Thursday, June 30, 2011

Bookaholic : Juni 2011

Baiklah. Bulan ini adalah bulan sibuk. Tanpa bermaksud untuk membuat pemakluman, sepertinya angka 5 adalah angka yang cukup bagus sebagai status jumlah buku yang telah terbaca pada bulan ini. Angka lima pula yang juga menjadi status untuk bulan sebelumnya, sebelumnya lagi, dan sebelumnya lagi. Yang memberi saya kesadaran bahwa angka lima ini ternyata saya capai baik dalam keadaan sibuk ataupun lebih senggang.Sehingga, logika sederhananya, jika saya ingin mengambil pelajaran positifnya, pada saat lebih senggang itu, saya mampu melebihi angka 5. Toh, pada saat yang lebih sibuk, saya sudah bisa mencapainya.

Tapi memang masalah kuantitas buku yang terbaca tak melulu soal ketersediaan waktu. Ada variable lain yang boleh jadi lebih dominan. Jika dalam sebuah fungsi matematis, dimana w adalah ketersediaan waktu dan S adalah variabel lain tadi, jumlah buku yang terbaca itu didefinisikan sebagai dua kali W ditambah sepuluh kali kuadrat S. Sehingga dapat dikatakan, dengan nilai W yang kecil, tetap akan menghasilkan jumlah buku yang besar senyampang nilai S-nya besar. Apa S itu? adalah semangat. adalah kesungguhan, adalah kemampuan untuk mengalahkan rasa malas.

Tanpa ba bi bu lagi, berikut buku-buku yang terbaca di bulan juni ini:

  • Si cacing dan Kotoran Kesayangannya. Sebuah buku yang ditulis oleh seorang biksu. Ajahn Bram namnya. Berisi kebajikan-kebajikan hidup yang dikemas dengan cara ringan dan cerita-cerita. Saya benar-benar menikmati membaca buku ini hingga tak terlalu butuh waktu banyak untuk menghabiskannya
  • Pengikat Surga - Hisani Bent Soe. Buku tentang ini sepertinya sedang marak. Sirah yang dikemas dalam bentuk novel. Setelah bukunya Tasaro yang MLPH, buku ini adalah buku kedua yang bertema hal tersebut yang saya baca. Hanya saja, dalam buku ini, sudut pandang orang pertama ada pada Asma binti Abu Bakar. Sudut pandang yang menarik. Membuat buku tebal ini menjadi ringan terbaca. Oh ya, usai membaca ini, saya jadi bertanya-tanya, sememesona apakah Atikah Binti Zaid itu?he he.
  • Smart Parents : Menyayangi Anak Sepenuh Hati. Hwaw. Lama sekali buku ini teranak tirikan dan menjadi waiting list selama berbulan-bulan di lemari buku saya. Hingga, ketika pada akhirnya saya mengambil buku tipis ini sebagai bacaan selanjutnya, saya baru menyadari kalau buku ini adalah buku bagus yang salah besar ketika saya menunda-nunda untuk membacanya.Ida Nur laila nama pengarang buku ini. Seorang ummahat yang ternyata adalah istrinya Pak Cah. Seperti judulnya, ini buku parenting. Berisi teori-teori pendidikan anak yang disertai dengan kisah dan pengalaman pribadi.
  • Bidadari Bumi- 9 Kisah Wanita Sholihah. Berisi kisah-kisah wanita luar biasa yang penulis temui ketika berada di Yaman. Cukup inspiratif, cukup menggugah, membuat kita tersadarkan, hei, bidadari bumi itu sungguh nyata. Salimah Alaydrus nama penulis buku ini
  • The Doctor : Catatan Hati Seorang Dokter. Buku yang sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Dr Triharnoto, nama penulis buku ini, berhasil memberi gambaran tentang dunia kedokteran yang selama ini hanya terlihat permukaannya oleh saya. Mulai cerita tentang mahalnya biaya obat (dengan motof ekonomi di dalamnya), tentang bagaimana diagnosa itu, tentang tindakan-tindakan medis, serta hal lain. Membuat saya memiliki dua sudut pandang untuk melihat kasus-kasus di duni kesehatan, khususnya perumah-sakitan. Selesai membaca buku ini, kesimpulan yang saya dapat adalah, ternyata menjadi dokter itu susah. Untunglah dulu tak terbersit sama sekali untuk masuk kedokteran.
oke-oke. Lima itu saja. Terakhir, sebagai penutup, seperti biasa, buku yang sedang dibaca saat ini adalah......eng i eng: TAK ADA. he he.. Soalnya sedang menikmati saat-saat di Bandung dan belum menyempatkan diri untuk membaca. Sebenarnya, ada buku Existere yang kebetulan saya bawa dari Rumah, tapi sampai saat ini belum saya sentuh sama sekali. Perjalanan Balikpapan- Bandung kemarin saya isi dengan menghabiskan The Doctor.

Tapi bulan juli ini akan menjadi bulan yang sibuk. Sibuk dengan buku. Sebab besar kemungkinan bakalan tersemangati oleh buku-buku baru yang insyaAllah akan dibeli pas di Jakbukfer nanti.

Sekian.

Wednesday, June 29, 2011

taman juanda-gua jepang-gua belanda-curug omas maribay




biasanya, saya akan menjelajahi toko buku bila ada kesempatan ke jawa seperti ini. Tapi berhubung akan mengagendakan ke jakbukfer, maka dieliminasilah agenda itu pas di Bandung ini. Membuat saya hanya ngendon di penginapan pas sudah selesai acara siangnya. Untuk ke mall? ah, saya tak punya rencana sesuatu yang mau dibeli.

untungnya kemudian seorang rekan menawarkan acara seru di libur sehari kemarin. Curug maribaya, begitu dia pertama kali mengenalkan apa yang ingin kita kunjungi itu. Sebuah air terjun katanya. Menjadi tambah antusias ketika ia jelaskan kalau kita bakalan jalan kaki menelusuri hutan untuk menjangkaunya.

berikut oleh-oleh fotonya

Tuesday, June 28, 2011

Curug maribaya

andaiandai iseng

Saya tengah menghabiskan santap malam ketika bocah kecil itu mengitari meja saya. Sesekali matanya melirik saya, dan sesekali pula saya membalas lirikannya. Segelas jus mangga yang saya letakkan di pinggiran meja kemudian saya khawatirkan. Entahlah, beberapa saat yang lalu bocah kecil itu sok akrab dengan menepuk punggung saya, maka hal-hal lain yang lebih dari sekedar menepuk boleh jadi akan terjadi. Membuat pikiran saya mengembara untuk mengandaikan sebuah kejadian.

Si bocah, tanpa sengaja menyentuh jus mangga, membuat isinya menumpahi meja dan menghilangkan kesempatan menikmati tegukannya buat saya. Si anak kemudian terbengong ketakutan, sebelum tangannya diraih secara kasar oleh si bapak yang duduk tak jauh dari kejadian. Memararahinya. Lalu saya, dengan sangat dramatis mengambil alih situasi, "sudahlah, pak! Jus mangga yang tertumpah akan dengan mudah dibersihkan, akan sangat gampang untuk diganti yang baru. Tapi hati seorang anak yang terluka akibat cara bapak memarahinya, akan sangat sulit untuk kembali sembuh"

Tapi itu tentu saja tak terjadi. Jus mangga itu masih anggun di tempatnya. Beberapa menit kemudian, bahkan telah tandas oleh sedotan saya.

o0o


itu saja. Semoga ini mengingatkan Anda pada sebuah hadist Rosulullah.

Bukan tentang dimana, tapi tentang kau, serta orang (-orang) yg membersamaimu.

