Friday, April 29, 2011

catatan seorang kawan; kebersamaan

#2

“main-mainlah ke rumah. Sekali-kali”

Itu adalah perkataannya. Berbulan waktu sejak pertemuan di masjid itu. Saat itu ia main ke rumah, berniat meminjam buku. Ia memintaku untuk sekali-kali berkunjung ke rumahnya.

Sejak pertemuan aneh itu, perkawanan itu berjalan amat baik. Tak banyak petemuan-pertemuan terencana memang. Lebih banyak pertemuan-pertemuan tak disengaja. Lagi-lagi masjid tempat kami pertama kali bertemu sebagai latarnya. Ia memang tak selalu sholat di masjid dimana aku sholat. Ada masjid yang lebih dekat dari rumah yang dikontrakkan perusahaan buatnya.

“mungkin sekitar satu tahun”

Itu adalah jawabannya ketika aku tanya tentang berapa lama ia bakal berada di kota ini. Ia memang tidak sedang bekerja di sebuah perusahaan permanen seperti aku bekerja sekarang. Ia bekerja di sebuah kontraktor yang kebetulan mendapatkan job di sebuah perusahaan kota ini. Suatu saat, ketika pekerjaan itu tuntas, kalau tak ada perpanjangan, pastinya ia akan berpindah ke tempat baru lagi. Ke perusaan baru yang membutuhkan jasa perusahaan dimana ia bekerja.

Berbulan telah lewat, dan aku mulai dapat merangkai banyak hal. Mengingat hal-hal lalu yang sedikit banyak terlupakan. Aku telah melihatnya sebelum-sebelumnya, ngobrol dengannya, tentu saja memang pernah. Perlahan aku juga ingat kalau pertemuan pertama kami sepertinya di sebuah dauroh. Mungkin sekitar 4-5 tahun yang lalu. Di sebuah masjid juga. Ini memang sebuah rahasia yang unik; orang-orang yang kita kenal di masjid, seringkali bakalan menjadi orang-orang yang punya tempat khusus dalam hidup kita.

Ada teman lain yang seusia, berada di luar pekerjaan sehari-hari, adalah anugerah. Tak bisa dipungkiri kalau itu memberi warna. Ditambah kenyataan bahwa ada banyak kesamaan diantara kita, kian menambah spesial hubungan itu. Maka kami pun mulai menghadiri acara khusus bersama, mulai nyaman mengobrolkan hal pribadi sembari tertawa, saling share tentang kemungkinan-kemungkinan.

“makan malam, yuk”

Ini juga penawarannya, suatu saat ketika kita bertemu di waktu isya’. Aku tersenyum, dengan sedikit tak enak mencoba menolak. Alasannya bukan karena aku tak ingin. Tapi karena aku baru saja makan. Memang, jadwal makan malamku sekarang tak pernah melebihi isya’.

“lain kali saja, ya?”, lanjutku. Kelak aku sadar, tak ada lain kali yang kumaksud itu.

“baiklah”.

Saat untuk menangis

cerita seorang kawan; pertemuan

#1

Ketika sepertinya sebuah suara menyapa, hari itu, di sebuah masjid ketika aku hendak saja meninggalkannya, refleks aku menoleh. Masjid sudah beranjak sepi dan aku yakin kalau dia lah, seorang lelaki seusiaku yang sedang berjalan menujuku, yang memanggilku. Wajahnya seperti tak terlalu asing, terlihat menyenangkan, tapi aku gagal menemukannya dalam memori otakku.

Lalu ia memanggil namaku.

Aku mengernyitkan dahi. Berusaha lebih keras menemukan sepotong wajah itu dalam bilik-bilik ingatanku. Tapi lagi-lagi gagal. Ini adalah kota antah berantah, amat jauh dari duniaku di awalnya. Hanya beberapa saja yang mengenaliku. Umumnya rekan kerja.

Tapi tak ada rekan kerja yang menyapa dengan ekspresi semacam ini. Di pekerjaan sudah kerap bertemu, maka tak seantusias inilah kala menyapa. Sedang ini..? Sebentar! Aku sepertinya teringat, meski ragu. Ini adalah sapaan khas yang boleh jadi telah lama tak kurasai. Tapi dimana?

Ah, payah sekali aku. Bahkan ketika ia mengulurkan tangannya untuk menjabatku, menyebutkan nama, otakku masih saja buntu tentang siapa dia. Tapi tak ada ketersinggungan dalam sikapnya. Ini yang aku suka. Sebaliknya, dengan telaten ia membimbingku menemukan dirinya dalam memoriku.

“ana dulu di Dekkim”

Dekkim adalah kependekan dari D3 Teknik Kimia. Itu adalah jurusan yang dekat dengan jurusanku secara keilmuan. Tapi cukup jauh jarak kedua kampusnya. Sepertinya itu sudah menjadi sebuah alasan yang bagus,  masih cukup wajar jika aku tak mengenalnya.

