Saturday, May 28, 2011

Wednesday, May 25, 2011

Friday, May 20, 2011

berita-berita kematian

Marilah sejenak kita merenung, ada berapa banyak kiranya, berita-berita kematian lalu lalang di hadapan kita. Memberi variasi dalam gegap gempita informasi yang begitu deras menyergap hari-hari kita. Baik itu kematian orang-orang yang kita kenal—keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan orang-orang yang sama sekali tak kita kenal. Entah melalui sms, pengumuman-pengumuman, berita tv, atau pembicaraan orang-orang. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ini; amat banyak.

Seperti juga jawaban itu, berita kematian itu juga teramat sering menyapa saya. Sistem paging via pengeras suara di tempat saya kerja memungkinkan untuk tiap ada karyawan yang meninggal, atau orang tua nya, untuk di informasukan ke semua unit kerja, pabrik dan non pabrik. Menyela setiap aktivitas untuk sekejap terhenti. Bahkan meeting sekalipun.

Namun kemudian, pertanyaannya lagi, dari sekian banyak berita-berita kematian itu, berapa banyak sih yang benar-benar membangunkan kesadaran kita. Membuat kita tertunduk dalam, benar-benar ternasehati, untuk kemudian memikirkan banyak hal. Bukan hanya ucapan spontan ‘inna lillahi wainna ilayhi roji’un’ yang boleh jadi tak meresap sama sekali esensinya. Kalau saya boleh sok tahu, barangkali jawaban untuk itu adalah tak banyak, atau bahkan amat sedikit.

Saya pun, seperti halnya jawaban itu, mungkin juga begitu. Berita-berita kematian itu lebih banyak lalu lalang saja. Tak ada bedanya. Tak ada spesial-spesialnya. Hilang begitu saja, tak membekas.

Entahlah, mungkin hati ini yang telah membatu, yang begitu bebalnya hingga mengabaikan begitu saja paket-paket nasehat yang secara periodik disiapkan Allah. Tak merasa perlu menjengkali diri. Tak merasa penting menafakuri keadaan. Berita-berita itu datang, untuk kemudian berlalu tanpa makna.

Padahal kematian adalah sebenar-benar nasehat. Jika itu tak mampu lagi menasehati kita, apa lagi yang kita harapkan mampu mengetuk nurani kita. Jika sebuah kepastian yang harusnya menyadarkan kita atas tujuan hidup kita, tak lagi memberi dampak atas kehidupan kita, apalagi yang lain. Bukankah tak benar-benar hidup, orang yang tak mengingat mati.

Astaghfirullah.
o0o
ah, tulisan ini mungkin harus membelok. Tentang kematian Nurul F Huda lah awalnya saya menuliskan ini. Tentang sedikit orang yang kematiannya membuat saya tertunduk, merangkai kejadian-kejadian, untuk kemudian ternasehati. Tentang sedikit orang-orang yang kematiannya, tak hanya hidupnya, mampu memberi kebaikan pada sesamanya.

Tapi mungkin ini lah jalannya. Lepas kata ‘astaghfirullah’ sempurna terketik, ketika saya masih merangkai-kata lanjutan untuk membuka paragraph lanjutannya, sebuah sms masuk. Mungkin balasan atas sms yang beberapa menit sebelumnya yang saya kirimkan, pikir saya. Dan benar, dari orang yang baru saja saya kirimi sms. Tapi ternyata tidak, isinya bukan tanggapan atas sms yang saya kirimkan. Sama sekali tak ada sangkut pautnya. Isinya tentang , sekali lagi, berita kematian. Kali ini berita tentang kematian seorang mujahidah dakwah kita, seorang yang kiprahnya begitu menginspirasi banyak orang, seorang ibu yang luar biasa bagi ketiga belas anaknya, ustadzah Yoyoh Yusroh. Maka heninglah seketika.

Allah sekali lagi memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan . Bahwa, jika kau ingin kematianmu menghunjam begitu dalam, membuat orang-orang di sekitarmu tertunduk dalam memuhasabai diri, bukan hanya air mata yang meleleh menuruni pipi, yang perlu kau lakukan adalah memperbaiki hidupmu. Itu saja. Jika kau telah meninggalkan jejak kebaikan pada orang-orang, maka kabar kematianmu akan menghasilkan jenak-jenak untuk orang itu terhenti. Untuk kemudian mengingat kebaikan-kebaikan itu. Merangkainya. Dan hanya tinggal menunggu waktu saja lah mereka melihat dirinya sendiri. Tentang apa yang sudah mereka perbuat.