Monday, June 27, 2011

kawan perjalanan

Menebak-nebak tentang model seperti apakah kawan seperjalanan kita, mungkin telah menjadi keasyikan tersendiri kala tubuh saya telah resmi menduduki nomor kursi yang tertera di tiket tapi ada satu kursi lowong di kanan-kiri yang belum terisi. Sebab tak ada ikut campur saya untuk itu. Sebab itu menjadi sesuatu yang given, yang kemudian saya harus menerima apapun keadaan teman perjalanan itu –bahkan setakmenyenangkan sekalipun.

Tentu saja ini bukan tentang naik bus umu atau kereta ekonomi dimana kita bisa menentukan di kursi mana hendak duduk. Dan ini, juga bukan tentang kereta bisnis atau eksekutif sebab tak ada kereta di kalimantan –sehingga menjadi amat jarang lah kesempatan itu di dapat. Ini tentang naik pesawat. Asyik saja. Ketika saya sudah duduk, dan masih ada kursi yang lowong di kanan atau kiri saya, maka akan menjadi kesenangan kecil kala menunggu orang seperti apakah yang bakal duduk di samping saya itu. Sedikit ganjil memang, mengingat usia kesenangan itu yang seringkali amat singkat.

Tapi memang, kawan perjalanan ini, boleh jadi menjadi variabel penentu tentang seberapa menyenangkan perjalanan kita itu. Oke, saya memang lebih kerap menghabiskan waktu di pesawat dengan membaca atau tertidur, tapi tetap saja tak bisa dipungkiri kalau teman duduk yang pas akan membuat perjalanan menjadi lebih menyenangkan dan berwarna. Itu saya buktikan betul, bahkan teman seperjalanan yang biasa sekalipun lebih mending daripada tak ada. Seperti perjalanan balik dari pulang kemarin. Pesawat benar-benar sepi. Kursi-kursi banyak sekali yang kosong. Dan ndilalah, kursi di samping saya lah termasuk yang kosong itu. Boleh saja saya membatin bahwa ini akan baik sebab tempat duduk menjadi longgar, tapi tetap saja terasa ganjil kala tak ada seorang yang bisa diajak bicara meski hanya bertanya tentang tujuan.

Akan banyak sekali kemungkinan dengan siapa kah kita bakal duduk itu. Lelaki-perempuan, tua-muda, pejabat-buruh, ayah-anak, mahasiswa-pedagang. Dengan berbagai karakter pula. Awalnya kita hanya bisa menebak-nebak, tapi menjadi kian benderang kala kita mulai mengajaknya bicara. Ada yang begitu terbuka, ada yang tak banyak cerita. Ada yang terasa merendah, tak jarang pula terlihat berbangga.

Berbicara tentang kawan perjalanan di pesawat adalah berbicara tentang penerimaan. Tentang sesuatu yang tak bisa kita usahakan tapi saat itu telah terberikan, tak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali menerimanya. Sebab mau tak mau, senang tak senang, sejarak perjalanan itu lah kita akan berdampingan. Saat kita mencoba menerimanya, saat kita mulai mencoba melihat sisi baiknya, kita akan tahu, akan ada sesuatu yang bisa dipetik. Dan ternyata, antusiasme itu lah yang kemudian menciptakan kesenangan itu. Maka semoga anda masih ingat, bahwa orang-orang yang bahagia, adalah orang-orang yang mampu menangkap hal-hal baik di sekitarnya. Menjadi tugas kita lah kemudian untuk meningakatkan daya tangkap itu. Menerima, boleh jadi termasuk usaha menuju itu.


#di pinggiran sawunggaling
#bandung




(aduh, padahal saya ingin cerita tentang teman perjalanan kemarin)

wah, 'ketika mas gagah pergi' mau difilmkan----

Tuesday, June 21, 2011

(catatan turn around): berjuanglah, ayah juga sedang berjuang!

Bila saya yang mengalaminya, saya tak cukup yakin akan sanggup melakoninya sebaik bagaimana teman saya itu melakoninya.

Ini cerita tentang seorang teman. Teman kerja yang tempat duduknya persis di depan saya duduk sehari-harinya. Juga tentang istrinya. Juga tentang calon bayi dan kemudian menjadi bayinya.

Sanggupkah anda membayangkan, mempunyai seorang istri yang sedang hamil tua, bahkan di hari-hari itu lah diprediksi bakal melahirkan, tapi anda malah tak di sampingnya, justru meninggalkannya sendiri tanpa seorang yang membersamainya selain ponsel yang seketika bisa digunakan untuk keadaan darurat, demi sebuah pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Itu lah yang terjadi pada teman saya itu. Turn Around Kaltim-1 2011, mungkin kata-kata itu akan benar-benar terpatri dalam ingatan teman saya itu. Kata itu lah yang menyebabkan ia menguat-nguatkan hati untuk terus berangkat kerja, menstarter motornya, dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua. Untuk mencabangkan pikirannya ke hal lain, untuk memfokuskan diri pada pekerjaan yang menuntut keterlibatannya. Mungkin dengan harap-harap cemas tiap kali menatap layar HP. Ah, bagaimanakah jadinya jika ponsel itu berdering ketika ia di berada di plant?

“kapan orang tuanya pean datang?”

Itu adalah pertanyaan saya di awal-awal turn around ini. Sudah memasuki hari-hari yang diprediksikan untuk istrinya melahirkan, tapi belum juga ada tanda-tanda orang tuanya itu datang dari kampungnya, lampung. Ya, sudah jauh-jauh hari ia mengabarkan, kalau orang tuanya bakal ke Bontang untuk membersamai menantunya itu menjalani persalinan.

“besok insyaAllah”, begitu jawabnya.

“24 jam yang panjang menuju besok”
o0o

“bapak klenger tekan kene”, begitu katanya di sebuah pagi. Kabar tak menyenangkan sebenarnya, tapi kabar baik bila dipandang di sisi lain. Orang tuanya telah datang. Itu artinya ia tak terlalu harap-harap cemas meninggalkan istrinya yang sewaktu-waktu bersiap melahirkan.

“mabuk kah?”, saya tersenyum. Medan balikpapan-bontang tentunya tak terbayangkan sebelumnya bakal mampu menguras isi perut orang tuanya itu.

o0o

“nanti kalau lahir dinamakan apa ya, enaknya?”, seorang rekan kerja melontarkan pertanyaan seloroh untuk teman saya itu.
“kalau cewek katalisia saja, pak”, canda saya. Katalisia yang saya maksud tentunya dari kata katalis, item yang menjadi tanggung jawab kita dalam turn around.
“atau secondaria”, seorang lain nyahut. Secondaria dari kata secondary reformer. Peralatan yang menjadi tanggung jwab teman saya itu.
“Kalau cowok reformax saja. Kayake nggak ada yang namanya itu”, giliran teman sebelah yang nyahut. Saya tertawa kecil. Reformax adalah nama katalis yang bakal diloading ke secondary reformer itu.
“atau methanator”

o0o

“istriku masuk rumah sakit”, katanya lagi, juga di pagi hari. Ada wajah cemas sekaligus antusias di wajahnya
“Kapan? Sudah mau melahirkankah?”
“kemarin jam tiga. Waktu periksa nggak diperbolehkan pulang sama dokter. Sudah menjelang melahirkan katanya”
(ah, seharusnya di waktu-waktu seperti ini ia berada di samping istrinya itu)

o0o

“sudah lahir, ya”

“laki-laki?”

Kabar itu datang juga. Malam hari ketika saya sedang ketiban masuk malam. Tentu saja tak ada teman saya itu. Ia tak kena jatah shift di turn around kali ini. Hingga saya tak bisa menglarifikasikannya. Seharian ini memang saya hampir sepnuhnya di rumah. Tak tahu info terbaru. Lebih banyak tidur untuk menggantikan waktu tidur malamnya yang terenggut.

o0o

Pagi hari.

“jam berapa lahirnya?”, saya menghampirinya yang sedang duduk menekuri layar laptop

“jam sembilan. Aku ditelpon”, mmmhh..itu artinya dua hari yang lalu. Kemarin ia mengambil cuti sehari untuk kelahiran anaknya itu. Saya sedang masuk malam, jadi tak tahu persoalan ini.

