Thursday, March 31, 2011

Aih, sup iga maknyus jg.. (g penting) (ngiming2i)

Bookaholic: Maret

Baiklah, memang harus saya akui kalo grafik membaca saya semakin menurun. Iya, memang bulan maret ini masih sama dalam hal jumalh dengan bulan sebelumnya. Tapi bulan maret ini, nominal lima buku itu saya capai dengan sedikit ngos-ngosan di akhir-akhir bulan. Jadilah angka seratus buku dalam setahun itu menjadi semakin berat (, tapi mungkin,) untuk terlaksana. (Sepertinya ini tanda-tanda untuk segera ngambil cuti )

Berikut lima buku untuk maret ini:
  • Rabithah Cinta: Bagi anda yang pernah membaca 'Obituari Kasih', ya, ini memang dua buku yang sama karangan Afifah Afra.Entahlah, saya tak tahu persis mengapa sampai perlu menerbitkan lagi buku ini dengan judul berbeda. Sebab bagi saya, untuk orang-orang yang tak tahu, bisa saja ini menjebak. Menganggap ini dua buku yang berbeda. Namun begitu, lepas dari hal tersebut, buku ini lumayanlah. Sudah cukup lama tak membaca novel dengan sematan-sematan islam yang kental. Setting Papuanya, meski tak detail, juga cukup memberikan daya tarik sendiri.
  • Eliana : Serial Anak-anak Mamak :Cerita tentang anak-anak memang selalu menyenangkan. Membuat kita kembali bernostalgia dengan masa kanak-kanak itu. Mengenang. Mengingat. Dan benar, Tere Liye berhasil membangkitkan itu semua. Meski berbeda setting, sebab tak ada hutan di kampungku dulu --tapi sawah-sawah dan kebun, tapi tetap saja tak mengurangi unsur nostalgia yang terbangkitkan.
  • Positive Parenting: Bersama dengan '7 Keajaiban Rezeki', ini adalah buku terakhir yang saya beli pas ke balikpapan sebulanan yang lalu. Membuat cemburu buku yang lain mungkin, sebab justru buku ini yang malah saya selesaikan lebih dulu. Meninggalkan buku lain yang bahkan ada yang sudah setahun masuk daftar tunggu. Tapi karya Ust Fauzil Adhim yang satu ini memang terasa menggoda. Melihat judul bab-babnya, melihat uraian singkatnya.Membaca buku ini, membawa kita ke sebuah kesadaran, bahwa ternyata banyak sekali hal yang tak kita ketahui tentang ilmu keayah-bundaan ini. Bahkan hal-hal yang kita anggap biasa, boleh jadi menjadi suatu yang besar untuk tumbuh-kembang anak-anak kita.
  • Semangkuk Cocktail Cinta: Ini termasuk seri pengokohan tarbiyah. Buku ketiga yang saya baca. Sebuah karya Rahayu Ayuningtyas yang membahas tentang seni berkomunikasi dengan bahasa cinta. Tak banyak hal baru yang saya dapat di buku ini sebenarnya, tapi karena alasan 'saya harus menyelesaikannya'lah yang membuat saya memaksakan diri untuk menuntaskannya.
  • Perempuan Suamiku: sebuah kumpulan cerpen Izzatul Jannah. Awalnya membaca buku ini sih sebagai selingan saja. Namun karena jumlah halamannya yang tak banyak, jadi sekalian saja diselelsaikan. Isinya, seperti yang tergambar dari judulnya, lebih banyak ke serba-serbi pernikahan. Dengan mengambil potret keluarga dakwah. Termasuk lumayan, untuk sebuah buku seharga 10.000 yang saya beli ramadhan kemarin. Oh ya, buku ini cukup provokatif.
Oke-oke. Untungnya masih tetap lima. Tak ada perbaikan memang, tapi tak ada penurunan.

Berikut buku yang masih dalam tahap dibaca:
  • Warisan Sang Murabbi, Pilar-pilar Asasi (sudah 3/4 buku, tapi belum juga selesai)
  • Selimut Debu ( saya masih ingat, buku ini pertama kali mulai saya baca waktu dinas ke Tarakan hampir setahunan yang lalu. tapi berhenti begitu saja)
  • Bete after Merit (Sebenarnya enak dibacanya. Tapi belum selesai-selesai juga. Tinggal beberapa haaman saja sebenare)
Selamat Membaca!