Dan kaidah itu juga berlaku kebalikannya. Jika ada sebuah kematian begitu dalam membekas di hati orang-orang, maka sudah jelaslah bagaimana si jenazah di masa hidupnya. Pasti, kebaikanlah mengisi hari-harinya. Maka tentang ustadzah Yoyoh Yusroh ini, sms-sms yang begitu ringan disebar, status-status dalam yang seketika dibuat, atau tulisan-tulisan menghunjam yang diketik, tergambarlah sudah bagaimana sosoknya. Ia orang baik, ia orang baik, ia orang baik.

Dari Umar (bin Khaththab) ra, katanya Rasulullah Saw bersabda : ”Seorang muslim yang disaksikan oleh empat orang bahwa ia baik, maka orang itu dimasukkan Allah ke surga.”
Kami bertanya,”Bagaimana kalau tiga orang?”
Jawab Nabi, ” Ya, tiga orang juga.”
Tanya kami lagi, ”Kalau dua?”
Jawab Nabi, ”Ya, dua juga.”
Sesudah itu kami tidak menanyakan lagi tentang seorang.”



berita-berita kematian

Marilah sejenak kita merenung, ada berapa banyak kiranya, berita-berita kematian lalu lalang di hadapan kita. Memberi variasi dalam gegap gempita informasi yang begitu deras menyergap hari-hari kita. Baik itu kematian orang-orang yang kita kenal—keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan orang-orang yang sama sekali tak kita kenal. Entah melalui sms, pengumuman-pengumuman, berita tv, atau pembicaraan orang-orang. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ini; amat banyak.

Seperti juga jawaban itu, berita kematian itu juga teramat sering menyapa saya. Sistem paging via pengeras suara di tempat saya kerja memungkinkan untuk tiap ada karyawan yang meninggal, atau orang tua nya, untuk di informasukan ke semua unit kerja, pabrik dan non pabrik. Menyela setiap aktivitas untuk sekejap terhenti. Bahkan meeting sekalipun.

Namun kemudian, pertanyaannya lagi, dari sekian banyak berita-berita kematian itu, berapa banyak sih yang benar-benar membangunkan kesadaran kita. Membuat kita tertunduk dalam, benar-benar ternasehati, untuk kemudian memikirkan banyak hal. Bukan hanya ucapan spontan ‘inna lillahi wainna ilayhi roji’un’ yang boleh jadi tak meresap sama sekali esensinya. Kalau saya boleh sok tahu, barangkali jawaban untuk itu adalah tak banyak, atau bahkan amat sedikit.

Saya pun, seperti halnya jawaban itu, mungkin juga begitu. Berita-berita kematian itu lebih banyak lalu lalang saja. Tak ada bedanya. Tak ada spesial-spesialnya. Hilang begitu saja, tak membekas.

Entahlah, mungkin hati ini yang telah membatu, yang begitu bebalnya hingga mengabaikan begitu saja paket-paket nasehat yang secara periodik disiapkan Allah. Tak merasa perlu menjengkali diri. Tak merasa penting menafakuri keadaan. Berita-berita itu datang, untuk kemudian berlalu tanpa makna.

Padahal kematian adalah sebenar-benar nasehat. Jika itu tak mampu lagi menasehati kita, apa lagi yang kita harapkan mampu mengetuk nurani kita. Jika sebuah kepastian yang harusnya menyadarkan kita atas tujuan hidup kita, tak lagi memberi dampak atas kehidupan kita, apalagi yang lain. Bukankah tak benar-benar hidup, orang yang tak mengingat mati.

Astaghfirullah.

o0o

Ah, tulisan ini mungkin harus membelok. Tentang kematian Nurul F Huda lah awalnya saya menuliskan ini. Tentang sedikit orang yang kematiannya membuat saya tertunduk, merangkai kejadian-kejadian, untuk kemudian ternasehati. Tentang sedikit orang-orang yang kematiannya, tak hanya hidupnya, mampu memberi kebaikan pada sesamanya.

Tapi mungkin ini lah jalannya. Lepas kata ‘astaghfirullah’ sempurna terketik, ketika saya masih merangkai-kata lanjutan untuk membuka paragraph lanjutannya, sebuah sms masuk. Mungkin balasan atas sms yang beberapa menit sebelumnya yang saya kirimkan, pikir saya. Dan benar, dari orang yang baru saja saya kirimi sms. Tapi ternyata tidak, isinya bukan tanggapan atas sms yang saya kirimkan. Sama sekali tak ada sangkut pautnya. Isinya tentang , sekali lagi, berita kematian. Kali ini berita tentang kematian seorang mujahidah dakwah kita, seorang yang kiprahnya begitu menginspirasi banyak orang, seorang ibu yang luar biasa bagi ketiga belas anaknya, ustadzah Yoyoh Yusroh. Maka heninglah seketika.

