Monday, February 28, 2011

-surat buat bapak-

Pak, bolehkan aku buka surat panjangku ini dengan sebuah kalimata tanya. Tak terlalu sulit. ‘bagaimanakah mengetahui bentuk cinta seorang ayah?’. Ah, tidak, Pak! Tidak! Sama sekali bukan karena aku meragukan rasa cintamu. Orang-orang , bahkan aku, yakin sekali kalau kalian, termasuk kau, memiliki sebuah rasa cinta tersendiri, yang unik. Hanya, karena tak berbentuk, lebih sering tak kentara, dan diam-diam itu lah membuatku terkadang sulit memahami, atau tak terlalu merasakan kehadirannya, atau bahkan meniadakannya.

Berbeda dengan seorang ibu, Pak! Pada seorang ibu, aku akan dengan mudah menemukan rasa cinta itu mewujud dalam bentuk-bentuk yang bisa kuindera. Pada pegangan tangannya kala aku menjabat dan mencium tangannya, pada tatapan khasnya, serta pada ekpresi tubuh lain yang akan dengan mudah aku sadari kalau itu adalah sebentuk cinta. Aku juga menangkap rasa cinta itu mewujud lewat rasa gusarnya kala kami tak jua datang ke rumah kala hujan berpetir menderas-menggelegar di luaran. Atau lewat bagaimana ia mulai mempersiapkan masakan teristimewa di hari kepulanganku yang jarang. Tapi kau, Pak? Aku masih harus meraba-raba dengan cara paling teliti untuk menemukan dimanakah rasa cinta itu terselip pada tatapan datarmu padaku bahkan di detik pertama kita bertukar pandang setelah berbulan-bulan. Sebab, seperti yang kusebut dengan datar tadi, tak kutemukan gurat wajah yang ekspresif, atau rasa rindu yang mencuat terlampiaskan, atau sebuah kalimat khas yang panjang beranak pinak karena telah berbulan-bulan tergumpalkan dalam benak.

Apa yang salah? Tentu saja tak ada yang salah, Pak. Karena tiap manusia itu unik, sungguh tak adil untuk membandingkanmu dengan ibu. Bahkan juga tetap tak adil untuk membandingkanmu dengan ayah-ayah yang lain. Kau adalah dirimu sendiri yang berbeda dengan siapapun di dunia ini. Kau adalah kau. Maka aku harus bisa memahamimu, Pak, sebagai dirimu sendiri. Bukan sebagai orang lain, bukan sebagai ayah orang lain. Sebuah usaha yang aku upayakan terus berlangsung, yang aku harapkan menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa kau mencintai kami dengan caramu sendiri. Dengan cara yang mungkin paling rahasia. Yang karena begitu rahasianya itu, hanya kau sendiri yang mungkin mengerti betul lewat bentuk apakah itu mewujud. Maka aku mungkin pernah mengeluh, karena kekurangtahuan itu. Mengeluh atas sikapmu yang bagiku terasa mengekang. Padahal, bisa saja itu adalah caramu membahasakan cinta.

Aku jadi berpikir, Pak. Apakah memang selalu begitu cara lelaki menjadi orang tua? Seperti itu kah gambaran ayah pada umumnya. Tentu saja aku sedang berbicara tentang ayah-ayah seusia Bapak, atau sedikit lebih muda dari bapak. Sebab aku sering membaca, Pak. Aku kerap kali membaca tentang anak yang bercerita tentang ayahnya. Dan, yang membuat aku begitu dekat dengan cerita itu, gambaran ayah yang diceritakan sungguh mirip dengan gambaranmu. Seorang ayah yang tak terlalu hangat, seorang ayah yang tidak banyak kata, seorang ayah yang terlihat datar. Tapi, Pak, yang membuat aku bahagia, anak-anak yang bercerita tentang bapaknya yang terkesan kaku itu, mengaku kalau mereka mencintai apa-adanya bapaknya itu. Ah, aku ingin seperti itu, Pak. Biarpun perasaan itu mungkin datang terlambat, biarpun perasan itu baru benderang muncul kala aku telah membesar. Sebab kesadaran itu juga lambat, atau bahkan teramat terlambat. Dulu, di masa kecilku, mungkin bukan kau yang kupanggil dulu ketika aku sakit. Bukan kau! Tapi, ah, aku baru menyadari, mungkin kau yang kemudian pontang-panting membelikan ini itu terkait sakitku itu.

Semuanya tentang kesadaran, Pak. Untuk mengetahui cinta seorang ibu, aku tinggal menangkapnya. Perasaannya terpapar begitu gamblang hingga tak perlu berumit-rumit untuk mengetahui kalau itu adalah rasa cinta. Tapi tentang perasanmu, Pak, ternyata butuh waktu yang lama untuk memahamkanku bahwa yang kau lakukan adalah keluarbiasaan lain yang tak kalah mengagumkan dengan yang dilakukan ibu. Aku ingat. Aku ingat kau yang marah ketika aku memutuskan berhenti dari sekolah madrasah dulu. Bukan inginku sebenarnya. Waktu itu aku sakit hingga keterusan tak masuk sekolah. Aku masih ingat perkataanmu dengan suara sedikit keras: “mau jadi apa keluar dari madrasah?”. Ah, itu mungkin marahmu yang pertama yang begitu besar aku terima. Aku mengkeret, mungkin merutuki kemarahanmu. Tapi hari ini, aku bersyukur kau melakukan itu. Kau mungkin tak memilki ilmu psikologi perkembangan anak hingga kurang begitu paham bagaimana hal terbaik yang bisa dilakukan saat menghadapi kebandelan anak. Tapi aku sadar, itu lah hal terbaik dalam pikiranmu untuk mengatasi keadaan itu. Aku sadar, Pak. Aku sadar apa yang membayang di pikiranmu kala anak laki-laki kelimamu ini, anak yang telah dititipkan Allah untuk kau didik, memutuskan untuk berhenti dari belajar agama. Maka ‘mau jadi apa’ yang kau pertanyakan adalah sebuah ketakutan yang menghantuimu tentang akan jadi apa anaknya ini. Akan amanah yang terlanggar, akan tanggungjawab yang terhempas. Aku membayangkan kini, bagaimana bergetarnya seorang ayah kala di satu sisi sebenarnya ia ingin menggendong-membelai, tapi di sisi lain ia harus bertindak tegas untuk menegakkan disiplin. Mungkin begitulah kau kala itu, Pak. Mungkin.