“setelah itu mengambil lintas jalur S1”

Sebentar, sebentar! Itu artinya ia sempat satu jurusan denganku. Berada dalam satu tempat dan satu waktu. Apalagia ia menyebut dirinya seangkatan denganku. Itu artinya, di tahun pertamanya ia menjalani lintas jalur S1, aku menjalani tahun keempatku. Oh, memang benar-benar payah kalau aku tak mengingatnya. Tapi, ah, bukannya di tahun keempat itu aku sudah jarang kuliah? Lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium. Bukankah juga anak lintas jalur lebih sering masuk malam hari? Wajar sekali jika tak sering beririsan. (Ups! Aku ingat, masa tugas akhir adalah titik rawan pertama sekaligus kedua)

“ ana ngelabnya di Thermo. Sama elok”

Baik. Baiklah! Tak menjadi penting apa aku mengenalnya di masa lalu. Persaudaraan yang ia tawarkan di saat ia menjabat tanganku, itu jauh lebih penting. Senyum yang ia bagi saat itu, yang ia inginkan hal sama ada padaku, itu jauh lebih berarti.

Maka, kawan! Aku ingin berbagi satu hal padamu: hari itu aku menemukan (kembali) saudara baru.

Friday, April 22, 2011

Hanya Ada Jurang Batu Bara, Tak ada Hutan Di Kaltim

Benar, kebenaran tanpa kekuatan, hanyalah kelemahan.

Hari ini aku membaca berita itu, lewat surat kabar lokal yang sebenarnya jarang kubaca. Tentang sebuah konsensi tambang seluas 3000 hektar di kutim yang bakal (atau sudah) hadir. Nama baru sepertinya.Menjadi fantastis, sebab katanya bahkan melebihi besarnya KPC. Tak tega rasanya melanjutkan membaca. Tak sampai hati membayangkan dampaknya. Ya Tuhan, aku bahkan pernah menyaksikan sendiri jurang raksasa hasil eksplorasi KPC itu. Menyaksikan berton-ton batu bara diangkut truk-truk super raksasa yang bergerak perlahan menyusuri jalan berdebu. Raksasanya, dapat kau bayangkan dengan membandingkan rodanya yang setinggi mobil konvensional. Tak hanya itu, conveyor sarat batubara pun begitu mulus berputar mengangkutnya hingga pelabuhan. Disana, tak pernah sepi, dengan angkuh telah berderet mengantri ponton-ponton raksasa yang siap melayarkan emas hitam kita itu. Entah kemana. Boleh jadi mengarungi samudera, menuju ujung dunia.

Ya, kita tak bisa menafikan. Ada masyarakan sekitar yang satu dua menjadi buruh kasarnya, mendapatkan nafkah. Beberapa mungkin tergerakkan ekonominya dengan keramaian yang tercipta. Bantuan-bantuan kecil.Tapi akibatnya, yang justru jauh lebih menganga, sungguh mengerikan. Hutan-hutan gundul dengan cekungan luas dan dalam. Lingkungan rusak. Bahkan di kota tetangga, penambangan kecil-kecil mulai merambahi kota. Membuat semrawut panorama.

Lalu menjadi sebuah ironi kala kota-kota yang dipenuhi limpahan energi ini, justru lebih sering menghadapi pemadaman listrik bergilir. Kekurangan daya, terlalu banyak beban. Atau apalah sebutannya. Padahal, asal kalian tahu, berponton-ponton batubara itu, jika saja tak diangkut ke luar negeri sana untuk mengayakan sekelompok kecil orang, sudah lebih dari cukup untuk digunakan membangkitkan beratus atau bahkan beribu ton steam perjamnya. Dan dari steam itu, bermega-mega watt listrik bisa dibangkitkan lewat steam turbin generator. Lalu akan berapa rumah teraliri, lalu akan berapa senyum ternyalai.

Tapi entahlah, aku tak tahu apa yang ada di benak pemegang kebijakan (kalau memang yang diputuskan memang sebuah kebijakan). Gubernur dengan tangan terbuka mempersilakan konsensi tambang terbesar itu. Itu yang kubaca di surat kabar lokal itu. Berbicara tentang banyaknya keuntungan yang bakal diraih. Tentang infrastruktur yang bakal dibangun, tentang tenaga kerja yang bakal terserap. Ah ya, tentu saja itu hanyalah pengeluaran kecil untuk hasil besar yang akan mereka raup.

Kaltim benar-benar membangun. Membangun dengan merongrong alamnya. Mengurasi isi buminya, menggunduli hutannya. Menyisakan entah untuk anak cucunya.

***

Tapi ada sedikit harap, ada maksud baik dari kebijakan ini. Yang gagal untuk aku identifikasi. Semoga.

Wednesday, April 20, 2011

(potongan cerita): maunya sih tentang kartini

Pagi ini tak kudengar suara panggilan ibu untuk menyuruhku segera sarapan. Aku ingin bersikap biasa saja, tapi entah mengapa tak bisa. Sudah jam sembilan, tapi aku masih malas-malasan di kamar. Tentunya ibu merasa tak enak menggangguku setelah kejadian kemarin sore. Ia pastinya kikuk menghadapi hal seperti ini, tak tahu mesti bagaimana harus bersikap. Ia tak memilki pengetahuan apapun tentang hal ini, tentang mengapa setelah diterima seseorang masih harus daftar ulang dengan menyerahkan uang begitu banyak. Untuk apa uang itu? Apakah untuk pintar seseorang terlebih dahulu harus kaya?

Tok..tok…tokk. pintu kamarku ada yang mengetuk.

“Iya, masuk saja, bu”. Aku sudah yakin kalau itu ibu, semua kakakku maupun  bapak pastinya sudah pergi bekerja jam-jam seperti ini. Aku juga biasanya membantu mereka.

