Wednesday, August 31, 2011

Inspirasi Silaturahmi Lebaran

1
Saya tak terlalu pede benar membicarakan ini. Hanya sebuah lintasan pemikiran sesaat yang tercetus oleh sebuah fragmen. Tentang kesetaraan, tentang lelaki-perempuan. Tidak! Saya tidak sedang membicarakan tentang emansipasi wanita, tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan. Saya, hanya sedang ingin menyentil sedikit tentang relasi (atau komunikasi) antara suami dan istri. Saya memang sadar betul, bahwa saya sama sekali tak punya pengalaman tentang ini. Tapi, biarlah saya memandangnya dari kacamata lajang yang hanya bisa menilmba ilmu dari membaca.

Tentang inferioritas. Tentang merasa kecil di hadapan yang lain. Maka marilah kita buka ini dengan sebuah perttanyaan kecil; Bukankah teman suami adalah teman istri juga? Bahwa, semelonjak apapun si suami (atau istri) dalam aktivitasnya, tak boleh ada rasa keminderan dalam diri pasangannya di hadapan teman-temannya. Sebab, hal-hal lain yang tak mengenakkan kerap kali bermula dari ini.

Pernahkah kau berkunjung ke rumah seorang kawan, duduk di ruang tamunya, tapi kau tak mendapati istrinya kecuali sekilas. Iya, benar, ia sedang menyiapkan makanan dan sebagainya di belakang. Tapi kau menangkap hal lain. Inferioritas. Kerendahdirian untuk sekedar bergabung. Lebih memilih menyibukkan diri dengan hal-hal lain yang tak terlalu penting di belakang. Menjadi lebih parah kala si suami tak menangkap gelagat itu, tapi malah menambah kadar inferioritasnya dengan mengucapkan kalimat-kalimat perintah pada di istri yang tak seharusnya dipertontonkan di hadapan tamu. Sebuah kalimat perintah yang menciptkan jarak yang begitu menganga.



2.
Di antara kesenangan saya selain yang biasa saya sebutkan di daftar isian pada kolom hobi di formulir-formulir, salah satunya adalah tentang bercocok tanam. Ada rasa sayang tiap kali ada sepetak lahan yang tak tertanami apa-apa dan menjadi lahan tidur yang tak produktif. Seringkali, dalam keterbatasan lahan yang pas untuk dicocoktanami di sekitar rumah, saya memipikan untuk mempunyai sebuah rumah dengan atapnya berupa beton datar dimana di sisi-sisinya akan penuh dengan polibag berisi tanaman kebutuhan sehari-hari. Ada tomat, cabe, sayur-mayur, yang tentunya bebas pestisida dan pupuk anorganik.

Sampai di bontang, keinginan itu meluap-luap kembali. Mendapati halaman yang luas, dan bebas dari ayam yang bakalan menghajar daun-daun tanaman, saya cukup pede untuk meminta dikirimi bibit bayam dan sawi dari jawa (*saat itu saya belum tahu kalau ternyata bibit itu dijual juga di Bontang*), membeli pot-pot, dan mulailah menanam. Mungkin karena masih terbawa cara berpikir di Jawa, jadilah tanah yang saya gunakan adalah tanah apa-adanya tanpa diberi pupuk kandang sebagai penyubur. Maka bisa ditebak, dengan tingkat kesuburan tanah yang berbeda jauh dengan di jawa itu, sawi yang saya tanam tak kunjung membesar dan menggemuk. Dan itu, menjadi kesan pertama yang kurang mengenakkan hingga membuat saya malas mencobanya lagi. Selain karena faktor saya amat sangat jarang sekali memasak hingga sepertinya mubadzir juga kalau menanamnya.

Tapi keinginan itu kembali muncul di 1 syawal kemarin. Berkunjung ke rumah seorang atasan di kantor, saya dibuat jatuh cinta dengan tanaman-tanaman sayurnya yang gemuk-gemuk, hijau, dan segar. Yang membuat istimewa, sayur-sayur itu memang ditanam secara organik untuk kebutuhan dapur sendiri. Tak ada pestisida, tak ada pupuk anorganik (*hal yang mebuat saya tersenyum geli mengingat kami bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi pupuk kimiawi*). “di belakang itu ada tomat, cabai, dulu juga ada ketimun, kacang panjang”, demikian kata si tuan rumah. Membuat saya semakin semangat untuk melakukannya.