Allah sekali lagi memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan . Bahwa, jika kau ingin kematianmu menghunjam begitu dalam, membuat orang-orang di sekitarmu tertunduk dalam memuhasabai diri, bukan hanya air mata yang meleleh menuruni pipi, yang perlu kau lakukan adalah memperbaiki hidupmu. Itu saja. Jika kau telah meninggalkan jejak kebaikan pada orang-orang, maka kabar kematianmu akan menghasilkan jenak-jenak untuk orang itu terhenti. Untuk kemudian mengingat kebaikan-kebaikan itu. Merangkainya. Dan hanya tinggal menunggu waktu saja lah mereka melihat dirinya sendiri. Tentang apa yang sudah mereka perbuat.

Dan kaidah itu juga berlaku kebalikannya. Jika ada sebuah kematian begitu dalam membekas di hati orang-orang, maka sudah jelaslah bagaimana si jenazah di masa hidupnya. Pasti, kebaikanlah mengisi hari-harinya. Maka tentang ustadzah Yoyoh Yusroh ini, sms-sms yang begitu ringan disebar, status-status dalam yang seketika dibuat, atau tulisan-tulisan menghunjam yang diketik, tergambarlah sudah bagaimana sosoknya. Ia orang baik, ia orang baik, ia orang baik.

Dari Umar (bin Khaththab) ra, katanya Rasulullah Saw bersabda : ”Seorang muslim yang disaksikan oleh empat orang bahwa ia baik, maka orang itu dimasukkan Allah ke surga.”
Kami bertanya,”Bagaimana kalau tiga orang?”
Jawab Nabi, ” Ya, tiga orang juga.”
Tanya kami lagi, ”Kalau dua?”
Jawab Nabi, ”Ya, dua juga.”
Sesudah itu kami tidak menanyakan lagi tentang seorang.”



apakah sebuah kebetulan, saat aku menulis tentang kematian, sebuah sms datang, tentang berpulangnya pejuang dakwah kita, ustadzah Yoyoh yusroh....

Friday, May 13, 2011

titik-titik rawan

Harusnya memang bukan titik. Sebab yang namanya titik itu sa'tul saja. Sesaat. Hingga sulit untuk tercapai dengan tepat. Tapi periode! Sebab dalam periode ada sebuah rentang waktu, sehingga lebih masuk akal untuk bisa tercapai, atau terasakan.

Periode-periode rawan. Saya mengenal bahasan ini bertahun yang lalu ketika belum satupun yang dibahas di situ menimpa saya. Di sebuah milis organisasi kajian jurusan. Waktu itu, mengangguk-angguk membenarkan meski belum meyakini betul. Tidak diri sendiri yang merasai, sering kali memang membuat orang tidak benar-benar mengerti.

Rawan, adalah sebuah kondisi yang tidak aman. Atau paling tidak, mudah sekali mendapat gangguan. Jika di sebuah tikungan ada tulisan ‘hati hati, rawan kecelakaan’, pastinya memang tikungan itu adalah tikungan yang dianggap berbahaya oleh sebab banyaknya kecelakaan. Maka, jika ada pengendara yang melintasinya, dengan tak berhati-hati sesuai himbauan dalam tulisan itu, boleh jadi ia akan celaka. Selip, jatuh, atau amblas masuk jurang.

Begitulah! Tak terlalu analog. Tapi rawan yang dimaksud dalam tulisan ini boleh jadi seperti itu. Sebuah periode yang berbahaya, yang apabila kita tak berhati-hati, akan menyebabkan ‘celaka’. Stabilitas yang boleh jadi telah lama dibangun, amat mungkin menjadi roboh tak berbekas.