“sempat melihat proses kelahirannya”

“Sempat. Aku masuk ruang persalinannya”, sahutnya, “ngeri, ya?”

Saya tak mampu menjawab apa.

o0o

Ini cerita tentang seorang teman. Teman yang tak sekedar teman. Teman pergi kemana-mana. Teman bersama mengantuk mendengarkan kajian di masjid kompleks. Teman pergi ke ramayana. Teman pergi mengambil paket di kantor pos. Teman bersama makan malam di warung sederhana dekat masjid. Dulu.

Sanggupkah anda membayangkan, mempunyai seorang bayi mungil yang baru saja keluar dari rahim istrinya, bahkan belum genap dua hari membaui dunia, tapi anda harus meninggalkannya untuk bekerja, berangkat di pagi hari, pulang jam 10 malamnya, demi sebuah pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Teman saya itu sanggup, bahkan tak sekedar membayangkan, tapi menjalaninya.

o0o

“siapa namanya?”, tanya saya.

Ia tersenyum, “belum waktunya dipublish”

Senyum itu, senyum yang tak mampu kueja. Atau, barangkali bukan tak mampu, tapi belum saatnya lah lebih tepatnya.


 
 

Thursday, June 16, 2011

(catatan turn around) : penolakan

Menjadi bijak ketika kondisi diri dalam keadaan lapang, mungkin mudah, tetapi bersikap sama ketika kondisi diri dalam keadaan sebaliknya, itulah tantangannya. Itulah yang kemudian terjadi di siang itu. Panas, bising, hilir mudik orang bekerja, dan tekanan pekerjaan untuk terselesaikan secepatnya, itulah gambaran kondisinya. Semuanya normal-normal saja sebenarnya. Tak lebih dari seorang pekerja yang mencoba memberi saran pada seorang lain yang ia anggap bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu (kau bisa menyebutnya dengan seorang pekerja pada mandornya). Hanya saja saya, yang memang ditugaskan untuk mensupervisi pekerjaan tersebut, mungkin dalam kondisi tak baik, hingga terjadi lah semuanya.

Tidak! Tenang saja. Ini tidak seburuk itu. Tak ada tindakan-tindakan ekstrem. Hanya masalah sikap, hanya masalah prasangka hati. Dan itu terjadi pada saya, yang di kemudian waktu saya sesalkan terjadinya.

Pekerjaan waktu itu sederhana saja sebenarnya. Beberapa orang tenaga perbantuan musiman mengerjakan pekerjaannya dalam supervisi saya. Mengunload katalis dari reaktor berbentuk tube sebenare pekerjaan ringan, tapi melakukannya terhadap 388 tubeboleh jadi terasa monoton hingga akan memunculkan pemikiran-pemikiran untuk sebuah efektifitas, untuk sebuah percepatan pekerjaan. Itulah mungkin yang ada di pikiran seorang dari pekerja bantuan itu. Melihat saya yang mesti memberitahunya tentang tube mana yang saat itu harus diunload, ia mengusulkan untuk memberi tanda terhadap tube yang sudah terunload. Usul itu sebenare tak terlalu buruk, amat wajar bagi pemikiran kebanyakn orang, dan boleh jadi cukup bagus. Hanya saja, ego saya berkata lain.

Penolakan. Itulah yang kemudian terjadi. Usul itu kemudian saya mentahkan dengan argumentasi tentang setiap tube punya penomoran tersendiri, tentang adanya tanda di tiap berapa tube, tentang semuanya sudah terpikirkan. Dengan intonasi agak menekan itu semua tersampaikan. Tapi tidak, bukan karena saya memiliki argumentasi itu lah kenapa penolakan itu sebenarnya terjadi. Jika semuanya disampaikan dengan baik-baik, dan saya saat itu sedang membawa piranti untuk menandai, amat mudah saja usul itu termanifestasikan dalam kerja. Hanya saja, usul itu ternyata datang dengan cara sebaliknya. Ia datang seolah sebuah perintah kepada saya untuk menyediakan ini itu, bukan sebuah permintaan baik-baik dengan sebuah diskusi kecil. Hingga membuat ego saya sebagai seorang yang mensupervisi dia terlanggar. Hingga membuat saya tak perlu berpikir barang sejenak untuk membuat sebuah kesimpulan; penolakan.

Tapi kemudian semuanya, alhamdulillah, baik-baik saja. Ketika ada seorang rekan kerja datang dengan saku penuh spidol, si pak pekerja tadi, ternyata tak patah arang oleh penolakan keras saya sebelumnya. Kali ini ia menyarankan dengan sedikit memaksa tapi lebih lunak untuk saya meminta spidol si rekan kerja tadi sebagai penanda tube. Dan kali ini, oleh sebuah permintaan dengan maksud sama, tapi dengan cara berbeda, menghasilkan sikap yang berbeda juga pada diri saya. Semoga saja, itu sebuah pertanda bahwa kami sama-sama telah belajar dari kejadian sebelumnya.

Spidol pun berpindah tangan. Tidak cukup mengefektifkan pekerjaan memang, tapi bohong kalau dikatakan sama sekali tak membantu.

Demikianlah pada akhirnya cerita itu. Hingga kemudian tadi malam saya berkesempatan mengenalnya secara personal. Maman namanya. Sudah cukup memakan asam garam kehidupan. Asli Indramayu, pernah kerja di banjarmasin, dan menjejak Bontang tahun 90. Dan tadi malam itu lah, ia memanggil saya dengan sapaan ‘adek’. Sapaan yang terasa nyaman di telinga saya.

****

Kawan, inti dari semua ini, bahwa penolakan atas sebuah ide, seringkali bukan masalah substansinya yang memang tak mengena, tapi tentang cara menyampaikannya yang tak terkenankan.

Semoga kita bisa mengambil pelajaran.

Thursday, June 9, 2011

Rayhan Yang Mencoba Menata Keramik (kehidupan)

(aduh, mengapa saya jadi banyak menulis tentang anak-anak)

Di sebuah siang yang sudah melelahkan. Kami, orang-orang (yang ngakunya telah)dewasa, sudah tak terlalu banyak melakukan aktivitas yang berarti. Lebih banyak yang duduk ndeprok, bahkan beberapa sudah tiduran. Mencoba menguapkan penat yang mulai menggejala. Hanya bincang-bincang santai yang terdengar.Tapi, tidak buat anak-anak, bukan? Di masa aktif-aktifnya itu, ada saja cadangan energi yang ia miliki untuk mendukung tiap aktivitasnya yang bagi kita orang-orang dewasa terlihat melelahkan. Tetap semangat jalan hilir mudik, tetap riang melakukan ini itu.

Juga seorang anak usia dua tahunan itu. Rayhan namanya. Putera seorang saudara jauh. Di siang itu, dalam keadaan lelah, ketika para orang tua amat mudah tersulut emosinya, ia sibuk mengutak-atik pecahan keramik itu. Memang, entah karena apa, ada sebuah keramik peyusun lantai ruangan itu pecah menjadi beberapa bagian. Menjadi pecahan besar dan kecil. Sepertinya, si pemilik belum berminat untuk memperbaikinya, terlihat dengan hanya menata pecahan keramik itu di tempat aslinya, tidak menggantinya dengan yang baru. Mungkin karena ruangan itu yang bukanlah ruangan penting hingga tak terlalu memusingkannya.