3
Entahlah, padahal itu sebenarnya hal biasa saja yang biasa saya temui di buku-buku, tapi tetap saja, akan selalu ada rasa takjub kala menjumpainya secara langsung dan begitu nyata di hadapan saya. Lagi-lagi saat berkunjung ke sebuah rumah. Saya tak begitu jelas melihatnya memang, tapi ada beberapa bagian penting yang bisa saya indera meski hanya potongannya. Dan cukup untuk menjelaskan. Di sebuah whiteboard itu, ada sebuah nama, yang saya yakin adalah nama putera si tuan rumah, lalu ada kolom-kolom di mana di bagian menurunnya berisi tanggal, dan bagian mendataranya berisi lima waktu sholat. Di kotak-kotak kosong peretemuan antara tanggal dan waktu sohlat itu lah, kemudian jam tertulis. Saya menduga bahwa itu adalah jam dimana si putera melaksanakan sholatnya. Keluarga itu mungkin masih belum menanamkan urgensi sholat berjamaah hingga di kolom itu cukup diberi tanda ke masjid atau tidak, tapi bagi saya itu adalah sebuah hal yang sudah cukup bagus dan layak untuk mendapatkan apresisasi. Bagaimana sebuah amal yaumi satu keluarga menjadi urusan bersama dan begitu terbuka, hingga ada ruang yang teramat lebar untuk sebuah fungsi kontrol, nasehat-menasehati dalam kebaikan, juga muhasabah. Tak semua keluarga mampu menerapkannya.Bahkan lebih banyak yang tak. Saya mengerti benar akan hal itu. Apalagi kala tak segera memulainya.



4.
Televisi. Ini sebenarnya bahasan yang belum selesai dalam diri saya. Apakah nantinya saya perlu membeli televisi melihat dampak yang ditimbulkannya bagi saya terutama tentang pemanfaatan waktu. Ataukah saya cukup membeli tv minimalis saja lalu ditempatkan di ruang tak populer yang sama sekali tak nyaman hingga karena ada kepentingan yang mendesak dengan tv itu lah saya akan mau berbetah-betah menontonnya.

Maka kemarin, perdebatan itu mendapatkan potret yang menggeleng-gelengkan kepala saya. Ketika saya mendebat diri sendiri tentang apakah perlu televisi atau tidak, ternyata di luaran ada yang justru menyediakan televisi hampir di setiap ruangnya. Bagaimana mungkin rumah sekecil itu, paling tidak, dari yang mampu saya lihat, ada tiga televisi berukuran 21 “. Bahkan salah satunya sudah masuk ke kamar tidur yang menjadi daerah privasi.

Jika kau percaya sesuatu itu tak cukup baik, tapi kau tak mampu untuk berlepas diri darinya, minimal jangan menyaman-nyamankan sesuatu itu hingga kau menjadi begitu betah bersama-samanya. Tak semua setuju dengan pernyataan itu, tapi saya setuju. Termasuk urusan televisi ini. Jika kau tahu bahwa efek buruknya lebih dominan, belilah yang kecil saja, dengan kualitas gambar tak terlalu bagus, lalu letakkan di ruangan yang tak terlalu nyaman untuk terus-terusan berada di dalamnya. Saya belum benar-benar menerakannya, tapi setidaknya saya sudah mewacanaknnya, hingga semoga, suatu saat, ketika saya punya keleluasaan untuk bersikap itu, saya akan dengan mantap melakukannya.



5.
(masih ada, sih. Tapi sepertinya sudah capek nulisnya. Dan sepertinya lebih bagus dibahas di bab sendiri)


Sunday, August 28, 2011

-salah langkah-

Menjelang subuh. Dalam sebuah antrian toilet di satu masjid.

Saya tak terlalu memperhatikan benar mulanya, toh memang bukan giliran saya. Jemari saya masih sibuk memencet-mencet HP dengan mata mencermati layarnya. Sejenak mengalihkan diri ke dunia maya, seringkali menjadi jurus ampuh untuk membuat aktivitas menunggu menjadi tak terpikirkan.

Tapi tentu saja tak seratus persen terfokus ke sana. Mata masih mampu menangkap bayangan lain, telinga masih sanggup menjerat suara-suara sekeliling. Maka begitu pula gerakan itu, tak terlalu jelas memang mulanya, tapi tetap saja sanggup mengalihkan pandangan saya untuk sejenak menoleh. Lalu tersenyum simpul dalam benak.

Seorang lelaki. Ia sebeanrnya sudah hendak memasuki toilet itu. Bahkan sebentar lagi kakinya sempurna menjejak lantainya. Tapi tidak. Ia tak melakukan itu. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Lalu memilih mundur lagi. Untuk kemudian melangkah masuk dengan pasti.

