Monday, January 31, 2011

januari dan buku

sudah menjelang februari. Karena hari ini adalah hari terakhir di bulan juanuari, sedangkan nanti malam sepertinya tak akan menghabiskan sebuah buku (bahkan mungkin tak menyentuh buku), maka dipostinglah jurnal ini...

Berawal dari ikut-ikutan mp-ers pecinta buku yang suka memosting bacaannya selama sebulan. Lalu dibumbui oleh keikutsertaan saya pada progam reading challenge di GR, maka tampillah jurnal ini...

Sepertinya ini adalah prestasi baca terbaik saya selama beberapa bulan, atau bakan hampir dua tahun terakhir. Benar ternyata, mimpi itu mesti dituliskan. Dikabarkan pada semua orang. Biar ada greget, biar ada pendorong lebih. Maka 'reading challenge' GR benar-benar ampuh. Benar-benar manjur mendorong saya untuk bersegera membaca setiap ada kesempatan.Maka di jok motor saya akan selalu tersedia buku. Ditambah hp yang bisa buat internetan sedang rusak, sempurnalah hari-hari penuh buku ini. Maka kemudian saya dapat dijumpai sedang membaca buku sembari menunggu pesanan nasi goreng. Atau membaca sambil menunggu antrian potong rambut. Atau membaca sambil menunggu dilayani nasi pecel di sabtu pagi. Atau membaca sambil membaca.

oke-oke. Tak terlalu banyak sebenare buku yang berhasl dibaca untuk januati ini, tapi menjadi begitu wah melihat prestasi baca saya yang jongkok sebelum-sebelumnya.

  • The Gogons : James & The Incredible Incident. Ini adalah buku ke-12 tere Liye yang sudah saya baca. Sudah lama sekali menginginkan buku ini. Maka, ketika berhasil mendapatkannya, gembira betul dibuat olehnya. Bergenre metro pop -setidaknya itulah yang tertulis di cover, tapi masih tetap tere liye banget.
  • Memaknai Jejak-jejak kehidupan. Buku Komarudin Hidayat kedua yang saya baca setelah psikologi kematian. Dihabiskan dalam perjalanan Bandung-jakarta.
  • Ini Wajah Cintaku, Honey. Tasaro! Sejak membaca Galaksi Kinanthi, memang saya mulai memburu buku-buku Tasaro yang lain. Buku ini cukup direkomendasikan buat siapa saja yang ingin mengetahui pernak-pernik pengantin baru. Dituliskan dengan model seperti catatan harian, dengan bahasa yang renyah. Akan banyak hal yang bisa anda raih dari membaca buku ini.
  • Bercermin di telaga Cinta Sang Guru. Dituliskan banyak orang. Semuanya membahas tentang ust Rahmat. Memberika sebuah kesadaran, bahwa orang-orang besar, akan senantiasa hidup di hati orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya.
  • Catatan Pernikahan. Lagi-lagi tentang pernikahan. Kali ini tulisannya HTR. Sudah lama mengetahui tentang buku ini, bahkan pernah menghadiahkannya untuk seorang teman yang menikah. Namun baru sebualanan yang lalu memutuskan untuk membeli dan langsung membacanya.
  • Malam Terakhir. Sebuah kumpulan cerpen karya Leila S Chudori. Jujur saya membaca buku ini karena faktor 9 Dari Nadira yang benar-benar menyihir saya. Sebuah kumpulan cerpen yang lumayan berat, namun cukup membuat saya terhibur dengan pilihan diksinya yang cantik.
  • Di Serambi Mekah. Ini masih Tasaro. Senang rasanya membaca tulisan tasaro pada jaman-jaman dulu. Hingga bisa menelaah gaya penulisannya dari masa ke masa. Bercerita tentang seorang penulis, tentara, dan perawat, yang dipertemukan oleh satu kata: Aceh. Beresetting pada massa Gam hingga Tsunami.
tujuh buku. Artinya baru 7 % untuk target tahun ini....


Terakhir, buku yang sedang dibaca: semua ayah adalah bintang.




bagaimana dengan anda?

Saturday, January 29, 2011

-perguliran waktu-

“Bila kita lihat momen-momen pergantian waktu, antara siang dengan malam, antara sebuah pekan dengan pekan sesudahnya, antara bulan yang menggenapi tahunnya, maka tak ada yang lebih sering kita lihat dan rasakan kecuali kesia-siaan”

Sudah dua kali ini. Sudah dua pertemuan ini. Lelaki itu, yang nampak lebih senior dari yang lainnya, yang terlihat menjadi pusat dari lingkaran kecil manusia itu, yang nampak lebih berkarisma, mengucapnya. Tidak dengan suara yang menggebu-gebu bak orator, tidak juga ditekan-tekankan laksana seorang yang mencoba menarik minat si pendengar. Hanya suara pelan yang mengalir jernih. Tapi cukup sudah untuk membangkitkan sebuah kesadaran. Pada wajah-wajah yang menatap antusias. Pada wajah-wajah yang dipertemukan kembali setelah pergantian waktu pekanan. Untuk menjengkali keeadaan. Untuk mengukur diri sendiri. Tentang waktu yang berjalan. Tentang satu kesempatan yang pergi. Tentang, ah, apakah memang benar, bahwa tak ada yang lebih sering tersadari, dari tiap-tiap perguliran waktu itu, selain sebuah kesia-siaan.

Sebuah wajah kemudian menunduk. Atau barangkali semua wajah yang mendengarkan kalimat itu. Mungkin menginsyafi keadaan. Merenungi banyak hal. Ah, apakah itu , apakah wajah yang tertunduk itu sebagai pembenar pernyataan barusan. Kesia-siaan memang bukan melulu tentang tak ada hal yang dilakukan, kesia-siaan memang bukan hanya tentang waktu yang berjalan tanpa ada kerja. Tapi kesia-siaan, juga tentang tak teroptimalkannya waktu yang diberikan, tentang satuan kerja yang tak sebanding dengan satuan waktu yang terberikan.

Tapi persoalan ini ternyata bukan hanya tentang orang-orang itu. Ini tentang kita. Maka lihatlah orang-orang yang menatap sendu waktu yang berlalu. Mungkin mereka takjub menatap senja, mungkin mereka berpesta menyambut tahun baru, tapi betapa bila kau tahu, akan berderet-deret kesia-siaan yang tertinggal. Maka bila kesadaran itu datang, sungguh menggetarkan memandangnya. Rasa sesal berturut-turut memenuhi pemiiran.
****
Ini bukan tentang hari ini. Percayalah! Ada banyak hal yang menari-nari di pikiran untuk dituangkan. Maka bila hari ini aku menuliskan hal ini, anggap saja kebetulan. Anggap saja kebetulan juga jika aku berharap menuliskannya selepas subuh, saat pikiran begitu tenang, serta saat zat-zat penenang terproduksi tubuh. Anggap saja kebetulan juga jika harapan itu tak tergapai. Angga saja kebetulan jika pada akhirnya aku harus masuk kerja di hari sabtu ini. Anggap saja kebetulan juga bila aku masih harus berlelah-lelah dan berpanas-panas bermandikan peluh. Anggap saja kebetulan! Anggap saja kebetulan saat aku tak berkesempatan segera menyelesaikan apa-apa yang menekan-nekan imaji itu. Anggap saja! Meski sebenarnya tak ada yang kebetulan di dunia ini.

Aku hanya ingin. Aku hanya ingin mengurangi daftar kesia-siaan. Meski awalnya aku menggerutu mengapa mesti berpayah-payah dalam kerja di hari yang kata mereka spesial ini –oleh sebab surat sakti atasan, tapi aku kemudian menyukuri. Merenungi mereka yang bermain kembang api di tahun baru, merenungi tentang hari yang berganti begitu saja. Ah, setidaknya, pada perguliran waktu ini, aku tak mengisinya dengan kesia-siaan. Hingga tak menambah daftar kesia-siaan yang telah lalu.

Selamat malam!

kesunyian kecubung
290111

tulisan lain terkait hari ini:
290110
290109
290108




Friday, January 28, 2011

benar-kuat

Kali ini amat tegas. Tanpa ragu : “rokoknya bisa dimatikan ya, pak?”. Tidak dengan nada memaksa dan mengancam memang, tapi keputusan untuk melisankan ketidaksukaan itu sejak ketakberesan itu pertama hadir, adalah perkara yang patut diapresiasi. Dulu-dulunya, di beberapa kesempatan yang memang beda kondisinya, butuh perhitungan matang untuk membahasakan ketaksukaan dalam sebuah suara. Menimbang-nimbang. Bahkan, seringkali kalah, lalu hanya menunjukkan ekspresi tak suka dengan sesekali mengibaskan tangan pada asap yang mencoba menyapa wajah. Alasannya, lagi-lagi karena faktor tak enak. Tapi tetap saja, lama-lama,ini mencitrakan kelemahan diri.

Tapi sore itu memang beda. Ada kekuatan untuk bersikap. Kekuatan yang tak muncul begitu saja. Posisinya lah yang menentukan. Sebab sore itu memang ia sebagai raja. Sebagai penumpang yang menyewa mobil itu, memang sudah menjadi haknyalah untuk mendapatkan kenyamanan yang sesuai dengan keinginannya, atau kebenarannya. Maka menjadi berwibalah kalimat keberatan itu, bukan sebagai gerutuan yang seringkali hanya dianggap sebagai pengganggu kenyamanan. Hingga tak ada alasan bagi si sopir untuk menolaknya. Atau, kalau belum bisa segera menunaikan permintaan itu, maka yang mengalir adalah sebuah permintaan maaf yang santun melegakan.

Berbeda kasusnya dengan kesempatan-kesempatan lain. Ia menjadi kebanyakan. Sama-sama berstatus penumpang. Maka, ketika ia merasa tak nyaman dengan seseorang lain yang tiba-tiba seenaknya sendiri menyalakan rokoknya, ada resistensi yang menghambat meluncurnya kalimat penolakan dari mulutnya. Rasa segan, tak enak hati, atau bolo-bolonya seketika ikut-ikutan memenuhi pikirannya. Hingga, ketika rasa tak enak hati itu yang justru menang, maka seperti itu tadi, hanya bisa berdiam diri menolak-nolaknya dalam hati atau menunjukkan ketaksukaan dengan bahasa tubuh. Tak sampai keluar kalimat itu.

Kebenaran tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan tanpa kebenaran adalah kezaliman.

Ilustrasi di atas memang tak menjelaskan betul, tapi cukuplah kalau sekedar menjadi sebuah gambaran. Bahwa, perlu ada kekuatan menyertai kebenaran. Sebab jika tidak –kebenaran tanpa kekuatan--, yang ada hanyalah kelemahan. Kau mungkin benar, tapi saat kau tak punya kekuatan untuk membuat kebenaran itu berlaku umum, itu mungkin ketakberdayaan. Kau mungkin juga benar, tapi saat kau tak punya kekuatan untuk mempertahankan kebenaranmu dari kekuaatan lain, itu adalah kelemahan. Benar itu memang yang utama, tapi kuat juga penting. Kekuatan akan memastikan keberlangsungan kebenaran. Kekuatan juga yang akan menjamin ekspansi kebenaran.