Pintu kamarku terbuka. Ibu masuk. Ia tak tersenyum, tidak juga cemberut. Ia masih berwajah teduh seperti biasanya.

“Nggak makan dulu?”

Aku sebenarnya ingin bilang belum lapar, tapi demi melihat ekspresi muka ibu aku urungkan. “Iya, sebentar lagi, bu”.

“Ibu masakin sayur kesukaanmu lo…sayur rebung. Kebetulan waktu ke kebun tadi ada yang sudah tumbuh”.

Aku tersenyum. Memandangi wajahnya. Ia selalu punya kejutan-kejutan kecil bahkan untuk momen seperti ini.

“Ayo, cepet”

“Bu--?”

Ibu menoleh. Air mukanya berubah. “Ya?”

Ganti aku yang gelagapan. “Nggak jadi deh”

“Katakan saja, anakku”

Anakku? Jarang sekali ibuku memakai panggilan itu. Begitu menentramkan. Aku berhenti lama, sebelum mulai berkata-kata.“bu, dulu, waktu ibu berhenti sekolah pas kelas tiga SD karena hanya sampai kelas itu adanya, pernah nggak terpikir di benak ibu untuk bisa melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi. Pingin lebih”.

Ibu terdiam. Serendah apapun pendidikannya, ia tahu ini adalah pertanyaan yang sangat penting dan sensitif bagiku. Ia merenung, seolah menyusuri potongan kisah berpuluh tahun yang lalu, masa kecilnya. Berdasarkan cerita ibu dulu, ia hanya sekolah SD sampai kelas tiga, karena hanya itu saja kelas yang ada di desanya, juga desaku yang sekarang ini. Untuk bisa melanjutkan ke kelas yang lebih tinggi harus berjalan kaki ke kota kecamatan. Hanya orang-orang tertentu saja yang selanjutnya melanjutkan ke kota kecamatan, kebanyakan adalah laki-laki.

“Nak, dulu ibu sekolah hanya biar bisa baca tulis saja. Itu yang dikatakan kakekmu. Ibu tak punya bayangan lain. Bagi kakekmu, yang penting belajar ilmu agama di madrasah. Dan ibu menurut. Kakekmu pasti tahu yang terbaik bagi ibu. Ibu hanyalah seorang perempuan yang nantinya melayani laki-laki, suaminya”.

Sesederhana itukah? Aku ingin membantah dan mengejar pernyataan ibu itu, tapi itulah mungkin yang ada di benak ibu. Kesederhanaan dalam bersikap.

“Tapi nak, ibu tahu itu sudah tidak jamannya lagi”.

Aku terhenyak, menunggu kelanjutan kalimat ibu.

“ibu ingin anak-anak ibu tidak mengikuti jejak ibu. Cukup ibu saja yang bodoh. Ibu ingin anak-anak ibu bisa sekolah setinggi yang mereka inginkan.

“hal ini juga berlaku untuk kamu, anakku. Kaulah anak ibu yang paling pintar. Bahkan ibu bisa menebaknya pas kau masih bayi. Kau adalah anak ibu yang paling jarang sakit-sakitan. Bahkan sejak umur dua tahun kau sudah membuat ibumu bangga dengan menjuarai kontes bayi sehat sekecamatan. Saat itu ibu begitu bangganya bisa duduk bersanding dengan ibu camat dan ibu-ibu lurah sekecamatan. Kau dipangkuanku, begitu lucunya.

“sejak saat itu ibu yakin kau bisa menjadi orang besar, lebih dari hanya bersanding dengan pak camat atau pak lurah. Kau akan bisa menjadi seperti apa yang kau inginkan”

Ibuku mulai terisak. Aku menyesal mulai menanyakan masalah ini. Ternyata tidak hanya buatku, hal ini juga teramat menusuk bagi seorang ibu.

“Tapi maafkan ibu tidak bisa merealisasikan keinginan itu nak, ibu tahu kau sangat menginginkannya. Kau sering mengigaukannya dalam tidurmu. Hanya inilah yang bisa kami lakukan. Tolong maafkan kakak-kakakmu, juga bapakmu”

“Tidak bu, tidak. Ibu sudah memberikan hal terbaik pada saya. Saya tak akan menuntut lebih. Saya sudah ikhlas kok. Saya hanya butuh waktu saja untuk membuatnya normal seperti sedia kala”. Aku tak kuasa untuk tidak memeluk ibuku.

“Maafkan kami, nak”.

Baca buku 'panggil aku kartini saja' kayake cocok minggu2 ini

Ada sejenis orang yg mulai putus asa dg dinamika sosial. Akhirnya mereka mengurung diri dalam sangkar emas ritual dan mengabaikan peran sosial politik. Mereka tak merasa perlu menanggung beban resiko, seperti bayi yg disukai semua orang. Karena tak pernah membuat orang tersinggung dg kritik atau koreksinya. (Degradasi-ust Rahmat)

Tuesday, April 19, 2011

Special to iqbal latif: 'untuk cinta yg mendewasakan'

rutinitas (yang menumpulkan)

Mungkin benar, bahwa banyak hal dalam hidup kita yang baru terasa benar keberadaannya, spesialnya, kala hal itu telah tak ada, pergi, terenggut, atau mungkin menjauh dari kita. Bukan masalah kekurangmenghunjaman hal tersebut pada seseorangnya. Tapi karena intensitasnya yang begitu kerap. Menjadi sebuah yang terlakui terus-menerus. Hingga menjadi sebuah kebiasaan. Hingga menjadi biasa.