Sampai di sini saya yakin anda mengerti maksud saya. Mengerti akan senyum simpul saya, mengerti akan langkah terhenti dari si lelaki. Iya, si lelaki itu memilih kembali mundur, memang hanya untuk memastikan bahwa kaki yang ia langkahkan terlebih dulu saat memasuki toilet itu adalah yang kiri. Tak lebih. Sebab, mungkin ini yang ada di benak lelaki itu, seperti itulah nabinya mengajarkan. Maka sebagai ummat yang beruswah kepada nabi, baginya, sudah seharusnya lah ia mengikuti setiap sunnahnya. Termasuk urusan memasuki toilet tadi.

Kawan, perkara melangkahkan kaki kiri terlebih dulu saat memasuki toilet itu, bukanlah sebuah perkara yang otomatis layaknya kita makan dengan tangan kanan. Perkara makan dengan tangan kanan, kau boleh saja membiasakannya sejak kecil, menjadikannya sebagai sebuah habit. Hingga, bahkan ketika kau tak memikirkannya, tak menyadarinya, kau tetap saja akan memasukkan makanan itu dengan tangan kanan. Tapi perkara melangkah ini lain. Perkara melangkahkan kaki kiri terlebih dulu ke toilet, atau kaki kanan dulu saat memasuki masjid , adalah persoalan berbeda yang kala kau tak benar-benar menyadarinya, bukanlah menjadi sebuah kepastian bahwa kaki yang benar yang akan kau langkahkan pertama.

Ini memang soal kesadaran. Tentang sesuatu yang kita anggap penting hingga penting pula untuk menghadirkannya di segala aktivitas. Ya, pada akhirnya ini memang tentang mengingat Allah di setiap saat dan setiap aktivitas. Kita melangkahkan kaki kiri kiri terlebih dulu, karena kita sadar ada yang mengatur akan hal itu. Maka kemudian, bila persoalan melangkah itu tidak bisa kita otomatiskan dan pastikan, bahwa setiap kali masuk ke toilet selalu kaki kiri, atau setiap kali memasuki masjid dengan kaki kanan, maka dzikrullah, mengingat Allah di setiap saat, adalah sebuah aktivitas yang sungguh-sungguh mungkin untuk kita biasakan. Perlahan-lahan, sedikit-sedikit, terus-menerus, hingga menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi--menjadi sebuah habit. Maka jika itu sudah begitu liat melekat dalam segala aktivitas, dapat dipastikan lah hal-hal di atas akan terlaksana dengan mudahnya; melangkahkan kaki kiri terlebih dulu ke toliet, atau menjejakkan kaki kanan dulu memasuki masjid.

Begitulah. Hingga kemudian kita perlu menaruh curiga, kala menyadari bahwa hal-hal yang terkesan remeh itu mulai kita lakukan dengan menyelisihi ajaran agama kita, jangan-jangan karena hati kita yang benar-benar kosong dari asma Allah lah yang memang menjadi penyebabnya. Maka bila itu benar-benar terjadi, tak ada kata terlambat untuk beristighfar. Lalu menunduk dalam. Lalu berjanji, untuk senantiasa melibatkan Allah dalam setiap aktivitas kita. Semoga saja.





#sebenarnya saya malu menulis tema-tema seperti ini. Merasa diri tak pantas. Tapi, saya juga sadar, tak akan ada yang bisa saya tulis jika menunggu pantas. Bahwa menulis adalah juga tentang perbaikan diri. Bahwa yang pertama kali ternasehati adalah yang menulis itu sendiri. Itu saja. Semoga saja saya menjadi yang pertama kali mengambil hikmah dari setiap apa yang saya tulis#

#ide awal tulisan ini didapat dari pengajian RT berbulan-bulan yang lalu. Tercetuskan kembali kala melihat sebuah fragmen. Jika ada kebaikan yang bisa diambil, semoga itu juga menjadi sebuah kebaikan bagi sang ustad penyampai ceramah. Semoga.

Monday, August 8, 2011

yang tak tersambung

“berdosakah saya”, demikian ustad Didik mulai bercerita tentang pengalamannya ditanyai seorang ibu dalam sebuah kajian, “jika respek saya terhadap seorang ustad menjadi turun jauh, kala saya berkesempatan mengunjungi rumahnya, yang saya temukan bukanlah sebuah keidealan yang mulanya saya bayangkan tiap kali mendengar ceramahnya. Tapi, apa yang saya temui kemudian justru kebalikannya; rumah yang berantakan, istri yang, maaf, bahkan berpakaian saja tak beres, serta anak-anak yang tak terurus.”