Di sanalah Rayhan bermain sendiri. Asyik memindahkan pecahan-pecahan keramik itu dari tempat semula ia tertata. Asyik bagi dia, tapi terlihat tidak asyik bagi orang tua dan tantenya. Mereka mulai berkomentar tentang sikap Rayhan ini yang bagi mereka tak seharusnya, apalagi di rumah orang seperti ini. Saat itu lah, entah datang dari mana, kesaadaran itu muncul. Inilah saatnya, ini lah saat memraktekkan apa-apa yang terbaca di buku-buku parenting itu. Maka kemudian saya melangkah mendekatinya. Rayhan ini adalah tipe anak yang cepat akrab dengan orang asing. Sam seperti keponakan saya itu, terakhir kali melihatnya ketika ia masih dalam gendongan ibunya. Entah saat masih usia berapa bulan.Tapi beberap jam sebelum kejadian ini, dengan om asingnya ini, ia sudah berani memencet laptop saya ketika saya asyik menulis.

Saya kemudian jongkok di depannya. Mengambil jarak yang dekat. Pecahan keramik-keramik itu, sudah sempurna berpindah tempat dari awal mulanya. Maka tak perlu menunggu lama, ini lah saat yang tepat. Saya harus mengambil alih persoalan ini..

“nah, sekarang waktunya Rayhan menata kembali. Om kasih waktu lima menit. Bagaimana?”

Suara saya buat menyenangkan. Bukan sebuah perintah. Mencoba membuat ini sebagai sebuah bagian permainan tadi. Tapi tak ada tanggapan dari rayhan.

“jadi, ya? Satu..”, saya mulai menghitung. Menjadikan ini seperti permainan adu kecepatan. “dua”, ia mulai memunguti keramik pertama, mencoba menatanya, “tiga”, sebuah keramik tepat ia susun. Ah, bukankah ini mirip permainan puzzle, “empat”, ia terlihat kebingungan menaruh sebuah pecahan keramik ke sudut yang mana. Saya menikmati permainan ini. Tak mencoba memberitahunya. “lima”, ia mengambil potongan keramik lain. “enam”.....

Sampai seorang tantenya datang, dan membuyarkan semuanya... “Rayhan ini biasa! Ayo, cepat dibereskan!” Begitulah kalimat yang keluar. Tentu saja dengan intonasi yang tak menyenangkan. Saya terbengong sebentar, mencoba mengatasi keadaan. Tapi tak mungkin juga berdebat di waktu itu, bukan?

Selesai! Akhirnya acara menata keramik itu selesai dengan ending yang tak mengenakkan. Si tante mengambil alih urusan, dengan sedikit kasar menuntun tangan Rayhan meletakkan potongan keramik di tempatnya yang benar. Saya terdiam. Saya hanyalah seorang om jauh, yang sedang belajar. Bukan orang tuanya. Bukan tantenya.

***

Kawan, kejadian itu, menyadarkan saya bahwa keberhasilan mendidik anak-anak, bukan hanya tentang mendidik anak-anaknya itu sendiri. Tapi juga tentang ‘mendidik’ lingkungan terdekat. Bagiamana mendidik keluarga, bagaimana mendidik tetangga, bagaimana mendidik teman-teman. Sebab anak-anak kita itu, tak akan 24 jam ada dalam pengawasan kita. Ada kalanya ia mesti digendong neneknya, ada kalanya ia diajak main pamannya, ada kalanya pula ia sedang jalan-jalan ke rumah tetangga. Maka apa yang ia serap, boleh jadi tak melulu dari kita (yang pastinya ingin sebuah kebaikan). Tapi juga dari orang-orang lingkup terdekat kita itu. Ada yang tak sesuai mungkin dengan konsep kita, bahkan beberapa boleh jadi bertolak belakang. Menjadi tugas kita lah kemudian untuk menetralisirnya.


@ruang tunggu bandara juanda
10 juni 2011

mlg-sby-bpp-btg

Wednesday, June 8, 2011

episode pulang kampung ; mencintai ketaksempurnaan

Ekspektasi saya terlalu tinggi, kala membayangkan di Toga Mas kecil kota saya itu, akan tersedia buku baru yang sedang saya incar; Menembus Batas-nya Agustinus Wibowo dan Lelaki Pengeja Hujan-nya Tasaro. Menjadi terlalu tinggi sebab, yang kemudian saya temui setelah saya memasuki ruangan kecilnya adalah buku-buku lama yang sudah tak terlalu menimbulkan minat yang berlebihan pas menjelajahinya. Buku-buku yang sudah saya beli berbulan-bulan yang lalu bahkan masih saja berada di deretan buku baru, menyambut pengunjung pas pertama kali melangkahkan kaki memasuki ruangannya. Mungkin, definisi baru bagi toko buku kecil ini, berbeda dengan toko-toko buku lainnya, atau bahkan berbeda dengan saya sendiri. Tapi, selalu saja, ada untungnya, di deretan buku baru itu, ada sebuah buku yang akhir-akhir ini cukup ramai di perbincangkan di dunia maya. Buku terakhirnya mbak Nurul F Huda. ‘Hingga detak jantungku Berhenti’ judulnya. Saya mengambilnya, dan menjadi penggembira di antara kekecewaan memperoleh buku-buku yang sedang saya ingini itu. Tapi, upps, kekecewaan itu, yang boleh jadi amat sesaat, saya sadari tak boleh kemudian mengurangi respek saya pada toko buku kecil ini, yang mau hadir menyeruak dalam hingar bingar kota yang nyatanya tak terlalu ramah buat usahawan buku. Yang bersedia menjadi asing, sebab kenyataannya memang toko buku ini sepi, kontras dengan toko baju dan makanan.

Keluar toko buku, saya memilih jalan kaki, menuju terminal dadakan tempat angkutan colt membawa saya ke kampung halaman. Beberapa ratus meter jaraknya. Jalanan ramai, kendaraan meraung-raung memenuhi dua ruasnya. Ibu-ibu berbaju PNS, anak-anak sekolah dengan seragamnya , becak dengan muatan dua orang di depannya, angkutan kota, semuanya berbaur menciptakan kepadatan yang membuat saya menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa wajah kota saya telah banyak berubah. Semrawut, motor-motor yang dipacu kencang seolah itu adalah jalanan sepi, adalah sebuah pemandangan yang begitu saja kini terhampar di hadapan saya. Seolah menyisihkan saya menjadi seorang asing yang menjadi pejalan kaki (satu-satunya) di pinggiran jalan itu. Tak ada trotoar yang sudah layak disebut trotoar, kawan. Lalu, ketika kepala saya mendongak, ada spanduk sebuah produk rokok menginfokan sebuah acara. Ada konser mungkin, atau apalah, sebab yang juga saya baca di spanduk itu adalah sebuah nama grup band dengan penulisan huruf G pada nama bandnya adalah huruf G bercula. Entah apa tujuannya. Benar, pasti, kota ini bertumbuh. Entah ke arah mana. Entah hendak dibawa kemana. Tapi tetap saja, di antara itu semuanya, saya masih dan akan mencintainya. Sebab memang bukan itunya yang penting, bukan tentang jalanannya yang penting, bukan ramai atau sepinya yang penting, tapi orang-orang yang mendiami sebuah sudut di kota ini lah yang penting. Atau bahkan, bahwa saya pernah menjalani sebuah episode hidup bersama orang-orang spesial di salah satu atau salah banyak spot-spotnya, itu lah yang penting.

Saya pun menaiki angkutannya. Angkutan yang sama yang dulu setia mengantarkan saya menuntaskan pendidikan hingga bangku SMA di kota ini. Tak banyak penumpangnya, sebab semakin terpinggirkan oleh motor-motor yang dikreditkan dengan cara begitu menggiurkan, bahkan bagi strata terbawa penduduk kota ini. Angkutan ini panas, terutama saat ngetem menunggu penumpang, mirip kue yang dioven hingga dengan mudah menerbitkan cucuran keringat di kulit penumpangnya. Tapi saya menaikinya juga. Dulu saya betah untuk tetap bertahan untuk sebuah hal. Kini, meski hal tersebut sudah bukan menjadi kendala, saya akan tetap menaikinya. Menyelami aromanya, merasakan tiap derajat celcius yang merangkak menaiki suhu di dalamnya.