Baiklah, inilah periode-periode rawan itu:

1.    Lepas dari amanah-amanah formal.

Entah di kampus lain bagaimana, meski tak semuanya,  di kampus saya dulu, apabila mendekati tingkat empat perkuliahan, amanah-amanah di organisasi waktunya diletakkan untuk dilanjutkan penerus-penerus yang lebih muda. Ada yang kemudian mencari amanah-amanah lain di luar, tapi tak sedikit pula yang memilih tak mencarinya dengan dalih mengonsentrasikan diri menjemput tugas akhir. Yang pertama mungkin tak apa, sebab atomosfer yang sama masih setia menasehatinya. Tapi yang kedua, boleh jadi berbahaya. Ketika tak ada lagi sebuah amanah resmi yang mewajibkannya untuk syuro-- yang mengharuskannya bertemu dengan orang-orang yang dengan memandangnya saja membuatnya malu dengan tumpukan dosa, ketika pikiran tak lagi dipenuhi oleh strategi-strategi gemilang demi sebuah kebangkitan, ah, jalan menuju arah kebalikannya amat mungkin justru yang membuka lebar. Maka jangan kaget, ketika dulu kau lihat seorang yang begitu sibuk dengan agenda-agenda perbaikan, tiba-tiba terlihat cangkruan tak karuan. Boleh jadi ia adalah sebuah gelas yang belum sepenuhnya kokoh, yang terlalu lama terisi dengan air panas, tiba-tiba dengan tergesa diisi air dingin membekukan. Retaklah kemudian yang ada.

2.    Menyelesaikan Tugas Akhir

Semakin sibuk kita dengan aktivitas non-ruhiyah, maka harusnya semakin digenjotlah amal harian kita. Itu adalah nasehat yang dulu sering kali mampir di telinga. Satu hal yang berat, sebab logika dangkalnya memang tak begitu; bukankah semakin sibuknya seseorang, maka sedikit waktu untuk hal lain yang masih tersisa? Ya, memang, ketika menuruti kesibukan, bukankah waktu yang tersisa harusnya untuk istirahat, untuk melepaskan diri sejenak dari kesibukan. Jadi wajarlah jika amal harian menjadi berkurang, atau minimal stagnan. Tapi, ternyata, tidak begitu lahyang seharusnya! Ketika pekerjaan-pekerjaan datang silih berganti, ketika tuntutan-tuntutan seolah berkejaran tiada henti, maka di situlah sebenarnya kita akan mudah sekali kehilangan esensi. Ruhiyah menjadi kering, dan hanya menunggu waktu sampai ini terjadi; kematian hati. Maka jelas, yang diperlukan adalah menggenjot amalan harian. Sebab perlu usaha lebih untuk mengisi kembali ruhiyah yang kerontang akibat badai kesibukan.

Dan itu yang boleh jadi terjadi di waktu menyelesaikan tugas akhir ini. Ketika kesibukan meningkat, ketika tuntutan-tuntutan untuk cepat lulus itu datang bertubi-tubi, ketika waktu menjadi begitu berharga, maka berhati-hatilah! Sebab ada yang memaklumkan untuk tak lagi sholat berjamaah, mengurangi tilawah, dan menenggelamkan diri dalam aktivitas laboratorium yang tak kenal waktu. Sebuah kombinasi yang  ada itu justru mengarahkan diri pada satu hal; kebangkrutan hati.

3.    Lulus dan Sedang Mencari Kerja

Ini tak kalah penting. Inilah alasan mengapa kita mesti sudah tahu betul apa yang mesti kita lakukan saat lulus. Tentang perusahaan apa yang ingin dimasuki, tentang wirausaha apa yang ingin digeluti. Sebab tekanannya memang sungguh berat. Saat bulan-bulan telah berlalu, dan belum ada pekerjaan yang pas yang kau temu, segala hal yang seyogyanya biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi begitu sensitif dan menekan. Saat kepulangan yang harusnya menyenangkan, tiba-tiba menjadi berat oleh kekhawatiran bisik-bisik tetangga; “itu, tuh, S1 masih nganggur”. Bertemu adik tingkat pun begitu. Apalagi bertemu adik kelas yang rada-rada nggak sensitif; “sekarang ada dimana, mas?”. Belum lagi harapan-harapan keluarga.Belum lagi lulusan baru yang kembali menyerbu dunia pencari kerja.

Maka yang terjadi, jika tak benar-benar punya prinsip kokoh, menjadi serampangan lah kita. Idealisme luntur, perusahaan apapun dimasuki. Apapun dilakui. Bagi perempuan, ada tantangan tersendiri. Telah banyak kasus seorang akhwat yang dulu jilbabnya begitu lebar, setelah bekerja mengalami kenaikan yang drastis –dari selebar taplak menjadi sesempit sapu tangan. Tak jarang pula, seorang akhwat yang dulu kemana-mana bergamis, setelah bekerja harus menyamankan diri memakai wearpack dan memanjat-manjat tangga monyet di kebisingan pabrik.

4.    Mencari Pasangan Hidup

Aih, berat untuk membahas ini.


Begitulah, periode-periode rawan itu. Dan akan jauh lebih berbahaya ketika periode-periode itu berimpit atau saling menindih. Jadi, waspadalah!