Baru sore harinya saya mendengar itu, menjelang berbuka, tapi bada isyanya, sepertinya saya lah yang mengajukan pertanyaan itu, dengan redaksional yang berbeda; “berdosakah saya, jika respek saya terhadap seorang kyai menjadi jatuh-sejatuhnya, kala saya berkesampatan duduk membersamainya, di antara asap rokok itu, alasan yang menyakitkan itu yang akhirnya terutara; ‘la, sudah kebiasaan’.”

Ini mungkin masalah sulit. Pertarungan antara ‘kesusaian perkataan dan tindakan’, dengan ‘sampaikanlah walau satu ayat’........

o0o

“sekarang coba antum jawab, kira-kira pernah tidak antum mendapat tantangan yang cukup berat? Dari keluarga mungkin, atau dari istri, atau dari yang lain”

Tak ada yang mencoba menjawab. Lelaki itu memandangi lelaki-lelaki lain di depannya.

“jika tidak pernah, antum perlu curiga, jangan-jangan antum belum benar-benar terjun dalam dakwah ini”
###

Ini tentang perasaan kita dengan apa yang sebenarnya. Ini tentang ...

o0o

Maaf, jika anda merasa ada yang tak beres, semacam ketaklengkapan dalam dua petikan di atas, jangan buru-buru menafsirkan bahwa anda lah yang tak memahaminya. Keduanya, murni, adalah kesengajaan saya. Atau, lebih tepatnya, ketakberdayaan saya.

Teko hanya bisa mengeluarkan apa yang ada di dalamnya, begitulah ungkapan yang sering kali terdengar. Yang boleh jadi benar. Sebab, ternyata memang, minimal bagi saya, kita hanya mampu menulis apa yang ada dalam pikiran kita. Sulit, atau bahkan menyiksa sekali, menjadi seseorang yang bukan kita. Seperti halnya menulis yang tak benar-benar ada dalam pikiran kita. Seperti halnya menulis yang tak benar-benar kita kuasai.

Dan dua petika di atas adalah contoh. Sebuah awalan yang tak berhasil saya tuntaskan. Sulit rasanya. Ada mata rantai yang belum benar-benar tersambungkan kala menuliskan lanjutannya. Ada ketidaksanggupan. Atau kekurangan diri. Atau bahkan ketidakmengertian.

Bukan masalah kosakata yang tiba-tiba bersembunyi, atau tanda baca yang semburat, tapi ini ternyata tentang kapasitas diri. Bahwa saya, ternyata, dan memang, belum punya cukup amunisi untuk melanjutkannya. Bahwa saya masih harus banyak belajar, bahwa saya masih butuh banyak membaca. Belajar apa yang seharusnya saya pelajari, membaca apa yang harusnya saya baca.

Itu saja.

Selamat belajar. Selamat membaca.




NB: kawan, jangan kaget jika di kemudian hari aku melanjutkan dua petikan di atas. Jika itu telah terjadi, itu mungkin pertanda bahwa aku telah belajar.



Wednesday, August 3, 2011

bookaholic; Juli 2011

Bulan Juli adalah bulan buku. Tapi sayangnya bukan tentang buku yang saya baca. Bulan juli, adalah bulan dimana akhirnya saya menginjakkan kaki di salah satu dari dua bookfair besar di Ibukota, Pesta Buku Jakarta. Artinya, ada buku-buku baru yang dibeli. Artinya, ada buku-buku menarik yang  menggoda untuk segera dibaca. Artinya...

Tapi godaan selama di Jawa, hari dimana saya lumayan sering menghabiskan Juli, tentu saja adalah internet. Kala Telkomflash yang biasanya lola saat berada di perantauan tiba-tiba menjadi lancar jaya saat di jawa, itu adalah tantangan sendiri. Bagaimana mendisiplinkan diri terhadap waktu yang biasanya dimanfaatkan untuk membaca, sebenarnya, adalah persoalan klasik kala internet  telah memanggil-manggil untuk mengajak ngeblog atau chating.

Tapi setidaknya saya masih mmenuhi standar bulan-bulan lalu. Iya, betul. Lima buku memang. Persis dengan bulan-bulan lalu. Meski untuk mencapai angka lima ini, butuh kerja keras di akhir-akhir bulan.