Dan kampung itu. Seperti ada saya kecil yang berlarian di kedalaman masa lalu. Ada saya yang masih merah putih riang menelusuri jalanan utamanya. Lalu saya yang biru putih, lalu saya yang abu-abu putih, juga masih setia menjengkali jalanannya. Fisik-fisik itu boleh jadi tak berubah, tetap saja, hanya saja usia mungkin telah menuakannya. Tapi ada yang berubah pada orang-orangnya, pada tingkah anak-anaknya, pada orientasi hidup penduduknya. Entahlah! Apakah ini yang dimaksud dengan ‘tak ada yang berubah, yang berubah hanya caramu melihat itu semua’? Tapi tetap saja ada yang mengganjal. Barangkali sinetron-sinetron itu, modernitas itu, telah begitu liar menghajar masyarakat desa, tanpa ada perimbangan dengan kokohnya sikap mental, akan kuatnya kebajikan hidup. Tak terkontrol. Mbelandang, begitu kata orang-orang pabrik menggambarkan tentang suhu reaktor yang tak terkontrol. Tapi tetap saja, di luar itu semua, di sini lah saya telah bertumbuh. Menghabiskan sebagian besar usia saya hingga saat ini, bukan surabaya, bukan pula Bontang. Maka saya akan mencintai semuanya. Cinta yang sama saat saya memandang hamparan padi di sawahnya, atau mendengar gemericik air sungai yang kian menyurut airnya, atau mendongaki bentangan kabel listrik tegangan tinggi yang membelah desanya. Sebab, sekali lagi, dan selain yang sudah tersebutkan itu, ada kumpulan orang-orang yang mereka mencintai saya, dan saya mencintai mereka.

Keluarga itu! Adalah wajah ketaksempurnaan memang. Ada banyak hal-hal yang tiba-tiba menjadi mengganggu. Tidak ada yang berubah sebenarnya, yang berubah adalah saya yang memandangnya. Tapi saya mencintainya. Mencintai ketaksempurnaan itu. Bukan untuk melanggengkan ketaksempurnaannya. Tapi sebaliknya, dengan sebuah harapan, dengan mencintainya itu, saya akan belajar menerimanya. Penerimaan yang membuat saya akan terus mempunyai energi berlebih untuk terus menyempurnakannya. Bukankah itu yang kemudian disebut dengan jalan ciahaya?


Pasuruan-malang
9 Juni 2011




-Mencintai ketaksempurnaan-

Mati lampu di kesunyian kampung.. Krikkrik

Paman Asing dan Dua keponakan Kecilnya

Sepertinya mulanya agak aneh juga menerapkan apa yang tertulis di buku parenting itu, bahwa anak kecil pun, yang masih bayi dan belum bisa berkata-kata, sesungguhnya indera pendengarannya sudah terbentuk sempurna. Maka berbicaralah dengan dia, bahkan berbicaralah dengan bahasa yang boleh jadi kita anggap rumit menurut kita untuk anak seusia itu. InsyaAllah, ia sempurna mendengar dan memahaminya. Aneh memang, sebab bagi orang yang tak paham akan ini, akan menganggap kita berbicara pada orang yang tak akan menjawab pembicaraan kita, pada orang yang tak mengerti ucapan kita.

Tapi keanehan itu saya terapkan pula pada akhirnya. Keponakan kecil laki-laki saya lah targetnya.

Berbulan-bulan yang lalu, kala terakhir kali pulang ke kampung di sekitaran idul adha, keponakan kecil saya ini masih baru tahapan membuka mata. Sayapun belum berani untuk menggendongnya karena satu dan lain hal. Tapi saya sering untuk menyempatkan diri menungguinya ketika tiduran di ranjang, sekedar menghiburnya dengan kreasi-kreasi yang saya harapkan akan mampu menyunggingkan senyum di bibirnya. Yang tentu saja masih abstrak, tak terlalu teridentifikasi sebagai senyum karena seringnya hanya berupa gerakan bibir. Boleh jadi itu interpretasi salah.

Lalu saya harus kembali. Kembali ke tanah perantauan untuk melanjutkan hidup saya. Merajut kembali mimpi, menekuri lagi harapan.

Waktu pun berlalu. Sempurna berlalu. Berbulan-bulan lamanya. Hingga kesempatan untuk pulang itu kembali datang juga.

Kali ini keponakan kecil saya itu ternyata sudah bisa tengkurap, bahkan merangkak sambil tengkurap. Saat ia terlentang bangun tidur, itu lah kesempatan pertama saya menyapanya. Agak sedikit pangling juga saya dibuatnya. Kulitnya terlihat lebih putih dari terakhir kali saya melihatnya berbulan-bulan yang lalu. Dan ia tak menangis, suatu ketakbiasaan bagi anak kecil yang bagun tidur. Saat itu mbah buyutnya mencoba menghiburnya ketika saya datang. Langsung sok akrab tidur di sampingnya dan mulai menyapa-nyapa mencoba menghiburnya untuk menghasilkan senyum. Tapi sayang, hasilnya justru berkebalikannya, sekarang ia malah menangis. Amboi, mungkin saya adalah orang asing baginya. Orang asing yang tiba-tiba saja hadir di sampingnya, laksana raksasa dari negeri antah berantah yang hendak mengusik ketentraman hidupnya. Maka saya pun mundur teratur, membiarkan neneknya yang dengan sedikit tergopoh mengambil alih persoalan.

Tapi selalu ada kesempatan kedua, kan? Nah, beberapa waktu kemudian lah kesempatan itu datang. Kali ini tokohnya bertambah satau orang lagi; keponakan saya yang termuda. Perempuan. Dan ini lah kali pertama saya melihatnya langsung. Bermula ketika dua keponakan kecil saya itu berkumpul di ruang tengah dan saya ditawari untuk menggendong si kecil, Azka namanya. Mudah saja, dan ternyata ia lebih koperatif dibandingkan keponakan saya yang satunya tadi, si Azmi. Ia anteng dalam gendongan saya dan beberapa kali saya menyorongkan muka untuk ia cium, ia ikhlas saja. Sampai kemudian saya lihat Azmi, yang sedang dalam gendongan yang lain, awas melihat gerakan saya. Mengikuti kemanapun saya bergerak-gerak. Semacam ada ketertarikan. Semacam ada keinginan untuk diperlakukan sama.

“hayooo, kepingin, ya?”, itu adalah godaan saya untuknya. Semoga saja ia bereaksi hingga tak lagi merasa asing dengan saya. Tapi ia tak bereaksi apa-apa.

Kemudian, setelah waktu dirasa cukup, ketika saya sudah agak pegal juga menggendong Azka, ketika Azmi dirasa sudah cukup waktu mengobservasi saya, saatnya dilakukan pergantian objek gendongan itu. Azka saya serahkan pada yang lain, dan saya mulai menggendong Azmi. Beberap detik berlalu sepertinya aman, ia tenang dalam gendongan saya. Sampai kemudian, suara tangisnya menggagalkan kesimpulan kepagian saya itu. Aih..aih, ia sepertinya masih belum merasa nyaman dengan saya. Kalau sudah begini, terpaksalah gendongan saya serahkan kembali.

Ajaibnya adalah, ketika gendongan itu berganti, Azmi seketika berhenti dari tangisnya. Saya yang merasa ‘tak terima’ diperlakukan sebagai orang asing itu, mulai melancarkan keanehan seperti yang sebutkan di awal tadi.

Mula-mula saya jabat tangannya. Mirip seperti orang yang sedang berkenalan. Tak lupa, saya pandang matanya dengan cara semenyenangkan mungkin. Lalu meluncurlah kalimat ini: “Perkenalkan, saya namanya iqbal. Sama seperti mbak puteri, manggilnya lek iqbal. Lek Iqbal itu adiknya ayah. Sekarang sudah kenal, kan? Ayo salaman lagi!”