Maka muslim yang kuat lebih disukai daripada musim yang lemah. Maka bersatu itu lebih dicintai daripada bersendiri. Karena dengan itulah kebenaran menjadi berwibawa. Berwibawa oleh sebab kekuatan akhlak, berwibawa oleh sebab kekuatan kehendak, berwibawa oleh sebab kekuatan sumber daya.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiallahuanhu berkata : Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.
(Riwayat Muslim)

Juga

Agama ini adalah kumpulan kebenaran, yang hanya dapat diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, apabila ia mendapat dukungan kekuatan yang sama besarnya dengan kebenaran itu sendiri. Kebenaran dan kekuatan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kebenaran tanpa kekuatan adalah kelemahan. Kekuatan tanpa kebenaran adalah kezaliman. Dan perang adalah tempat di mana kekuatan kebenaran itu diparadekan
(Anis Matta)


Tuesday, January 25, 2011

(garagara) QN ala tobie

yang aku tahu, di sinetronsinetron yang dulu pernah aku tonton, jika cerita sudah mulai membosankan dan tak ada lagi yang bisa diceritakan, sutradara akan memunculkan pemeran baru untuk menggairahkan cerita.


gambar dari sini

hal-hal spesial di masa lalu

Ada hal-hal kecil yang mengingatkan hal-hal besar..

Pagi hari, jika aku berangkat kerja pada menit yang tetap –biasanya saat headline news metro tv baru mulai-, di belokan hanya seratus meter dari rumah, aku akan menemukan aroma masakan yang khas. Di sebuah lingkungan yang sepertinya aktivitas memasak terbilang langka, bau masakan itu menjadi spesial. Hanya beberapa detik, oleh sebab sembari berkendara, aku akan menikmati saat-saat itu: bau masakan spesial menjalari bulu-bulu hidung untuk selanjutnya menjalar melalui saluran yang tak begitu aku tahu. Menuju otak. Lalu melalui mekanisme yang aku juga tak begitu tahu, mungkin terjadi proses identifikasi. Mencocokkan dengan data-data yang sudah berjejalan di otak. Memirip-miripkan. Hingga yang terspesial yang terpilih : seorang perempuan spesial yang memasak di tiap paginya, di masa lalu. Sebuah bau, sebuah hal kecil yang justru memulangkan diri pada keduluan, kala bau yang sama tiap paginya menyergap bulu-bulu hidung. Membangkitkan gairah menyantap hidangan.

Ada hal-hal sepele yang membangkitkan memori akan hal-hal mengesankan

Sudah dua kali ini. Perjalanan Bontang-Samarinda memang penuh tantangan. Selain jalan yang turun naik dan berkelok-kelok dengan sangat tajamnya, jalan yang bergelombang pun turut andil membuat tak nyaman perjalanan. Maka malam itu, untuk kali kedua, tubuh tak bisa diajak kompromi. Sejenak menyesalkan diri tak minum antimo saat hendak berangkat, tapi tak ada guna. Semuanya sudah terlanjur. Maka menit berikutnya, mual itu mencapai puncaknya. Keluar sudah makanan dari lambung yang sudah membubur. Berpindah ke kantong kresek yang untungnya tersedia. Pahit, tentu saja. Lega? Tidak, tentu saja. Tak seperti halnya mabuk perjalanan lain yang akan segera berakhir dengan sekali muntahan, maka untuk kasus yang hebat, hingga tak ada lagi sisa makanan di lambungmu lah muntah itu baru mereda. Meredanya, dengan sebuah kesadaran. Ada hal-hal spesial di masa lalu ternyata yang terbangkitkan dari hal-hal sepele di masa kini. Dan tentang muntah itu, jangan salahkan pikiranmu yang pulang ke masa lalu. Ketika makanan yang berada di lambung itu mulai berbalik arah, dan tanganmu telah siap memegang kresek yang disorongkan tepat di depan mulut, kesadaran menghentakmu kala tak ada tangan lembut memijit tengkukmu agar kelegaan lebih cepat menyapa. Agar makanan itu sempurna keluar menunaikan tugasnya. Memang, ada orang lain di mobil itu, orang lain yang berstatus teman, tapi itu tak cukup untuk menggerakkan hal yang sama. Mungkin. Sebab melihat orang muntah saja akan membuat jerih. Apalagi mendekatinya. Ya, sebuah hal sepele berbentuk muntah, mengingatkan kau akan ketulusan tangan lembut yang ringan memijit tengkuk. Sebuah tangan milik ibumu.

Ada hal-hal spesial di masa lalu lah yang bisa dipanggil kembali lewat hal-hal spele di masa kini

Maka kau tak perlu melulu berkarya besar versi manusia umumnya untuk bisa menyejarah. Kau tak harus berbuat hal-hal yang pada masanya membuat semua orang tercengang tak percaya. Kau hanya perlu melakukan hal-hal spesial. Hal-hal spesial yang bersumber dari ketulusan. Hal-hal spesial yang muncul dari kebeningan niat. Maka kau tak usah peduli, kala itu tak tercatat lembar sejarah. Sebab itu sudah terangkum dalam memori kolektif orang-orangnya. Kelak, bahkan oleh hal-hal kecil, hal-hal spesialmu itu akan terbangkitkan kembali dengan indahnya. Seperti halnya seorang ibu yang ikhlas menyiapkan makan pagi anak-anaknya. Seperti seorang ibu yang telaten memijit tengkuk anaknya yang sedang muntah.

Sudahkah kita?




Monday, January 24, 2011

mata air mata

Aku pernah memergoki ibuku menangis. Bukan tangis berderai memang. Hanya sesenggukan yang aku tahu sekuat tenaga ia tahan. Tapi cukup. Cukup membuatku terdiam tak mampu berkata. Merekonstruksi banyak hal dalam pikiran. Memainkan berbagai kronologi dalam imaji. Dan, hei, betapa itu menusuk-nusuk. Jika gambaran yang sering kau lihat adalah gambaran perkasa yang melakukan segala, yang mampu menahan tanggungan hidup yang kerap mendera-dera, maka saat kau melihatnya dengan kebalikannya, itu berkali-kali lebih menyakitkan. Itu mungkin sebuah titik kulminasi. Semacam titik stasioner pada grafik polinomial. Bukan untuk menyerah. Atau lelah. Hanya untuk menyerap energi. Sebab aku tahu, beberapa saat setelah itu, air mata telah punah dan kosakata yang berlaku kembali satu: kerja.

Aku juga pernah menyaksikan secara dekat dosenku berkaca-kaca. Tiba-tiba terdiam dari kuliahnya yang seketika membuat hening suasana. Semua mahasiswa dirundung bingung tak tahuberbuat apa. Muka-muka saling melirik dan beberapa mulai dirundung sesal. Berandai-andai jangan-jangan merekalah penyebabnya. Mereka, atau beberapa dari mereka, memang terlihat tak memperhatikan kuliahnya. Tapi, ah, alhamdulillah. Setelah menit-menit yang berlalu begitu panjang, pak dosen membuka kembali pembicaraannya. Ia terlalu emosional, begitu ungkapnya. Ia terlalu emosional berbicara mengenai korupsi. Sebuah bahasan yang tiba-tiba menghentaknya dengan sebuah kesadaran, bahwa amat sangat mungkin mantan-mantan mahasiswanya itulah termasuk pelakunya.

Lalu aku pernah menatap lemah seorang puteri yang menangis di sudut rumah sakit. Saat itu aku, dan seorang teman, membersamai gadis itu menjenguk ayahnya yang dirawat di rumah sakit. Tapi lihatlah, bahkan sebelum ia sampai benar, saat ia menatap dari kejauhan, dari balik kaca yang tak memperbolehkannya masuk, demi melihat tubuh ayahnya yang penuh selang-selang menempeli tubuh, tangis itu pecah. Maka aku tak tahan, tak tahan melihat pemandangan itu. Membuang muka dan sebisa mungkin tak mendengar sesenggukannya.

Itu adalah 3 air mata yang hebat. Tangis yang membuatku menunduk dalam tak banyak kata. Tapi kali ini, akhir-akhir ini, aku melihat air mata bertebaran yang justru membuatku muak melihatnya. Kuganti channel TV aku temukan sinetron dengan tokoh utama tak henti menangis. Air mata sungguh menjadi karibnya. Segalanya mesti disikapi dengan tangis. Lemah, lemah, dan lemah. Itulah yang kemudian tercitra.

Tapi itu memang fiksi. Ya, fiksi. Tapi aku kemudian punya argumentasi pementah jawaban itu. Aku ganti channel televisi dan aku temukan lagi tangis. Ah, kali ini bukan sinetron, bukan pula film. Kali ini kenferensi pers seorang perempuan cantik. Air mata terlihat berderai-derai menyertai mulutnya yang sepatah-patah memenuhi dahaga wartawan yang menyorongkan berbagai pirantinya.

Aku bosan. Kuganti kembali channel televisiku. Lagi-lagi kutemukan airmata. Seseorang yang duduk di kursi pesakitan berpledoi sambil mengalirkan air mata. Menjiwai betul. Benar-benar air mata. Tapi maaf, maafkan aku yang sudah terlanjur mensuudhoni itu sebagai cara mengais simpati. Maka maafkanlah aku yang kemudian mematikan televisi. Ogah menonton tangismu. Tapi tentu saja, tentu saja bukan keogahan menonton layaknya ketidakmauan memandang tangis gadis menangisi ayahnya yang kusebutkan di awal. Tidak! Sama sekali beda. Sungguh menganga bedanya.

Televisi mati. Hening seketika. Sampai kudengar tangis pecah. Ternyata balita anak tetangga yang sedang terjatuh dari sepedanya. Kai ini aku beranjak. Mencoba menawarkan dadaku sebagai labuhan kepalanya.

Saturday, January 22, 2011

(jurnal ala iqbal) -masa lalu-

Membaca cerita-cerita hebat, mencermati cerita-cerita menakjubkan tentang perjuangan, pengabdian, pemberian, dan idealisme, tak ayal sering kali menimbulkan sesak di dada. Ada rasa cemburu, gundah, marah, betapa diri ini masih di sini, dan masih melakukan hal-hal yang itu-itu saja. Tenggelam dalam keumuman dan menjadi manusia umum yang sebentar lagi akan dilupakan sejarah. Kemudian, episode hidupnya hanya akan dirangkum dalam tiga buah catatan pada patok putih yang sebentar lagi akan penuh dengan bercak tanah: fulan bin fulan, lahir tanggal sekian, mati tanggal sekian. Selesai.

