca, sebenatar lagi akan benar-benar kurasai.



(masih bersambung. Bagi yang belum baca bagian pertamanya, silakan dibaca dulu, ya)

Friday, October 28, 2011

(catatan perjalanan) : Di Bandara Adi Sucipto

Kira-kira pukul setengah sembilan pagi ketika pesawat yang saya tumpangi mendarat di bandara adi Sucipto Yogya. Ini adalah pengalaman kedua. Beberapa pekan sebelumnya, untuk keperluan yang berbeda, untuk pertama kalinya saya menjejakinya. Taka da yang berubah, tentu saja. Terlalu belebihan kalau mengharapkan perubahan drastis terjadi di sebuah bandara hanya dalam hitungan pekan.

Pengalaman kedua tak semenarik pengalaman pertama, begitu kata orang. Tapi hari itu saya begitu bersemangat oleh kesadaran saya telah tiba di BandaraAdi Sucipto jogja ini, betapapun itu hanya lah pengalaman kedua. Bukan karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti yang lumayan panjang, bukan karena saya akan menghadiri pernikahan teman kerja yang sudah dua bulanan yang lalu saya janjii untuk saya hadiri, bukan karena setelah itu saya akan melewatkan 4 hari 3 malam di gugusan pulau karimunjawa, juga bukan karena beberapa saat setelah pendaratan ini saya akan bertemu dengan orang-orang yang sudah cukup lama saya kenal hanya di dunia per-blog-an. Bukan! Bukan hanya karena satu per satu hal tersebut. Tapi karena kumpulannyalah. Karena sepuluh hari ke depan saya akan menjalani cuti dimana di dalamnya terhimpun hal-hal menyenangkan yang sudah saya sebutkan sebelumnyalah yang membuat tibanya saya di Jogja ini begitu terasa istimewa.

Kau pasti bingung. Tak terlalu mengerti dengan kalimat berbelit saya di atas. Tak mengapa. Toh saya sedang tidak mengharapkan pemahaman sepenuhnya. Ini hanyalah ceracauan, hanya lintasan pemikiran yang sengaja diikat agara tak keburu lepas. Berharap suatu saat dapat membacanya kembali dengan kening seberkerut keningmu saat kini membacanya. Dan itu tak kalah menyenangkannya.

Tapi saya ingin memberi uraian sedikit, meski boleh jadi bukan sebuah penjelasan. Pernahkan kalian mendengar kalimat ini, ‘maka jika di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang’? Mari, coba kita garisbawahi kata seratus dan sabar. Ya, kata seratus mewakili kumpulan individu-individu yang berhimpun sehingga membentuk sekumpulan dengan nominal tersebut. Sedang kata ‘sabar’, adalah kualitas yang melekati tiap individu tersebut. Sampai di sini, semoga kau sudah mulai mengerti. Ya, ini masalah kulaitas jempolan yang berhimpun membentuk sekumpulan dengan kuantitas lebih, hingga hasilnya pun jauh lebih jempolan. Maka, bukan tentang seratusnya lah yang mengalahkan dua ratus lainnya itu, tapi individu-individu sabar yang berhimpun membentuk seratus oranglah yang jadi pemeran utamanya.

Begitu juga dengan ceracauan di awal tadi. Bukan tentang sepuluh harinya lah yang membuat istimewa, tapi hal-hal istimewa yang mengumpul menjadi deretan waktu sepanjang 10 hari lah yang menjadikannya. Itulah kemudian, yang mampu mengalahkan nilai kumpulan-kumpulan hari lain yang mungkin jauh lebih panjang rentangnya. Tentang ini, Om Pram pernah menyebutkan bahwa orang Aceh itu terdiri dari banyak seorang, hingga akan dengan mudah melewati segala bencana yang melandanya. Banyak seorang, perhatikanlah! Bukankah itu sebuah frasa yang unik dan terkesan bertenaga. Bukan ‘banyak orang’, tapi ‘banyak seorang’. Saya belum mengerti jelas maksudnya, tapi menurut tafsir sempit saya, banyak seorang melambangkan sebuah kumpulan orang-orang yang telah menjadi dirinya sendiri saat mereka sendiri, telah memiliki kualitas hebat bahkan saat mereka masih seorang. Maka, bukankah menjadi tak terbayangkan potensi itu saat berkumpul menjadi sebuah kesatuan yang padu.

Begitulah. Itulah letak istimewanya waktu yang mebentng ke depan ini. Saking istimewanya, saking lain dari yang lainnya, saya bahkan hanya membawa ransel. Ya, meski bakalam melewati waktu sepuluh hari, hanya ransel ini yang saya bawa. Bukan kopor atau tas jinjing besar yang mampu memuat pakaian lebih banyak seperti yang sudah-sudah. Lebih ringkas, itulah memang alasan saya melakukannya. Termasuk masalah naik pesawat ini. Tak perlu mengalokasikan waktu untuk menunggu bagasi. Hingga saya langsung nyelonong saja menuju pintu keluar selepas turun dari pesawat tadi.

Di pintu keluar, beberapa orang terlihat sedang menunggu penumpang yang menjadi target jemputannya. Tapi tak ada tanda-tanda dua orang yang sedianya bakal menjemput saya. Sebelum berangkat tadi, melalui sms, memang seorang teman yang saya kenal lewat jejaring blog sudah menegaskan kembali kesanggupannnya untuk menjemput saya di bandara. Mungkin ia masih di jalan, begitu piker saya.