Ah, aku hanya menduga-duga, Pak. Sebab, sampai saat ini, rasa-rasanya kita tak pernah berbicara yang murni dari hati ke hati. Kita memang dekat, tapi kita bukanlah dua pribadi yang melekat. Kita memang sering duduk bersama tak berjarak, tapi rasa-rasanya tak pernah ada momen aku bergelanjutan manja di pundakmu. Itu yang kuingat. Entah ketika aku masih kecil di mana memoriku sudah tak mampu lagi melacaknya. Tapi aku tak pernah mempermasalahkannya. Tidak juga dulu. Sebab memang lingkungan waktu itu lebih banyak begitu. Kelak, ketika aku mengetahui lebih banyak hal, tentang gambaran ayah ideal yang dipaparkan dalam buku-buku, ketika aku melihat ayah-ayah lain yang terlihat begitu luar biasa, aku telah berhenti pada taraf ‘aku akan menjadi seperti itu’, bukan ‘seandainya bapak dulu seperti itu’. Aku telah menerima atas semua yang kau persembahkan. Dan aku tahu, sebuah penerimaan akan membukakan mataku tentang taburan-taburan kebaikanmu yang selama ini terkaburkan.

Maka di sinilah aku, Pak. Jika Ikal mampu berseru lantang kalau ayahnya adalah ayah juara satu seluruh dunia, maka aku juga ingin berseru hal yang sama; “Bapakku, bapak juara satu sedunia”. Terserah! Terserah bila mereka mengatakan kalau kau bukanlah bapak yang romantis, tapi aku tahu, kau adalah bapak yang siap ketika kami membutuhkan ketangguhanmu. Kau memang tak mengantarkanku tidur dengan dongeng-dongeng atau belaian mesra di punggung, tapi kau adalah bapak yang diam-diam siap mengayuh sepeda tuamu ketika kami merengek minta dibelikan buku. Kau memang tak menemaniku mengerjakan PR seraya menanyaiku persoalan pribadi, tapi kau seringkali menjadi orang tua pertama yang menghadiri pengambilan raporku. Kau memang tak melakukan yang ayah ideal lain lakukan, tapi kau, aku tahu, melakukan yang terbaik yang mampu kau lakukan.

Cukup ini dulu, Pak. Aku tahu Bapak tak akan pernah membacanya, tapi aku berharap, Allah membisikkanya ke telinga Bapak dengan caraNya sendiri. Dengan cara yang lembut. Dengan cara yang santun.


-surat buat bapak-

Sunday, February 27, 2011

Bookaholic: februari

Bulan ini menurun! seiring jumlah hari di bulan ini lebih sedikit dibanding bulan sebelumnya, buku yang terbaca di bulan februari ini juga lebih sedikit dibanding bulan Januari. Itu artinya, target 99 buku untuk tahun ini bakal membebani load bacaan di bulan-bulan selanjutnya. Oke-oke, seperti halnya iman yang bisa naik-turun, maka membaca buku pun juga memilki pasang-surutnya. Mudah-mudahan bulan-bulan ke depan bisa terus pasang...

ini dia buku yang dibaca di bulan februari ini

  • Semua Ayah Adalah Bintang.Gara-gara bukunya yang 'Matahari Odi Bersinar Karena Maghfi', saya jadi tertarik mencari dan membaca buku-bukunya mbak Neno Warisman ini.Kalau yang Matahari Odi itu tentang pengasuhan anak-anaknya, maka buku yang ini tentang keayahan. Bukunya tipis, tapi isinya tentu tak tipis. Dan, yang paling saya suka dari buku ini adalah hadiah audio CD-nya. Isi audio CD ini memang beberapa bab pilihan dari buku ini, tapi yang membuat spesial adalah karena dibawakan oleh mbak Neno dengan begitu menjiwai. Ah, saya tak bercanda kalau sempat berkaca-kaca di kala mendengarkannya.
  • The Kite Runner. Jarang-jarang kan saya membaca novel terjemahan? maka sebuah prestasi tersendiri lah jika saya sampai menamatkan novel yang lumayan tebal ini. Dulu, entah apa yang menggerakkan saya mencomot buku ini kala berburu buku di pesta diskon Gramedia GI. Tapi yang pasti, setelah membacanya, kemudian saya tak merasa perlu lagi mempertanyakan alasan saya itu. Khaleed Husaini dengan begitu cerdik memaparkan kondisi Afganistan, juga tentang bagaimana sebuah rasa bersalah di masa lalu itu ternyata bisa begitu memburu. Ah, untukmu yang keseribu kali.
  • Rectoverso. Berisi kumpulan cerpen Dee.Buku yang unik, karena menggabungkan antara buku dan musik. Cepat saja membaca buku ini, karena memang hanya berisi 11 cerpen yang tak juga terlalu panjang.
  • Adriana: labrin cinta di Kilometer Nol. Secara ide, saya suka novel ini. Hanya saja saya kurang bisa menikmati novel ini karena mungkin tak terlalu mengetahui detail tempat-tempat yang sedang dibicarakan, selain tentunya gaya penulisannya yang banyak dialog-dialog bersahutan yang bagi saya kurang cerdas. Tapi, oke-lah, toh saya bisa juga menyelesaikannya meski dengan kesan yang biasa-biasa saja saat menyentuh halaman terakhirnya.
  • A Message of love. Ini juga buku lama yang ngendon di lemari buku saya. Lumayan! Ide cerita juga lumayan. Andai bagian-bagian yang terasa sinetron, serta bagian-bagian kebetulan lainnya bisa dipoles sedikit dan dihaluskan, novel ini bakalan lebih cantik. Buku ini saya habiskan kemarin saja. Di sela-sela kegiatan bersama teman-teman di Balikpapan.
Hah! Kok banyakan fiksinya? Sebenarnya sih pengennya nggak begitu. Sebenarnya inginnnya sih selalu menyelingi buku fiksi dengan nonfiksi. Tapi sayangnya, nonfiksinya seringkali keteteran dalam hal laju pertambahan halamannya. Berikut ini buku-buku nonfiksi yang baru dibaca separuh jalan, mudah-mudahan sudah bisa dilaporkan dalam keadaan terbaca di bulan berikutnya:

  • Warisan Sang Murabbi, Pilar-Pilar Asasi
  • Semangkuk Cocktail Cinta
  • Bete After Merit
Ok! sampai ketemu di Bookaholic : Maret.

Belum memenuhi target

Thursday, February 24, 2011

Monday, February 21, 2011

menikmati proses

SD-nya di SD wonojati. Berada di pojokan antara jalan kecamatan yang sudah beraspal, dengan sebuah jalan desa yang berdebu. Delapan ratus meter dari SD itu, bila terus menelusuri jalan desa berdebu tadi, di sanalah rumahnya berada. Jarak yang harus ia tempuh tiap harinya. Tapi tentu, sekarang, jalan itu teraspal ala kadarnya.

SMP-nya SMP Gondang Wetan 1. Bila Wonojati tadi adalah nama desa, maka Gondang Wetan ini nama kecamatan untuk desa wonojati tadi. Sedang 1, ah kau pasti tahu kalau itu berarti SMP negeri pertama yang berdiri. Di daerah-daerah memang begitu, nomor menunjukkan ketuaan suatu sekolah. Jaraknya, mmmm...bila kita tarik garis lurus dari SD wonojati tadi, mungkin sekitar 3-4 km. Atau bahkan lebih. Entahlah, tak pernah ia memastikan dengan pasti angka itu. Hanya saja, bedanya dengan waktu SD tadi, ada angkutan umum yang bisa mengantarkannya ke SMP itu. Colt, biasanya orang-orang menyebutnya. Sebab awalnya memang jenis mobil itu yang sering dipakai. Ia perlu menghadangnya di depan SD tadi, dengan ongkos seratus rupiah di awal ia kelas satu, hingga dua ratus di kala ia menjelang lulus. Atau kadang kala ia menempuhnya dengan berboncengan sepeda dengan temannya. Sebuah alternatif yang dapat mengurangi biaya harian.

Lalu SMA 1 Pasuruan. Kau pasti mengerti kalau pasuruan itu nama kota. Ya, setelah SD di desa, SMP di kecamatan, maka SMA di kota. Tentu saja jangan bayangkan kota yang kumaksud layaknya kota-kota besar. Seperti halnya kota-kota pinggiran lain, ia boleh dibilang ramai bila dibandingkan desanya, tapi tak cukup ramai untuk sebuah kota dalam gambaran umum. Tapi sudahlah, apapun itu, ia menyebutnya kota. Sebab memang ada kabupaten ada kota (-semuanya harusnya sudah mengerti kalu istilah kotamadya berubah jadi kota saja-). Dan SMA-nya ini ada di kota. Untuk itu lah, untuk dia yang berasal dari kabupaten, perlu prosedur khusus untuk sekolah di sana. Dari SDnya tadi, dengan naik angkutan yang sama, ia perlu mengeluarkan ongkos 500 rupiah di awal sekolah, hingga seribu rupiah di akhir sekolah. Lima ratus itulah inflasi selama tiga tahun itu.

Maka setelah desa, kecamatan, dan kabupaten, fase selanjutnya adalah propinsi. Dan benar saja. Sebuah perguruan tinggi negeri di kota propinsi kemudian menjadi labuhannya. Adalah Institut Teknologi Sepuluh Nopember (-ingat! Bukan Institut Teknologi Surabaya-) perguruan tinggi itu. Butuh empat tahun lamanya sampai ia keluar dari sana. Saat bayangan jakarta mulai nampak untuk dunia kerja, mengingat harusnya ibu kota negara lah yang menjadi tujuan untuk menggenapi tahap-tahap itu, Allah menentukan hal lain. Sebuah lompatan lain. Tak hanya masalah jarak yang kian bertambah, tapi keterpisahan fisik yang lebih. Sebab ada fase lain sebagai pemisah. Adalah lautan. Maka di pulau seberang ini lah kemudian ia berkarya lanjut.

+++

Itu tentang saya. Bahkan sampai sekarang saya masih merenungi ini. Sebuah perjalanan yang unik. Masa SD enam tahun saya saya habiskan di kampung kelahiran saya, dimana hanya perlu berjalan kaki untuk menempuhnya. Kemudian masa SMP tiga tahun di desa kecamatan. Kemudian masa SMA tiga tahun di kota. Kemudian masa kuliah empat tahun di kota propinsi. Dan, pada akhirnya, menjelang dua tahun kerja di pulau seberang. Ini beberapa kali masih saya renungi sebab ternyata ini membawa implikasi banyak. Jika saya bertemu teman lama di kampung, itu kemungkinan teman main atau teman SD/madrasah. Jika bertemu di desa lain namun sekecamatan, itu mungkin teman SMP. Jika di kecamatan lain, atau kota lain, bisa jadi adalah teman SMA. Begitu seterusnya. Sebab begini: tak lebih dari lima orang teman SD saya yang kemudian satu SMP dengan saya, tak lebih dari tiga orang teman SMP yang kemudian satu SMA dengan saya, selanjutnya tak lebih dari empat orang teman SMA saya yang satu kuliahan dengan saya. Hingga, saya tak punya teman yang menjadi teman sejak SD sampai SMA. Tapi kemudian saya bersyukur, saya memiliki teman dengan penyebaran daerah yang merata.