Begitulah. Seperti itulah episode perkenalan itu. Saya agak-agak lupa persisnya monolog itu. Agak lucu memang. Apalagi di antara banyak orang. Tapi asyik juga sebenarnya.

Maka ini lah kemudian hasil dari itu semua; beberapa saat kemudian saya sudah ayik bermain merangkak bersama dengannya. Kali ini tak ada tangis meningkahi acara kita itu. Entah karena ini efek tadi, entah karena yang lain. Tak jadi soal. Yang penting saya senang melakukannya.

#episode pulang kampung
@ruang tamu
8 juni 2011



Saturday, June 4, 2011

ijinkan aku bertutur ; pulang


Duh, memang indah benar satu kata ini. Enam huruf saja penyusunnya. Berlainan pula. Namun, nyaman betul mengucapnya.

Tak terhitung mungkin, tulisan-tulisan berjudul kata ini. Hanya kata ini saja. Tanpa embel-embel lain. Tanpa sertaan kata lain. Ya, hanya enam huruf ini.Tapi yang luar biasa, kata itu saja sudah cukup. Sudah mengena, sudah merasa, bahkan sudah bisa menggetarkan.

Pulang! Kata ini sudah cukup menyenangkan bahkan buat rasa kanak-kanak saya. Saat bel berbunyi beberapa kali sebagai sebuah tanda berakhirnya aktivitas bersekolah, pas masa-masa SD dulu, itu adalah peristiwa indah yang dinanti. Tentunya, saya sudah lupa mengidentifikasi peristiwa tahunan yang lalu itu, apakah sebagai sebuah kegembiraan karena bakalan menuju rumah dan bertemu dengan makhluk-makhluk di dalamnya atau karena lepas dari sebuah rutinitas sekolah. Tapi, tak apalah. Yang penting pulang selalu menyenangkan.

SMP, SMA, sama saja. Pas ada bel pulang nyasar berbunyi di saat harusnya itu beberapa jam lagi terjadi, itu selalu membuat heboh. Teriakan-teriakan senang, luapan-luapan kegembiraan. Semuanya beradu. Hebohlah suasana sekolah seketika. Beberapa bahkan sudah ambil ancang-ancang memanggul ranselnya tanpa perlu mengonfirmasi kebenaran bel kepagian itu. Ah, pulang selalu menyenangkan.

Pas kuliah, saya semakin memahami betapa berartinya pulang itu. Oi, dulu jaman SD sampai SMA, pulang adalah aktivitas harian. Pagi berangkat, paling-paling siang bakal pulang. Atau kalau nggak begitu, paling banter molor malam harinya. Di hari yang sama. Tapi saat kuliah, kampung tempat pulang itu terlaksana itu sudah di lain kota. Maka butuh hari liburlah untuk melaksanakannya. Tapi ya Rabb, justru makna pulang itu semakin indah. Saat kau punya akumulasi kehendak yang begitu menumpuk untuk kau harus pulang, maka saat itu pula lah pulang itu menjadi begitu sangat istimewa. Tak terkatakan. Kau bahkan mampu menukar kesempatan itu dengan hal-hal duniawi lainnya.

Kini, ketika kampung kepulangan itu tak hanya lain kota, tak hanya lain propinsi, tapi sudah menjadi lain pulau, dan ada lautan dalam sebagai pemisahnya, entah oleh apa, perlahan saya punya pengertian lain tentang pulang. Ya, masih, pulang itu masih membutuhkan waktu, biaya, serta niat. Dengan alokasi untuk ketiganya yang jauh lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Tapi…………sebentar,sebentar, saya jadi kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya. Intinya begini. Dulu, ketika masa kuliah, ketika ada libur, saya tak ada halangan apa-apa, tak ada pula kegiatan yang memaksa saya untuk tetap tinggal, serta saya sudah merasa ‘kangen’ akan suasana rumah, maka seketika itu saya memutuskan pulang. Pulang saja. Sederhana. Tak ada penghambat lain. Saya ingin pulang, maka saya pulang. Ingin. Durasi antar ingin itulah yang memang semakin melebar. Dari mulai seminggu hingga sebulan. Dari sebulan hingga dua bulan. Tapi tetap saja muncul ingin. Ingin yang harus dituntaskan.

Sekarang! Tak bisa dipungkiri rasa ingin itu ada. Masihlah, saya masih normal yang kadang membayangkan pertemuan-pertemuan, suasana-suasana, atau suara-suara di nun jauh sana itu, tapi bedanya saya menjadi seorang yang njegideg yang tak semua ingin itu harus dituntaskan dengan sebuah kerja yang kata kerjanya mengikuti kata ingin tadi. Saya merasa pulang tak saatnya lagi menjadi sekedar menuntaskan keinginan, harus ada program yang jelas tentang apa yang sebenarnya akan saya lakukan saat pulang. Jadilah kemudian ketersediaan waktu, ingin, dan biaya itu tak serta merta kolaborasinya terwujudkan menjadi kepulangan. Sepertinya perlu tambahan piranti lain untuk meloloskan proposal kepulangan itu dalam hati dan pikiran saya. Mungkin berupa keinginan untuk menuruti keinginan. Du du… Bingung.

Seseorang mengritik saya akan hal ini. Kira-kira substansinya begini: bahwa kepulangan itu, bukan masalah kita ingin atau tidak, bukan masalah kita bisa atau tidak, tapi juga masalah hak orang tua untuk melihat anak-anaknya, untuk dekat dengan yang diasuhnya. Bahwa orang tua memang tak mampu mengabarkan tentang keinginannya itu kepada anaknya, takut memberatkan, tapi sebenarnya jauh di lubuk hatinya ia ingin.. Hmmmm….oi,oi…tentu saja saya tahu akan hal ini. Amat tahu. Tapi karena saya ingin ngeles kala itu, saya menjawabnya begini : tapi orang tua selalu punya alasan baik untuk ketidakpulangan anaknya.

Sepanjang itu saya merasa tak apa dengan tak pulang. Sepanjang itu saya merasa ok-ok saja meski saya sembilan bulan sekali pulang. Tak ada rasa yang menggebu-gebu banget. Biasa saja. Ingin, tapi tak terlalu ingin. Moderat saja.

Hingga suatu waktu…

Ternyata keangkuhan saya akan hal itu terbantahkan oleh apa yang melanda saya sendiri. Lewat kabar itu. Di sebuah malam.

Sebuah pemberitahuan kalau saya akan mendapat dinas ke surabaya…

Duh..duh…tiba-tiba yang tergambar oleh saya adalah gambaran-gambaran banyak hal yang merujuk ke satu kata saja, enam huruf itu : PULANG. Entahlah, bagaimana bisa… saya yang setengah mati mengatakan kalau keinginan itu hanyalah biasa-biasa saja tiba-tiba melonjak-lonjak dalam imaji demi sebuah pemberitahuan dinas itu. Saya baru sadar kalau selama ini saya berbohong. Atau terbohongi. Lonjakan itu tentu saja melebihi keinginan. Itu lebih dari sebuah akumulasi keinginan yang sudah teramat sarat. Saya menjadi seseorang yang tak sabar menjemput tanggal kedinasan itu.

Maka yang terjadi kemudian…rentang waktu menuju tanggal itu menjadi begitu indah. Seperti pangeran yang meniti jalan menuju puteri impian di istana indah.. Sebab memang selalu begini, bahwa sesi terindah dalam rangkaian pulang adalah detik-detik menuju pulang itu, saat kita masih membayangkan akan sebuah pertemuan, saat kita dalam perjalananan, hingga detik pertama saat pertemuan itu terlaksana. Selanjutnya, kadar keindahan itupun pada akhirnya menurun seiring waktu yang semakin menuju ke waktu kembali.

Panjang juga ya? Ah…sudahlah.. Saya sedang menunggu tanggal 24 itu….