Ini memang tentang sebuah rutinitas. Tentang sesuatu yang dialami atau terjalani terus-menerus. Tentang seorang ibu yang menyiapkan sarapan sekeluarga tiap paginya, tentang seorang lelaki yang melintasi jalanan dengan pemandangan hebat tiap pagi-sorenya, tentang seorang kaya yang tiap harinya disuguhi makan-makanan mewah, tentang konglomerat yang tinggal di buah rumah yang wah. Tak ada spesialnya. Menjadi biasa kala gagal mengambil hikmah, atau tak mampu menyediakan ruang perenungan untuk menghasilkan kesimpulan yang indah.

Rutinitas, dengan kegagalan menyediakan dua hal di atas, mungkin saja menumpulkan. Boleh jadi ada mekanisme yang perlahan terkikis, untuk selanjutnya terlewati. Seperti gerak reflek yang bermula dari rangsang langsungmeloncat ke respon. Tanpa ada pengolahan data untuk proses identifikasi. Ter-by pass. Hingga tak lagi melibatkan perasaan-perasaan, impresi-impresi. Rangsang-respon, perintah-kerjakan, jika A maka B. Atau dalam bahasa lain, jika pagi maka akan ada sarapan, jika berangkat kerja akan melewati ini, jika makan tinggal ke restoran ini. Semuanya serba otomatis hingga tak terpikirkan lagi.

Tak baik memang. Sebab hampir semua yang kita lakukan adalah sebuah rutinitas. Sarapan tiap pagi, sholat lima waktu tiap hari dengan jadwal tertentu yang periodik, berangkat kerja tiap hari, pulang disambut keluarga, mandi, tidur, membaca, memasak, mencuci. Jika hal-hal itu, yang rutin dilakukan, menjadi sebuah kebiasaan yang biasa-biasa saja, maka sungguh membosankanlah hidup kita. Tak ada yang spesial. Kita menjadi laksana robot yang melakukan sebuah hal karena hal itu sudah ada dalam check list aktivitas harian. Bila itu berlangsung terus-menerus, jangan kaget kalau kemudian jiwa menjadi hampa.

Mengerikan. Sungguh-sungguh mengerikan. Harus ada langkah-langkah yang terus diupayakan untuk mengatasinya. Ruang perenungan itu penting. Mencoba memakanai tiap hal yang dilakukan itu sungguh perlu. Adanya pemakanaan akan membuat hal yang kita lakukan memiliki nilai tambah yang membuat kita lebih bergairah karena melibatkan jiwa. Makna, jika itu memang benar makna, harusnya selalu berasal dari sebuah kedalaman. Maka melakukan sesuatu dengan pemaknaan, harusnya melakukan sesuatu dengan melibatkan yang berada di kedalaman.

Tapi mungkin tak semua orang mampu menghadirkan itu, menciptakan itu. Berkali dicoba tetap saja tak ada makna lebih. Tetap itu-itu saja. Biasa. Maka saat itu, mungkin perlu sekali dua kali meninggalkan kebiasaan itu. Mungkin sekali waktu kita perlu berkemah, untuk merasakan memasak makanan sendiri, tidur beralas rumput. Sejenak tak merasakan mudahnya sarapan hasil masakan ibu, sehari-dua hari tak merasakan tidur di kasur empuk kamar tidur kita. Semoga dengan itu, akan timbul pemikiran, bahwa apa yang dilakukan ibu kita tiap paginya itu adalah sebuah hal spesial, bahwa dapat tidur di kasur empuk tiap harinya adalah kenikmatan yang terlupa. Bila kita terbiasa di sholat di masjid itu-itu saja tiap harinya, mungkin ada baiknya mencoba masjid-masjid lain yang bisa jadi lebih jauh. Bila kita terbiasa menuju kantor dengan jalan itu saja, ada baiknya kita melewati jalur lain yang tak biasa. Bila kita terbiasa makan berlauk ayam atau daging, tak ada salahnya sekali waktu makan nasi goreng berlauk kerupuk, atau nasi putih berlauk tempe.

Rutinitas adalah sebuah keniscayaan. Tak ada orang yang benar-benar terbebas dari kebiasaan rutin. Sehingga, setelah langkah-langkah di atas telah terlakukan untuk mengatasinya, selanjutnya yang perlu kita sadari bersama adalah hal ini; bahwa waktu hari ini, tak akan sama dengan waktu kemarin, juga berbeda dengan waktu esok. Jadi berangkat kerja kita hari ini, pada hakikatnya aktivitas yang berbeda dengan berangkat kerja hari kemarin, atau esok. Maka kesadaran akan waktu menjadi penting. Maka kesadaran akan perguliran siang dan malam begitu berarti. Tentunya bagi orang-orang yang berpikir.



#bilik kecilku
# dari seseorang yang belum bisa memaknai rutinitas



Monday, April 18, 2011

Aduh, islam ktp kok jadi 'nyinetron' kayak yg lain

(cuap-cuap) cerita di sebuah siang

Setelah melalui perhitungan, apakah akan melakukannya di sore hari atau siang itu saja, motor akhirnya saya starter juga. Kondisinya memang sudah memprihatinkan. Sudah dua mingguan lewat tanpa saya menyempatkan diri untuk mencucinya. Lumpur sudah terlihat mengering di beberapa bagian yang membuat warnanya terlihat mengusam.