Monday, March 28, 2011

-dendam sejarah-

Ia tumbuh di sebuah perkampungan terpencil. Terkucilkan dari media. Tak terjangkau dari informasi. Hidup dengan cara seperti yang lain hidup. Tidak dalam kondisi kekurangan seperti media masa kini bilang memang, tapi sederhana agaknya kosakata yang pas untuk menggambarkannya. Tentu saja juga miskin fasilitas. Tapi dengan pemahaman yang baik, kala iklan televisi belum begitu buas menghajar keberpijakan anak-anak dalam alam realita, itu akan menjadi sebuahpondasi kuat untuk kelak ia bersikap. Banyak hal yang ingin aku ceritakan tentangnya sebenarnya, tapi untuk bab ini, aku ingin membicarakan sebuah hal : tentang membaca. Ya, sebuah kegemaran langka untuk anak-anak kampungnya jaman itu yang justru tersematkan padanya. Sayangnya, di antara deretan fasilitas yang memang minim, masalah buku juga masuk di dalamnya. Tentu saja ia bukanlah seorang anak dengan orang tua yang melimpahinya dengan hadiah buku-buku, tentu saja juga ia tidak sedang di sebuah lingkungan yang menganggap buku adalah sebuah teman terindah buat anak-anak. Maka ia pun kekurangan. Maka ia pun hanya bisa membaca dari potongan kisah-kisah di buku pelajaran bahasa indonesia. Maka, sebuah jaman telah menghianati kesenangan masa kecilnya.

Tapi, ya Tuhan. Berbilang tahun kemudian, ketika hidup telah mengajarkan banyak hal, ketika waktu telah sempurna meninggi-besarkan fisik-fisiknya, ketika Sang Pencipta Hidup berbaik hati memberinya sebuah kesempatan lebih dibandingkan masa kanak-kanaknya, lihatlah! Lihatlah apa yang kini ia lakukan. Ia dulu memang telah tercerabut dari kegemaran membaca di masa kecilnya, ia dulu memang tak punya banyak buku yang menanti untuk terselesaikan di sela waktu bermainnya, tapi ia sadar. Ia mengerti bahwa itu mesti terhindarkan. Siklus itu tak boleh berkelanjutan. Maka pembalasan itu sempurna sudah tertunaikan. Di sebuah kampung kecil yang terpinggirkan dari hingar-bingar, tidak mirip benar dengan kampung masa keilnya dulu memang, ia putuskan untuk menyediakan buku-buku untuk dibaca. “jangan sampai seperti aku, jangan sampai seperti aku. Anak-anak ini mesti memiliki buku untuk dibaca”, demikian kesahnya.

###

Di sudut lain, di sebuah rumah keluarga kelas menengah di pinggiran kota, seorang lelaki tengah sedikit berang. Tak ada hal luar biasa yang cukup layak untuk membuat ia marah sebenarnya. Tak ada. Segalanya berjalan dengan baik. Siang itu istrinya juga dengan penuh khidmat menyediakan menu makan siang setelah setengah harian ia berjuang di luaran untuk mencari nafkah. Amat normal. Persoalannya kemudian memang teralamatkan pada menu siang itu: nasi jagung.

Baiklah. Ini agaknya memang terdengar lucu. Tapi tahukah kawan-kawan semua, bagi kawan kita ini, nasi jagung adalah sebuah simbol dari masa lalu. Sebuah simbol kemiskinan yang telah begitu erat mencengkeram masa kanak-kanaknya. Nasi jagung adalah menu andalan masa kecilnya dulu. Bahkan telah menjadi menu harian yang senantiasa mengiringi omelan almarhumah ibunya tentang ini-itu. Nasi jagung adalah sebuah simbol ketakberdayaan masa lalu kala jagung bagi orang tuanya jauh lebih murah dibandingkan beras.

Maka kemudian, ketika perjalanan waktu mulai menawarkan kesempatan-kesempatan, ketika perlahan ia mampu melawan kerasnya hidup, ketika ia mampu meninggalkan kegetiran masa kecil, nasi jagung sempurna terlemparkan dari kosakata hidupnya. Tak ada lagi menu itu di hari-harinya kemudian. Tak ada lagi. Lidahnya sudah terlanjur jenuh –lepas itu hanya perkara pikiran. Bahkan untuk sekedar nostalgia masa kecil, nasi jagung itu tak ada dalam hari-harinya. Maka tak heranlah, ketika kebersamaan yang baru berusia setahun dengan istrinya itu, yang bahkan tak tahu dengan kebiasaan uniknya, ketika istrinya bermaksud baik dengan membuat menu selingan untuk menu yang biasa-biasanya, agak sedikit tersinggunglah dia. Ah, tidak! Bukan marah yang sebenar-benar marah sebenarnya. Hanya bermuka masam. Itupun karena ditunggangi oleh capek yang mendera-dera. Nasi jagung itu, seolah mengembalikannya ke dalam kegetiran masa lalu.

###

Terakhir, di sebuah daerah yang terlupakan, di sebuah tempat yang butuh stamina prima untuk menjangkaunya, di satu tempat yang kanan-kirinya dilingkupi belantara, seorang perempuan muda tampak begitu cekatan mempermainkan pirantinya. Sudah satu jam berlalu, dan stetoskop di tangannya sudah berkali-kali ia tempelkan pada kulit pucat orang-orang yang sejak pagi telah berkerumun itu. Obat-obat pun telah mulai menipis, sebentar lagi bahkan akan berstatus habis. Tapi tak ada gurat lelah dalam wajah tegasnya. Keringat memang telah merembes menuruni pipinya yang bersemu merah oleh sebab panas, tapi semangatnya masih saja terjaga. Masih cekatan melakukan ini-itu, masih sabar melayani keluhan-keluhan penduduk yang mengaku menderita penyakit aneh-aneh. “masih banyak pasien, Bapak”, begitu jawabnya ramah ketika sang kepala desa memintanya untuk beristirahat barang sejenak..