Menekuri tiap kalimat hidup itu, yang bercerita tentang sebuah capaian gemilang di masa lalu, yang mengabarkan ke masa kini tentang semangat dan idealisme yang menggelora, tak bisa tidak akan turut serta mengajak kita ke masa lalu itu juga. Dan betapa kecewanya diri ini, merutuk tak henti, bahwa di masa yang sama dengan yang terceritakan itu, tak banyak yang bisa diceritakan selain kisah umum seseorang yang berada di masa itu. Kau akan memakluminya kala ‘tak banyak’ itu berasosiasi dengan ‘itulah hal terbaik yang bisa kita lakukan’. Tapi tidak, saat ‘tak banyak’ itu berarti tak optimalnya kita mengeksplorasi kemampuan diri.

Masa lalu mungkin memang bisa menghukum. Membuat kita menundukkan muka, malu bahkan pada diri sendiri, tentang kenyataan bahwa hanya sampai segitu saja kita. Tak terlihat, mengerdil, dan terselip dalam hiruk pikuk dunia. Ketakterlihatan itu, menjadi baik kalau itu berarti pahlawan sunyi, tapi akan begitu menjijikkan jika itu bermakna pecundang kesepian.

Kita adalah kumpulan waktu, detik demi detik, yang menggumpal dengan sebutan usia. Maka kualitas kita, adalah kualitas detik-detik itu. Kepadatan detik-detik itu dengan perjuangan dan amal jempolan akan menentukan seperti apakah kita. Tentang apakah satu satuan waktu mengahasilkan satu satuan amal, atau dua, atau tiga, atau banyak, atau bahkan tidak. Kita memang tak perlu menghitung dan terlalu mengingatnya, sebab sejarah sendiri lah yang akan mencatatatnya. Tapi kesadaran tentang itu, harus senantiasa tertumbuhkan. Tak bisa tidak. Sebab kesadaran itu lah yang penting. Lalu penyikapannya.

Penyikapan. Aha, ini lah point pentingnya. Tindakan nyata itulah yang penting. Mari kita tinggalkan masa lalu itu. Sebetapa menyakitakan itu, sebetapa tak berkontribusinya masa itu, sebetapa jahiliahnya masa itu, ia tetaplah masa lalu. Sebetapa menghukum itu terhadap sekarang, sebetapa itu kerap membuat kita menutup muka, ia tetaplah menjadi sesuatu yang sudah tertinggal jauh yang tak mungkin kita pungut dan perbaiki lagi. Ia telah menjadi diri kita dan telah menyatu dalam satuan-satuan penyusun usia kita.

Barang siapa hari ini lebih baik dari kemarin, maka ia termasuk orang yang beruntung. Cukup! Itu sudah cukup menjawab kesemuanya. Bukanlah begini landasannya: barang siapa yang hari kemarin lebih buruk dari hari ini, ia termasuk hina. Bukan. Menjadi mantan preman lebih baik daripada mantan ustad. Maka, yang perlu dilakukan sekarang, adalah memperbaiki kualitas detik-detik kita senyampang waktu-waktu itu belum terhenti. Senyampang masih ada kesempatan untuk membentuk batang usia kita dengan satuan-satuan waktu itu. Satuan-satuan waktu yang harus kita buat seproduktif mungkin. Sepadat mungkin.

Kesadaran itu penting, tapi penyikapannya itulah yang kemudian jauh lebih penting. Kesadaran akan masa lalu yang tak terlalu cemerlang itu penting, tapi sebuah tekat hati untuk menjadikan kesadaran itu sebagai cambuk yang melecuti hari-hari ke depan untuk bertindak jauh lebih baik, jauh lebih penting. Seperti Umar yang menangis sekaligus tersenyum mengingati masa lalunya, suatu saat kita mungkin begitu. Tapi pastikan, pastikanlah saat itu kita hanya mengingat dan bukan larut di dalamnya. Pastikanlah saat itu kita akan segera bangkit, untuk menyerukan ini pada dada : aku telah menjadi manusia yang lebih baik dari kemarin, dan akan terus berusaha lebih baik, lebih baik, sampai waktuku habis.


#aha, kalimat ini sungguh benar: yang memberi nasehat sejatinya lebih membutuhkan nasehat itu sendiri.




Friday, January 21, 2011

(QN ala tobie) jalan cinta calon penulis

Ada sebuah fakta yang bersumber dari masa SMP dulu bahwa saya sudah memimpikan menjadi seorang penulis bahkan sejak usia belia itu. Pernah saya ceritakan dulu dalam sebuah postingan di sini juga bahwa masa kecil saya bukanlah sebuah masa yang dipenuhi dengan limpahan buku. Gairah membaca itu begitu tinggi, tapi buku sebagai salurannya, tak selalu tersedia. Saya, tidaklah seperti orang-orang yang sering saya baca kisahnya tentang orang tuanya yang rajin membelikan buku. Tidak. Buku-buku, secara tak kontinyu, saya peroleh dari perpustakaan sekolah yang sering terkunci dan tak terlalu banyak diminati.

Berawal dari penemuan sebuah buku usang di perpustakaan SMP. Saya lupa judulnya dengan pasti, hanya seingat saya, ada kata ‘guntingan koran’ dalam kalimat judulnya. Menceritakan tentang keberhasilan menjadi seorang penulis di media massa dari kliping-kliping yang dikumpulkan. Buku itu, begitu kuatnya menyihir saya hingga pada usia sebelia itu sempat membuat coretan tulisan tentang bagaimana budi daya salak yang baik. Salak memang adalah buah yang cukup berlimpah di kampung saya tapi tak tergarap dengan optimal. Berbekal dua buah buku yang dibawa bapak dari penataran tentang optimalisasi salak ini, saya tulis artikel itu. Tulisan itu seingat saya tak pernah selesai dan masih terbengkalai dalam suhuf-suhuf yang tak rapi. Tentu saja kala itu saya menuliskannya dengan tangan. Era komputer dalam hidup saya masih jauh setelah masa itu.

Tulisan pertama saya yang dipajang di umum adalah sebuah tulisan ringan di mading SMP. Bukan tulisan yang niat sebenarnya. Hanya sebuah tulisan iseng di sebuah buku saya yang kemudian disalin seorang teman untuk dipajang di mading. Seingat saya, tulisan itu berupa percakapan yang isinya mengandung judul-judul sinetron yang ngetren kala itu. Sayang, tulisan itu sudah tak saya temukan lagi hingga tak bisalah menelusuri riwayat kepenulisan.

Tapi kemudian, justru di SMA, saat saya mendapati sebuah perpustakaan yang jauh lebih lumayan dari perpustakaan SMP, dimana selain menyediakan buku bacaan terbitan balai pustaka juga menyediakan majalah sastra Horison, niat menjadi penulis itu teredam. Bukan teredam dalam pengertian biasanya sebenarya, hanya perlahan kata ‘penulis’ tereliminasi dari pekerjaan utama yang ingin saya raih (kelak saya mengerti, mungkin memang begitulah harusnya). Namun begitu, di luar fakta keinginan menjadi penulis itu memudar, justru aktivitas menulis seolah merengkuh saya. Saat SMA itulah saya keranjingan dengan puisi hingga seluruh buku kumpulan puisi di perpustakaan sekolah sudah saya jengkali isinya.

Saat kuliah, mungkin saya sebuah anomali. Entahlah, di sebuah jurusan teknik, di sebuah institut teknik, akan jarang kau jumpai seseorang yang mencintai menulis ini. Tentu saja maksud saya bukan menulis paper atau jurnal-jurnal. Orang-orang teknik banyak yang melakukan itu, meski saya kurang menyukai tulisan macam begitu. Entahlah, mengapa sesuatu yang ilmiah, sesuatu yang serius katanya, harus disajikan dalam sebuah bahasa yang serius dan kaku. Maka tak heranlah jika banyak yang ketiduran membacanya, atau segera melupakan isinya beberapa saat setelah memmbacanya. Sebab tak ada lagi yang menjejak dalam benak.

Saya mulai menulis cerpen. Ya, pada SMA saya memang telah mencoba-coba melakukannya, tapi tak ada yang benar-benar berhasil. Saat kuliah ini lah cerpen pertama saya berhasil terbuat. Dan, yang membahagiakan, cerpen pertama itu berhasil dimuat di deteksi jawapos meski sudah setahun lewat sejak saya mengirimkannya. Kejutan, kata itu kiranya yang mampu mewakilinya.

Kemudian, akhir 2007, seorang teman memperkenalkan multiply ini. Duh, betapa saya begitu antusias memperoleh info baru ini. Informasi bahwa saya bisa menulis di sebuah web pribadi dan bisa dibaca banyak orang, cukup sudah membangkittkan gairah menulis saya. Sebelum-sebelumnya, saya sering kali menulis tulisan-tulisan ringan di buku-buku kuliah. Sambil menunggu kuliah, atau bahkan saat kuliah, kata demi kata mengalir. Saya memang beberapa kali menyengaja untuk duduk di pojokan yang jauh dari perhatian dosen saat sudah mengetahui dengan pasti bahwa kuliah yang akan dilalui hanyalah rangkaian kebosanan. Menulis, adalah cara jitu berkamuflase untuk mencitrakan diri sedang mencatat tiap penjelasan si dosen. Tentu saja, cara ini tak layak Anda tiru.

Bila ada sebuah sarana yang begitu mendekatkan saya dengan mimpi menjadi penulis, maka multiply inilah jawabnya. Adanya sebuah rasa bahagia tiap selesai menulis adalah sebuah fakta, tapi adanya sebuah apresiasi dari pembaca bahwa tulisan kita ‘menginspirasinya’ adalah sebuah kesadaran bahwa saya harus terus menulis. Menulis yang baik. Tapi kemudian inilah tantangannya, saat kau menulis untuk dirimu sendiri, saat kau menulis serupa menumpahkan segala sampah pemikiran yang begitu menjejal, hal itu ringan saja. Tak perlu ada yang ditutup-tutupi. Tumpahkan saja apa yang perlu ditumpahkan. Tapi menjadi tidak saat tahu adanya fakta akan ada banyak orang yang membaca tulisan ini. Maka, kejujuran pun menemukan medan juangnya.

Sudah tiga tahun lebih usia multiply ini, dan saya belum juga menjadi penulis. Bukan multiply ini yang salah, tentu saja. Hanya saya saja yang lebih sering menginginkannya tapi tak jua benar-benar serius melakukannya.

Menulis, pada akhirnya adalah kebutuhan jiwa. Ketika saya menemukan sebuah saluran untuk rasa kesepian, marah, mengharap, atau bahagia, itu sebenarnya lebih dari cukup. Jika kemudian ada orang yang mendapatkan sesuatu yang baik dari tulisan kita, itu adalah bonus. Bonus yang hebat. Sebab kata baginda nabi, sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi sesamanya.