Sore hari adalah jadwal menyeterika, mengalokasikannya untuk mencuci motor akan menjadi bumerang. Membuat tumpukan baju yang telah tercuci kian menggunung tak tereksekusi lanjutan. Maka jam sebelas siang itu, saat cuaca cukup cerah hingga tak perlu waswas hujan bakalan turun, saya keluarkan safety helmet dari bagasi motor, menggantinya dengan sebuah buku (yang tak perlu saya sebutkan judulnya), lalu memencet elctric starter, dan…beberapa menit kemudian telah meluncur melewati jalanan kompleks yang tetap saja sepi dari kendaraan bahkan di siang bolong begini.

Hanya ada satu pemberhentian menuju target lokasi. Sebenarnya saya tak punya tempat langganan lagi oleh sebab yang dulu sudah tak menunjukkan tanda-tanda buka lagi. Maka, alasan yang paling masuk akal adalah mencari yang lokasinya terdekat, dengan tempat menunggu yang cukup nyaman untuk menghabiskan sejudul buku. Ada satu tempat yang sudah masuk di bayangan. Belum pernah saya coba, dengan tempat menunggu yang lumayan. Ke sanalah saya hendak menuju.

Gayung bersambut. Tepat ketika saya sejarak sepuluhan meter dari tempat cuci motor itu, tiga orang nampak duduk-duduk malas di tempat menunggu. Bukan! Karena disebutkan kalau ini gayung bersambut, maka tiga orang itu bukanlah pelanggan yang sedang menunggu motornya yang sedang dicuci. Ketiga orang itu adalah petugas cuci yang sepertinya membunuh kebosanan menunggu pelanggan yang mampir dengan menonton televisi. Ada televisi 21 inchi yang menggantung di depan tempat menunggu itu memang.

Seseorang, dari tiga orang yang duduk-duduk itu, kemudian bangkit. Menyambut saya yang berhenti di depannya. Ia pasti sudah hafal betul prosedurnya. Saya tak perlu berkata saja, dengan cukup meninggalkan kunci motor menggantung di lubangnya, ia sudah tahu betul apa yang mesti dilakukan. Tapi tentu, saya terlebih dahulu mengeluarkan buku dari bagasi. Sejak sebelum berangkat tadi, saya tidak berencana menghabiskan waktu menunggu ini dengan on line dari hp.

Entah setelah berapa menit lewat, ketika saya sudah menghabiskan beberapa halaman, sebuah motor berhenti. Petugas pencuci, satu dari dua tersisa, sigap menyambut. Si pemilik motor, seorang perempuan muda dengan kisaran usia 20an, dengan helm masih di kepala, melangkah menuju tempat saya berada. Tentu saja ia tidak sedang menemui saya. Sebab, seperti halnya saya, ia juga menunggu motornya dicuci. Dan tempat menunggu, adalah tempat yang sama dimana saya sedang duduk.

Ia mengambil posisi di samping saya. Tempat duduk itu berupa kursi panjang. Saya berada di sisi paling kiri, ia paling kanan di pojokan. Seorang petugas cuci yang tersisa sudah sejak lama sebelumnya bangkit dari tempat menunggu ini. Entah kemana.

Saya meneruskan baca. Sementara televisi masih mengeluarkan desibel-desibel tak terlalu keras. Gambarnya sedikit burek, tapi tak ada yang peduli. Perempuan muda yang sedang menunggu itu pun juga tak menghiraukan televisi di depannya. Matanya sepertinya masih awas mencermati benda mungil itu, menyertai gerakan jempolnya yang tak kalah lincah memencet-mencet tombol. Dugaan saya, ia sedang melakukan apa yang tidak saya rencanakan tadi : on line via Hp.

Beberapa halaman kembali terlewati. Progress pencucian motor tak terlalu menggembirakan. Petugas cuci sepertinya dengan teliti menjengkali tiap bagian motor. Seperti merasa berdosa sekali jika ada satu bagian kecil saja yang tak terbilas air dan terbersihkan. Tapi tak apa. Ada kalanya menunggu itu tak membosankan.

Satu motor lagi berhenti. Satu petugas tersisa tak kalah gesit menyambut. Kali ini bapak-bapak. Sembari melepas helm mendekati saya. Tersenyum, menepuk bahu, menyapa ala kadarnya. Tentu saja saya mengenalnya. Atau minimal saling tahu. Rekan seperusahaan, meski selama ini minim sekali beririsan dalam pekerjaan. Ia kemudian mengambil posisi tunggu di pojokan lain, di depan si perempuan.

Televisi masih saja tak ada yang menghiraukan. Si bapak, yang tak membaca, yang juga tak mainan Hp, lebih memilih bengong tak melakukan apa-apa daripada menyaksikan tayangan yang ada. Sementara saya terus saja membaca sambil sesekali melirik perkembangan pencucian motor saya.

Beberapa menit lewat dalam hening. Tiga orang di ruang tunggu itu sama-sama sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Tak ada obrolan. Sampai kemudian seorang dari tiga manusia itu bangkit dari duduknya, mengeluarkan dompet dan mengambil selembar sepuluh ribu rupiah. Seorang itu adalah saya. Motor kusam berlumpur itu telah sempurna mengkilap kembali. Saya pun segera melaju.