Ia mengabdikan diri untuk warga pelosok, itu memang rahasia umum. Tapi ia seorang dokter dengan predikat lulusan terbaik di sebuah PTN ternama tanah air, itu kiranya yang tak banyak orang lain tahu. Bahkan, bahwa ia adalah seorang dokter ‘bodoh’ yang menolak kesempatan untuk berkarir di sebuah Rumah Sakit ternama ibukota, mungkin hanya ia seorang saja yang tahu. Benar-benar naif memang, tapi menjadi hebat pilihan-pilihan itu kala ada keteguhan, ketegasan, cita, dan keikhlasan di dalamnya.

Lalu, ketika sebuah wartawan surat kabar kecil daerah berhasil mewawancarainya, terbukalah semuanya. “Saya orang kampung. Sangat-sangat kampung. Tak ada dokter yang menyuramkan masa depannya dengan mengabdi di sana”, dokter itu dengan terbata mulai berbicara. Matanya menerawang, seolah ada masa lalu yang coba kembali ia eja. “saat itu malam hari. Usia saya masih 12 tahun. Itu lah malam yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup saya. Tiba-tiba, setelah setahun penuh tak pernah mengeluhkan sakitnya, malam itu penyakit bapak kambuh. Suasana benar-benar kalut dan tak ada yang bisa dilakukan selain membawany dengan becak ke puskesmas terdekat. Puluhan kilometer jaraknya, melewati jalan berbatu yang penuh lobang. Tapi apa yang didapat? Ya, setelah perjalanan melelahkan itu, setelah doa kami rapalkan sebisanya memohon bapak bisa bertahan hingga tiba di puskesmas, setelah kami akhirnya mampu menjangkau puskesmas itu, tak ada yang kami temukan selain seorang perawat tak tahu apa-apa yang sedang ketugasan jaga. Tak ada yang bisa disalahkan, hingga satu jam kemudian bapak tiada tanpa mendapatkan pertolongan yang berarti.” Kalimat itu terhenti sebentar sampai kemudian ia melanjutkan,” saat itu, saat itu saya berjanji. Bahwa apapun keadaannya, bahwa seberat apapun jalan menuju itu, saya harus menjadi dokter. Saya harus menjadi dokter yang handal untuk orang-orang seperti bapak . Untuk orang-orang yang tak pernah punya kesempatan untuk memperoleh perawatan kesehatan”


-o0o-

Kawan, di buku pelajaran kita waktu sekolah dulu sering kali tertulis, bahwa pengalaman adalah guru terbaik. Tapi Arie Ginanjar, lewat gerakan ESQ-nya dengan jelas mengatakan, bahwa pengalaman adalah belenggu hati. Tentu, tak perlu ada yang mempersengketakan di antara keduanya. Sebab kata orang bijak yang lain, “selain Ibroh, apalagi yang bisa diambil dari sejarah”

Kepada ketiganya kita bisa berkaca.


#kantor, istirahat siang.

Friday, March 25, 2011

s-e-i-m-b-a-n-g

Lazimnya, memang yang disebut seimbang adalah statis. Keadaan tak bergerak atau diam. Seperti sebuah lampu yang tergantung tenang. Ia dalam keadaan setimbang. Sebab memang gaya beratnya sama persis dengan tegangan kabel penggantungnya. Atau sebuah benda yang melayang di air dalam diam, itu juga setimbang. Sebabnya juga sama, karena gaya-gaya yang bekerja pada benda itu saling meniadakan karena arahnya yang saling berlawanan. Kita sudah pasti tahu bahwa gaya adalah besaran vektor yang mempunyai nilai dan arah.

Tapi, ada sebuah penjelasan yang sering kita lupakan, bahkan pada saat kita masih berseragam abu-abu dulu. Bahwa, seperti yang diungkapkan guru fisika jama SMA dulu, bila resultan gaya yang bekerja pada sebuah benda bernilai nol, maka ada dua kemungkinan yang terjadi pada benda itu. Yang pertama benda itu dalam keadaan diam, yang kedua benda itu dalam keadaan ber-GLB. GLB! Ya, GLB. Di masa-masa SMA dulu kita tahu bahwa GLB itu kependekan dari Gerak Lurus Beraturan. Sebuah gerak dengan laju konstan tanpa ada percepatan ataupun perlambatan.