Saya sedang melangkah belok kanan menuju pusat ATM ketika SMS itu masuk. ‘aku tunggu di pintu keluar’, begitu kira-kira isinya. “Oke, ini juga sudah mendarat”, jawab saya singkat. Saya tak tahu apakah sms itu dikirim saat saya masih di pesawat atau sudah mendarat –saya tak sempat mengeceknya, saya juga tak tahu pasti apakah yang ia maksud dengan pintu keluar itu adalah pintu keluar tadi ataukah pintu keluar di luar sana. Tak jadi soal. Tak usah terlalu dikhawatirkan. Saya tetap meneruskan niat untuk mengambil uang di ATM.

Keluar dari ATM, kembali sms masuk; “kamu pakai baju warna apa?”. Saya tersenyum. Iya, saya memang belum pernah bertemu dengan si pengirim SMS, tapi tentu saja saya sudah pernah bertemu dengan seorang lain yang katanya ikut diajak menjemput saya. Ia adalah orang Bontang, kota dimana saya selama ini bekerja dan tinggal. Kita juga pernah mengadakan acara kopdar bertiga di sana sekali. Jadi tentu saja kita sudah saling tahu. Walaupun tak begitu detail, pastinya ingatan itu akan mudah saja dibangkitkan dengan sekilas melihat penampakannya.

SMS itu kemudian tak perlu dibalas. Sebab beberapa meter setelah membukanya, sepertinya saya menemukan si pengirim SMS tadi. Yang membuat saya yakin, tentu saja bukan karena dia membawa kertas dengan huruf-huruf capital membentuk kata ‘mylathief’ tertulis di lembarnya. Tapi, seorang lagi yang berada di sampingnyalah yang membuat saya yakin. Dialah anak Bontang yang sedang kuliah di Jogja yang di paragaraf sebelumnya saya sebutkan.Dan tentu saja, seperti yang juga saya sebutkan di paragraph sebelumnya, saya mengenalnya.

Kami pun bergegas melangkah meninggalkan Bandara.


(bersambung)

Wednesday, October 26, 2011

-perpisahan-

Perasaannya memang selalu begini. Seperti memanggul ransel pergi dari rumah untuk kembali merantau, entah kuliah entah kerja. Berat, terasa berat, sebab ada kenyamanan yang telah sekian waktu membuai yg perlahan kita punggungi adanya. Tapi tentu saja, ada semburat harapan membayang di depan. Meski kadang begitu tipis, meski kadang dengan seteguh hati kita yakini sendiri adanya. Tapi itu lah kemudian yang membedakan. Itulah kemudian yang membedakan langkah ini dengan langkah bergegas lain yang hanya sekedar menjauh, yang hanya didorong oleh keengganan untuk tetap tinggal tanpa sebuah keyakinan atau bahkan sekedar harapan akan keadaan yang lebih baik atau membaikkan di depan.

Perpisahan memang begini. Ia seakan telah menjadi sebuah jalan terpahit untuk menegaskan keberartian sesuatu. Seperti bayi yg memisah dari rahim, itu lah kelahiran. Mungkin akan ada suara tangis, mungkin ada teriakan, sebab plasenta penyuplai kenikmatan itu seketika terputus. Tapi dari situ lah kita mengerti, bahwa kaki, tangan, dan segenap organ tubuh yg selama ini seolah tak berarti, menemukan salurannya. Kita akan berjalan dengan kaki, kita akan merangkai dengan tangan, dan kita juga akan belajar dengan kesemua indera yang ada : kita akan bekerja.

Maka ketika hari ini kaki-kaki ini mesti melangkah, dan KMP Muria bakal mengangkat sauhnya untuk membawa semua yang ada di dalamnya menjauhi gugusan 39 nusa ini, sebetapapun diri ini telah dibuat jatuh hati, kita mesti melakukannya. Tak bisa tak. Sebab ada yang mesti dilakukan kembali. Lagi. Begitu menagih-nagih. Dan memang beginilah perpisahan itu. Atau, lebih tepatnya, beginilah perpisahan itu seharusnya. Perpaduan antara enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan, tapi ingin untuk menuju. Hingga jawaban terbaik untuk keadaan ini adalah, bagaimana apa-apa yang ditinggalkan itu, senantiasa memberi spirit di keadaan yang baru. Terus-menerus, tak terhentikan.

Maka begitulah. Apalah artinya sebuah perjalanan jika hanya menjadi perjalanan kering makna. Apalah arti menyinggahi tempat baru tanpa kehadiran akal, pikiran, dan hati kita untuk selalu mencoba dapat pemahaman. Karimunjawa akan segera tertinggal. Hamparan pasir itu, gugusan karang indah itu, ikan-ikan cantik warna-warni itu, serta pemandangan megah itu, sebentar lagi akan menjadi kenangan yang hanya akan bisa dipanggil kembali lewat album foto. Tapi pemahamannya, kesadarannya, serta berbagai cerlang pemikiran yang telah hadir, harus terus hadir. Untuk menginspirasi. Untuk memberi energi.

Selamat tinggal karimunjawa. Bahwa kau adalah gugusan makhluk yang begitu indah dibentuk, adalah sebuah keadaan yang seharusnya disyukuri. Maka semoga kita, orang-orang yang katanya diberi kuasa untuk mengelolanya, benar-benar mengerti implikasi syukur ini. Hinga kau masih akan tetap indah dijenguk kembali. Hingga kau masih tetap cantik di masa anak-cucu kita nanti. Semoga saja.


@pojokan KMP Muria

Sore terakhir di karimunjawa-- menanti senja di dermaga...