Maka saya harus yakin, senyampang saya terus menulis, kata demi kata, lembar demi lembar, mimpi jadi penulis itu akan segera mewujud. Sebab, sekeras apapun kau membantahnya, ‘menulis’ dan ‘penulis’ hanya masalah beda awalan. Kata dasarnya sama. Dan agaknya, atau memang pastinya, harus me yang berulang-ulang tak kenal menyerah, baru pe akan datang dengan sendirinya.

Doakanlah kawan!

Thursday, January 20, 2011

“Mengapa Kami Harus Bertepuk Tangan Untuk Berita Yang Kami Tangisi ?”. « Tatty Elmir

http://tattyelmir.wordpress.com/2011/01/20/%E2%80%9Cmengapa-kami-harus-bertepuk-tangan-untuk-berita-yang-kami-tangisi-%E2%80%9D/
sebuah cerita tentang kemegahan 'Kick Andy', tentang betapa menginspirasinya acara ini. Tapi ini dari sudut pandang lain. Sebuah cerita yang semoga bisa kita renungi....

*****************

KISAH DI BALIK INSIDEN KELUARNYA DEWI MOTIK DAN DIUSIRNYA SAYA OLEH ANDI F NOYA DALAM KICK ANDY DI METRO TV

“Kami Tak Sudi Diperintah Untuk bertepuk Tangan Atas Bencana Yang Kami Tangisi”.


Malam ini, Rabu 19 Januari 2011 saya mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa hebat. Peristiwa yang menjadi guru nan bijak bestari, dan tak mungkin akan terlupakan.

Sejak tadi SMS, dering telepon di HP dan rumah beberapa kali berbunyi menanyakan keadaan saya setelah diusir Andi F Noya dari Metro TV, dalam tapping acara Kick Andy (KA) tadi.

Lalu terpikirlah kini, ketimbang saya harus menceritakan kejadian yang sama berulang-ulang, mending saya tulis saja mumpung peristiwanya masih segar dalam ingatan.

“Hah, mama diusir ? seriuuuuus ?” tanya anak-anak tak percaya.

“Hehehe ga apa-apa diusir, asal setelah itu orang-orang menyadari, dan menjadi lebih sensitif, mengapa kita mau diperintah, harus bertepuk tangan untuk bencana yang kita tangisi?”. Saya berusaha cengengesan.

Hmmm…Ceritanya berawal ketika hari minggu siang 16 Januari 2011, pejuang anak dan ketahanan keluarga psikolog Elly Risman, mengirim pesan singkat kepada Ibu Inke Maris (praktisi media, Ibu Wirianingsih (mantan ketua PP Salimah, Ibu Masnah Sari(Mantan Ketua KPAI, Shakina( Direktur Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia) dan saya sebagai pengurus ASA Indonesia, agar kami berkenan datang ke Metro TV, Rabu untuk mensupport Ibu Elly yang diundang sebagai nara sumber dalam acara “KA”. Pada awalnya saya sudah mengatakan tak bisa hadir karena sudah ada agenda rapat. Namun karena Bu Inke Maris tiba-tiba kecelakaan, maka bu Elly lagi-lagi meminta saya untuk berkenan hadir, paling tidak memperlihatkan kekompakan kita.

Waktu itu kami semua berfikir dan membayangkan Ibu Elly Risman pimpinan Yayasan Kita dan Buah Hati, sahabat seperjuangan kami dalam mendirikan organisasi perlindungan anak ASA INDONESIA, akan dihadirkan sebagai tokoh pejuang anak dan perempuan, yang menginspirasi banyak orang dan layak jadi teladan, sebagaimana “Pahlawan di jalan sunyi” lain yang sebelumnya kerap dihadirkan di KA.

Meski kami sudah mengusahakan hadir 30 menit sebelum tapping jam 17.00 seperti yang dijadwalkan, ternyata acara molor 2 jam lebih, toh undangan berusaha ikhlas demi mensupport pejuang sekaliber Ibu Elly. Saya juga melihat begitu banyak petinggi dari berbagai organisasi termasuk institusi/lembaga negara seperti Depkes, Menkokesra, Menpora, dan lain-lain. (Semua tokoh yang saya tanyakan mengaku hadir untuk mensupport Ibu Elly, bukan atas undangan pihak Metro TV). Tentu mereka mengorban waktu mereka yang demikian berharga.

Sebelum acara dimulai, seperti biasa, floor manager ( tak taulah kalau di KA istilahnya apa) memberikan pengarahan yang antara lain, harus bertepuk tangan dengan antusias kalau dia mengaba-aba, mengawali tepuk tangan.

Sessi pertama Andi Noya menghadirkan seorang gadis remaja yang sejak usia 16 tahun sudah terbiasa melakukan seks bebas dan kini menjadi PSK. Kawan-kawan dari berbagai organisasi wanita di samping dan belakang saya mulai berbisik-bisik dan mengungkapkan kekecewaan, kenapa Andy justru mengeksplor masalah ke”terjerumusannya”, bukan alert tentang bahaya seks bebas dan pornografi. Banyak ungkapan-ungkapan miris si gadis justru ditanggapi dengan joke oleh Andi yang memberi kesan seolah membenarkan kebiasaan buruk si gadis. Misalnya Andy bertanya “Apakah bunga ( nama samaran si gadis) memilih-milih orang yang menerima jasanya(yang disebutnya sebagai klien). Lalu si gadis menggeleng. Terus Andy mencecar terus, jadi ga apa-apa kalau yang datang tipe begini, begitu…termasuk…”Jadi orang kribo juga boleh?”, tanyanya nakal sambil ngakak menunjukkan ke ‘kriboan’nya.

Dan banyak lagi joke-joke yang sangat tidak pantas dilontarkan jika kita memang MEMPRIHATINKAN masalah tersebut.

Yang lebih mengecewakan, Ibu Elly Risman yang diundang sebagai nara sumber, ternyata hanya didudukkan di kursi audience, lalu ditanya singkat, tanpa mempertajam “MATERI”, yang menyangkut peringatan atas sesuatu yang selama ini selalu disebut bu Elly sebagai “Bencana Kemanusiaan” . Ibu Elly tak lebih hanya dijadikan sebagai “Asesoris” , pelengkap dan pemanis suatu acara…..dan sebagai alasan untuk suatu show yang seimbang karena menghadirkan pakar.

Sampai selesai wawancara dengan PSK remaja perempuan tadi, tak sekalipun Andy menanyakan dampak atau mudharat yang diterima si anak. Semua pertanyaan-pertanyaan hanya memancing jawaban yang seolah-olah memberikan pesan “Bahwa seks bebas adalah sesuatu yang lumrah bagi remaja, dan BETAPA MUDAHNYA MENCARI UANG DENGAN MENJUAL DIRI”. Yang lebih miris, Andy memancing apa benar si gadis juga dipakai pejabat penting ? Lalu tertawa-tawa ketika si gadis mengiyakan sembari menyebut-nyebut pelanggannya dari berbagai lembaga terhormat negara seperti DPR dan BIN. ( Kata-kata itu, lalu diulang-ulang dan diperdalam dalam canda tawa) Agaknya memang dalam segala situasi dan program, sudah menjadi rahasia umum, Metro TV senantiasa teramat BERSEMANGAT, mencoreng wibawa pemerintah. Dan kebencian kepada pemerintah itu rupanya harus dipupuk dan diekspresikan di setiap tayangan.

Babak demi babak berlalu tanpa ada penekanan bahwa ini adalah sesuatu yang harus diprihatinkan, maka diundang pula nara sumber kedua, seorang PSK laki-laki berusia 19 tahun. Andy kian berani dengan canda vulgarnya, dan berusaha terus mengilik si remaja untuk blak-blakan menceritakan kisahnya sebagai PSK laki-laki dan gigolo dengan pasar 40 % perempuan dan 60% laki-laki ( Tapi versi narator di film pendek yang diputar 70% pelanggannya adalah laki-laki). Andi dengan leluasa mengekspresikan ke’kagumannya’ atas “bualan” si anak yang katanya biasa dibayar 2-15 juta perorang, dan sehari ia biasa melayani sekitar 3 orang. Tragisnya lagi, cerita MENGERIKAN yang diungkapkan si anak yang merupakan berita duka untuk bangsa ini, justru harus diberi applause saban si nara sumber selesai mengobral kisah yang itu kian seru dan kian seru. Andi tak malu-malu mengumbar canda bahwa ia ngiri dengan gigolo bau kencur ini, dan ini adalah sesuatu yang ia juga impikan di masa muda, di saat masuk dalam obrolan bagaimana mereka ‘main dalam mobil dengan beberapa orang gadis. Sungguh-sungguh ini lawakan yang menjijikkan, dan sangat melukai perasaan kita sebagai orang tua, dan tentunya melukai perasaan orang-orang beragama dan BERADAB.

Saya benar-benar gelisah di antara tawa gaduh ratusan mahasiswa dan anak muda yang diundang hadir, sembari sesekali menatap kawan-kawan, termasuk bu Elly yang juga tak dapat menyembunyikan kegelisahan beliau. Saat break, ketua Kowani Ibu Dewi Motik mengingatkan Andy, bahwa sangat tak layak meminta orang bertepuk tangan untuk sesuatu yang memprihatinkan. Berulang-ulang beliau mengatakan merasa didzalimi. Saya juga meminta Andy untuk lebih memberi ruang kepada bu Elly sebagai peringatan kepada masyarakat, terutama anak-anak, agar tidak melakukan kesalahan yang sama. (Saya malahan berharap kehadiran kawan-kawan aktifis yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis penyakit kelamin dapat dijadikan sebagai info tambahan, bagaimana situasi dan data-data mengerikan di balik ruang prakteknya ).

Ekspektasi saya waktu itu, sebagai host yang bijak, Andy akan meminta masukan dari para pakar yang banyak hadir, bagaimana baiknya ending acara ini agar tidak disalah pahami, dan pesan yang disampaikan membawa manfaat untuk masyarakat, terutama anak mudanya agar jangan sekali-sekali meniru dan mengulangi kesalahan yang sama.

Duh….Alih-alih meminta saran, rasanya sungguh tak percaya, Andy terkenal dengan citranya yang ‘baik’malah mengusir saya dari ruangan. Waktu Ibu Dewi Motik meninggalkan ruangan sembari mengucapkan kata-kata yang kurang lebih seperti ini…. “Maaf Andy, saya terpaksa meninggalkan ruangan ini, karena saya dizalimi. Saya pikir yang jadi nara sumber Ibu Elly, tapi ternyata anda memaksa kami untuk bertepuk tangan di tengah cerita yang menyedihkan dari anak-anak PSK ini “. Saya lihat Andy Noya dengan wajah tegang mempersilakan bu Dewi Motik yang memang sudah berjalan pergi, untuk meninggalkan ruangan. Lalu sutradara mengingatkan “Lihatlah acara ini dengan utuh”. Ibu Elly Risman juga berusaha menenangkan dengan mengatakan bahwa nanti di babak akhir acara beliau akan mengingatkan masyarakat.