Hanya itu? Tak! Pada pelajaran kimia dulu kita juga telah diajarkan tentang reaksi bolak-balik yang berkesetimbangan. Guru KIMIA saya dulu mendemonstrasikan fenomena ini dengan sebuah peragaan yang cerdas. Ada dua erlenmeyer di depan seorang siswa peraga. Satu erlenmeyer berisi air seperempat bagiannya, sedangkan erlenmeyer satunya tak terisi air sama sekali. Sedangkan si peraga, memegang pipet di kedua tangannya. Kemudian yang perlu siswa peraga tadi lakukan hanya satu; saling memindahkan kedua isi erlenmeyer itu dengan kedua pipet yang ada di tangannya. Memang yang terjadi, mulanya pipet yang memindahkan isi erlenmeyer yang kosong itu hanya memindahkan angin saja, tak ada yang terpindahkan. Namun seiring waktu, seiring ia mulai terisi akibat perpindahan dari erlenmeyer yang terisi seperempat air tadi, sedikit demi sedikit ada yang biasa dipindahkan balik. Sedikit demi sedikit, hingga tercapai sebuah keadaan kala kedua isi erlenmeyer itu sama isinya. Bila hal itu terjadi, maka keadaan tak akan pernah berubah. Meski siswa peraga itu sehari semalam saling memindahkan isinya dengan dua pipet identik itu, isi kedua erlenmeyer itu akan tetap segitu saja. Sebabnya memang itu, laju perpindahan kedua erlenmeyer itu sama. Seberapa yang ia pindahkan, seberapa itu pula yang dipindahkan ke dirinya juga. Demikian terus menerus, tak henti.

Sebenarnya itu tak menggambarkan betul. Tapi itulah pendekatan yang bisa dilakukan. Pada kenyataannya, sebuah reaksi bolak-balik yang berkesetimbangan, tak melulu sama jumlah antara reaktan dan produknya (seperti samanya isi air dua erlenmeyer tadi). Tapi tentang laju ke kanan sama dengan ke kiri, itu yang sama. Hingga konsentrasi reaktan dan produk akan tetap segitu saja meski reaksi dibiarkan berlangsung terus-menerus. Orang-orang awam akan menganggap bahwa reaksi telah berhenti dengan hanya melihat bahwa tak ada yang berubah pada konsentrasinya. Padahal nyatanya tidak. Padahal nyatanya karena reaksi ke kanan sama dengan reaksi ke kiri tadi.

Ini artinya apa? Tak banyak –meski yang lain mungkin berkata sebaliknya. Hanya sebuah pengertian bahwa seimbang, tak melulu identik dengan stagnansi yang statis secara gerak. Tidak. Maka harusnya tak ada keraguan untuk bersetimbang diri hanya karena sebab ketakutan itu. Takragu. Sebab ia tak akan mematikan. Kekhwatiran ia akan mematikan langkah, hanya terdiam, itu sama sekali tak beralasan. Setimbang masih memberi kita peluang untuk bergerak, laksana ber-GLB tadi. Setimbang juga tetap memberi kita peluang untuk memberi, sekacau apapun keadaan kita kala itu. Laksana reaksi berkesetimbangan tadi, akan tetap bereaksi untuk memberikan produk, sekecil apapun konsentrasinya.

Ya ya ya. Kemudian kau mungkin akan mengemukakan kosakata ini; kebosanan. Keadaan yang tetap, seperti kecepatan yang tetap pada GLB, seperti konsentrasi yang segitu-segitu saja pada reaksi kesetimbangan, tak bisa dipungkiri akan memunculkan kebosanan yang berujung pada kejenuhan. Bila itu terjadi, stagnansi boleh jadi tak salah untuk disematkan meski sejatinya tetap bergerak. Dan ini yang justru letak berbahayanya. Ketika kau bersedih di sebuah keadaan yang harusnya bahagia, itu jauh-jauh lebih memilukan dibandingkan kau yang bersedih di sebuah keadaan yang memang sudah sewajarnya bersedih.

Tapi percayalah! Akan selalu ada jalan keluar. Ketika gerak lurus dengan laju konstan itu mulai menjemukan, itulah kemudian gunanya tanjakan, itulah kemudian manfaat tikungan, itulah kemudian faedah polisi yang tiduran. Ya, kita memang perlu menyepakati ini, bahwa berkendara dalam sebuah jalan yang lurus nan lengang dengan kecepatan segitu-segitu saja, memang ada bahayanya juga. Ngantuk bisa dengan halus menyerang. Amat lembut, perlahan-lahan. Lalu yang terjadi amat tak tertanggungkan; selip, menabrak pembatas jalan, sukur-sukur kalau tak terjerumus ke jurang. Maka, tanjakan, tikungan, lubang-lubang, atau polisi tidur tadi, adalah sebuah variasi untuk mewarnai aktivitas gerak lurus beraturan kita tadi. Sebuah polisi tidur akan memakasa kita mengurangi kecepatan jika tak ingin penumpang didalanya terlunjak-lunjak. Dan untuk mengurangi kecepatan, kita perlu mengerem untuk memberikan perlambatan. Ya, memang, ada gesekan di sana. Ada energi yang sia-sia terkonversi menjadi kalor. Tapi tak apa. Sebab itu sesaat saja, sebab yang kita dapatkan dari itu boleh jadi lebih banyak. Itu akan memberi kita kesadaran, tak terbuai dengan laju yang mulus nan datar-datar saja. Begitu juga tikungan. Begitu juga tanjakan dan lubang-lubang kecil di jalanan. Itu menjadi penting. untuk sebuah kesadaran, untuk sebuah evaluasi diri. Setelah itu kita boleh saja ber-GLB lagi, untuk kemudian menemui tikungan lagi, lubang lagi. Begitu seterusnya. Begitu seterusnya.