Begitulah. Pendidikan saya yang bertahap secara daerah ini, boleh jadi baik untuk perkembangan. Entahlah, saya tak punya dasar untuk ini. Ketika saya sudah SMA, mungkin memang sudah waktu yang tepat untuk saya bergaul dengan anak-anak kota dengan budaya yang berbeda, dengan tingkat ekonomi yang lebih, dengan hal-hal lain yang boleh jadi jika saya jumpai lebih awal akan membuat saya terkagok-kagok dan gagap. Kenyataan ini mungkin membuat saya memang terlambat mengenal moderenitas, tapi tak apa sebab itu toh bisa saya pelajari untuk kemudian menyamai mereka-mereka semua. Tapi untuk sebuah nilai-nilai kedesaan, tentang kedaerahan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, akan sulit saya raup jika saya sudah terlanjur tercebur dengan moderenitas.

Begini, tulisan ini hanya ingin menekankan ini: proses. Tahap demi tahap. Mungkin contoh di atas tak cukup tepat, tapi itulah yang paling dekat dengan saya dan lebih mudah saya ceritakan. Segalanya itu butuh proses, dan menikmati tahap demi tahapnya itu terkadang begitu penting. Bukan melulu tujuannya. Ini boleh jadi tak berlaku umum, tapi sebagian besar barangkali harus begini. Saya kerap kali sedih kala melihat anak-anak yang sepertinya masih seusia SD itu sudah meraung-raung di jalan raya memamerkan motornya. Ah, anak seusia itu harusnya masih menikmati naik sepeda. Beradu cepat dengan temannya dengan kekuatannya sendiri, dengan tenaga kayuhnya sendiri. Bukan malah beradu motor dengan tenaga bensin hasil minta dibelikan orang tua. Ini bukan masalah orang tua yang berada hingga mudah saja membelikan motor, tapi ini masalah proses. Seseorang yang dengan baik melewati proses-prosesnya, akan cenderung arif menikmati suatu tahapan. Tak lagi terlibat euforia berlebihan merayakan tahapan itu.

Jadi biarkanlah! Biarkanlah semua pada prosesnya. Nikmati tiap prosesnya dan maknailah tiap tahapan itu. Kau mungkin seringkali melihat bagaimana orang kaya baru itu tak sanggup menghadapi tahapan barunya sebab ia tak melalui tahapan-tahapan yang benar. Sebab ia hanyalah orang kaya karbitan. Dan buah yang matang karena karbitan, pastinya kalah jauh kulaitasnya dengan yang ranum sejak dari dahannya. Itu saja.

Monday, February 14, 2011

pergi, tapi tak kemana-mana

“kau mau kemana?”, aku lupa apakah aku mengatakan pernyataan itu saat kau menjawab dengan kalimat singkat ini: “tak kemana-mana, hanya pergi”. Tak ada emosi, tapi aku masih aneh saja dengan pernyataanmu itu, sebab pada kata pergi, aku membayangkan akan ada ransel yang penuh bawaan, ada langkah-langkah menjauh, mungkin juga ada seseorang lain yang berdiri terpaku di beranda sambil menatap objek yang menjauh itu, lalu masih saja terpaku dengan menggigit bibir kala yang dipandang telah menghilang di sebuah tikungan. Tapi kata ‘tak kemana-mana’ menyertai kata ‘pergi’ adalah hal baru. Hal baru yang mungkin tak terlalu cepat aku serap lewat otakku yang mungkin kian melambat. “Kau perlu sesekali main sudoku, Kawan”, demikian katamu dulu sambil menepuk bahuku.

“Tapi kemana?”. Aku terkaget juga dengan kalimat tanyaku itu. Aku memang seringkali mengulang kalimat yang sama kala belum mampu memahami sesuatu. Itu juga yang sering kau katakan dulu. Tapi kau diam. Menatapku, tapi tak mengeluarkan kalimat yang sama untuk pertanyaan samaku itu. Saat seperti ini, harusnya aku mengganti pertanyaan itu dengan pertanyaan lain seperti saat Hajar mengganti pertanyaannya kala Ibrahim tak juga berkata-kata dengan sebuah jawaban untuk pertanyaan awal. Tapi aku masih kesulitan mencari pengganti ‘apakah ini perintah Allah?’ seperti redaksional Hajar pada Ibrahim. Beberapa waktu membisu, sampai kata-kata itu mencuat dengan sendirinya: “apakah ini untuk kebaikan—mu”. Tak jelek-jelek amat pertanyaan itu, meski aku ragu menyematkan ‘mu’ di akhirnya. Seperti peristiwa bersejarah ribuan lampau itu, aku tentunya mengharap kata ‘iya’ pada pertanyaanku itu. Tapi, harapku tak benar-benar tepat. “semoga”, sebab demikian lah katamu kemudian. Sama-sama satu kata, tak bersesuai dengan harapku, tapi ajaibnya membuatku lebih menyukai pilihan katamu. Kau memang selalu selangkah lebih maju dalam memilih kata yang sesuai. Kata ‘semoga’, aku tahu melingkupi keinginan dan kepasrahan. Kolaborasi yang mau tak mau memaksaku menyukainya . Ah, dalam hal ini, kau memang kerap memaksaku menyukai pikiran-pikiranmu. Keterpaksaan, yang ajaibnya, sekali lagi, terasa menyenangkan.