Biar ruangan tidak semakin gaduh, saya mencoba menyabarkan diri dengan bilang “Ya sudah kalau begitu, saya tetap akan di sini, dan berharap semoga acara berjalan seperti yang dijanjikan”

Tak dinyana tak diduga, eh Andy dengan kasar justru berulang-ulang bilang “Ibu juga ….Ibu harus pergi dari sini, kan ibu sudah tak tahan kan…ibu harus pergi…Ibu harus pergi !!”

Otomatis sayapun mengikuti langkah Dewi Motik, disusul 2 orang petinggi Kowani lainnya, setelah memohon pamit kepada Ibu Elly Risman dan mensupport agar beliau tidak lupa menyampai pesan, betapa bahayanya pornografi dan seks bebas.

Di perjalanan pulang, kami berempat tak henti-hentinya beristighfar dan bersyukur kepada Allah, atas kekuatan yang diberikanNYA untuk menyampaikan kebenaran ini. Kami tahu, sebagai host acara yang cukup bagus, Andy F Noya senantiasa dihujani puja puji dan tepuk tangan. Karena memang selama ini Andy begitu dikagumi lantaran program Kick Andynya dianggap telah banyak menginspirasi orang. Mungkin karena kehebatan itu. selama ini tak pernah ada yang berani mengingatkan jika suatu ketika Andy salah. Jadi wajar Andy sangat marah ketika kami ingatkan bahwa tak selayaknya “KISAH HOROR” PSK remaja dieksploitir. Hmmm tepuk tangan memang menikam rupanya.

Buat Andy F Noya, terimakasih telah mengusir saya dengan begitu “SANTUN”. Namun maaf sekali, saya tidak merasa lebih terhina. Saya justru bersyukur, karena setelah itu saya dapat kabar, anda memberi ruang untuk Ibu Elly bicara lebih banyak, ketimbang sebelumnya. Saya sangat menyayangkan, show anda yang dikagumi selama ini sebagai suatu tayangan yang “Mendidik”, di antara tayangan sampah, ternyata juga “mengikuti selera rendah pasar” dan eksploitatif.

Anda keliru jika merasa hebat telah melecehkan orang lain. Percayalah, kehormatan dimata manusia tak ada artinya, jika kita tak punya kehormatan di mata Sang Maha Kuasa. Kemuliaan seseorang tak terusik dengan sangkaan manusia manapun. Lagi pula menghina dan melecehkan orang lain, sesungguhnya kita justru tengah menghinakan dan melecehkan diri sendiri.

Karena itu saya juga telah memaafkan anda tanpa diminta. Bagi saya kejadian ini hanya teguran dan pembelajaran dari Allah buat saya, agar kita jangan terlena jika sudah merasa berbuat baik, lalu merasa paling benar dan paling hebat. Ya Allah ampuni hamba.

Oya, satu lagi kekecewaan yang ingin saya sampaikan anda dan crew Metro TV, tak sedikitpun melindungi identitas si nara sumber (PSK remaja perempuan), begitu ia keluar studio rekaman. Saya dan Ibu Dewi Motik langsung dapat mengenalinya dan sempat memeluk serta menasehatinya. Pakaian yang ia kenakan dan atribut yang menyertai masih sama dengan apa yang ia pakai sewaktu dipanggung menjadi nara sumber yang bermandikan cahaya dan sorot kamera. Padahal jika memang benar ia PSK remaja, yang mau bertobat (seperti katanya) tentu ia masih punya harapan untuk hidup baik, bukan malah dieksploitasi dan dipromosikannya sebagai pelacur !!! Pernahkah anda membayangkan, bagaimana perasaan anda jika nasib itu menimpa anak anda sendiri ?

Ketika saya hendak menutup “Cerita menjelang tidur ini”, saya dapat SMS dari Ibu Elly Risman yang bertuliskan “Kau benar adikku. Kakak Kecewa sampai tak tahu harus jawab apa. Tapi mudah-mudahan pesan yang yang sedikit itu sampai. Kita Tidak dilibatkan membuat programnya. Terimakasih ya sayang, telah bersikap”.

Ya Rabbana, berilah kami selalu kekuatan untuk menyatakan kebenaran jika itu benar, dan melawan segenap kemungkaran, meski hal itu harus melukai diri sendiri.

Amin ya Rabbal Alamin.

(Tatty Elmir 19 Januari 2011)

Tuesday, January 18, 2011

Friday, January 14, 2011

giving---- Bill Clinton

catatan pernikahan

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Parenting & Families
Author:helvy tiana rosa
Suamiku,
Telah kutulis puisi-puisi itu sejak usiamu 26 tahun
Ketika pertama kali kita bertukar senyum
Pada jarak pandang yang begitu dekat
Kau ingat
Saat kubisikkan mungkin aku tak perlu matahari, bulan atau bintang lagi
Cukup kau, cahaya yang Dia kirim untukku
Ah, apakah kau masih menyimpan puisi-puisi itu?
Dua belas tahun kemudian
Aku masih menikmati mengirimi puisi
Hingga hari ini
Aku pun menjelma hujan yang enggan berhenti
di berandamu bersama angin yang selalu kasmaran
kau tahu, aku masih saja menatapmu
dengan mataku yang dulu
lelaki sederhana berhati samudera
yang selalu membawaku berlabuh pada-Nya
pada berkali masa, kau pernah berkata:
“aku tahu, aku hanya ingin menikahi jiwamu selalu”

Mungkin, memang puisi itulah, yang ditulis di cover belakang buku ini, yang memaksa seseorang yang menyentuh buku ini untuk melongok isi di dalamnya. Termasuk saya. Mungkin. Selain karena mbak HTR, penulis buku ini, termasuk satu dari sedikit penulis yang pernah saya temui. Juga, selain faktor mbak HTR pernah menghadiahi saya sebuah buku seraya memanggil nama saya langsung (ha ha...dingat-ingat terus yang ini).

Cerita-cerita ringan. Pernak-pernik berumah tangga. Obrolan-obrolan menginspirasi. Seperti itulah gambaran buku ini. Sebagian besarnya (kalau tak seluruhnya) sudah pernah di publish di mp-nya mbak Helvy. Dan mungkin itu jualah yang membuat saya memilih buku ini dari sekian banyak buku yang belum terbaca. Tulisan-tulisan pendek yang habis dibaca sekejap waktu, memang cocok dibaca saat waktu membaca tak pernah panjang dan lebih sepotong-sepotong. Sambil nunggu isya, sambil nunggu pesanan makan, sambil nunggu jam berangkat kerja, sambil nunggu waktu yang pas untuk madi sore, sambil-sambil yang lain.

Sebagian besar memang berisi tulisan mbak HTR tentang pernik pernikahannya. Tentang maharnya, tentang keromantisannya dan ketidakromantisan suami, tentang ngidam, tentang masa menanti ank kedua yang panjang, tentang poligami, tentang godaan-godaan rumah tangga. Bila pada bukunya Tasaro, buku pernak-pernik pernikahan yang saya baca sebelumnya, lebih mengulas kehidupan pengantin baru, maka di buku ini lebih masuk ke dalam. Maka, semakin ke dalam, layaknya pohon yang tinggi semakin kencang angin yang menghembusnya, mungkin semakin besar lah tantangannya. Dan itulah yang beberapa kali dipaparkan di buku ini. Saya cukup sepakat dengan konsep sahabat keluarga yang diulas dalam salah satu (atau salah dua) topik bahasan dalam buku ini. Bahwa sahabat suami, sebisa mungkin harus menjadi sahabat istri juga. Begitu pun sebaliknya. Sehingga tak ada yang privat. Sehingga tak ada, semisal, seorang perempuan yang menjadi teman dekat suami tanpa sepengetahuan, atau sepengenal istri. Sebab itulah yang sering kali mejadi muasal perselingkuhan. Pada mulanya biasa, tapi kemudian setan menakbiasakan hubungan itu.
“selamat tidur, Juara”. Ha ha. Saya nyengir membaca kalimat sapaan ini. Itu adalah kalimat sapaan mas Tommy, suami mbak HTR, padanya suatu waktu. Suatu ide sederhana yang kemujarabannya justru tak sederhana saya kira. Tentang menggairahkan lagi hubungan, tetang memengantinbarukan kembali suasana. Tulisan tentang ini, ada di halaman 195.

Tapi, yang spesial, meski tak banyak, buku setebal 259 halaman ini tak melulu berisi tulisan mbak HTR. Di bagian akhir, menyertakan juga tulisan suami serta putera pertamanya. Uniknya, ada sebuah kejadian yang ditulis secara dua sudut pandang. Sudut pandang istri dan sudut pandang suami. Hal itu lah yang kemudian cukup menjelaskan karakter masing-masingnya, tentang bagaimana menyikapi sebuah kejadian.

Terakhir, jujur, bila dibandingkan buku kumpulan tulisan di blognya yang pertama, Risalah Cinta Untukmu, saya lebih menikmati yang pertama. Mungkin karena tema buku pertama yang lebih luas sehingga lebih banyak menyaring tulisan-tulisan yang ada sehingga yang terbaiklah yang terbukukan. Mungkin. Tapi, tetap saja, diluar pembandingan itu, buku ini layak dibaca.

Tomi : aku mli produksi konser musik islami ‘Lantunan Cinta’ hr ini. Ada kebutuhan utk baca puisi dg dur 30”-1’. Ada usulan puisi apa aja & pembaca pusiny? Aku butuh 3-4 kandidat pembaca puisi yg atraktif & 15-20 ouisi pendek. Tlg kirim ke tomi_satryatomo@akv.co.id. Semakin cepat, semakin baik. Txs.

Helvy : Rani, neno, ratih sang, inneke, lintang, pak edi? Ada mhswku fadli, jamal d rahman, nanti yg kepikiran nyusul. Kalau mau yg teatrikal iman soleh.

Tomi : Irwan renaldi? Boleh minta tolong siapin foto2 mereka? Kok Helvy Tiana Rosa gak ada? Aku dengar dia bagus, msh muda lagi :)

Helvy : Irwan boleh. Kalau hrs bersaing sama kecantikan seleb, nyerah ah. Kalau mau kulaitas juga mutupuisi, bolehlah.

Tomi : Bunda kan cantik. Luv u!

Helvy : Thx say. Sayang, hanya matamu yang paling elang di dunia ini.

Itu adalah percakapan sms mbak HTR dengan suaminya. Ada di halaman 191. Percakapan yang provokatif.




lalu ia beranjak. memasuki rumah lewat pintu samping yg sedari tadi terbuka. meninggalkan malam yang merangkak bimbang. tapi, sebaliknya, menuju sebuah kepastian yg segera diambil, tentang esok....