Friday, October 7, 2011

catatan kepulangan penting nggak penting: harga

Saya sedang ke luar dan berdiri di teras depan ketika tetangga saya itu menyebutkan angka delapan ribu lima ratus. Saya tahu angka itu adalah angka yang ia sebut untuk menawar barang dagangan ketika saya sadari ada seorang pak tua berdiri di halaman, tepat di depan teras dimana tetangga saya itu sedang menyapu. Pak tua ini, adalah gambaran umum pak-pak tua yang memang sering menjajakan barang dagangan sesuai dengan musim yang sedang berjalan; berpakaian sederhana, bersepeda kebo, serta keranjang bambu di kedua sisi boncengannya.

Pemandangan orang-orang berjualan semacam ini lewat di depan rumah, dulu adalah sebuah pemandangan biasa hingga menjadi begitu akrab di kedua mata saya. Bila musim orang panen ubi, maka akan sesekali terdengar teriakan ‘pohong..pohong’ dari halaman pertanda seseoorang yang sedang berjualan ubi lewat. Pohong, dengan pengucapan huruf o seperti huruf o pada kata toko, adalah sebutan lazim untuk ubi kayu di daerah saya berasal, Pasuruan. Di lain waktu, akan ada ‘semangka..semangka’, atau, ‘kerupuk-kerupuk’, atau seperti pengucapan pedagang kita ini; ‘mangga...mangga’.

Pak tua itu memang menjual mangga. Itu terlihat dari beberapa mangga yang masih ada di keranjangnya. Ia, ba’da penawaran dari tetangga itu, terdengar menggumamkan sesuatu yang intinya berisi ketidaksetujuan tentang angka delapan ribu lima ratus yang diajukan. Ia pun meneruskan langkahnya sembari menuntun sepeda kebonya.

“Pinten, pak?”, ini adalah suara saya ketika ia telah tepat di depan teras rumah. Bagi anda yang pernah tahu rumah-rumah di kampung yang sebenar-benar kampung, maka akan tahu tipe-tipe rumah di sana. Tak ada pagar halaman dengan jarak rumah yang berdekatan, adalah salah satu cirinya yang membuat hampir tak berjaraknya antar tetangga. Itu pula lah yang membuat persingungan saya dengan pak tua pedagang mangga tadi lebih mudah terlakukan, sebab di depan teras rumah itu lah halaman yang juga sebagai tempat lalu lalang itu berada.

Si Pak tua kemudian menghentikan langkahnya. Seolah memikirkan konsekuensi dari ucapannya, ia tak langsung menjawab pertanyaan saya itu sampai sempurna benar memarikir sepedanya. “Rolas setengah”, kemudian, angka itu lah yang akhirnya keluar.

Saya hanya diam, mengamat-ngamati mangga di keranjang dari teras. Hanya tinggal beberapa saja mangga yang tertinggal di keranjang itu, tak sampai menyentuh angka dua puluh sepertinya. Saya masih belum memutuskan akan membeli atau tidak saat emak yang tadi menyapu di samping rumah ikutan bergabung. Saat itu lah, lewat percakapan yang tercipta antara emak dan si pak tua, saya baru tahu kalau angka dua belas ribu lima ratus itu adalah harga untuk sepuluh buah mangga. Menjadi terkejutlah saya sebab mengira itu untuk satu kilogramnya, sebab dua puluh ribu lah harga untuk satu kilogram mangga di tempat saya selama ini bekerja, Bontang.

“wolu setengah wes”. Ibu-ibu memang begini. Menawar adalah bukti eksistensinya. Maka semakin jauh harga yang didapat dari penawaran si penjual, maka semakin berbanggalah.

Si penjual menggeleng. Menyebutkan kalau harga kulakannya saja nggak dapat.

“sepuluh ribu bagaimana?”. Ha ha. Saya jadi ikut-ikutan menawar, meski tetap saja bagi ibu saya itu penawaran yang terlalu berlebihan.

“sewelas ewu. Jangkep”

Saya setuju. Bergerak memasuki rumah untuk mengambil uang.

Demikianlah. Tiap kali pulang, saya kerap masih tak sadar kalau saya sudah ada di jawa dimana harga-harga menjadi berbeda. Mendapati harga yang begitu murah, bahkan berkali lipat murahnya, justru sering membuat saya tak mampu mengendalikan diri. Semua barang menjadi terasa menarik sebab harganya yang lebih murah tadi. Dulu, kepulangan sebelumnya, saya terbengong-bengong saat membeli pepaya. Bayangkan, untuk sebiji pepaya lumayan besar saja, saya hanya perlu membayar 7 ribu rupiah. Tentu saja ini berkebalikan dengan di bontang dimana untuk nominal segitu, waktu itu, saya hanya mendapat sekilo pepaya.

Sebelas ribu kah yang pada akhirnya saya bayar? Ternyata tidak. Dua puluh ribu uang yang saya serahkan ke pak tua, untuk kemudian ia kembalikan lima ribu. Tapi, saya mendapatkan 17 biji mangga. Sebab, sisa tujuh biji mangga yang masih ada di keranjang, akhirnya ia lepas juga dengan empat ribu saja. Ah, jadi terngiang obrolan di sepanjang perjalanan kemarin, “Penghasilan Bontang, biaya hidup jawa. Indahnya”. Ha ha...




Thursday, October 6, 2011

jagain mp saya, ya! saya mau ke sawah manen cabai..he he. (Padahal di sawah sambil ngempi...)

bookaholic : september '11

Barangkali memang benar, atas setiap pergantian waktu, tak ada yang lebih disesali manusia selain sebuah kesia-siaan. Tentang menit yang begitu saja menjelma jam. Tentang hari yang merangkai pekan. Tentang pekan satu yang berganti pekan berikutnya. Tentang, ah, tiba-tiba bulan telah sampai di angka dua belasnya.