  • Jatuh dari Cinta. Sebuah kumcer karangan Benny Arnas. Ini, adalah buku pertama yang saya baca dari penjelajahan saya mengitari Pesta Buku Jakarta. Entahlah. Saat itu sepertinya saya sedang ngidam membaca cerpen. Rasanya sudah lama sekali sejak kali terakhir saya membaca cerpen dengan serius. ‘Anak Arloji’ karangan KeF pun belum berhasil saya selesaikan. Dan untuk kali ini, Benny Arnas berhasil membuat saya menamatkan buku ini. Terlepas dari cerpen-cerpennya yang memang bukan jenis cerpen yang ringan, saya menyukai buku ini, meski tak terlalu. Sepertinya, banyak diksi-diksi baru yang segar saya peroleh di buku ini. Juga cara bertutur, juga cara menyusun kalimat. Jatuh dari cinta, ah, sepertinya sakit juga. Entahlah!
  • Pengantin Subuh. Benar! Lagi-lagi memang kumcer. Termasuk kategori hebat saat saya membaca kumcer berturut-turut sepert ini. Tapi memang, Zelfeni Wimra, penulis buku ini, berhasil memikat saya bahkan hanya dari tulisan di kovernya saja; “Din, aku ingin jadi pengantinmu/ Sebelum subuh diadzankan/ Dan aroma embun ladang tembakau/ menyentak ubun-ubun”. Lokalitas yang begitu menonjol, seperti halnya pada ‘jatuh dari cinta’, adalah satu point yang memang kerap membuat saya tertarik membaca sebuah karya. Buku ini pula yang cukup besar pengaruhnya dalam salah satu postingan saya yang berjudul ‘kepada abang’.
  • Garis Batas. Boleh jadi, buku setebal 500 halaman ini adalah buku saya yang paling membutuhkan banyak tempat untuk bisa menyelesaikannya. Dimulai dibaca di Bontang, dilanjutkan dibaca di pesawat dalam penerbangan ke jakarta, lalu disambi membacanya sembari ngantri wahana di dufan, pada akhirnya buku ini ditamatkan di kampung halaman, Pasuruan. Masih sama dengan buku seblumnya, Selimut Debu, saya dibuat jatuh cita dengan buku ini bahkan sejak lembar pertama. Cara Agustinus Wibowo mengemas buku ini sanggup mengajak pikiran saya berpetualang bersama ‘kegilaannya’ menembus negeri-negeri berakhiran stan yang jujur saja, selama ini, saya miskin pengetahuan tentangnya.
  • Wandu. Buku lama Tasaro yang berhasil saya temukan pas acara Pesta buku Jakarta lalu. Cukup senang kala menemukan buku ini masih menumpuk di stand zikrul hakim. Tambah senang ketika akhirnya buku kecil ini mendapat tanda tangan si penulis. Ya, berbeda dengan pembaca buku Tasaro lain yang ngantri menandatangankan buku-buku macam Nibiru, atau Trilogi Muhammad, atau Galaksi Kinanti, saya justru duduk ngantri tanda tangan Tasaro untuk buku kecil tipis ini. DI acara Pesta Buku Jakarta juga lokasi penandatanganan itu. Saat itu saya memang menyengaja mengikuti talkshow di panggung utama yang memang menghadirkan Tasaro (cerita tentang acaranya ada pada postingan ini)
  • Surga di Telapak Kaki Ayah. Awalnya, saya berharap mendapatkan buku ini secara gratisan dari penulisnya, Sari Yulianti. Awalnya, saya tak ingin beli saja buku ini. Toh, sepertinya isi buku ini sepertinya sudah banyak yang saya baca di blognya. Tapi awal-awalnya itu menjadi bubrah semua saat saya ditodong langsung untuk membeli oleh si penulis di acara kopdar MPID 23 Juli yang lalu. Maka sebagai kontak yang baik, akhirnya terjadilah tawar menawar harga itu, hingga berhenti di angka 22ribu. Kemudian, anda ingin tahu kesimpualnnya setelah saya membaca buku ini? :“Ai, kayake gue rugi, deh, beli buku ini. Kayake hampir semua sudah gue baca di blog lo!” (ha ha... sejak kapan saya pakai ‘lo gue’)

Oke. Itu saja lima buku yang berhasil saya selesaikan bulan Juli lalu. Nominal yang agaknya bakalan turun untuk bulan agustus ini. Sebab, sampai taggal segini, saya bahkan belum membaca buku apa pun. Untuk ‘sedang’ saja belum. Bulan Ramadhan benar-benar mengubah ritme membaca saya. Tapi tak apalah, asal kebaikan yang lain bisa tercipta.

Bukber perdana