“tapi monumen-monumen kenangan, tempat aku membekukan waktu, tak akan aku bubarkan. Mungkin juga tak akan pernah. Kau tak perlu mematok nisan di sana. Meski boleh saja kalau hanya sekedar ingin mengelap debu yang melekatinya”. Sekali lagi, sepertinya aku belum benar-benar selesai dengan kalimatmu sebelumnya, dan kau telah menyodorinya dengan yang baru. Dahiku berkerut, mencoba memamah kata-katamu. Sudah bertahun-tahu aku mengenalmu, tapi tetap saja aku masih menemukan hal baru meluncur darimu. Keadaan yang menimbulkan kesadaran, bahwa akan perlu sepanjang usia periode perkenalan itu. Pembohong orang yang mengatakan kalau ia telah mengenal seseorang dengan baik. Segalanya.Sebab nyatanya, ia hanya memaklumi, atau memberi sebuah ruang penerimaan yang lapang, atau menyediakan bertakhingga stok pemahaman, untuk tiap kejutan dari orang yang ia pikir ia kenali betul itu. itu lah mungkin yang juga aku coba terapkan padamu, juga kau padaku. Maka aku tak heran kala kau menyambung katamu-katamu yang bersayap itu.

“tapi jangan khawatir, --meski aku tak berbicara tentang sebuah kepastian-- aku akan kembali. Meski aku tak kemana-mana, tapi aku akan kembali. Memastikan apakah kau benar-benar membersihkan debu itu. Ataukah membiarkan tiap-tiap lapisnya menandai usia ‘tak kemana-mana’-ku itu”. Ya, seperti yang dulu-dulu, kau akan segera meneruskan kalimatmu, kala melihat aku sudah tak tak mampu menyamai frekuensimu. Yang diperlukan sekarang hanyalah mendengar. Mendengar kau berkata-kata. Kadang yang diperlukan memang hanya mendengar, tak harus mengerti, sambil sesekali mencatat. Catatan yang misterinya kadang terpecahkan waktu. Aku sering tersenyum sendiri kala kesadaran itu muncul.

“Sebab untuk menjernihkan air yang keruh, ada dua cara. Yang pertama kau diamkan saja hingga mengendap. Yang kedua kau alirkan saja. Lebih baik lambat. Lalu biarkan tiap tikungannya, tiap benturannya, satu demi satu, menggagalkan tersuspensinya padatan, lalu tertinggal-----. Seseorang seringkali memilih salah satunya, tapi aku, memilih keduanya, kawan!”

“tidak! Kau masih bisa menyaringnya, kau masih bisa menguapkannya,” ajaibnya aku, aku selalu nyambung saat kau ajak berdiskusi yang ilmiah.
Kau menggeleng. Dua kali ke kanan, dua kali ke kiri. “tidak, itu terlalu instan.” Lalu diam, aku diam.


mungkin lebih baik kita berpisah sementara, sejenak saja
menjadi kepompong dan menyendiri
berdiri malam-malam, bersujud dalam-dalam
bertafakur bersama iman yang menerangi hati
hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari
melantun di antara bunga, memberi keindahan pada dunia

lalu dengan rindu kita kembali ke dalam dekapan ukhuwah
mengambil cinta dari langit dan menebarkannya di bumi
dgn persaudaraan suci; sebening prasangka; selembut nurani,
sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji
(DDU)


Sunday, February 13, 2011

[QN ala tobie] Pagi, Hujan, dan Lapar

detik-detik akhir

Ini kah saat itu? Sepertinya aku sudah tak mampu lagi melihat dengan benderang. Semuanya kabur dan seolah segala yang ada di depanku bergoyang-goyang. Ah, tentu saja ini bukan gempa. Aku tahu persis. Bukan hanya karena tak ada catatan sejarah tentang pernah terjadinya gempa di pulau ini, atau prediksi keilmuan tentang tak beradanya sebab untuk sebuah gempa di pulau ini. Tapi, aku yakin sebab tangan yang begitu keras itu masih terasa kokoh mencengkeram kerah bajuku yang aku rasa mulai koyak. Tak goyah atau melemah sedikit pun. Setelah beberapa saat lalu, aku tahu, sebuah pisau tajam ia hunjamkan ke dadaku.

Aku sekarat? Mungkin. Aku rasa darah telah berleleran menuruni bajuku. Gravitasi tentunya masih bekerja bahkan pada orang yang sebentar lagi akan mati. Mungkin tak ada lagi warna putih baju, semuanya merah dan merah. Mungkin, sebab aku tak lagi mampu melhatnya dengan benar. Mataku berkunang-kunang, dan suara nafasnya yang memburu, yang tepat di depan wajahku, laksana udara panas yang ditunggangi izrail. Sebentar lagi, ya sebentar lagi, tanpa perlu mencekik leherku yang sejak tadi melemas, aku akan mati oleh sebab yang sering aku dengar dalam cerita-cerita: pasien terlalu banyak kehilangan darah.

Tapi aku masih ingin bertahan. Untuk sebuah kesempatan yang kedua kali. Untuk sebuah kalimat yang susah payah ingin diucapkan Firaun sebelum air asin memenuhi paru-parunya. Maka aku berdoa. Oh Tuhan, masihkan doa ini terdengar sebab yang mengeluarkannya hanyalah mulut bau yang penuh kemunafikan. Aku bahkan telah lupa kapan terakhir kali aku melakukannya. Tuhan? Ah, mungkinkah aku telah menemukannya kembali bukan di mimbar-mimbar khotbah, bukan di tempat-tempat ibadah. Tapi disini, di ruang pengap yang miskin cahaya. Kotor dan najis. Ataukah memang seseorang meski berakhir di sebuah tempat yang tak jauh dari dirinya. Tempat kotor hanya untuk orang-orang yang kotor.

Ia semakin keras mencengkeram kerah bajuku.

Aku akan sholat

“ini untuk semua yang telah kau lakukan. Sebuah pembalasan sempurna untuk tingkah laku tengikmu. Untuk sakit bertahun yang kurasakan”, ia mulai berbicara.

Aku akan pulang. Meniciumi istriku. Meminta maaf, mengantarkan anak-anak sekolah.

“Enyahlah kau ke neraka!”

Aku akan puasa.