Pada hakikatnya manusia menginginkan kerja-kerja besar. Ingin benar melalui hari dengan kepadatan aktivitas yang begitu hebat. Hingga, di tiap kali perguliran waktu, ada perasaan terluka kala menyadari tak benar-benar bermanfaat apa yang telah dilakukan diri.

Kesadaran. Aha, memang tetap saja ini lah yang menjadi penting. Kesadaran akan kemampuan diri yang sebenarnya bisa lebih dari apa yang bisa dicapai di sebelum-sebelumnya, adalah bahan bakar berdaya dorong tinggi yang akan memantik peningkatan di kesempatan berikutnya. Kesadaran, bahwa yang telah lalu, hanyalah catatan ketakoptimalan-ketakoptimalan, adalah modal dasar untuk berstrategi agar itu tak kembali terjadi di kesempatan yang akan datang.

Maka beruntunglah orang-orang yang rajin menghisab dirinya sendiri. Semakin sering semakin baik. Semakin dalam interval waktu yang sempit semakin disarankan. Sebab, dengan begitu, harusnya kesadaran pun akan lebih cepat muncul. Hingga upaya-upaya perbaikan itu pun akan lebih cepat pula dirancang.

Termasuk masalah perolehan membaca tiap bulannya ini. Pada mulanya memang hanyalah untuk keperluan postingan. Atau bahkan ikut-ikutan. Tapi dengan berjalannya waktu, ternyata ini benar-benar menjadi sarana yang efektif untuk mengetahui tentang apakah bulan ini lebih baik dari bulan sebelumnya. Tentang apakah bulan ini cukup banyak yang dibaca sebab kesempatannya yang sebenarnya lebih terbuka. Atau, tentang kenyatan jumlah bacaan yang sebegitu-begitu saja –maka perlu strategi lebih untuk membuatnya berbeda.

Baiklah, ini mungkin pengantar yang tak biasa untuk laporan bacaan di tiap bulannya. Tanpa panjang kata, berikut buku yang terbaca di september ini:

•Think Dinar. Hmmm..sebenarnya ada judul lanjutannya, tapi saya lupa. Bahkan pengarangnya pun saya tak hafal dengan pasti. Untuk membukanya di Goodreads, terlalu menguras emosi sebab jaringan yang tak memberi keleluasaan. Tapi ini buku bagus. Buku yang cukup banyak memberi saya gambaran. Tentang kerapuhan uang kertas. Tentang kedasyatan logam mulia.

•Yang Galau Yang Meracau: Fahd Djibran. Entah, apakah saya sudah terlalu jenuh dengan model tulisan fahd yang seperti ini, ataukah karena memang tulisannya tidak semenarik sebelumnya, yang pasti saya tidak mampu menikmati buku ini senikmat ketika membaca ‘Curhat Setan’ ataupun “A Cat in my Eyes”. Tapi, lewat buku ini, saya belajar tentang sebuah cara penyampaian gagasan dengan model lain. Dan sepertinya sudah saya gunakan di beberapa postingan.
•Jendela Cinta. Ini adalah buku kumcer keroyokan yagn hasil penjualannya didonasikan buat korban tsunami Aceh. Bila Anda pernah membaca qn saya tentang buku ringan itu, maka buku ini lah yang saya maksud. Sebab memang cerpen di buku ini kebanyakan memang terasa ringan, hingga seolah nyemil saja di antara buku-buku yang lain.
Baik, itu saja. Bagi Anda yang bertanya tentang buku apa yang saya baca, maka jawabannya adalah ini; Living Islamnya Herry Nurdi.

Salam buku! Selamat menghisab diri.

Tuesday, October 4, 2011

cerita seorang suami tentang istrinya

Malam ini saya mendapat satu lagi pencerahan.

Agak malas sebenarnya saya mengiyakan ajakan keluar dan makan malam tadi itu. Lebih nyaman untuk tinggal di kamar sambil membaca ,menulis, atau sekedar nonton film di TV. Tapi, kesadaran bahwa jarang-jarang saya berada di cilacap ini, adalah pendorong yang membuat saya pada akhirnya oke-oke saja kala tawaran itu hadir. Ini, pertama kalinya saya ke cilacap. Pertama yang amat mungkin menjadi yang terakhir. Tak ada irisan sama sekali yang memungkinkan saya untuk sering-sering mengunjungi kota ini.

Tapi, kala saya kemudian mendapat hal lain dari sekedar makan malam dan menikmati udara malam Cilacap, itu adalah hal lain yang saya sebut sebagai bonus. Ini lah mungkin yang disebut sebagai salah satu keajaiban silaturahim, ataupun keindahan mengenal orang-orang baru.

Ia adalah karyawan Pertaina Cilacap ini. Sudah sepuluh tahun lebih bergabung dengan perusahaan milik negara ini. Hanya kaos oblong produksi joger yang ia pakai kala berjalan menghampiri kami di lobi. Pada mulanya ia menjabat seorang dari romobongan kami, sebelum akhirnya diperkenalkan kepada kami yang lain. Rupanya, ia teman kuliah dari salah satu rombongan kami itu.

Tapi tentu saja bukan itu yang membuat saya untuk tergerak menuliskan ini. Adalah ceritanya yang dengan lancar tersampaikan kepada kami di akhir makan malam itu lah yang membuat saya dengan khusyuk menyimaknya. Mendengarkan cerita tentang bagaimana seseorang menjalani hidupnya, memulai karir, dengan bumbu kebetulan-kebetulan yang terasa begitu terdesain, adalah spirit untuk mengenergii diri.