#btw, kamu ada di periode mana?

Thursday, May 12, 2011

Wednesday, May 4, 2011

lontong balap kenangan

Lontong balap. Barangkali tak ada yang spesial dari makanan ini. Hanya lontong yang diiris-iris, lento dan tahu yang juga diiris, lalu tauge dalam kuah yang agak coklat. Sambalnya sejenis petis berwarna coklat agak kehitaman. Lalu  ada kerang ditusuk batang kecil bambu, membentuk seolah sate, sebagai pelengkap.

Tak ada yang spesial. Ya, mungkin itulah yang bisa saya ungkapkan. Sebagai sesorang yang tak terlalu suka menjelajahi rumah-rumah makan untuk wisata kuliner, menurut saya, tak ada yang spesial dari makanan itu. Enak sih enak, tapi tak ada yang spesial. Hingga saya tak perlu mengorbankan satu dua hal untuk mendapatkannya. Ini lah yang kemudian berlaku umum, tiap harinya saya lebih suka mencari makan di tempat-tempat terdekat dari rumah. Lebih praktis, lebih cepat.  Tak ada rutinitas berburu makanan-makanan aneh di tempat-tempat jauh.

Tapi pagi itu, menjadi agak sedikit beda lah kesimpulan itu. Sudah ribuan kali sepertinya jalan itu saya lewati. Namun baru kali itu, ada sebuah warung kecil terbuat dari tripleks yang membuat saya berjanji untuk menghampirinya sepulang kerja sorenya nanti. Dilihat dari bangunannya, agaknya warung itu baru saja berdiri. Mungkin baru satu dua hari ini. Apa yang tertulis di spanduk depannya itu lah yang menggerakkan saya: “sedia lontong balap.”

Sudah sering saya bilang, bukan tentang kapan, bukan tentang dimana, atau juga bukan tentang apa, tapi tentang siapa itu lah yang penting. Membaca spanduk itu, saya tak teringat lentonya yang boleh jadi enak, atau teringat surabaya sebagai asal makanan ini, tapi saya teringat sebuah nama. Awalnya saya tak terlalu menyadari hal ini, tapi saya juga tak bisa berbohong, bahwa kenangan bersama itu lah yang menggerakkan ini. Apa yang membuat saya tiba-tiba menginginkan lontong balap itu kala melihatnya adalah memori tentang peristiwa tiga tahunan yang lalu. Di sebuah warung tenda kecil pinggir jalan, berbatasan dengan kawat berduri dimana di seberangnya ada hamparan sawi, di sebuah kota dimana sekitar empat tahun hidup ini merunuti jalannya, saya pernah makan lontong balap ini berdua dengan seorang kawan. Mungkin begitu menikmati saat-saat itu, hingga mudah saja terbangkitkan. Bahkan ketika hitungan tahun telah begitu cepat menjalar.

Maka, seperti yang sudah disebutkan, berjanjilah saya untuk mampir di sore harinya. Bukan untuk dibungkus, sebab itu akan mengurangi memorabilianya. Tapi dimakan di situ, meski harus sendiri menghabiskannya. Sayang sekali, saya tak kepikiran untuk meng-SMS-nya kala mulai menikmati tiap sendok kenikmatannya.

Begitulah! Kenangan, akan senantiasa untuk mencoba kembali bangkit di kekinian. Mungkin itulah kenapa, jika tak ditujukan untuk mengambil pelajaran, kita dilarang untuk mengingat-ingat kebiasaan buruk kita di masa lalu.

“akh, jika sedang menurun, setidaknya cobalah mengingat-ingat romantisme ketika pertama kali halaqoh. Semoga itu bisa menjadi pemicu semangat”

Menjadi benarlah nasehat pendek itu empat hari lalu. Dalam sebuah lingkaran kecil. Di malam yang menjelang larut.



#buat bai: kapan kita kembali menikmati lontong balap depan Perumahan Galaksi? Kali ini berempat. Bersama istri dan juniormu. Ataukah berlima?

Tuesday, May 3, 2011

Denger2 RI 1 mw k Bontang..