Hembusan napasnya kian panas menerpa wajahku. Lebih mengerikan dari sekedar kata-kata.

Aku akan bertobat.

Lalu tak terdengar apa-apa. Tak terlihat apa-apa. Lalu entah.



Thursday, February 10, 2011

Tuesday, February 8, 2011

Sunday, February 6, 2011

quote2 kick andy barusan

- Ternyata kita tak siap menjadi orang tua. Lebih tepatnya, ternyata kita tak siap menjadi orang tua dari anak yang hidup di dunia digital (*didiklah anakmu, sesungguhnya ia akan hidup di jaman yang tidak seperti jamanmu)

- Bisa nggak sih, kita melihat ini tidak hanya sebagai sebuah berita? Bisa nggak sih, kita mendengar ini dengan hati, bukan hanya telinga (*ah, saya tak suka Andy yg ikut menyela saat bu Elly ngomong ini)

- (sekian) persen orang tua memberi peralatan canggih pada anaknya tanpa sebuah alasan




tidak tepat begitu, tapi itu yang masih aya ingat dsri perkataan ibu Elly Rusman

ada yg mau nambah?

Friday, February 4, 2011

maaf, aku tak mau jadi ibu

Aku pernah mengatakan itu, sebagai sebuah pilihan saat masa kanak-kanak SD. Di sebuah SD pedesaan yang kau tak harus memakai seragam sesuai hari itu untuk dianggap disiplin. Orang-orang menyebutnya sebagai cita-cita. Sebuah keinginan tentang akan menjadi apa kelak. Kataku, meski aku tak tahu pasti kala itu, aku ingin menjadi ibu rumah tangga. Mungkin aku tak tahu pasti dengan jawabanku. Tentang akan seperti apakah itu. Hanya yang aku tahu dengan pasti, ibuku sangat-sangat hebat. Dan dia seorang ibu rumah tangga.

Aku tentu kemudian menjalani masa SMP. Seperti kebanyakan perempuan-perempuan lain. Aku tentu melihat televisi, menikmati bermunculannya boy band, juga mulai sering berkaca sambil bergumam ‘cantikkah aku?’. Tak ada yang spesial sampai perlahan aku mulai menertawakan cita-cita SD ku yang tiba-tiba terasa norak, kampungan, tak intelek, dan terbelakang. Bukankah akan menyenangkan jika bisa menjadi pramugari, sekretaris, penyiar televisi? Banyak uang, menjadi bintang, mandiri, dan tentu saja aku akan bisa membahagiakan ibuku. Kau tahu, ujung cita-citaku tetap mulia.

Aku sempurna mengeliminir cita-cita masa SD itu ketika sudah SMA. Mengenyahkannya dalam kamus kehidupanku, dan mencoretnya sebagai salah satu pemberhentian pada peta perjalanan masa depanku. Tentu, tentu aku masih ingin menikah. Masih ingin mempunyai anak-anak. Tapi aku tak ingin menjadi ibu rumah tangga, jika yang dimaksud dengan itu adalah melahirkan lalu berkecimpungan dengan tetek bengek rumah untuk melayani suami dan membesarkan anak-anakku. Tidak! Betapa itu begitu jauh dari dunia intelektualitas dan betapa itu bertolak belakang dengan dengan diriku yang ingin teraktualisasi. Aku percaya, seorang pengasuh, serta beberapa pembantu, akan mampu menangani urusan itu. Toh, aku akan cukup mampu membayar mereka semuanya.

Maka aku melanjutkan kuliah. Memilih sebuah jurusan yang mendekatkanku untuk berkarir di dunia kerja. Mengalami euforia dunia intelektualitas kampus. Membayangkan, tentang, ah, betapa mimpi itu kian menyata. Aku mulai merancang tentang akan menjadi apa aku selepas lulus. Tentang kemungkinan menikah di dua sampai tiga tahun usia kerjaku. Mungkin akan mempunyai anak dua tahun sesudahnya. Anak kedua lima tahun sesudahnya. Tapi tentu saja, punya anak tak akan menghentikan aktivitas intelektualisasi diriku di dunia kerja. Maka untuk itulah aku hanya menargetkan dua orang anak sesuai arahan pemerintah. Bahkan, satu pun tak masalah.

Sampai di sebuah titik, di kisaran tingkat tiga kuliah, kesadaran itu menggoncang segala pemikiranku. Aku mulai membaca banyak buku, mulai berinteraksi lebih intens dengan orang-orang hebat. Dan, betapa tersentaknya aku, orang-orang hebat itu, adalah seorang ibu. Seorang ibu yang seringkali didentikkan dengan sumur, kasur dan dapur. Seorang ibu yang ikhlas dan bahagia membesarkan anak-anaknya. Kesadaran itu, sontak memulangkanku pada rumah, pada cita-cita dahulu. Pada seorang perempuan sepuh yang tak pernah lelah melakoni perannya. Pada seorang perempuan yang profesinya kubanggai tiap kali mengisinya dalam formulir-formulir di jaman SD. Pada cita-cita lugu masa kanak-kanak. Maka, sejak saat itu, cita-citaku sungguh-sungguh sederhana: aku ingin bahagia dengan keluargaku, membesarkan anak-anak, dan mengantarkannya ke jalan cinta.

Maka sejak saat itu, aku tak terlalu antusias mencermati dunia kerja. Tak terlalu memikirkan tentang di perusahaan mana aku akan bekerja justru ketika teman-teman mulai ramai membincangkannya. Tapi, tentu, itu tak mengurangi minat belajarku. Tak membuatku loyo untuk menyelesaikan studiku. Tentu, anak-anakku kelak menginginkan seorang ibu yang pintar, seorang ibu yang berwawasan luas, selain tentu saja seorang ibu yang penuh cinta. Aku akan tetap mampu mengantuaklisasikan diriku, bahkan lebih, hanya dengan menjadi seorang ibu. Menjadi ibu bagi anak-anakku, menjadi istri bagi suamiku. Ibu dan istri yang tak berhenti pada sebuah status. Tapi istri dan ibu untuk sebuah peran.