Panjang sebenarnya ceritanya. Menarik pula sebenarnya bagaimana ia bisa kerja di Pertamina ini. Tapi bagian ini lah yang kemudian terekam dengan lebih jelas di memori saya; “Ya sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja. Cari pekerjaan yang disukai”

Jawaban itu, adalah tanggapan istrinya kala ia menjelaskan tentang pekerjaannya yang ditempatkan di bagian ini yang begini-begitu dan tentang prospek ke depannya. Mulanya, istrinya bertanya dengan, “kenapa, sih, mas? Kok kayake nggak semangat tiap kali pulang kerja”, kala mendapati suaminya itu tak terlalu bergairah sesampai di rumah.

Banyak pro-kontra mungkin terhadap tanggapan si istri itu, tapi ada baiknya kita kemudian menyimak bagaimana si suami menggambarkan kondisi itu; “Agak tersinggung sebenarnya saya waktu itu. La, bayangkan, di waktu itu, banyak perempuan memilih seseorang karena faktor pertaminanya. Nah, dia, ketika apa yang dikejar orang-orang itu sudah sempurna tergapai, dengan entengnya bilang, ‘ya, sudah, kalau nggak suka, ya, keluar saja’”

Saya akui, tak semua istri akan memberi tanggapan seperti yang istri orang pertamina ini berikan. Umumnya, yang sering kita temui adalah jawaban-jawaban seperti, “ya, sudah, dijalani saja dulu”, atau, “yang sabar!”, atau bahkan, “mungkin ini perasaan di awal-awal saja”. Tak terbayangkan bila ada seorang istri yang memiliki suami kerja di sebuah pertusahaan yang boleh dikata menjadi primadona kalangan job seeker, kala mendapati suaminya tak terlalu bahagia dengan pekerjaannya, enteng menanggapinya dengan permintaan agar si suami melepaskan pekerjaannya itu. Tipe istri seperti ini mungkin ada yang lain, tapi jarang.

Tapi saya kemudian tak terlalu heran dengan statement si istri itu demi mendengar catatan perjalanannya seperti yang disampaikan orang pertamina ini. Bayangkan, ia melepaskan pekerjaannya ketika bersuami orang pertamina ini kala posisi gajinya 4 kali lipat bila dibandingkan dengan bakal suaminya. Menjadi seorang yang ‘diperebutkan’ banyak perusahaan adalah hal lain yang kian menegaskan kecemerlangan karir si istri ini. Maka, menurut saya, adalah hal yang mudah bagi si istri untuk melepaskan status pertamina si suami, ketika di waktu sebelumnya ia dengan mudah juga melepaskan status yang lebih wah. Tapi tentu saja, menurut saya lagi, statement itu juga dilandasi oleh seseorang yang tahu betul tentang dinamika kerja, tentang bagaimana sebuah kenyamanan terhadap pekerjaan adalah sebuah hal utama, yang justru menegasikan hal lainnya.

Cerita itu kemudian tentu saja tak berakhir dengan keluarnya su suami dari pertamina. Statement si istri, ternyata malah berimpilkasi sebaliknya, dalam konotasi positif. Sebab, itu justru membuatnya terpacu untuk membuktikan banyak hal hingga telah lewat sepuluh tahun dari pertami kali statement itu terucap. Ia, sepertinya juga telah nyaman dengan pekerjaannya dengan keengganannya untuk pindah pekerjaan, ataupun pindah daerah penempatan.

“jadi, sekarang apa kesibukan istrimu?”, saya kemudian tertarik untuk menyimak apa jawaban si orang pertamina ini kala pertanyaan itu terlontar oleh salah seorang rombongan kami yang juga teman kuliahnya kala kami sudah di atas mobil untuk meninggalkan rumah makan itu.

“moco buku, karo momong anak.” Saya tersenyum mendengarkan jawaban ini. Karena isi jawabannya, juga karena cara menjawabnya.

Benar-benar malam yang bermakna.

sedang malas buat bookaholic :)

Monday, October 3, 2011

(bukan) pertemuan di taman hening

Bahkan ketika saya sudah menjejak di tempat itu, sepertinya saya benar-benar terlupa bahwa teman saya yang satu ini bekerja di sana. Entahlah, mungkin sebuah keanehan, atau justru sebuah kealpaan yang wajar-wajar saja. Hingga, tak ada keinginan ataupun lintasan pemikiran kalau saya bakalan ketemu dengan dia di sana. Sama sekali tak ada.

Maka ketika pada akhirnya saya ketemu dengan teman saya yang lain, kali ini cowok, ketika ia memberi jawaban dengan menyebutkan namanya kala menjawab pertanyaan saya tentang siapa lagi anak Teknik Kimia ITS, kontan saja saya ber-uow ria. Terkaget dengan kesadaran bahwa saya telah melupakan teman saya ini. Sungguh keterlaluan saya ini, karena bahkan tak sampai setahun yang lalu kita sempat bertemu di Balikpapan ini dalam rangka reunian anak Tekkim 2004, saya bahkan telah lupa kalau ia masih di sini.

Tapi Allah maha baik. Bahwa harus ada sesuatu, sesuatu yang memantik saya untuk kembali berdiri tegak, sesuatu yang menenteramkan, yang mampu mengenergii saya di rangkain perjalanan ini, Ia hadirkan justru di akhir kunjungan kami. Kalau bukan salah seorang dari kami saat itu mesti mengurus sesuatu di administrasi perusahaan minyak pelat merah ini, dan membiarkan kami berempat berdiri di koridor menunggunya, mungkin kesempatan itu tak bakalan terwujud.