(5 dari 99) catatan pernikahan

Thursday, January 13, 2011

derawan?

from      : Yurita Riaswati
to         : Iqbal latif, Andry Hendro Yudanto
date     : Tuesday, January 11, 2011
subject : Fw: Derawan


ayo melu cak!!!

Best Regards,
Yurita Riaswati, ST

Forwarded by Yurita Riaswati

klo mau ke derawan klo bisa sih emang berbanyak, soalnya biayanya mahal di transport

 

RENCANA KE DERAWAN:

Berikut info yg didapat (hasil tanya sana sini) u/ rencana perjalanan ke Pulau Derawan:

Tanggal pelaksanaan

3 – 6 Februari 2011

Bontang - Samarinda

Rp. 300,000.-  Kap. 6-7 orang/mobil

Samarinda-Berau            

 

08:00 - 10:00     :   Rp. 775,000.-   ***
11:00 – 12:00    :   Rp. 827,000.-
 15:00 – 17:00   :   Rp. 775,000.-

Berau – Tj Batu

2 jam perjalanan (mobil) Rp. 300,000 – 350,000  Kap. 6 orang / mobil

Tj Batu - Derawan

Speed boat Rp. Rp. 300,000 – 350,000  Kap. 6-7 orang / speed boat

Penginapan di Derawan

Rp. 100,000 – 150,000.- / orang / malam

Speed boat ke Sanggalaki

Rp. 1,250,000.-  Kap. 6-7 orang / speed boat

Speed boat ke Kakaban

Rp. 1,500,000.-  Kap. 6-7 orang / speed boat

Speed boat ke Maratua

Rp. 1,750,000.-  Kap. 6-7 orang / speed boat

Diving

Rp. 250,000.-/1x dive

Berau – Samarinda         

07:00   - 08:00   :   Rp. 665,000.-
10:00 – 11:00    :   Rp. 650,000.-
14:00 – 15:00    :   Rp. 759,000.-  ***

Info tambahan:

* Diving di Pulau Derawan Rp. 250,000.- termasuk peralatan & speed boat

* Diving di Maratua dan Kakaban harus extra hati-hati karena arusnya kuat

 

Perhitungan biaya perorang sbb:

Keterangan

Biaya

Bontang – Samarinda

Rp.       50,000.-

Ticket Samarinda – Berau - Samarinda

Rp. 1,534,000.-

Berau – Tj Batu – Berau

Rp.     100,000.-

Tj Batu – Derawan

Rp.       50,000.-

Penginapan incld. BF

Rp.     450,000.-

Speed boat (Sanggalaki, Kakaban & Maratua)

Rp.     650,000.-

Makan siang & malam (4 hari)

Rp.     400,000.-

 

 

Biaya diluar diving                           ***SEKITAR***

Rp. 3,234,000.-

 

 


Salam,

 

Awalia



Saturday, January 8, 2011

aku menantang diriku, untuk menghabiskan seratus buku dalam setahun waktu. Bagaimana dengan dirimu?

Ini Wajah Cintaku, Honey!

Rating:
Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Tasaro
Ini hanyalah cerita-cerita sederhana. Berisi 22 kisah khas pengantin baru yang dituturkan bergaya diari. Hanya, uniknya, ini ditulis seorang lelaki yang berusaha menjadi suami terbaik bagi istrinya. Itu, terungkap lewat sub judul buku ini yang bertulis: risalah kesejatian seorang suami yang menempatkan istri benar-benar sebagai seorang bidadari. Sudut pandang seorang suami, sepertinya memang jarang-jarang dalam sebuah buku yang berisi catatan-catatan pernikahan ataupun pengasuhan bergaya diari.

Buku ini tipis, hanya 130 halaman saja. Ditambah gaya penulisannya yang renyah, gurih, dan mengalir, maka tak akan butuh waktu yang lama untuk segera menghabiskannya. Bahkan dengan sekali duduk. Tapi tentu saja, hikmah yang terangkum di dalamnya tak setipis halamannya. Hal-hal sederhana yang terlihat kecil ternyata mengandung banyak hikmah kala dituliskan secara jujur. Sebuah penegasan tentang betapa penting dan seriusnya kegiatan menulis ini. Bahkan untuk hal-hal yang terlihat sederhana dan teramat sehari-hari.

Dua puluh kisah dalam buku ini dimulai dengan judul ‘Pondok Mertua Indah Sekali’. Sebuah judul yang sudah jelas mencerminkan isinya. Sebuah kenyataan saat sang pengantin baru masih harus numpang di rumah mertua. Kata mertua, sudah menunjukkan kalau untuk sementara pengantin baru harus tinggal di rumah orang tua si istri. Bukan hanya karena saat itu si suami kerja di Bandung, sedangkan si istri masih harus bekerja lah yang membuat mereka memutuskan itu. Tapi, juga karena faktor ketiadaan dana untuk bisa memiliki petak sendiri dengan hanya mereka saja yang berada dalam naungannya. Dan ini lah perjuangannya. Perjuangan harus tinggal terpisah dan hanya menghabiskan akhir pekan saja bersama. Perjuangan, yang akan lebih banyak mengisi ruangan dalam buku ini.

Tasaro terlihat begitu jujur dalam menuliskan ini. Terlihat apa adanya, dan tak ditutupi. Itulah yang kemudian membuat kisah-kisah dalam buku ini terasa membumi. Terasa begitu dekat dengan kehidupan orang kebanyakan. Ada cerita tentang bagaimana ia mulai berburu rumah untuk ditinggali mereka berdua—mahalnya harga rumah, ada cerita tentang gorden yang aneh –inilah laki-laki yang tak memperhatikan hal-hal detail, ada cerita tentang oseng-oseng daun pepaya –saat suami punya makanan kesukaan yang tak juga disediakan istri, ada cerita tentang pakaian—saat si suami ingin istri berhijab sempurna tapi suami masih suka pakaian gaul, ada juga cerita tentang bagaimanakah seorang suami itu saat ditinggal sendiri di rumah.

Buku ini tentu saja lumyan penting. Penting untuk dibaca sebagai penyegar romantisme pernikahan, penting bagi seorang yang segera menuju pernikahan—tentang bagaimanakah pernak-pernik pernikahan itu. Ada senyum simpul membaca keluguan khas pengantin baru, ada semangat yang ditimbulkan, ada pencerahan, juga tentu saja ada haru yang tiba-tiba datang menyeruak secara amat lancang. Semuanya itu, bisa muncul dari sebuah rangkuman perjuangan yang tersaji apik dalam buku ini. Melalui buku inilah kita dapat melihat bagaimana perjuangan seorang Tasaro sebelum menjadi penulis mapan dengan karya-karya besarnya, yang seperti bisa kita saksikan kini.
Terakhir, ada petikan dialog tentang oseng-oseng daun pepaya yang cukup menarik perhatian dalam buku ini:


“Daun pepaya kan pahit, Kang?”
“Iya...tapi, Akang suka”
“Yang lain saja atuh”
“Lho, katanya akang suruh milih”
“Iya, tapi jangan daun pepaya”
“Ya sudah, kalau begitu apa saja boleh”
“Akang mah gitu. Jangan apa saja atuh. Saya kan jadi bingung”
“kalau begitu...”
“Oseng-oseng daun pepaya?! Nggak ah, apa saja, tapi jangan itu”
“Apa saja lah, terserah neng.”
“Akang mah”
“Ya, kalau disuruh milih, akang pingin daun pepaya..titik.”
“Nggak mau”
“Ya sudah..”
“Kang...”
“Daun pepaya!”
“Lainnya!”
“nggak ada yang lain”



Sampai sekarang, penasaran juga kenapa si istri tak mau memasakkan masakan istimewa bagi suami ini..
Buku ini tentu saja layak diapresiasi.





-selamat datang di kota bontang-- mmmhh.. gerbang kota itu

Friday, January 7, 2011

ini wajah cintaku, Honey!

denial-anger-bargaining-depression-acceptance

Kakakku yang pertama mengatakannya. Dulu.

“sudah! Diikhlaskan saja. Kalo terpaksa jadi tak enak”

Ini tentang masa kecil. Sebagai anak bungsu, saya lah yang sering kali jadi objek. Objek yang disuruh-suruh. Untuk hal yang remeh temeh memang. Yang tak perlu skill khusus, yang tak perlu tenaga ekstra, namun butuh sebuah hal yang jauh lebih berat; kelegowoan hati. Keikhlasan.

Orderan yang sering kali menyapa adalah masalah beli-membeli. “Bal, belikan garam gih!”, atau “minyak tanahnya habis, tolong belikan ke....”, atau “belikan garam ke..” adalah kalimat permintaan yang sering tertujukan padaku. Kau pasti tahu siapa yang menyeruh hal tersebut dengan membaca redaksionalnya. Ya, ibu –atau saya biasa memanggilnya emak. Maka, kau pasti paham, tak boleh ada penolakan untuk permintaan seorang ibu, kan? Dalam keadaan berat atau lapang, dalam keadaan sempit atau sesak, dalam keadaan luang atau bermain.

Begitu pun saya kala itu. Kalau tak dalam keadaan ngambek sengambek-ngambeknya, meski berat, tetap saja permintaan itu harus dilaksanakan. Meski harus bersungut-sungut melangkahkan kaki. Kadang memang tetap saja terasa berat, meskipun ada kalimat ikutan dalam permintaan ibu itu; “kembaliannya diambil saja”. Padahal, warung tempat membeli keperluan harian itu dekat saja, tak lebih dari dua kali panjang lapangan bola. Kadang berjalan kaki, kadang bahkan bisa sambil bersepeda.

Intinya memang ada pada penerimaan, pada keikhlasan, pada kelegowoan. Tak ada rasa itu lah yang menyebabkan pekerjaan membeli keperluan harian tersebut menjadi berat. Menjadi seolah sebegitu menggangunya. Padahal nyatanya tidak. Perlu waktu yang sebentar saja sebenarnya untuk menyelesaikan tugas mulia itu—maka tak akan banyak memangkas waktu main. Tak perlu tenaga banyak juga untuk menyukseskan misi agung itu –maka tak ada keletihan yang harus ditanggung di akhirnya. Jika dibuat ringan, seolah permainan, pastinya bakal menyenangkan. Bukankah, untuk keperluan pribadi, saya sering berjalan kaki berkali lipat untuk membeli sesuatu. Dan itu ringan-ringan saja.

Maka poin itulah yang diungkapkan kakakku tadi di petikan teratas. Ya, suka tak suka, ingin ataupun tak ingin, saya toh mesti melakukan permintaan ibu itu. Maka logikanya, jika memang begitu, harusnya ya dibuat ringan saja. Bersungut-sungut karena tak ikhlas toh tetap harus melangkahkan kaki, maka pilihan cerdasnya pastinya satu; tersenyum-senyum saja memulai aksi sambil menenteng botol minyak tanah oleh sebab ikhlas. Karena, tak ada opsi untuk menolak.