Maka, kini, di sini lah aku kemudian. Di sebuah rumah mungil tanpa penyejuk ruangan –sebab aku tahu itu tak baik bagi lingkungan. Di sebuah rumah mungil yang tak banyak perabotan wah, tapi berderet buku-buku. Tapi selalu ramai. Ramai oleh celoteh anak-anak. Anak-anakku. Tiga orang kini. Mungkin akan bertambah jika Allah masih berkenan memberi amanah. Maka, maukah kau? Maukah kau kuceritakan tentang hari penuh bahagia itu. Hari-hari tentang keajiban-keajaiban yang lahir dari tingkah anak-anakku. Keajaiban yang mungkin tak pernah aku tangkap jika aku membiarkannya di tangan pengasuh. Keajaiban yang mungkin tak tereksplorasi lebih jauh jika aku memilih jauh dari rumah dan membiarkan orang luar membentuk anakku. Ah, aku bersyukur, bersyukur tentang kesadaran yang tak terlambat itu. Kesadaran tentang betapa luar biasanya menjadi ibu, yang tak datang ketika semuanya serba terlambat. Ketika anak-anak menjadi asing dalam gendongan ibunya.

Mereptkan mungkin. Atau lebih tepatnya, merepotkan pada awalnya mungkin. Membesarkan anak kecil yang serba seenaknya: buang air seenaknya, nangis senak waktunya. Tapi, aku bahagia. Ternyata memang ada jenis kerepotan yang membahagiakan. Kerepotan yang terus membuatku belajar. Kerepotan yang terus membuatku berkreasi.

Ah, ini ternyata cita-cita agung itu. Tahulah aku kenapa ibu menangis haru di hari pernikahanku. Tahulah aku kenapa ibu berbinar bahagia di detik kelahiran bayi pertamaku. Dan, tahulah aku juga, kenapa ibu hanya berpesan ‘jaga baik-baik dirimu, ndok!’ ketika kukabarkan tentang aku yang diterima kerja. Ya, aku sempat bekerja memang setelah wisuda itu. Kerja yang tak berumur panjang. Sebab, kemudian aku tukar dengan sebuah pekerjaan lain, dengan jam kerja 7 x 24 jam, yang upahnya hanya dua : ridho suami dan anak-anak sholeh penyejuk mata.

Selamat datang di dunia cinta, para mama!

[QN ala tobie) sabtu abu-abu

Wednesday, February 2, 2011

(nostalgia kampus)Tragedi beasiswa :sebuah pelajaran kebesaran

Mungkin sekitar 4-5 tahun yang lalu. Di tingkat pertama atau dua kuliah. Pagi hari ketika saya nyampai juga di kos setelah tiga jam sebelumnya masih di rumah. Hari itu liburan semester. Pulang kali itu pun dalam rangka liburan semester. Balik ke kos pagi itu, dalam rangka sebuah informasi yang diterima: beasiswa turun.

Selalu begitu. Lepas menerima info beasiswa turun, akan selalu bergegas balik meski saat itu ada di rumah. Dan saat itu, turunnya memang pas. Masa-masa liburan adalah masa-masa membayar SPP. Maka turunnya beasiswa itu, semacam oase di tengah gurun, semacam pemantik untuk selalu tersenyum, juga semacam bahan bakar untuk terus bersyukur.

Langsung menuju kampus. Lepas membuka kamar kos dan mempersiapkan apa-apa yang diperlukan untuk mengambil beasiswa itu, segera menuju kampus. Tetap bersemangat meski harus berjalan kaki sekilo, sebab di ujung perjalanan ini ada ‘oase’ yang menunggu. Sebuah bukti yang menunjukkan pada kita, bahwa tujuan, kerap kali menentukan kualitas perjalanan kita.

Biro Administrasi Akademik dan Keuangan, jika memang benar itu kepanjangan dari BAAK, maka di situlah perjalananku berakhir. Sebab, disitulah memang tempat pengambilan beasiswa yang sudah-sudah. Hari itu masih cukup pagi dan saya sedang melihat-lihat apakah kantor itu sudah buka. Di hari libur, kadang jam buka memang beda. Beberapa menit lewat. Dan saat itulah, saat saya masih mengamati papan pengumuman di depan kantor itu, seraya membaca dengan mata kepala sendiri perihal pengumuman pengambilan beassiswa saya, seorang teman muncul. Seorang teman yang tak sekedar teman. Sebab ada beberapa pengikat kami berdua. Yang pertama karena kami memiliki nomor pokok mahasiswa yang berurutan. Fakta itu kemudian berarti banyak: kami melakukan daftar ulang mahasiswa baru secara berurutan, kami akan sering berada dalam satu kelompok tugas, kami berada satu kelas di masa-masa persiapan. Yang kedua karena kami satu kamar di kontrakan sederhana kami. Yang ketiga karena ada banyak hal dalam diri kami yang mirip. Yang keempat karena dia juga penerima beasiswa ini.

Setelah berbincang sebentar, dan saling terkejut karena bisa ketemuan di depan BAAk, berdua kemudian kami masuk. Kami sudah tahu betul prosedurnya. Seorang ibu-ibu galak akan menyambut kami lalu meminta berkas-berkas kami. Ia lalu akan menyodorkan lembar-lembar yang berisi nama-nama penerima beasiswa se-institut dimana di kolom nama kami, tanda tangan mesti kami bubuhkan. Kemudian, ia akan menyerahkan semacam kuitansi yang bisa kami tukar dengan rupiah yang tertera di situ, di Bank Mandiri kampus. Dan, begitu pulalah prosedur hari itu. Tanpa senyum ia melayani kami berdua. Kami yang butuh, maka harus kami lah yang ramah. Mungkin begitulah prinspnya. Bukan pelayanan.