Dan begitulah! Skenario Allah sungguh-sungguh sempurna. Kala kami masih asyik saling berbicara sesama kami, saya sadari ada suara yang menegur kami.

“lo, Iqbal, kok, ada di sini?”

Saya menoleh. Mencari sumber suara yang dari intensitasnya tak jauh dari tempat kami berdiri. Dan memang, seorang perempuan telah berdiri tak jauh dari kami. Saya sedikit tercekat,  bahkan melupakan kewajiban menjawab pertanyaan tadi, masih sibuk mencocokkan sepotong wajah di depan saya ini dengan ribuan wajah yang telah tersimpan di dalam memori otak saya. Tapi untunglah, hanya sepersekian detik saja usia pencarian itu. “Hai”, dan saya pun memanggil namanya.

Ia tersenyum. Menyatukan kedua telapak tangannya dalam satu katupan, lalu memosisikannya di depan dadanya. Saya tersenyum, disertai anggukan. Ah, ada banyak yang berubah dengan dirinya. Sebab, kalau saya tak salah ingat, mungkin sekitaran satu-dua tahun yang lalu, dia lah yang berkomentar ‘oh, kalau iqbal nggak mau, ya’ di saat kami teman seangkatn di Kaltim bertemu dan saling berjabatantangan.

“wah, lagi hamil, ya? Sudah berapa bulan?”. Tentu saja, ini adalah pertanyaan saya. Jika saya perlu sepersekian detik untuk bisa mengenalinya, kehamilan ini lah menjadi salah satu alasannya. Tubuhnya yang lebih gemuk dengan muka yang sedikit tembem, tentu saja membutuhkan penyesuaian dengan spesifikasi lama tentangnya dalam bang data otak saya.

“enam bulan”, pada akhirnya angka itu yang ia ucapkan.

“kok, ada di sini? Kata Gusti ditempatkan di operation, kan?”. Gusti adalah teman saya yang saya temui sebelumnya. Ia sempat menginformasikan kalau teman perempuan saya ini ditempatkan di operation yang jauh kantornya dari kantor process engineering ini.

“ow, iya. Ini mau ngurus cuti”

“cuti hamil, ya?”

“iya”

Dan bla bla bla. Sampai ia meminta diri untuk meneruskan keperluannya. Saya mengangguk, tersenyum, dan melihat ia berbalik memunggungi saya. Entahlah, ada sesuatu yang membuat saya terketuk-ketuk dengan pertemuan ini, ada rasa nyaman, sesuatu yang membuat saya berpikir hal lain yang jauh lebih besar, yang membuat saya merekonstruksi banyak hal, yang membuat saya tersadarkan. Entah itu persisnya apa. Tapi, barangkali, salah satunya, adalah selembar kain yang kini membungkus kepalanya. Ah, saya jadi bertanya-tanya, bagaimanakah rasanya menjadi seorang mualaf yang seketika itu memutuskan berhijab. Tapi tak berjawab. Tentu saja pertanyaan itu tak berjawab. Bahkan sampai saya selesai mengobrak-abrik halaman milis angkatan untuk menelusuri kembali undangan pernikahaannya dulu. Tapi saya menemukan ini; ‘insyaAllah’, ‘samara’, juga  ‘barakah’, menghiasi kalimat yang ia ketikkan dalam komentar di milis angkatan kami. Semoga saja ini pertanda baik.




Tuesday, September 27, 2011

alternatif transportasi jogja-cilacap apa saja ya? adakah mp-ers yang tinggal di sana?

adakah namaku dalam doamu?

“ah, ini berkat doa antum semua”

Ada sebuah kalimat yang dulu beberapa kali menyentil saya ketika kami sedang bersama-sama. Saat itu, seperti biasa saja sebenarnya, kami memperbincangkan ini itu. Tentang kuliah, tentang aktivitas, serta tentang-tentang yang lain yang tak terlalu spesial hingga tak sampai teringat. Sampai, di suatu titik, perbincangan itu menyentuh kepada sebuah topik tentang capaian-capain gemilangnya. Tentang keberhasilannya yang terasa wah, bagi kami teman-temannya. Biasa saja sebenarnya singgungan ini, hingga tanggapan bersahajanya menyuara; “ah, ini berkat doa antum semua”

Tak ada yang salah sebenarnya dengan jawaban itu. Sebab, keberhasilan kita, amat  mungkin sekali bukan karena usaha kita semata, atau doa-doa kita saja, tapi juga oleh sebab doa-doa orang sekitar yang tak terindera kita. Jika kemudian itu terasa menyentil di hati saya, permasalahan memang mungkin hanya ada pada saya semata. Keadaan memang jauh lebih menyentil ketika kau dihusnudzoni seseorang, padahal kau sama sekali tak pernah, atau amat jarang melakukan kebaikan yang dihusnudzonkan itu. Hmm..

Doa. Ini boleh jadi hal yang teramat sepele. Tapi, yang sepele ini lah yang barangkali seringkali terlalaikan. Bukankah teramat sering kita mendapatkan kalimat ini; “doakan, ya!”, atau, “Kawan, besok saya ujian, minta doanya, ya, semoga sukses”. Lalu kita pun menyanggupinya dengan kalimat pengiya, “insyaAllah”. Beres, berlalu. Tapi kemudian, pertanyaannya, dari sekian kali permintaan itu, berapakah kiranya yang berujung realisasi dimana kita menengadahkan tangan di ba’da sholat kita, menyebut namanya, sambil membayangkan wajah teman kita itu? Rasa-rasanya tak banyak.