(cuap-cuap) cerita di sebuah siang

Setelah melalui perhitungan, apakah akan melakukannya di sore hari atau siang itu saja, motor akhirnya saya starter juga. Kondisinya memang sudah memprihatinkan. Sudah dua mingguan lewat tanpa saya menyempatkan diri untuk mencucinya. Lumpur sudah terlihat mengering di beberapa bagian yang membuat warnanya terlihat mengusam.

Sore hari adalah jadwal menyeterika, mengalokasikannya untuk mencuci motor akan menjadi bumerang. Membuat tumpukan baju yang telah tercuci kian menggunung tak tereksekusi lanjutan. Maka jam sebelas siang itu, saat cuaca cukup cerah hingga tak perlu waswas hujan bakalan turun, saya keluarkan safety helmet dari bagasi motor, menggantinya dengan sebuah buku (yang tak perlu saya sebutkan judulnya), lalu memencet elctric starter, dan…beberapa menit kemudian telah meluncur melewati jalanan kompleks yang tetap saja sepi dari kendaraan bahkan di siang bolong begini.

Hanya ada satu pemberhentian menuju target lokasi. Sebenarnya saya tak punya tempat langganan lagi oleh sebab yang dulu sudah tak menunjukkan tanda-tanda buka lagi. Maka, alasan yang paling masuk akal adalah mencari yang lokasinya terdekat, dengan tempat menunggu yang cukup nyaman untuk menghabiskan sejudul buku. Ada satu tempat yang sudah masuk di bayangan. Belum pernah saya coba, dengan tempat menunggu yang lumayan. Ke sanalah saya hendak menuju.

Gayung bersambut. Tepat ketika saya sejarak sepuluhan meter dari tempat cuci motor itu, tiga orang nampak duduk-duduk malas di tempat menunggu. Bukan! Karena disebutkan kalau ini gayung bersambut, maka tiga orang itu bukanlah pelanggan yang sedang menunggu motornya yang sedang dicuci. Ketiga orang itu adalah petugas cuci yang sepertinya membunuh kebosanan menunggu pelanggan yang mampir dengan menonton televisi. Ada televisi 21 inchi yang menggantung di depan tempat menunggu itu memang.

Seseorang, dari tiga orang yang duduk-duduk itu, kemudian bangkit. Menyambut saya yang berhenti di depannya. Ia pasti sudah hafal betul prosedurnya. Saya tak perlu berkata saja, dengan cukup meninggalkan kunci motor menggantung di lubangnya, ia sudah tahu betul apa yang mesti dilakukan. Tapi tentu, saya terlebih dahulu mengeluarkan buku dari bagasi. Sejak sebelum berangkat tadi, saya tidak berencana menghabiskan waktu menunggu ini dengan on line dari hp.

Entah setelah berapa menit lewat, ketika saya sudah menghabiskan beberapa halaman, sebuah motor berhenti. Petugas pencuci, satu dari dua tersisa, sigap menyambut. Si pemilik motor, seorang perempuan muda dengan kisaran usia 20an, dengan helm masih di kepala, melangkah menuju tempat saya berada. Tentu saja ia tidak sedang menemui saya. Sebab, seperti halnya saya, ia juga menunggu motornya dicuci. Dan tempat menunggu, adalah tempat yang sama dimana saya sedang duduk.

Ia mengambil posisi di samping saya. Tempat duduk itu berupa kursi panjang. Saya berada di sisi paling kiri, ia paling kanan di pojokan. Seorang petugas cuci yang tersisa sudah sejak lama sebelumnya bangkit dari tempat menunggu ini. Entah kemana.

Saya meneruskan baca. Sementara televisi masih mengeluarkan desibel-desibel tak terlalu keras. Gambarnya sedikit burek, tapi tak ada yang peduli. Perempuan muda yang sedang menunggu itu pun juga tak menghiraukan televisi di depannya. Matanya sepertinya masih awas mencermati benda mungil itu, menyertai gerakan jempolnya yang tak kalah lincah memencet-mencet tombol. Dugaan saya, ia sedang melakukan apa yang tidak saya rencanakan tadi : on line via Hp.

Beberapa halaman kembali terlewati. Progress pencucian motor tak terlalu menggembirakan. Petugas cuci sepertinya dengan teliti menjengkali tiap bagian motor. Seperti merasa berdosa sekali jika ada satu bagian kecil saja yang tak terbilas air dan terbersihkan. Tapi tak apa. Ada kalanya menunggu itu tak membosankan.

Satu motor lagi berhenti. Satu petugas tersisa tak kalah gesit menyambut. Kali ini bapak-bapak. Sembari melepas helm mendekati saya. Tersenyum, menepuk bahu, menyapa ala kadarnya. Tentu saja saya mengenalnya. Atau minimal saling tahu. Rekan seperusahaan, meski selama ini minim sekali beririsan dalam pekerjaan. Ia kemudian mengambil posisi tunggu di pojokan lain, di depan si perempuan.

Televisi masih saja tak ada yang menghiraukan. Si bapak, yang tak membaca, yang juga tak mainan Hp, lebih memilih bengong tak melakukan apa-apa daripada menyaksikan tayangan yang ada. Sementara saya terus saja membaca sambil sesekali melirik perkembangan pencucian motor saya.