(bukan resensi): Sketsa - Ari Nur

Pernah suatu kali, seorang kawan  mengatakan tentang ketidaksukaannya terhadap sebuah novel yang memaparkan kehidupan sebuah rumah tangga yang awalnya baik-baik saja, kemudian rusak atau terguncang oleh suatu sebab. Entah, saya agak-agak lupa alasannya mengapa ia mempunyai sikap itu. Mungkin karena ia terlalu merasainya, hingga merasa keberatan jika sebuah kebahagiaan yang sudah terpampang itu, meski tergoncangkan. Atau ia merasa itu adalah sebuah stimulus yang tak terlalu positif, hingga menimbulkan kecemasan. Saat itu ia sedang membicarakan novel ‘Dilatasi Memori’ dan ‘Istana Kedua’. Saya sedang menanyainya tentang novel ‘Istana Kedua’ yang baru saja ia pinjam dari saya. Ini adalah kebiasaan lama, menanyai teman yang baru meminjam buku tentang buku yang ia pinjam itu.

Bagi anda pecinta buku pasti paham isi kedua buku itu. Dilatasi Memori menggambarkan sebuah keluarga kecil bahagia dengan satu orang anak yang menjadi goncang dengan kehadiran orang ketiga. Sedang istana kedua, lebih ekstrem lagi, menceritakan kehidupan sebuah keluarga dengan beberapa anak, bahkan boleh dikatakan sebagai keluarga dakwah, yang tiba-tiba terguncang hebat kala sang istri menyadari akan adanya istana lain bagi si suami.

Mendapatkan penjelasan tentang ketaksukaan ini, tentu saja membuat saya berpikir sejenak. Pasalnya, saya sama sekali tak memasukkan unsur itu dalam variabel yang menentukan suka tidaknya saya terhadap sebuah buku. Menurut saya, dilatasi maupun istana adalah buku bagus. Terlepas dengan ceritanya yang bermula dari sebuah kebahagiaan yang tiba-tiba goyah. Toh, pada akhirnya ada penyelesaiannya, atau minimal ada penjelasan baiknya. Mungkin karena saya lebih sering melihat sebuah buku dari bagaimana ceritanya dipaparkan kepada kita.

Tapi memang tak selamanya itu. Saya tak suka terhadap sebuah buku yang menampilkan tokoh utama secara sadar berlaku buruk tanpa ia sesali sekalipun. Bukan sebuah tampilan buruk yang berguna untuk membangun cerita, agar pada akhirnya diambil hikmah. Tapi sebuah kebiasaan buruk, ataulah tak baik, yang ditampilkan si tokoh utama secara vulgar dan sadar, tanpa ada pembahasaan kalau itu sebenarnya tak baik. Ketaksukaan ini, memang tak serta merta membuat saya tak suka secara overall  pada cerita sebuah buku.

Okelah, anda mungkin dapat berkilah bahwa kita adalah pembaca bijak yang sudah tahu mana yang baik mana yang buruk. Bahwa kita memiliki daya saring yang kuat yang mampu menyaring mana yang mesti ditelan, mana tidak.  Tapi bagi saya yang inginnya memiliki semua buku yang saya senangi, hal ini menjadi cerita lain. Sebab nantinya buku-buku itu tak hanya dibaca oleh saya. Tapi juga oleh teman-teman saya, oleh keluarga saya, oleh anak-anak saya. Jika ada ketakbaikan dalam buku itu yang ditangkap si peminjam dan kemudian ia mengimplementasikannya, sedikit banyak saya punya andil dalam ketakbaikan itu.

Maka ketika membaca novel Sketsa karangan Ari Nur Utami ini, ada kernyitan di dahi. Ada rasa ketaksetujuan tentang bagaimana penulis menjadikan si ini begini, si itu begitu, meski itu juga tak mengurangi ketertarikan saya untuk terus melembarinya. Mungkin karena pikiran saya sudah tertutupi oleh sosok Rani dalam serial Diorama, hingga mengharapkan sosok Katarina –tokoh tama dalam novel sketsa ini- tak jauh beda dengannya.

Bercerita tentang seorang arsitek bernama Katarina yang mendapati karya arsitekturnya dicuri sebuah perusahaan ternama, tak bisa dipungkiri novel ini berhasil mengikat antusiasme saya untuk berusaha segera menyelesaikannya. Dunia arsitektur yang ditawarkan di novel ini adalah sebuah hal yang baru dan segar sehingga cukup memberi stimulus yang baik bagi saya untuk terus membacanya. Istilah-istilah yang baru, latar yang baru, dunia yang baru, adalah kombinasi yang menyegarkan di tengah serbuah novel-novel dengan dunia yang itu-itu saja.