Ah, maafkan saya. Sepertinya saya terlalu mengeneralisirkan persoalan dengan memakai kata ‘kita’ dalam pertanyaan itu. Harusnya itu ‘aku’, semestinya itu ‘saya’. Bukankah di awal sudah saya sebut jika permasalahan mungkin saja hanya pada saya. Maka jawaban ‘rasa-rasanya tak banyak’ itu memang jawaban saya. Saya kerap kali menyanggupi permintaan untuk mendoakan seorang kawan, tapi sekerap itu pula terlupakan begitu saja. Tak teringat lagi di ba’da sholat-sholat saya. Hanya ada ‘ny’,’qy’, ‘my’, dan huruf-huruf ya’ lainnya ; saya, saya, dan saya.

Ini mungkin tentang mencintai saudara seperjuangan seperti halnya mencintai diri sendiri, atau bahkan lebih. Maka, kalau begitu, ini juga tentang kehendak untuk melihat saudara-saudara seperjuangannya itu memperoleh kebaikan-kebaikan hidup, sebesar atau bahkan loebih besar dari yang diri ini dapat. Dan pada akhirnya, harusnya, jika rumusan itu yang berlaku, ini juga tentang doa untuk saudara seperjuangan yang sekerap lantunan doa untuk diri sendiri, atu bahkan lebih.

Ini kemudian boleh jadi akan terasa menyesakkan. Bagi saya yang kerap kali lalai mendoakan teman-teman perjuangan, bahkan yang dengan kesadaran telah mereka minta, harusnya ini membawa kepada perenungan dalam sebab ini bukanlah masalah yang enteng ternyata. Saat kau tak merasa perlu untuk mendoakan saudara-saudaramu, itu boleh jadi indikasi bahwa kau juga tak merasa punya kepentingan untuk menyaksikan kebaikan berhimpun di diri saudaramu itu. Maka selanjutnya, jika kau tak merasa perlu untuk mendapati saudaramu dalam kebaikan, tanda tanya besar mesti disematkan di dahimu apakah kau benar-benar mencintai saudaramu itu. Lalu, jawaban untuk itu mestinya kita eja perlahan, sembari merenungi  sabda nabi ini; ‘Seseorang diantara kalian tidak dikatakan beriman sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”.

Saya terlalu berlebihan untuk ini mungkin, tapi percayalah, ada korelasi antara dua hal ini. Keadaan ketika kau duduk takjim menengadahkan tangan sembari menyebut nama teman-teman kita dalam sebuah doa panjang, itu berbeda dengan keadaan ketika kau hanya ‘mampu’ mendoai diri sendiri. Kita pasti tahu sendiri akan hal ini. Hati kita pasti merasakan.

Maka sekarang, renungilah diri kita. Betapa sering kita berada dalam sebuah keadaan terjepit, lemah, dan tak berdaya, dimana sepotong doa dari karib adalah peneguh yang meyakinkan kita bahwa kita akan mampu melampaui ini semua. Juga, bayangkanlah, saat kita tak merasa ‘cukup’ hanya dengan doa kita sendiri, lalu kita meraih ponsel, mengetik dengan tulus sebuah pesan permintaan doa, lalu mengirimkannya ke teman-teman terbaik kita. Rasakanlah, bahwa doa teman-teman kita itu ternyata begitu penting, hingga kesadaran yang samalah yang mesti terpatri saat seorang teman meminta doa kita. Bahkan, dengan tingkatan yang lebih, kesadaran bahwa doa kita di setiap saat juga penting bagi teman-teman kita, adalah simpul yang meneguhkan untuk kita tetap dalam lingkar kebaikan.

Demikianlah, sebab sesama kebaikan itu laksana kawan karib, maka mengusahakan istiqomah untuk sebuah kebaikan, sekecil apapun itu, adalah pemantik untuk menarik kebaikan lain melingkupi diri. Termasuk masalah berdoa ini. Termasuk masalah menyertakan nama orang-orang terdekat kita dalam munajat ba’da sholat-sholat kita ini. Maka, membayangkan ini terejawantah menyeluruh, seperti membayangkan sebuah jejaring imajiner yang kokoh, yang kait-mengait melintas jarak, menembus belantara, meyebrangi lautan. Sebuah jejaring yang menguhkan, atas kesadaran penjagaan, dalam nuansa iman. Sebuah jejaring yang kita namai dengan tiga huruf sederhana yang kerap terlupakan; doa.

wallahu a'lam






Saat lama tak menulis. Saat merasa menulis adalah sebuah kebaikan, maka mengusahakannya untuk tetap terjalani, adalah sebuah usaha juga untuk menarik kebaikan lain. insyaAllah

Monday, September 19, 2011

Friday, September 9, 2011

Saturday, September 3, 2011

Friday, September 2, 2011

selamat lebaran, hanna

Dear Hanna

Maafkan lah aku bila lebaran ini tak kau temukan namaku dari daftra sms yang masuk di ponselmu. Bukan berarti aku yang telah menjadi begitu angkuh, hingga untuk mengucapkan selamat lebaran saja, yang komplit dengan doa dan ucapan maafnya, aku sudah tak mau. Bukan begitu, Hanna. Hanya saja, entahlah, lebaran kali ini, tiba-tiba saja aku malas untuk membuatnya.