Friday, June 3, 2011

balada bos-karyawan

Tugas adalah tugas, maka seberat apapun itu, semalas apapun kondisi saat itu, atau bahkan setakmengenakkan apapun sikonnya, mesti dilaksanakan.

Saya membayangkan kalimat ini harusnya terpatri di setiap dada seorang karyawan, atau pekerja, atau buruh, atau tertugas. Yang pasti, ia adalah seseorang yang mendapatkan limpahan tugas dari seorang lain yang boleh jadi secara struktural ada di atasnya hingga berhak memberinya sebuah tugas. Sebab apa, kalimat itu adalah kalimat pelecut yang mengeliminir rasa malas, berat, atau keengganan manusiawi lainnya untuk sebuah kata itu: tugas. Tugas ya tugas, maka segala pemberat manusiawi untuk bergegas melaksanakannya, mau tak mau mesti dikesampingkan barang sejenak. Minimal sampai tugas itu terselesaikan dengan baik. Sebab tugas adalah kewajiban

Tapi saya amat tak merekomendasikan kalimat itu dipegang erat-erat oleh seorang pemimpin, atau bos, atau atasan, atau juragan, atau apalah. Yang penting seorang itu adalah seorang yang punya kuasa untuk memberikan sebuah tugas pada orang-orang yang secara struktural ada di bawahnya. Sebab apa, jika kalimat itu dijiwai betul oleh si penugas, maka yang dikhawatirkan akan timbul adalah kesewenang-wenangan. Karena menganggap tugas adalah tugas, maka menjadi persetan lah rasa malas yang mungkin sedang didera bawahannya, atau suasana berat yang sedang dialami karyawannya, atau mungkin segala tetek bengek yang mungkin menghalangi si tertugas untuk melaksanakannya.  Dan ini amat berbahaya.

Apakah tugas ini tak terlalu berat? Apakah ini sudah sesuai dengan kemampuannya? Apakah ini memang tugas yang saat ini sudah tepat dibebankannya padanya?

Nah, kalimat itu lah yang saya bayangkan terngiang-ngiang ada pada diri si penugas. Kalimat yang mengajak si penugas-bos, pemimpin, seorang kepala- untuk sejenak menimbang psikologis dan segala hal yang berhubungan dengan tertugas. Yang outputannya diharapkan sebuah tugas yang benar-benar pas untuk tertugas tersebut, hingga tak menimbulkan omongan di belakang, atau gerutuan di lain hari.

Tapi tentu, kalimat itu justru yang tak seharusnya ada di benak tertugas ketika sebuah tugas mampir ke pundaknya. Sebab jika ia, itu adalah jalan bagi masuknya alasan-alasan, pemakluman-pemakluman diri  yang berakhir pada sebuah penolakan tugas, atau paling banter penerimaan tugas dengan disertai gerutuan. Maka ini berbahaya, sebab tugas itu besarkemungkinan akan berstatus terbengkalai atau terjalankan secara tak sempurna. Asal-asalan.

Maka begitulah, dua hal tersebut, dua rangkaian kalimat tersebut, jika secara pas termaknai pada dua pihak yang pas pula, maka akan menghasilkan hubungan yang baik antara penugas dan tertugas. Kemudian, tertugas yang amanah menjalankan setiap tugas yang terbebankan, serta penugas yang secara pas dan bijak mendelegasikan sebuah tugas, bukanlah sebuah hal yang mustahil untuk tercapai. Maka bila dua pihak tersebut itu sudah mengerti, dan tahu betul bahwa masing-masing pastinya akan menggunakan kalimat yang sesuai untuk memaknai sebuah tugas, ekses-ekses buruk hubungan antara penugas dan tertugas akan tereliminir seminimal mungkin. Bila seorang tertugas kemudian mendapati sebuah tugas yang terasa begitu berat, maka yang ada di pikirannya adalah, bahwa atasannya telah memikirkan ini, “Apakah tugas ini tak terlalu berat? Apakah ini sudah sesuai dengan kemampuannya? Apakah ini memang tugas yang saat ini sudah tepat dibebankannya padanya?”. Sehingga, jika sampai tugas itu tetap saja mampir di pundaknya sedangkan ia merasa berat menanggungnya, ia akan percaya, bahwa itu lah hal terbaik yang bisa dilakukan atasannya, bahwa itu lah memang pilihan sulit yang mesti dipilih atasannya. Pun sebaliknya, jika seorang atasan tiba-tiba mendapati bawahannya menolak secara halus tugas yang dibebankan padanya, maka yang ada di pikirannya adalah, bahwa bawahannya itu telah memikirkan ini, “Tugas adalah tugas, maka seberat apapun itu, semalas apapun kondisi saat itu, atau bahkan setakmengenakkan apapun sikonnya, mesti dilaksanakan.” Sehingga, jika toh pada akhirnya bawahannya itu menolak menjalankannya, itu pastinya adalah sebuah keputusan yang telah melalui pertimbangan masak-masak, bahwa tak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain menolaknya. Pilihan tunggal yang sulit, begitulah mungkin sebutannya.

Hubungan atasan-bawahan  macam ini, kemudian mengingatkan saya pada kalimat ini, “yang berpunya dianjurkan berderma, yang tak berpunya dipantangkan untuk meminta-minta”. Dan itu sungguh pasangan yang benar-benar melengkapi.

Selamat siang!

#lintasan-lintasan pikiran yang berhamburan kala mendapatkan call out di hari libur yang sering kali kusebut sebagai jeda



"baguslah nggak cuti bersama"

Waktu kejadiaannya ba’da subuh. Di sebuah mini market dekat rumah yang kebetulan buka 24 jam. Saya sedang memilih-milih produk di barisan sabun dan sampo ketika seseorang menegur. Saya menoleh, dan sebuah wajah yang saya kenal-tapi tak terlalu akrab- terlihat. Saya memilih tetap saja meneruskan kegiatan, kembali mencermati sampo yang tak juga saya temukan. Si bapak, yang tadi menyapa saya, juga terus saja menuruti maksud ia datang ke mini market ini, tak tergoda untuk berbincang. Sapaan tadi adalah sapaan say hello saja, tanpa ada maksud untuk berbicara lanjut.

Kemudian kami berdampingan ngantri di kasir. Saya di depan, dan si bapak di belakang saya. Selain kasir, tak ada lagi orang di sekitar kami kala itu. Waktu selepas subuh memang saat-saat sepi, itu lah alasan kenapa saya sering memanfaatkan waktu ini untuk belanja keperluan harian.

“Besok masuk, ya, mas?” Si bapak membuka obrolan. Saat itu hari kamis, dan besok yang dimaksud adalah hari jumat yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai cuti bersama karena harinya yang kecepit tanggal merah.

“iya, Pak!” Jawab saya singkat. Saya sudah bersiap untuk meneruskan kalimat pendek saya itu dengan keluhan “nggak tahu,tuh, dirutnya nggak mau libur” ketika si bapak sudah terlebih dulu menimpali kalimat pertama saya.

“baguslah!” mulanya saya agak kaget juga dengan pernyataan bapak ini mengingat saya hampir saja mengutarakan ketidaksukaan saya dengan keputusan menejemen yang tak mencutibersamakan karyawan, sampai kemudian kalimatnya berlanjut, “Libur terus saja nonshift itu!”

Kemudian, menjadi benderang lah bagi saya urusan ini. Si bapak tadi, yang kebetulan orang shift dan tak terikat oleh aturan libur ataupun tanggal merah, merasa keputusan yang ditetapkan oleh manajemen untuk tak ikut cuti bersama pada hari jumat adalah sebuah keputusan bagus. Sebabnya adalah, jika keputusannya justru sebaliknya, maka baginya, yang merasakan keuntungan adalah orang nonshift. Sedangkan Si bapak mesti masuk seperti biasa karena memang tugas-tugas yang ditangani oleh orang shift yang sifatnya tak mungkin ditinggal.