Hanya saja kemudian timbul ketaksetujuan. Satu persatu, sedkit demi sedikit. Tak terlalu tak setuju, sih, memang, tapi cukup memberi gangguan kecil. Berbicara tentang dunia kebanyakan, bukan sebuah lingkungan yang steril, mungkin saya mengharapkan sosok Katarina akan menjadi sosok yang se-imun Rani dalam serial Diorama. Tapi nyatanya tidak. Meski digambarkan kalau Katarina adalah seorang yang alim lewat pembicaraan rekan-rekan kerjanya yang doyan ngerumpi, tetap saja katarina orang kebanyakan  –mungkin ini baik juga, karena jika Katarina menjadi sosok yang begitu imun, cerita ini  bisa saja terkesan melangit. Di novel ini bahkan penulis sepertinya sedikit menyembunyikan tampilan Katarina. Entah karena menyadari kalau novel ini tak seislami novel-novelnya yang sebelumnya, atau entah karena alasan yang lain. Kalau saya tak salah, sepertinya penggambaran kalau Katarina adalah perempuan berjilbab disampaikan secara tak lugas di awal-awal. Di halaman terakhir saja penggambaran itu dinyatakan secara jelas.

Ketaksukaan pertama adalah kala ada bibit suka yang terkesan dipelihara dalam diri Katarina pada  Edwin, sang direktur keuangan muda yang seorang Cina. Pasalnya apa? Sebab ia sudah berkeluarga, sebab ia sudah mempunyai seorang suami. Meski tak terlalu membahagiakan memang pernikahan itu. Meski sosok Andri, suaminya, bukanlah sosok yang seperhatian seperti di awal pernikahan. Tapi, ah, Ya Tuhan, jangan sampai ada cerita si tokoh utama mengakhiri rumah tangganya hanya karena adanya rasa suka pada orang ketiga.

Cinta..cinta..cinta.. Ini kemudian ketaksukaan kedua. Saya sih suka-suka saja asalkan tak berlebihan. Tapi bagi saya di novel ini terasa berlebihan. Sepertinya banyak sekali cerita tentang jatuh cinta. Baik menimpa tokoh utamanya, maupun figuran. Penggambaran tentang bagaimana Katarina merasakan ada sesuatu semacam rasa suka pada Edwin, dan sebaliknya, bagi saya agak berlebihan. Tentang rasa rindu, cemas, dan sejenisnya. Oke, mungkin memang ada rasa cinta semacam itu. Tapi bukankah mereka sudah sama-sama dewasa? Entahlah! Mungkin saya yang kurang pengetahuan tentang hal ini.

Tapi tenang saja, ini novel bagus, kok. Minimal bagi saya. Jarang-jarang saya mau ngelembur  sampai larut malam untuk membaca sebuah novel. Bahkan angka tiga hari untuk menyelesaikan buku setebal 400an halaman ini, bagi saya adalah sebuah rekor baru, minimal untuk dua tahun belakangan ini. Ada rasa penasaran tiap kali menyelesaikan satu bab, menginginkan membaca bab lanjutannya. Konflik bergantian, antara konflik pribadi dengan konflik pekerjaan. Atau bahkan saling menghimpit dan bertindih. Anda akan disuguhi dunia properti dan arsitektur yang mungkin asing bagi kebanyakan.

Jadi novel ini bercerita tentang apa? Jawabannya pastinya bukan tentang dunia arsitektur, sebab itu hanyalah latarnya. Yang benar, versi saya, ini novel tentang Katarina dan Edwin. Tentang seorang arsitek dari sebuah biro kecil  yang mendapati karya arsitekturnya dicuri perusahaan ternama  dan tiba-tiba sudah berdiri megah dan mendapatkan penghargaan. Lalu, memutuskan untuk masuk dalam perusahaan itu, berniat untuk menyelidiki, berniat untuk menghancurkan dari dalam. Lalu bertemulah ia dengan Edwin. Lalu akan banyak kemungkinan dari sana.

Tertarik? Silakan langsung hubungi penulisnya. 69 ribu saja, langsung terkirim ke seluruh indonesia. (aturan ini benar-benar menguntungkan bagi orang pedalaman macam saya)

Sunday, May 1, 2011

Bookahloc: April '11

Baik. Awalnya memang saya sempat berkoar-koar kalau bulan april ini akan menjadi bulan yang penuh buku. Maksudnya, bakal akan ada buku yang lebih banyak terbaca dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Itu adalaha kesimpulan di awaln bulan kala baru beberapa hari saja melepas angka satu pada kalender april, saya sudah menyelesaikan satu buku. Hebat, pikir saya. Apalagi kala menyeksamai kalender lagi, ada tanggal merah berhimpit dengan sabtu. Long weekend. Bakal menjadi akhir pekan yang bertema warna-warni buku pastinya.