Namun ternyata, itulah sulitnya. Kita sering kali terbawa perasaan ketimbang logika. Padahal, dalam kalkulasi apapun, berangkat sambil tersenyum riang pastinya lebih menguntungkan daripada melangkah sambil bersungut-sungut. Toh hasilnya akan sama saja. Kita akan menempuh jarak yang sama, akan menghabiskan waktu yang kurang lebih sama, juga akan memperoleh kembalian yang sama pula. Tersenyum, lebih baik dari pada ngedumel.

Ego. Mungkin itulah. Menunjukkan ketaksukaan kita melakukan itu agar di lain waktu tak disuruh-suruh lagi? Ha ha..boleh jadi juga itu. Tapi semoga saja tidak. Toh, beberapa menit setelah misi membeli kebutuhan domestik itu terjalankan, sama sekali tak ada gurat terlipat yang tersisa dari ngedumel sewaktu melangkahkan tadi. Sempurna hilang dan terlupa. Ah, kanak-kanak.

Itu adalah cerita berhikmah di masa lalu. Tapi, ternyata, pelajaran serupa harus saya terima lagi sore itu. Mungkin yang dulu-dulu belum lulus benar. Atau mungkin ini adalah edisi pengayaan, seperti dalam pelajaran matematika jaman sekolah dulu.

Kejadiannya ada di bandung. Tiga perempat jam sebelum keberangkatan ke Jakarta. Ceritanya kurang lebih begini. Hari kamis kala itu, sehari sebelum keberangkatan, kudatangi pool travel itu untuk memesan satu tempat. Setelah bertanya-tanya tentang berbagai jurusannya, maka dipilihlah yang akan turun di daerah cikini dengan keberangkatan jam empat. Malam itu, si petugas memperlihatkan denah tempat duduk di mobil Elf itu untuk saya pilih. Saya memilih nomor 5 ketimbang nomor delapan yang berada di belakang. “mbayarnya besok saja saat mau berangkat”, demikian kata mbak petuga travel itu. Beberapa jenak kemudian sms pemberitahuan tentang pembookingan pun saya terima. Bila kalian masih ingat, travel ini adalah travel yang mengecewakan saya di saat keberangkatan Jakarta-bandung. Saya tulis di sini.

Ternyata, dua teman saya yang lain pun , memesan juga untuk pemberangkatan dan tujuan yang sama. Jadilah kita berangkat bersama.

Dan kejadiannya ada di jumat sorenya. Saat kita sudah berat-berat menyeret kopor yang berat, saat kita sudah tiga perempat jam menuju ke keberangkatan, saat kita sudah di depan loket, fakta itu tersaji. Mulanya saya tak tahu apa-apa. Mbak petugas melayani pembayaran saya seperti biasa. Tujuh puluh ribu per orang. Tarif normal. Yang beda, di bukti pembayaran, tempat duduksaya berganti menjadi nomor tujuh. Tapi tak masalah, tak ada yang perlu diributkan. Sama saja.

Keanehan justru terjadi pada teman saya yang ngantri di loket sebelah. Tarifnya Cuma enam puluh ribu per orang. Lebih murah sepuluh ribu ketimbang saya. Dan, betapa kagetnya teman saya itu, kala menyadari, kendaraan yang bakal digunakan adalah bus, bukan ELF yang hanya berisi maksimal delapan orang. Bergegas kemudian ia mengonfirmasikan ke petugas loket.

“iya, mas. Yang ke Cikini jam empat pakai bus” demikian kata mbak petugas.
“lo, teman saya ini kok bisa?” sahut teman saya sambil mengambil bukti pembayaran dari tangan saya. Di situ, memang tak ada keterangan sama sekali kalau bakal naik bus. Harganya pun normal.

Mbak petugas mengambil bukti pembayaran dari uluran tangan teman itu. Mengamati sejenak. “iya,mas. Ini juga pakai bus”, lalu lanjutnya. “nggak kamu kasih tahu kah?” kali ini ia menoleh ke petugas yang melayani saya.

Kontan saya kembali menuju ke petugas yang melayani saya tadi.Dan benar, ia mengulurkan sepuluh ribu lagi sebagai kembalian buat saya yang tadi cuma tiga puluh ribu.

“iya, mas. Naik bus” demikian katanya mengulangi temannya.Saya mencari-cari kata maaf meluncur darinya, tapi tak ketemu juga.

“La, kemarin saya wong pakai disuruh milih tempat duduk yang Elf segala”
“nomor lima ya? Iya, tapi ganti naik bus”

Hanya sampai di situ. Saya sudah kehilangan selera untuk menanggapi lebih. Tentang mengapa tadi ia diam saja dan sama sekali tak menjelaskan tentang berubahnya kendaraan menjadi bus. Tentang mengapa ia melayani saya dengan pembayaran normal seperti biasa. Tentang mengapa tak ada pemberitahuan sebelumnya. Tentang mengapa perusahaan travel sebesar ini masih saja melakukan kesalahan-kesalahan sepele tapi fatal seperti ini. Tentang, ah, apakah ia mengerti sebuah kalimat marketing yang begitu terkenal; “menurut survey, ketika seorang konsumen merasa puas dengan sebuah bentuk pelayanan atau barang maka dia akan mengatakan kepada 10 orang. Sedangkan jika orang tidak menyukai sebuah bentuk pelayanan atau barang maka dia akan mengatakannya kepada 20 orang.”

Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Pemberangkatan dengan menggunakan Elf ke daerah Cikini, baru jam lima sore. Itu artinya satu setengah jam lagi. Mau mencari travel lain pun sudah terlambat. Maka saat itu, ketika teman saya berbicara tentang ketaknyamanan naik bus dibandingkan naik travel , saya lebih banyak terdiam saja. Bukan karena menerimanya seketika. Bukan. Hanya sedang berdialog dengan diri sendiri. Ah, ini adalah pelajaran masa kecil itu, ini adalah pelajaran hidup sederhana yang bahkan sudah saya peroleh ketika memakai seragam merah putih. Ini adalah edisi pengayaan, bukan mengulang layaknya dulu mendapat nilai D. Maka harus berbeda penyikapannya.

Yang bisa dilakukan hanyalah menata hati. Mencoba menerimanya. Karena, menerima atau menolaknya dalam hati sambil menggerutu, tetaplah saya pada akhirnya harus naik bus itu. Itu adalah pilihan yang paling realistis. Suka atau tak suka. Menggerutu atau tersenyum. Sama saja. Maka pilhan terbaiknya adalah menerimanya untuk menciptakan kenyamanan hati.

Ini, juga masalah ekpektasi ternyata. Saat kau menyiapkan hati untuk naik Elf yang lebih nyaman tempat duduknya, maka kau kecewa saat yang kau dapati adalah bus yang biasa saja. Beda halnya jika kau menyiapkan diri untuk naik kopaja-nya jakarta, kau tentu saja akan tersenyum-senyum kala yang didapati justru bus ber-AC dengan tempat duduk yang sedikit bisa diturunkan ke belakang untuk bersandar.

Akhirnya edisi itupun berlalu. Biasa-biasa saja. Tak ada yang perlu dirisaukan. Nyampai juga di Cikini meski agak sediit terlambat oleh sebab macet. Di tol pun ternyata memang macet.


---maaf

tak kau lihatkah pohon jambu menggeliat kepanasan?
menahan dosa
air matanya kerontang
surut mengiring kata mengiba
mengharap kelapangan dada
..........................

Puisi itu--kalau kalian mau menyebutnya dengan puisi, aku tuliskan di masa abu-abu. Kelas satu SMA tepatnya. Ya, satu SMA. Masa labil mungkin. Orang desa yang kagok melihat kota.

Tapi, lihatlah! Hai, aku bahkan masih menghafalnya hingga kini. Masih mengingat tiap pilihan katanya. Meski nggak banget untuk dibaca dalam kacamata dan pemikiran sekarang. Tapi tetap saja...aku terus menyimpannya dalam memori. Mengulanginya di banyak kesempatan. Meski tak terlafalkan.

Dan untuk malam ini, aku menyalinnya di sini. Untuk sebuah kata yang melegakan--bagai blower yang menghembusi pengapnya kegelapan vessel. Untuk empat huruf yang melapangkan ---laksana sulfamic acid yang menggerus scale penyumbat tube-tube heat exchanger. Untuk sebuah ungkapan, yang seberat apapun itu, mesti terlisankan --kau tahu, jika dalam sebuah persimpangan, pilihlah yang terberat untuk dipilih, itulah insyaAllah yang berisi kebaikan.

:maaf

maka semoga, setelah ini, menjadi urusanku dan Tuhanku.


sudut menteng


sumber foto di sini

jika tak ada hal lain yg bisa dilakukan selain menerimanya, agaknya memang tak perlu menyusahkan hati dg mencoba menolaknya..

Wednesday, January 5, 2011

bukan tentang dimananya, tapi tentang kau, serta orang-orang yang membersamaimu

Rindu! Aku rindu rumah, rindu kamar kecilku, rindu bantal teposnya, rindu tiap aromanya.

Demikianlah! Itu adalah kata-kata lazim yang diucapkan oleh seseorang yang rindu. Kala jarak memisahkannya dengan kampung halaman. Rindu rumah, rindu kamar tidurnya, rindu kucingnya. Benarkah? Benarkah benda dan suasana itu yang mereka rindui? Bohong! Saat mereka berkata kalau sedang rindu rumahnya, rindu dengan tiap detail kamar tidurnya, rindu dengan masakan rumahnya, mereka sebenarnya sedang rindu dengan orang-orangnya. Mereka sedang rindu dengan ayahnya, atau Ibunya, atau adik nakalnya, atau kakak pendiamnya, atau neneknya.

Mereka tak mau mengakuinya. Segan, canggung, malu, atau apalah. Mereka memilih untuk memakai sarana. Mereka memakai sesuatu yang sesuatu itu membawa keotomatisan pada yang benar-benar mereka rindui. Maka lihatlah! Lihatlah saat pertemuan itu terlaksana, saat kesempatan pulang kampung itu datang. Bukan kamar yang langsung mereka tuju—bukankah mereka sering mengumbar kerinduan akan kamarnya. Bukan aroma rumahnya yang mereka ciumi hingga terpuaskan –bukankah aroma itu yang kerap mereka katakan amat mereka rindui. Bukan! Bukan juga tiap detail rumahnya yang langsung ia seksamai. Tapi lihatlah! Lihatlah mereka yang mencium tangan ibunya, bapaknya. Menatap kedua bola mata mereka lama-lama. Lamat-lamat. Mendekap hangat kakaknya. Memeluk jahil adiknya. Mengobrol lama. Menceritakan kisah-kisah. Melupakan perkara aroma rumah, kamar kesayangan, atau detail fisik lain yang awalnya mereka nyatakan sebagai pemicu datangnya rindu. Orang-orangnyalah yang ia rindui, bukan benda-bendanya.