Beberapa menit lewat dalam hening. Tiga orang di ruang tunggu itu sama-sama sibuk melakukan aktivitas masing-masing. Tak ada obrolan. Sampai kemudian seorang dari tiga manusia itu bangkit dari duduknya, mengeluarkan dompet dan mengambil selembar sepuluh ribu rupiah. Seorang itu adalah saya. Motor kusam berlumpur itu telah sempurna mengkilap kembali. Saya pun segera melaju.


Thursday, April 14, 2011

Wednesday, April 13, 2011

ulat bulu? siapa takut

Tak ada penelitian ilmiah. Setidaknya dulu. Tapi begitu luar bias kala cara turun-temurun orang-orang desa untuk mengatasi sebuah hal itu pada akhirnya mendapatkan pembenaran intelektual. Salah satunya, sebut saja tentang bagaimana orang-orang kampung mengolah gadung. Gadung, adalah tanaman menjalar yang kerap kali umbinya dimanfaatkan sebagai keripik. Tak seperti singkong, perlu perlakuan lebih untuk bisa menghasilkan keripik gadung dari umbinya ini. Permasalahannya memang terletak pada kandungan asam sianida yang cukup tinggi pada umbi gadung ini. Banyak cara untuk menghilangkan asam ini mungkin, tapi orang-orang di kampung halaman saya dulu memakai abu gosok untuk membalur umbi gadung yang telah dirajang dalam ukuran yang lebih kecil. Kelak, bertahun sejak pertama kali mengenalnya, ilmu pengetahuan menjelaskan pada saya bahwa abu hasil pembakaran tungku itu bersifat basa yang bagus untuk menetralkan sifat asam yang ada pada getah umbi gadung.

Dalam dunia pengobatan, kebiasaan orang desa untuk memanfaatkan tanaman sekitar untuk mengobati penyakit tertentu juga patut dicermati. Tak ada penjelasan medis, hanya kebiasaan turun temurun. Kalau kena pisau diberi getah anak pohon pisang, kalau mau mengeluarkan duri dari telapak kaki memakai getah serut, kalau perut kembung dikasih daun simbukan, kalau begini dikasih ini, kalau begitu dikasih itu. Bahkan ketika ilmu pengetahuan menjelaskan tentang senyawa yang terkandung dalam tanaman-tanaman tersebut, yang ampuh untuk mengobati penyakit tertentu, itu sama sekali bukan lah sebab yang membuat beberapa orang untuk setia memraktekkan kebiasaan-kebiasaan tetuanya di tengah deraan obat kimiawi yang begitu deras.

Ya ya ya. Ketika ilmu pengetahuan satu persatu memberi pembenaran tentang kebiasaan turun-temurunnya itu, kini, justru orang-orang kampungnya sendiri yang dengan sadar meninggalkannya perlahan. Dengan dalih modernitas, dengan alasan simplisitas. Di dunia pengobatan lah yang paling kentara. Obat-obatan kimia begitu gencar menghajar. Membuat masyarakat desa meninggalkan kebijakan tetua. Ya, benar, memang tak selamanya yang turun-temurun itu mesti dipertahankan. Tapi juga sama tak benarnya jika melupakan semuanya tanpa memperhatikan kemanfaatannya.

Satu dari beberapa kebijakan orang-orang dulu yang sepertinya sekarang mulai ditinggalkan adalah bagaiamana cara mengatasi bentol-bentol akibat ulat bulu. Dulu, ketika balsem yang kini kerap dipakai orang-orang kampung untuk mengatasi gatal-gatal akibat ulat bulu menjadi sebuah hal yang mewah, orang-orang kampung punya kiat sederhana untuk mengatasinya. Benar, sejak dulu masalah gatal-gatal akibat ulat bulu ini sederhana saja. Maka sederhana pula cara untuk mengatasinya. Orang-orang kampung kami dulu memakai daun lamtoro sebagai penangkalnya. Lamtoro, tanaman yang sering ditanam sebagai pagar kebun ini, daunnya diremas-remaskan ke bagian kulit yang gatal akibat ulat bulu. Lebih disarankan memanfaatkan lamtoro yang buahnya kecil-kecil, bukan yang jenis lamtoro gung. Sebab konon, yang jenis kecil ini lah yang lebih ampuh. Kata konon saya pakai di sini karena memang sampai sekarang, untuk kasus ini, saya tak tahu alasan medisnya. Hanya pengalaman saja yang mengajarkan.

Hanya itu? Tidak! Ada alternatif lain. Lagi-lagi memakai abu gosok. Tapi untuk kasus ini dipersyaratkan abu gosok yang masih hangat dari tungku. Entahlah, mungkin ada manfaat lain, tapi bagi saya, mungkin rasa hangat inilah dimanfaatkan untuk mengatasi gatal-gatal akibat ulat bulu. Sebab pemakainnya, memang abu dari tungku tadi ditaburkan ke bagian kulit yang gatal.

Jangan digaruk! Jangan mandi sebelum benar-benar sembuh. Dua itulah pantangannya. Minimal itulah yang dulu diajarkan tetua kampung.