Tapi kemudian, menjelang akhir april, ketika menghitung buku yang kelar dibaca, saya sadar koar-koar awal bulan itu ternyata tak menyata. Meski ada sedikit kemajuan dalam hal antusiasme membaca, saya sadar bahwa membaca adalah sebuah pekerjaan yang memerlukan waktu pribadi. Karena prbadi itulah, ironisnya, lebih sering mendapat sisa-sisa. Setelah waktu untuk pekerjaan , setelah waktu untuk sosial, juga mungkin setelah waktu keluarga (tentu saja keluarga yang saya maksud bukan keluarga dalam makna sempit).

Ini mungkin tentang kekurangan tekat. Penyakit lama, meski tak terlalu kronis untuk bulan april ini, masih saja menyerang. Ketiduran di sofa sambil memeluk buku, masih terjadi. Sebenarnya menyesal juga kala terjaga dari tidur itu. Memandang buku yang kadang kala terjatuh ke lantai. Tentang waktu membaca yang tak termanfaatkan. Tapi apa daya? Mungkin karena menjadi waktu sisa tadilah, hanya lelah yang ada. Menjadi cepat sekali mengantuk (untuk kemudian tertidur) kala buku yang diba lebih banyak mengambil porsi pikiran, bukan hati.

Dan libur tiga hari yang kusebut di depan, berantakan. Tak ada libur. Meski tak harus masuk penuh, tetap saja merusak semuanya. Merusak skenario-skenario. Dan tentu saja merusak acara pesta buku tadi.

Lalu, dari semua itu, ini lah yang kemudian selesai terbaca.
1.Surat Kecil Untuk Tuhan: Sebuah novel bersumber dari kisah nyata. Jika saja digarap dengan lebih baik, dengan diksi yang oke, dengan gaya penceritaan yang mengalir lembut, novel ini boleh jadi bakal semengharu-biru ‘Seliter Air Mata’nya dorama Jepang itu.

2.Bete After Merit: Jika ingin membaca persoalan pernikahan seringan membaca novel, baca lah buku ini. Sebab Tasaro lah penulisnya. Kau pasti sudah mengenal sosok penulis ini sebagai penulis yang kaya akan diksi yang ebak dibaca.

3.Selimut Debu: wah, saya suka sekali buku traveling yang tak biasa ini. Tidak, Agustinus Wibowo tak mengajari saya tentang tips praktis berpetualang, atau tentang bagaimana cara menjangkau sebuah tempat, apalagi memberi informasi tentang berapa anggaran yang diperlukan. Tapi ia, dengan gaya penuturannya yang begitu enak dibaca, mengajak pikiran saya berpetualang bersama petualangan raganya. Menelusuri lekuk-lekuk afghanistan, ke sudut-sudut terpencil, ke desa-desa asing, yang membuat saya berseru dalam hati ‘gila, nih, orang’. Agustinus berhasil membidik dengan tepat kesadaran saya. Ia tak memberi panduan praktis, tapi ia membangunkan jiwa petualang saya yang mungkin amat-amat tumpul. Lepas membaca buku ini, entah mengapa saya jadi ingin pergi ke tempat-tempat jauh. Tak penting kemana, yang penting tempat-tempat yang baru, melihat dunia baru.

4.Ayahku (Bukan) Pembohong: buku kesekian Tere Liye yang saya baca. Sangat khas, meski kali ini diterbitkan Gramedia. Buku ini menjadi pas kala bahasan tentang bapak begitu terngiang-ngiang dalam pikiran saya akhir-akhir ini.

5.Waarisan Sang Murabbi: Akhirnya selesai juga buku ini, kawan! Perlu pelan-pelan memang membaca pemikiran Ustad Rahmat ini. Dimamah pelan-pelan, direnungi, dicermati, sampai pada keputusan untuk menelannya. “seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Tak satupun. Bila semua pihak menghindar, biarlah saya menanggungnya, semua atau sebagiannya. Saya harus mengambil alih tanggung jawab dengan kesedihan yang sungguh, seperti saya menangisinya saat pertama kalimenginjakkan kaki di mata air peradaban modern, beberapa waktu silam’

Yup, lima saja memang. Masih tak beranjak dari prestasi bulan lalu.
Untuk bulan depan, semoga tiga buku ini sudah terlaporkan berstatus terbaca. Sebab tiga buku ini lah yang sedang saya baca:
1.Sketsa- Ari Nur Utami (tentang Arsitektur, euy!—membuat saya berpikir, membuat novel tentang pabrik kayake oke)
2.Ramadhan di Musim Gugur (harusnya pas Ramadhan, ya, bacanya?)
3.Catatan Muslimah Belanda