Cuti bersama, di tempat saya kerja, adalah libur yang mengurangi cuti besar kita. Tidak benar-benar libur sebenarnya, karena   itu tadi, mengurangi jatah cuti besar kita. Hanya saja, karena untuk cuti pun sering kali sulit, serta cuti besar yang baru bisa diambil setelah enam tahun kerja bagi karyawan baru macam saya, maka cuti bersama sudah layaknya libur. Memang ada komponen penghasilan yang terkurangi, tapi tak apa lah, untuk sebuah jeda dari rutinitas kerja.

Itulah mungkin letak ke-tak-menguntungannya bagi si Bapak. Ia sama sekali tak mendapatkan imbas atas cuti bersama itu. Sebenarnya ia tak rugi, hanya tak mendapat keuntungan. Orang nonshiftlah yang boleh jadi mendapat keuntungannya. Dan itu cukup sudah buatnya untuk membuat sebuah kesimpulan, bahwa keputusan untuk tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan bagus. Bagus, sebab pada akhirnya semuanya sama-sama tak memperoleh keuntungan.

Lalu saya termangu-mangu sendiri.

Kawan, berapa banyak dari kita, yang menilai suatu itu baik atau buruk, adil atau tak adil, benar atau salah, hanya dari seberapa itu tak merugikan kita, atau seberapa itu hanya menguntungkan orang-orang selain kita-tapi tidak kita. Bukan atas kejernihan pikiran yang terbebas tunggangan ego. Bukan atas kebersihan hati yang tersucikan dari iri. Agaknya, jawaban untuk itu adalah ‘banyak’. Saya, dalam kasus di atas, boleh jadi termasuk yang tak bijak ini. Yang tak lebih baik dari si Bapak itu. Sebab ternyata, saya menganggap keputusan tak ikut cuti bersama itu adalah keputusan tak bagus, hanya diakibatkan saya tak jadi memperoleh keuntungan. Bukan atas dasar plus-minusnya bagi perusahaan. Bukan atas analisa untung-rugi untuk sesuatu yang lebih besar.

Ah, agaknya saya mesti sering-sering berkaca. Pada diri sendiri yang telah lalu, juga pada orang-orang sekitar. Itu lah mungkin yang kemudian disebut dengan pelajaran.

Selamat hari libur, kawan!


Wednesday, June 1, 2011

-petikanpetikan 'pengikat surga'-

Bookaholic : Mei 2011

Bila kawan-kawan sering mampir ke postingan bookaholic saya tiap bulannya, maka akan tahu kalau jumlah buku yang berhasil saya baca dua bulan belakangan hanya berjumlah lima buah. Tidak cukup banyak, tapi tak juga sedikit. Sedang-sedang saja. Dan bulan ini, dengan segala optimisme saya di awal sampai pertengahan bulan bahwa saya akan mampu melebihi capaian bulan-bulan lalu itu, pada akhirnya saya menthok juga di angka lima itu. Boleh jadi, tingkat membaca saya berada pada tataran istiqomah .

Mulanya ingin menyampaikan kenapa-kenapanya mengapa optimisme itu nyatanya tak tercapai. Tapi setelah saya telisik kembali, persoalannya bukan pada itu, melainkan  pada metode membaca saya yang masih tetap saja. Pada waktu-waktu membaca yang tetap saja. Dan mungkin juga pada kehendak untuk membaca yang ternyata sama juga dengan bulan-bulan sebelumnya. Maka, karena sebulan juga memiliki jumlah hari yang boleh dikata sama, dengan jumlah hari kerja selama sepekan yang juga sama, dengan metode yang sama itu, tak mengherankanlah jika hasil yang diperoleh ya tetap segitu-segitu saja.

Baiklah, tanpa banyak kata  lagi, ini lah kelima buku yang berhasil saya selesaikan dalam sebulan ini:
  • Sketsa-Ari Nur. Pembahasan mengenai buku ini sudah saya tulis di sini. Banyak yang mengatakan kalau buku ini tidak semenyenangkan buku-buku ari nur sebelumnya: Diorama dan Dilatasi. Meski masih kental dengan unsur arsitekturnya, boleh dikata buku ini berbeda jauh dengan dua buku ari nur yang sebelumnya itu. Kebanyakan pembaca buku pasti sudah tahu kalau dua buku itu-Dilatasi dan Diorama- amat kental nuansa islaminya.
  • Catatan Muslimah Belanda-Khairina dkk. Waktu membeli buku ini, sepertinya yang kepikiran di otak saya hanya ini: sepertinya asyik juga membaca catatan-catatan orang indonesia yang berada di luar negeri. Beberap kali sepertinya saya membaca catatan di negeri seberang itu dalam sebuah buku, tapi baru kali ini lah seingat saya, saya membaca buku dengan semua isinya berisi catatan-catatan kehidupan sehari-hari di luar negeri itu. Ceritanya lumayan beragam, dengan sudut pandang seorang muslimah yang kebanyakan harus berada jauh dari tanah air karena mengikuti suami—beberapa bahkan karena bersuamikan seorang belanda. Dengan tulisan yang tak terlalu panjang, catatan-catatan dalam buku ini lumayan menghibur, telebih karena waktu membaca saya yang lebih banyak sepotong-sepotong. 
  • Arumdalu-Junaedi Setiono. Meski tetap enak untuk dibaca terpisah, boleh dikata buku ini adalah kelanjutan buku Junaedi Setiono sebelumnya; Glonggong. Masih meceritakan sejarah lewat sudut pandang orang-orang yang tak terekam sejarah sebenarnya, buku ini menceritakan seorang Danti arumdalu. Pada masanya, hampir semua orang Salatiga, terutama kaum lelakinya, mengenal Danti Arumdalu. Orang-orang selalu menghubungkannya dengan kehidupan malam. Bagi anda yang sudah membaca Glonggong, Danti Arumdalu ini adalah kakak perempuan Glonggong yang di buku pertama itu disebutkan secara sepintas sebagai gundik. Satu hal yang unik, tokoh ‘aku’ dalam novel ini adalah seorang yang pengecut dan sedikit licik. Satu hal yang membuat saya agak geram juga membaca buku ini. Mengingat kita seringkali memasukkan diri kita dalam tokoh aku tersebut.
  • Cinta di Rumah Hasan Albana-M. Lili Nur Aulia. Bahwa yang pertama kali merasakan sentuhan cinta seorang dai, yang mendapat dekapan hangat penebar kebaikan adalah orang terdekatnya, terbuktikan di sini. Buku ini banyak merekam kesan-kesan orang terdekat Hasan Al bana mengenai bagimana kesibukan dakwah tak kemudian membuat peran sebagai seorang ayah menjadi terbengkalai. Kesaksian putera-puteri Hasan Albana dalam buku ini menjelaskan pada kita, bahwa selain kiprah dakwahnya yang gemilang, beliau adalah ayah yang hebat bagi putera-puterinya.
  • Catatan hati Bunda-Asma Nadia. Pada akhirnya memilih buku ini untuk saya baca. Memang, akhir-akhir ini lebih memilih buku dengan cerita-cerita pendek yang tiap ceritanya dapat dihabiskan dalam waktu yang tak terlalu lama. Suka? Lumayan suka. Meski tak sesuka buku ‘Matahari odi Bersinar karena Maghfi”nya Bunda neno. Tapi tetap ada banyak hal yang bisa saya dapat dari buku ini terkait tumbuh-kembang anak.
Yup, lima itu saja. Selanjutnya ini adalah dua buku yang sedang saya baca. Masih berstatus setengah baca. Mudah-mudahan bulan depan sudah bisa terlaporkan sebagai dua dari sekian banyak buku yang saya baca (amin):
  • Pengikat Surga; tentang bagimana sirah disajikan dalam bentuk novel lewat sudut pandang asma binti abu bakar
  • Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya; sebuah buku yang ditulis seorang biksu.