Tapi percayalah! Akan selalu ada jalan keluar. Ketika reaksi berkesetimbangan itu mulai menjemukan, itulah kemudian guna lingkungan. Ya, kita memang perlu menyepakati ini, bahwa sebuah reaksi yang telah mengalami kesetimbangan memang laiknya sebuah zat yang sudah berhenti bereaksi. Tak ada perubahan yang teramati. Bertahun-tahun tetap seperti itu memang agaknya tak baik juga. Maka lingkungan itu tadi yang berperan. Ah, kita perlu mengahangatkannya. Kita perlu memberi tambahan kalor untuk menaikkan suhu guna menggeser-geser kesetimbangan. Panas, akan menggeser reaksi ke arah reaksi yang endothermis, hingga laju reaksi yang ke arah endothermis lebih besar dari pada yang ke arah eksothermis. Hingga keadaan menjadi berubah, hingga konsentrasi tak lagi sama, hingga suasana baru kembali tercipta, hingga kesetimbangan baru lah yang ada. Suatu saat, kejemuan dengan kesetimbangan yang sudah baru itu boleh jadi kambuh, tapi kita sudah tahu obatnya. Kalau tak menghangatkannya, mungkin kita perlu mengubah tekanannya.

Begitulah, ini mungkin sebuah pendekatan yang terlalu teoritis. Dari seseorang yang juga belum setimbang. Boleh jadi terbantahkan. Tapi yakinlah, jika benda mati saja bisa bersetimbang, dan tetap setimbang meski berkali-kali dapat gangguan, maka harusnya kitapun, yang telah dibekali dengan banyak hal, mampu melakukannya dengan lebih baik. Bahkan jauh-jauh lebih baik.

Kecubung 17


*Maaf, Anda mungkin bingung membacanya. Jadi, sebuah apresiasi yang tinggi jika berhasil menyelesaikannya.

Recharge energi : nelpon rumah

Recharge energi : nelpon rumah

Saturday, March 19, 2011

tentang teko yang saling mengisi

Ternyata, kau masih setia bertandang seperti dulu. Selepas isya dan aku yang akhir-akhir ini tak merasa perlu membawa piranti elektronikku, menemukan pesanmu. Kau tahu, kau lah satu dari sedikit yang tersisa yang masih setia meriuhi suasana.

“kok antum nggak pernah kirim tausiyah lagi? Tak kasian kah?”, demikian tulismu. Kemudian, ada gerak bibir lembut melengkung membentuk gurat senyum. Tak ada cermin, tapi aku tahu begitulah rupaku kala itu. Huruf-huruf boleh jadi menjadi keping-keping tak bermakna. Tapi saat disejajarkan dengan sesamanya, ditambah pencetan spasi, sedikit tanda baca, maka sebuah sejarah bisa saja terlahirkan.

Inilah memang. Ada sebuah saat kita merasa sendiri dan sepotong SMS karib adalah ramuan istimewa tabib istana. Ajaibnya lagi, kita tak merasa perlu mengahabiskannya sekali teguk untuk merasa tersembuhkan. Aku menyimpanny, dan kuharap kau juga menyimpannya. Bukan sisanya, sebab memang tak berkurang secuilpun sampai kita memutuskan untuk menghilangkannya. Maka, kelak kita akan kembali tersenyum atau terharu saat teringat dan kembali mereguknya.

“yang diminta tidak tak lebih membutuhkan daripada yang meminta”. Lalu sampaikah kalimat itu di kediamanmu yang mungkin lebih riuh? Maaf. Mungkin berbeda dengan yang kau minta. Tapi kesadaran bahwa kita adalah sepasangan yang saling membutuhkan, atau teko yang saling mengisi, adalah juga tausiyah terindah. Benar-benar indah.

Ramai. Malam ini benar-benar ramai, Kawan! Ada pertandingan bola di stadion. Ada pernikahan juga di gedung sebelahnya. Kendaraan terparkir di kanan-kiri jalan. Tapi aku melaju di antaranya dalam sepi. Sampai kutemukan pesanmu. Satu setengah jam setelahnya, aku tertidur di sofa, sembari memeluk 519 halaman Eliana. Di televisi yang aku yakin masih menyala, ada Bontang FC melawan Semen Padang. Aku bahkan tak tahu hasil akhirnya hingga pagi harinya.



#kalau sudah kebanyakan melon begini, saatnya berganti semangka

Friday, March 11, 2011

surat buat (bakal) wali kotaku

Bapak yang terhormat, hari ini, tepat dua tahun keberadaanku di kota ini. Kalau bapak ingin periksa, maka akan Bapak temukan KTP dengan domisili Bontang di sana. Tenang! Aku tak perlu menyogok aparat pemerintah untuk mendapatkannya. Aku mendapatkannya lewat jalan yang memang seharusnya. Namaku insyaAllah sudah tertera di cataan sipil kotamu ini, kota yang sebentar lagi dititipkan untuk Kau kemanakan selanjutnya. Selanjutnya, jika Bapak berkenan, cobalah periksa di catatan sipil kota asalku, Pasuruan, tentunya tak akan tertemukan nama Iqbal Latif sebagai salah satu penduduknya.