Orang-orangnya lah yang penting. Ya, orang-orangnya lah yang menentukan. Maka lihatlah juga lelaki ini. Di Bandung, di Jawa, yang seringkali dianggap surga bagi orang-orang pedalaman. Sebuah tempat pemutus rutinitas, yang pada mulanya ia anggap akan menajanjikan banyak hal, ternyata hanya begitu saja. Sebab memang bukan tentang dimananya yang penting, tapi tentang siapa yang membersamaimu lah yang menjadi penting. Bukan tentang Bandung, Bontang, Jakarta, Surabaya, atau Balikpapan. Bukan tentang pantai, hutan, gunung, kota, atau desa. Tapi tentang dengan siapa kau melewatkannya. Orangnya lah yang primer, baru kemudian tempatnya. Maka bila kau bersama dengan orang yang tepat, yang kau nyamani, segala tempat menjadi tepat. Jika tidak, maka segala tempat menjadi tak tepat. Bahkan di sebuah tempat yang kau anggap membahagiakan. Sebab yang paling menyakitkan dari sebuah kesendirian itu bukan saat kita sedih, tapi saat kita bahagia dan tertawa riang namun tak ada seorang teman untuk kita bisa membagi kebahagian itu. Kalimat itu ada di film cinta silver. Tapi bagi saya, kata ‘teman’ seharusnya menjadi ‘teman yang tepat’. Kau pasti sering mengalami hal ini, di sebuah tempat yang indah, di sebuah tempat yang mampu membasahkan lisanmu dengan kalimat tasbih, kau ingin ada seseorang yang membersamai. Seseorang yang spesifik. Sama-sama menatap indahnya, sama-sama merasakan sejuknya, sama-sama mendengarkan merdunya. Dan perasaan seperti itu, perasaan membayangkan seseorang tadi benar-benar membersamai menikmati semuanya, justru malah menyedihkan.

Maka kau perlu bertanya, jika ada orang yang berkata ‘rumahku seperti neraka’, atau merasa tak nyaman dengan rumah kecilnya yang penuh sesak, tentang satu hal. Atau dua hal mungkin. Tapi bukan tentang rumahnya yang perlu kau tanyakan mula-mula. Meski itulah yang ia keluhkan pada awalnya. Kau perlu tanyakan tentang ia sendiri. Orang seperti apakah dia. Orang seperti bagaimanakah dia. Setelah itu, kau mesti bertanya, orang yang bagaimanakah yang membersamainya. Sebab itulah justru poin pentingnya. Tak ada rumah yang terlalu sesak untuk dua jiwa yang lapang. Yang menemukan harmoni dalam kolaborasinya. Yang menemukan ketersalingan indah dalam hubungannya. Tempat menjadi sekunder. Bangunan fisik menjadi yang kedua.

Bukan tentang dimananya, tapi tentang kau, serta orang-orang yang membersamaimu.

Selamat malam
#ketika justru merindukan bontang dan orang-orangnya (Bohong! Ia tak rindu bontang. Ia hanya rindu orang di bontang), atau rumah.


bukan tentang dimana, tapi tentang kau, serta siapa yg membersamaimu..

Monday, January 3, 2011

The Gogons james & incridible incident

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:tere liye
Masih khas ter liye. Ya, begitulah. Jika kalian rajin membaca buku-buku tere liye, maka akan dengan mudah untuk bisa menyimpulkan kalau tulisan ini kental sekali Tere Liyenya, meski dengan judul yang tak biasa untuk karya-karyanya : The Gogons james & the incridible incidents.

Bergenre metropop, atau seperti itulah yang tersebut dalam cover novel setebal 285 halaman ini. Sebuah genre yang wajar oleh sebab buku ini tak diterbitkan oleh Republika, penerbit yang selama ini kerap menerbitkan karya-karyanya dengan tema yang lebih religius (meski sering kali ditolak sendiri oleh penulisnya). Kalau dilihat pertama kali terbitnya, 2006, maka buku ini terbit setelah buku sensasionalnya yang kemudian melejitkan namanya : Hafalan Shalat Delisa.

Bercerita tentang sebuah geng persahabatan. The Gogons nama geng tersebut. Terdiri atas enam cowok metroseksual yang dipertemukan oleh abjad pertama nama mereka. Persahabatan yang bermula dari bangku kuliah yang berlanjut hingga pasca kuliah saat mereka telah mapan dengan hidupnya. Enam tahun persahabatan yang diisi dengan hal-hal konyol dan gila. Untungnya, kekonyolan dan kegilaan tersebut tak menjurus ke hal-hal negatif.

Ari, James, Azhar, Adi, Diar, dan Dito. Itulah nama keenam anggota geng The Gogons itu. Ditambah Citra dan Dahlia yang menjadi anggota tak resmi geng tersebut. Tak resmi, sebab hanya sekali-kali saja mereka berdua bergabung dengan acara geng tersebut. Cerita bermula ketika geng tersebut berkunjung ke Bali untuk menghadiri pernikahan salah satu anggotanya, Adi. Awal yang ceria, begitulah yang tertangkap. Kelucuan, kekonyolan, serta candaan khas sebuah persahabatan memenuhi awal novel ini. Sampai sejauh ini cerita sepertinya bakal datar-datar saja. Sebuah persahabatan yang indah dengan segala bumbu-bumbu kekonyolannya. Di awal-awal inilah, karakter masing-masing tokoh perlahan diperkenalkan.

Masalah itu bermula dari sebuah mimpi aneh James, si cowok play boy anggota geng tersebut, saat berada dalam penerbangan Bali-Jakarta. Sebenarnya, ini bukan mimpi aneh nan menyeramkan yang pertama, di pembukaan novel ini sudah disebutkan tentang James yang mimpi aneh juga. Mimpi aneh yang segera terlupakan saat James terbangun, meski di mimoi itu jelas-jelas ada kalimat ‘terkutuklah!’. Nah, di penerbangan itulah, setelah bangun dari mimpi, saat James menyadari ternyata penerbangan telah berakhir, tak terduga James bertemu dengan Weni. Seseorang dari masa lalulnya. Seseorang dari masa kanak-kanaknya yang seketika mampu menerbangkannya kembali ke masa kanak-kanak, yang seketika mampu mendesak-desak keluar tabiat playboynya dari pikirannya.

Tentu saja ini tak berlanjut datar-datar saja. Pertemuan itu tak berakhir dengan saling tukar nomor Hape atau bertanya alamat, atau bahkan sekedar bertanya tentang bagaimanakah mereka setelah belasan tahun berpisah. Tidak! James lupa untuk menanyakan hal tersebut bahkan ketika mereka akhirnya berpisah. Kelupaan yang kemudian merepotkannya, sebab di kemudian hari dia lah yang blingsatan mencari keberadaan Weni.

Dan tragedi pun dimulai. Satu persatu masalah superserius menggerogoti pertemanan mereka. Bermula dari Diar, si cowok manis yang ternyata divonis menderita diabetes (‘lihatlah, bagaimana mungkin hal ini datang saat ia menapaki karir menjanjikan untuk membuktikan banyak hal pada ayahnya yang selalu menomorsekiankan dirinya’). Bukan diabetes yang biasa sebab itu sudah mengalami komplikasi. Kemudian Azhar yang mengalami kecelakaan parah saat berboncengan dengan Dahlia (‘lihatlah, bagimana kecelakaan itu justru terjadi saat pertama kali mereka kencan –itu jika berboncengan pulang di sebut kencan. Setelah enam tahun yang malu-malu’). Juga Dito yang tertangkap membawa heroin di bandara Soekarno-Hatta. Juga Adi yang terancam mengakhiri pernikahannya dengan sebuah perceraian. Juga Ari! Ari yang mempunyai penyakit mental bawaan, yang selama enam tahun belakangan ini menemukan comfort zonenya lewat persahabatan The Gogons, seketika kembali tertekan oleh rentetan kejadian yang mencabik-cabik persahabatan mereka; menjadi gila.

Dan tentu saja James. James yang terpenjara oleh masa lalunya. Tentang Weni yang selalu muncul secara tiba-tiba, dan seringnya sekelebatan, di hari-hari tak mengenakkan. Juga tentang lelaki dengan wajah menyenangkan. Lelaki dengan wajah menyenangkan? Hei, jika kalian pembaca buku-buku Tere Liye maka kalian akan menemukan kosakata yang sama di buku Rembulan Tenggelam Di Wajahmu.

Tapi tentu saja Tere Liye tak hanya menyajikan tragedi demi tragedi:

“Kau lihat, kehidupan telah menghianati. Semuanya sia-sia. PERCUMA. Dan kenapa harus terjadi sekarang, kenapa tidak dari dulu saja, sebelum semuanya menjanjikan banyak hal.” Diar menggigit bibir.

Matanya mulai berkaca-kaca.

Azhar menengadahkan mukanya ke atas.

“Tidak, Yar! Tidak ada yang sia-sia. Tidak ada yang percuma! Bukanlah kau-lah yang selama ini bilang hidup ini berarti, sekecil apapun itu. Bukankah waktu kita bertengkar di Bali kau berkata, kehidupan ini adalah rangkaian pengorbanan yang indah......Tak peduli harus terjadi dulu, atau sekarang, tak pedulu kecil atau beaar....”

Percakapan itu terjadi di hal 147-148. Antara Diar dan Azhar di sebuah kamar rumah sakit tempat diar dirawat. Rangkain pengorbanan yang indah, sikulus sebab akibat, itulah dua hal yang memang kerap mengisi halaman-halaman buku tere liye. Juga termasuk buku ini. Maka buku ini menyajuikan lebih dari sebuah novel metro po biasa. Beberapa kali perlu merenung larut dalam cerita. Beberapa kali harus berkaca-kaca (Tere Liye tetap saja jago dalam hal ini. Dengan kata-kata sederhana tetap saja ia mampu membawa kita dalam perasaan si tokoh). Beberapa kali bahkan tersenyum agak tertahan.

Namun, seperti halnya novel-novel Tere Liye yang lain, memang seringkali ada kebetulan-kebetulan yang sering, ketakbiasaan-ketakbiasaan. Kadang itu mengganggu. Tapi entahlah. Seperti halnya di buku-buku yang lain, ketakbiasaan itu, kita (-atau saya-) terima sebagai sebuah kelumrahan. Perkara ini, mungkin dipengaruhi oleh bagaimana seorang penulis membawakan ceritanya.

Hanya saja endingnya yang kemudian sedikit menggantung. Ada pencerahan, tapi belum sebuah penyelesaian. Hal yang kemudian sedikit dimaklumi mengingat novel ini diniatkan untuk bersekuel. Sayangnya, sekuelnya sampai saat ini belum juga diterbitkan. Kita tunggu saja.