Kami keluar ruangan itu dengan berbunga-bunga. Tinggal melangkah ke kantor pos yang tak jauh dari Bank Mandiri untuk membeli materai. Di kuitansi tadi, perlu tanda tangan kami di atas materei. Kami terus saja melangkah beriringan sambil berbincang ringan dengan selembar kuitansi beasiswa sudah anggun dalam pegangan kami, tak menyadari dalam tempo beberap menit ke depan, ketidakberesan itu bakal terjadi.

Di depan kantor pos lokasinya kala itu. Kami sudah sempurna membeli materei, sudah sempurna menempelnya dalam kuitansi setelah sebelumnya menjilatnya, sudah terrbayang beasiswa yang akan cair, kala kesadaran itu datang. Adalah teman saya yang menemukan ketakberesan itu. Persis setelah ia melekatkan meterei itu dan menandatanganinya, ia menyadari kalau lembar kuitansi itu sebenarnya bukan miliknya. Kami terkaget. Kemudian reflek memeriksa kuitansi dalam pegangan saya. Dan benar, nama teman saya lah yang justru tertera dalam kuitansi saya. Kesimpulannya satu: kuitansi kami tertukar. Menjadi bermasalah karena teman saya sudah menandatangani kuitansi yang tertukar itu.

Lemas seketika. Begitulah gambaran orang yang tak tahu. Pikiran-pikiran negatif yang malah berhamburan. Tentang hangusnya satu kuitansi beasiswa itu. Tentang ini. Tentang itu. Ah, masa-masa itu, bahkan sangat jarang sekali berinteraksi dengan perbankan. Tak mengenal seluk beluknya, aturan-aturannya, kemudahan-kemudahannya. Serta yang lain.

Tapi harus berbuat. Lepas menenangkan diri, kami melangkah ke bank untuk mendapatkan pencerahan. Mungkin ada kebijakan-kebijakan. Entah bagaimana caranya. Pastinya ada sebuah mekanisme hingga kuitansi yang tertukar itu tetap dapat diuangkan. Titik.

Kami diminta untuk meminta kuitansi lagi. Itulah jawaban dari usaha kami mendatangi bank. Jawaban yang kemudian memaksa langkah kami untuk kembali ke BAAK. Ah, dalam waktu yang sekejap saja keadaan menjadi begitu kontras. Beberapa saat lalu, kami melewati jalan itu, dari BAAK menuju kantor pos dengan berbunga. Tapi saat itu, di jalan yang sama dengan arah yang berlawanan, keadaan menjadi kebalikannya. Ada senyum. Tapi senyum kecut.

Kami tahu ini pasti akan sulit. Sebab yang kami hadapi adalah ibu-ibu galak yang sepertinya lupa bagaimana caranya berbicara dengan nada menyenangkan. Tapi prasangka baik masih tetap terpelihara hingga wajah kami sempurna mendapati ibu galak itu berada di daerah kekuasaannya. Di sebuah daerah dimana mahasiswa yang meletakkan kelanjutan pendidikannya pada beasiswa tak berani macam-macam bila tak ingin urusannya menjadi runyam. Kami tersenyum. Mencoba menjelaskan duduk persoalannya. Kami tahu ini adalah kebodohan kami, meski ada sedikit andil kesalahan ibu itu yang tertukar menyerahkannya tadi. Tapi tetap saja, kami yang ceroboh.

“kok bisa sih? Dikira mudah nyari itu. Kayak mudah saja nyari tanda tangan PR”. Demikianlah kalimat yang kami terima. Persis dengan perangai kesehariaannya, ia tetap tak menyenangkan bahkan ketika tanpa kalimat itu hari sudah tak menyenangkan. Bahkan tidak sampai segitu, racauannya terus mengalir yang kian memperburuk suasana hati yang sebenarnya sudah jatuh beberapa menit sebelumnya. Bertambah parah karena ocehannya itu sama sekali tak menunjukkan jalan keluar selain kalimat: “sudah. Besok saja temui pak xxx.” Pak XXX adalah kepala BAAK yang kebetulan hari itu tak ada di tempat.

***

Pagi hari esoknya, bergegas kami menuju kampus menemui kepala BAAk. Semakin cepat semakin baik. Kepastian itu memuaskan.

Agak ragu-ragu menghampiri kepala BAAK. Orangnya berkumis sedikit lebat, kulitnya agak coklat. Sebuah kombinasi yang pas untuk sebuah tokoh antagonis. Tapi di bapak itulah pintu penjelasan itu berada. Dan kami harus segera menguaknya.

Setelah menyapa dan memperkenalkan diri, mengalirlah kemudian cerita tentang kemalangan itu. Bergantian kami berbicara hingga penjelasan itu tuntas. Agak cemas kami menantikan apa yang meluncur dari mulutnya. Sampai....

“ah, nggak masalah itu. Coba saja mnghadap Bank-nya lagi. Mungkin bisa pakai surat kuasa atau bagaimana”. Lunas sudah rasa cemas itu. Ternyata urusan ini mudah saja. Dengan sebuah senyum, dan kalimat menyenangkan, permasalahan ini akhirnya berakhir dengan happy ending. Sebab setelah kami menghampiri bank untuk kedua kalinya untuk urusan ini, dan juga setelah kami dihadapkan pada pemimpin bank cabang kampus itu, kami dipersyaratkan untuk membuat sebuah surat kuasa kalau beasiswa saya diambilkan oleh teman saya itu. Hari itu kami mendapat definisi jelas perbedaan antara orang besar dan orang kecil. Pada ibu galak kami berkaca, pada pak kepala BAAK kami pun berkaca.

Selesai. Kami kemudian pulang. Membuat surat kuasa. Ketak-ketik sebentar. Print. Lalu kembali ke kampus. Kami tak henti-hentinya tersenyum geli mengingat ongkos untuk kebodohan kala itu adalah enam ribu rupiah, harga selembar materei untuk surat kuasa tadi.