Mungkin dua tahun adalah bilangan yang terlalu kecil untuk bersuara. Mungkin dua tahun adalah periode yang terlalu singkat bagiku untuk mengerti hal tentang kotamu ini. Tapi izinkanlah, Pak, di hari yang spesial ini, aku menyuarakan satu dari sedikit kegalauanku ini. Ah, maafkan aku juga, jika bahkan sebelum kau resmi dikukuhkan menjadi pemimpin kami, aku telah menghujanimu dengan pekerjaan-pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan. Tapi harapanku memang ini, pak; karena belum dikukuhkan itu lah, karena kuyakin energi itu masih dalam puncaknya, aku berharap keinginan sederhana ini dapat masuk ke dirimu dengan cara paling menghunjam, sehingga semoga dengan cara yang tak kalah menghunjam jugalah gebrakan-gebrakan atas keinginan kecilku ini dapat terimplementasikan.

Baiklah! Baiklah, Pak! Sebelum aku berpanjang lebar, dan bapak menyangka aku adalah seorang anak muda yang tak tahu diri, baiklah, akan aku perkenalkan diriku. Aku, sama seperti halnya Bapak mungkin, adalah seorang pendatang. Ah, ya, pastinya sudah Kau ketahui dari pembukaan suratku ini. Namaku pun juga sudah kusebutkan di atas. Asalku? Ah, ternyata juga ada. Satu yang sepertinya belum ada, sesuatu yang kemudian membuatku merasa punya hak lebih untuk menyuarakan keinginan sederhanaku ini, bahwa pada pemilihan umum yang melibatkanmu sebagai salah satu kontestannya, dengan penuh kesadaran, aku telah memilihmu sebagai pilihanku. Orang-orang boleh saja berpikir kalau satu suaraku tak menentukan banyak, bahwa tanpa aku pun bapak akan dapat melenggang memenangkan pemilihan itu dengan satu putaran. Tapi menurutku, Pak, bila kita bisa mengambil sudut pandang lain, bukankah satu suara itu adalah sebuah saham tentang adanya bagian diriku pada tanggung jawab yang bakal bapak emban? Maka untuk itulah aku punya kepentingan untuk terlaksananya tanggung jawab itu dengan baik. Maka untuk itulah aku masih tetap berkepentingan memberikan masukan untuk sebuah perbaikan.

Maka jadilah tulisan ini. Tenang! Aku tak akan menuliskan banyak hal. Seperti yang kusebutkan sebeluknya, aku hanya akan menyampaikan hal sederhana ini. Hal yang teramat dekat denganku. Hal yang jauh lebih aku mengertii dibanding hal lain. Hal yang aku cintai. Tidak! Aku tak akan membicarakan hal yang tidak dengan benar aku ketahui. Cukuplah sudah negeri ini begitu bising dengan orang-orang yang tak mengerti persoalan tapi sibuk berkoar-koar laksana ia lah memang satu-satunya pakar. Cukuplah sudah negeri ini yang terombang-ambing ke sana kemari oleh polutan komentar yang tak berdasar. Cukup! Maka aku akan berbicara tentang sebuah hal yang aku sukai, yang aku begitu dekat dengannya. Sebab hal ini begitu penting. Sebab seseorang yang mencintai dengan benar sebuah hal, tak ada hal lain yang ingin ia harapkan dari satu hal itu selain perbaikan.

Aku hanya ingin membicarakan masalah buku dan membaca. Tak terlalu muluk, bukan? Tentunya hal ini terdengar begitu remeh dibandingkan program lima puluh juta per-Rt yang kau usung. Tapi itulah justru yang membuatku khawatir. Sebab sifatnya yang terlihat begitu remeh itulah, sebab isunya yang tak terlalu menjual itu lah, aku khawatir kau hanya mendengarnya lewat telinga kiri, untuk kemudian kau lepaskan lewat telinga kanan. Menyedihkan! Sungguh menyedihkan bila hal itu benar terjadi. Rasa percayaku padamu akan langsung berada di level terendah jika itu yang jadi kenyataan.

Buku dan membaca. Harusnya kau sudah mengerti ke manakah arah pembicaraanku ini. Perpustakaan, Pak! Perpustakaan! Ah, kau harusnya mengetahui betapa bahagianya hatiku ketika di awal-awal aku menginjakkan kaki di kota ini, kutemukan bangunan dengan pelataran luas itu. Butuh beberapa waktu terlewat untuk kemudian aku memasuki pelatarannya, memasuki ruangannya, dan menginderai apa-apa yang ada di dalamnya. Mulanya aku sedih, Pak! Sedih melihat hanya satu dua motor yang terparkir di luarannya, yang menunjukkan berapa orang pengunjungnya. Tapi kemudian aku tersadarkan, tepat ketika sudah berdiri dengan sadar di ruangan yang disebut dengan perputakaan kota Bontang itu, bahwa jarangnya pengunjung perpustakaan itu dapat dimaklumi. Ah, tak perlu jauh-jauh mengambinghitamkan indeks membaca masyarakat indonesia yang begitu jongkok, tak perlu juga mengalamatkan persoalan pada tingkat pendidikan masyarakat kita yang rendah hingga bukanlah membaca menjadi hobinya, serta tentu saja juga tak perlu menyalahkan dengan membabibuta acara televisi yang membuat orang-orang lebih suka nyerocos bergosip kemana kemari dibandingkan bertafakur menekuri bacaan. Tapi apa yang ada di perpustakaan itu lah yang menjadi inti dari permasalahannya.