Kau pasti tahu ini, dulu, lebaran-lebaran yang lalu, aku selalu mempersiapkan dengan matang sms lebaran ini. Mengarangnya jauh-jauh hari agar terasa spesial dan tak basi. Sebab, seperti yang sering kubilang padamu, aku ingin orang-orang yang kukirimi tahu, bahwa mereka adalah spesial hingga tak layaklah jika sms forwardan yang aku kirim. Juga serius , Hanna. Persoalan ucapan selamat ini serius. Persoalan doa ini serius. Persoalan minta maaf ini juga teramat serius. Kau tahu, kan? Noda-noda yang kita lekatkan pada hati saudara-saudara kita itu, tak serta-merta terhapus hanya dengan meminta ampun pada Rabb-Mu, Rabb-ku.

Tapi lebaran ini, Hanna. Aku tak membuatnya, yang otomatis juga tak mengirimkannya. Bukan karena aku sibuk, Hanna. Apalah arti kesibukan ini bila dibandingkan dengan segala aktivitas hebatmu itu. Aku masih makan tepat waktu, masih sempat untuk membaca dan kadang nonton tv. Juga, tidur pun aku banyak tepatnya ketimbang terlambatnya. Aku hanya tak membuatnya, hanya tak mengirimkannya. Sesederhana itu memang.

Entahlah, Hanna. Aku tak ingin membuatnya saja. Bahkan ketika lebaran semakin mendekat dan tak ada tanda-tanda aku telah mempunyai kalimat spesial itu, aku biasa saja. Aku memang tak ada keinginan menggebu untuk membuatnya, hingga aku tak perlu merasa repot menyuling kata dalam imaji, atau mengutip kalimat dari buku, atau mencoba mentadaburi alam berharap ada kata-kata yang tersangkut dalamnya. Aku biasa saja. Hingga ketika H-1 versiku, yang mungkin saja hari H versimu, ketika seorang teman mengirimiku sms dengan isi menagih sms lebaran dariku agar dapat ia forwardkan, aku menjawabnya dengan dingin. “aku tak mbuat”, begitu jawabku.

Kau tak perlu tersenyum geli tentang ini, Hanna. SMS lebaran ini memang ternyata penting. Maka, karena pentingnya itu, kalimat spesial lah yang mesti terkirim. Tapi anehnya, Hanna, mereka justru main forward terhadap sms yang mereka anggap bagus. Beberapa kali aku mendapatinya, yang parahnya, ada yang bahkan lupa untuk mengedit nama. Menggelikan memang. Bukankah ucapan selamat ini, doa dan permintaan maaf ini, adalah sesuatu yang spesial kata mereka. Maka dari dalam diri lah itu harusnya tercipta. Sesederhana apapun itu.

Tapi lupakan tentang itu! Tiap orang punya pandangan sendiri tentang ini. Aku tak berhak menilainya. Marilah kembali kita bicarakan hal di awal tadi. Jadi, masihkah kau menyimpan sms lebaranku dari tahun-tahun yang lalu? Atau justru kau telah menjadi seperti orang-orang yang kita bicarakan tadi, yang meneruskan sms itu ke teman-temanmu yang lain? Ha ha, kalau benar begitu, aku mesti tertawa untuk itu.

“minal aidin walfaizin. Mohon maaf lahir dan batin”

Aku mendapatkan sms itu di hari kedua lebaran, Hanna. Ringkas, padat. Aku tersenyum karenanya. Aku tahu betul si pengirimnya, amat mengenalnya. Dan sms itu, sungguh-sungguh dia betul. SMS-nya seringkas orangnya. Maka sms seperti ini lah, Hanna, SMS yang seharusnya. SMS yang menggambarkan siapa kau. Apa adanya kau. Bukan orang lain. SMS seperti itu lah, yang kemudian menciptakan jenak bagi si penerima, untuk mencermatinya sekilas. Bukan langsung men-delete-nya.

Selamat lebaran, Hanna! Bila aku tak menyampaikannya lewat sms, baiklah, aku sampaikan saja lewat ini. Selamat lebaran! Semoga Allah menerima ibadah kita, puasa kita, sholat kita, tilawah kita. Semoga Allah memasukkan kita sebagai golongan hamba-hambanya yang bertakwa, yang tak hanya generasi ramadhani, tapi juga generasi rabbani. Yang nuansa ramadhan senantiasa menginspirasi sebelas bulan berikutnya.

Juga maafkan aku, Hanna. Atas kesalahanku yang kau sadari maupun tak. Ini rumit, Hanna. Aku yakin, kau akan dengan mudah memaafkanku atas kata-kataku yang kadang tak terkontrol, atas kesalahan-kesalahan yang nampak itu. Tak kupintakan maaf pun, dengan kebesaran hatimu itu, aku yakin kau telah memaafkannya, lalu melupakannya. Tapi atas kesalahan yang mungkin tak kau sadari, aku merasa perlu menegaskannya; maafkanlah aku. Sepertinya banyak sekali prasangka baikmu yang sama sekali tak kutunaikan. Banyak pula harapan-harapan indahmu tentangku yang tak jua aku wujudkan. Aku bahkan menjauh darinya. Tak juga berbenah. Tak segera bangkit.

Namun begitu, jangan lelah untuk berprasangka baik, Hanna. Aku hanya perlu lebih tekun, lalu berdoa seperti sahabat Abu bakar berdoa, “ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari semua yang mereka sangkakan, dan ampuni aku atas aib-aib yang tak mereka tahu”


Seperti itu, Hanna. Selamat lebaran. Selamat liburan juga. Nikmatilah liburan yang tersisa bersama keluarga. Bukankah senin ini kau sudah harus kembali masuk kerja. Ah, itu pun jika kau memang selama ini dari senin sampai jumat terikat kerja seperti yang lainnya.

Salam


***
Kecubung 17