Baru kali itu, Pak, baru kali itu aku tak antusias berada di perpustakaan. Miris sekali memandang apa yang ada di situ. Tak cukup banyak buku yang tersedia. Bayangan sebuah perpustakaan yang ruangannya penuh dengan rak-rak sarat buku berjajar benar-benar tak tergambar. Bahkan, ketika aku mencoba melihat-lihat buku yang ada, yang sebagian teronggok begitu saja di kardus-kardus, tak ada yang menarik hatiku. Pemandangan ini, Pak. Pemandangan ini sungguh-sungguh sebuah ironi mengingat APBD kota kecil ini yang katanya mencapai setrilyunan rupiah. Maka kata-kata yang ringkas untuk keadaan perpustakaan kita itu adalah ini, Pak: tak menarik. Itu hampir dua tahun yang lalu. Aku rasa tak ada perbaikan yang telah dilakukan oleh penguasa sebelum Bapak. Hingga aku tak pernah ke sana lagi.

Pikiranku sederhana saja, Pak! Untuk sebuah masyarakat yang tak menjadikan membaca sebagai kegemarannya, tentunya perlu sebuah usaha yang lebih untuk menggemarkannya. Aku membayangkan sebuah perpustakaan yang luas –yang sudah cukup terpenuhi dengan bangunan perpustakaan kota kita. Lalu rak-rak sarat buku yang berjajar. Juga tentunya buku-buku dengan berbagai bidang dan target pembaca berada di dalamnya. Tentunya, buku-buku yang tersedia adalah buku-buku yang terus up date. Mungkin, sepuluh buku baru tiap bulannya sudah lumayan. Itu mungkin sekitaran lima ratus ribu saja. Tak telalu berat, kan, untuk sebuah pengeluaran demi perkembangan masyarakat? Jikapun itu dirasa berat, aku kira sebuah surat sakti ke perusahaan-perusahaan besar di kota ini sudah lebih dari cukup untuk mendatangkan bantuan. Dana CSR mereka tentunya butuh untuk dikeluarkan. Hanya niat saja yang kini perlu dibangun. Sebuah tekat. Sebuah keinginan untuk memajukan masyarakat dengan membaca.

Maka jika perpustakaan itu sudah begitu menarik, lalu yang perlu dilakukan adalah menarik pengunjungnya bertandang ke sana. Yang paling mudah tentunya menggerakkan murid-murid. Guru-guru bisa mengajak muridnya berwisata ke sana. Seharian, atau setengah harian. Tak perlu belajar di kelas dulu. Membiarkan mereka berinteraksi dengan buku. Membiarkan mereka berlarian di lorongnya. Mempersilakan mereka meneliti tiap judul buku di dalamnya. Ah ya, Perpustakaan ini nantinya juga memiliki perpustakaan keliling. Sebuah mobil yang penuh dengan buku berkeliling ke perkampungan-perkampungan meminjamkan buku. Tak pernah bosan. Tak pernah lelah. Menelusuri pelosok Bontang. Hingga sampailah pada sebuah masa, perpustakaan kita ini menjadi sarana bagi orang-orang berakhir pekan bersama keluarga.

Program ini tak populis, Pak! Ini tentunya tersadari dengan benar. Tapi dibanding program lima puluh juta per RT yang kau usung itu, aku merasa program ini jauh-jauh lebih produktif. Memasyarakatkan membaca artinya memasyarakatkan belajar. Memasyarakatkan membaca artinya memasyarakatkan bercita-cita besar. Maka menciptakan masyarakat gemar membaca adalah sebuah usaha menciptakan masyarakat yang cerdas, masyarakat yang kritis, masyarakat yang bercita-cita besar. Mereka akan belajar tentang kerja keras orang pedalaman itu dari ikal dalam Laskar Pelangi, belajar kesungguhan dari Alif lewat Negeri Lima Menara, belajar keikhlasan dari Delisa dalam Hafalan Sholat Delisa. Tubuh mereka masih di Bontang, tapi pikiran mereka akan berkelana bersama buku-buku yang mereka baca. Bahkan mereka akan berkeliling dunia tanpa perlu mengeluarkan ongkos perjalanan. Mereka akan jadi profesor tanpa melulu memakan bangku kuliahan.

Kau tentunya tak akan bekerja sendirian. Kau kerja di doaminmu, kami kerja di domain kami. Pastikan saja apa yang menjadi wilayahmu yang tak terjangkau kami, benar-benar terlaksanakan dengan benar. Pastikan orang-orang yang bekerja di perpustakaan kota kita ini adalah orang-orang yang mencintai buku. Orang-orang yang tersenyum kala buku-buku di perpustakaan tergeletak begitu saja di meja sebab itu artinya ada yang mau membaca, orang –orang yang berbahagia kala pengunjung meramai meski itu artinya pekerjaan bertambah, orang-orang yang dengan sepenuh cinta menyampuli dan merawat tiap buku perpustakaannya. Bahkan orang-orangnya ini lah yang penting. Sebab orang yang mencintai buku, Pak, akan selalu mencari cara agar orang-orang lain juga melakukan hal yang sama. Iya tak pernah cemburu kala orang lain mencintai hal yang sama dengan yang ia cintai. Ia justru senang. Ia justru berbunga-bunga.

Ini tentu saja bukan kerja instan. Ini tentu saja juga bukan kerja yang bakal memastikan Bapak bakal terpilih lagi di pemilihan berikutnya. Tapi ini adalah sebuah kerja besar untuk sebuah cita-cita besar, untuk sebuah perubahan besar. Maka ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang besar.

Demikian, Pak! Aku baru menyadari kalau aku sudah terlalu panjang menuliskan surat ini. Semoga Bapak tak ketiduran membacanya. Oh, ya, seperti yang kuungkapkan di depan, hanya sekali saja aku berkunjung ke perpustakaan kota kita itu. Aku sudah tak tahu perkembangannya. Aku sudah tak percaya kepada pemimpin kota ini. Maka aku bekerja sesuai caraku. Hingga kau terpilih, hingga aku tiba-tiba saja menaruh banyak harapan padamu. Maka aku berharap, harapanku berjawab kerja nyata.




sebuah persembahan dua tahun keberadaan
110309-110311




Thursday, March 10, 2011

Tuesday, March 8, 2011

Saturday, March 5, 2011

--tak berjudul--

Bukan kebetulan! Sebab memang sejatinya tak ada yang namanya kebetulan. Sebab kebetulan hanyalah kosakata buatan manusia untuk membahasakan ketaktahuannya. Sebab ada skenario. Ada garis-garis penghubung yang tak terindera yang sedang bekerja. Juga ada yang menggerakkan atas sebuah pilihan-pilihan, kehendak-kehendak hati, juga gerakan-gerakan tubuh.

Maka di hari itu. Ketika buku-buku separuh baca yang kau letakkan di tempat strategis hingga sewaktu-waktu bisa kau baca tak mampu meredakan apa-apa yang sebenarnya tak juga kau tahu pasti, ketika bahkan kau telah beranjak ke halaman berikut dari buku itu tapi tak satupun yang terserap –hingga kau memutuskan untuk menutupnya dan meletakkan pembatas buku kembali ke awal halaman kau membacanya, maka bertakbirlah. Bertakbirlah atas dzat yang menggerakkan. Sebab ketika kau buka kembali lemari bukumu, mencermati tiap judul pada deretan buku yang belum terbaca, tentu saja ada kekuatan lain yang menggerakkan tanganmu untuk kemudian memilih buku itu. Menyeretnya keluar dari impitan kawan-kawannya yang lebih kekar. Mengamati sekilas. Lalu memutuskan untuk membawanya ke sofa. Mencoba membacanya. Mencoba melakukan hal yang sama, yang beberapa saat yang lalu gagal terterapkan pada buku lain.

Bertahmidlah! Duhai, jika Dia telah memutuskan untukmu sebuah penerangan, maka sesungguhnya taka akan ada yang mampu menggelapkan. Segala puji baginya. Ah, kau sebenarnya tak menginginkan hal yang muluk. Kau sebenarnya hanya ingin berusaha mengembalikan gairah membacamu yang menurun. Tapi, kau tentunya tak akan kuasa menolak, bahkan harusnya dengan suka cita menerima, ketika hal yang lebih justru kau raih. Sebab Dia lah yang berkehendak, sebab Dia lah yang menentukan dengan cara seperti apakah pencerahan itu tersampaikan. Sebab Dia lah yang kemudian mengingatkanmu kembali dengan cara yang, semoga tebakanku benar, kau senangi. Sebab sebuah buku itulah yang kemudian menjadi formula ajaib atas apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini, atas sebuah hal penting yang sadar atau tak sadar pelan-pelan terlupakan—kau benar, waktu memang serringkali menyembuhkan, tapi tak jarang juga melumpuhkan. Sebuah buku yang tak melulu bercover mentereng, atau besutan penulis kawakan.

Tak ada yang kebetulan. Sebab memang sejatinya tak ada yang namanya kebetulan. Sebab kebetulan hanyalah kosakata buatan manusia untuk membahasakan ketaktahuannya. Yang diperlukan adalah percaya, bahwa akan selalu ada campur tangan Allah di setiap urusan.





#maafkan hamba. Mungkin tinta ini yang kering, hingga surat kosong lah yang kemudian sampai pada Paduka.