Jadi, bagi anda yang sedang heboh wabah ulat bulu, sederhana saja. Sebab saya semasa kanak-kanak dulu sering sekali gatal-gatal diakibatkan olehnya. Dua resep di atas sudah pernah saya coba. Manjur. insyaAllah. Tapi ada yang lebih manjur. Sebuah resep sederhana yang saya ketemukan sendiri. Bahkan daya sembuhnya lebih cepat. Caranya, tinggal berguling-guling di teras depan rumah yang panas terpanggang matahari. Dulu, teras depan rumah saya di kampung memang tak beratap. Hingga tegelnya langsung terbakar matahari. Di tegel-tegel yang panas itu lah, kulit yang bentol-bentol itu saya panggang. Sampil berjingkat-jingkat pastinya.

Untuk yang terakhir, anda tak harus mencoba kok.


Monday, April 11, 2011

tentang mulut nyinyir kami

“sempat juga ingin pindah ke pemasaran”

Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Ringan, seringan tiap kalimatnya yang dulu-dulu. Tapi ada keseriusan. Tentu, di usianya yang sudah kisaran setengah abad, tak ada lagi kosakata main-main dalam kamus hidupnya. Bercanda boleh, tapi tidak main-main.

“hampir saja ikut-ikutan mendaftar untuk ikut seleksi penempatan karyawan di pemasaran”

Kalimatnya berlanjut. Semakin terang. Tentu, ia sedang berbicara tentang ketidakjadian. Sesuatu yang urung terlaksana. Sebab ia masih di sini, masih menjadi foreman. Masih menjadi kepala regu dari operator. Masih menjadi bagian dari unit kerja yang bertugas untuk memproduksi, bukan yang memasarkan. Tapi penyebab keurungan itu, belum terbuka.

“Untungnya ada yang mengingatkan” ia berhenti. Seolah ingin memberi kesempatan kepada pendengarnya untuk seksama menyimak apa yang ingin ia ucapkan, “katanya, di pemasaran tidak seenak kelihatannya. Godaannya besar. Banyak iming-iming dari kanan-kiri. Tak kuat iman bisa-bisa korupsi, bisa-bisa menyelewengkan aset”

Jelas sudah.

“saya orangnya tak kuatan. Tak terlalu tahan godaan. Jadi mungkin ada baiknya tetap di sisni saja. Paling banter korupsinya terkantuk-kantuk saja pas malam”

Ia memang bekerja shift. Bisa masuk pagi, sore, ataupun malam. Terkantuk-kantuk yang ia maksud, tentunya pas jatah shift malam hari. Saat ia mesti terjaga di saat seharusnya terlelap.

-o0o-
Ini lah kita
-***-

Ya Allah, ini tentang kami. Ini tentang kami yang begitu sok tahu menghujat orang-orang itu. Yang begitu sok suci, hingga tak pernah menyadari jika diri ini yang menjadi orang-orang itu, mungkin hal lebih buruk yang terlakui. Yang begitu naifnya menilai sebuah tanggungjawab lebih dengan pembanding godaan yang menimpa diri saat ini.

Maka, ya Allah, di saat derasnya pemberitaan-pemberitaan. Di saat banyak kasus ini-itu terberitakan menimpa si ini dan si itu. Tentang penyelewengan ini dan penyelewengan itu. Tentang ketidakbenaran ini dan ketidakbenaran itu. Jagalah mulut ini untuk tak ikutan nyinyir menghujat. Seolah kami tak akan mungkin menjadi begitu jika di posisi itu. Cukupkanlah istighfar meluncur dari lisan-lisan kami. Menafakuri keadaan. Menjengkali diri. Semoga dengan begitu, terlakuilah amanah yang melekati diri.

Saturday, April 9, 2011

Pecel Yang Naik Tak Membenci Cabai

Karena sudah terbiasa, meski satu dua pekan absen, langsung saja saya ulurkan selembar uang sepuluh ribu itu. Pesanan saya memang telah selesai dibungkus. Sebungkus nasi pecel untuk sabtu pagi. Maka selembar sepuluh ribu rupiah itu adalah alat tukarnya. Cukup, sebab sebesar itulah memang kali terakhir kali saya membelinya.

Tapi ternyata tidak.

“sekarang naik jadi sebelas ribu”, ujar pak penjual sambil sedikit tersenyum. Tak enak mungkin mengabarkan perubahan harga itu. “harga-harga naik. Cabai naik drastis”

Ya, saat itu memang sedang hebohnya kenaikan harga cabai. Seratus ribu perkilogram kalau tak salah. Penjual-penjual makan menjerit. Terutama yang berbasis cabai. Tapi, untuk sebuah penjual pecel, seberapa signifikan kah harga sebuah cabai mempengaruhi HPP pecel perbungkusnya?

Saya kemudian tersenyum tanggung. Agak memaksakan diri mungkin. Bertanya-tanya banyak hal dalam imaji. Tapi akhirnya mencoba memaklumi. Saya ambil kembali dompet. Mencoba mencari pecahan seribu.

Tidak! Bukan karena beratnya mengeluarkan satu ribu uang tambahan itu yang mengganggu pikiran saya. Tidak! Saya hanya memikirkan tentang betapa mudahnya si bapak ini menaikkan harganya. Saya yakin, amat yakin, kelak, ketika harga cabai akan kembali normal, ketika harga cabai bahkan menyentuh nominal yang terendah dalam setahun terakhir, harga pecel itu akan tetap segitu. Tak ada penurunan harga, tak ada penyesuaian harga. Ya, karena ia amat berkuasa terhadap harga jual produknya.

Tapi tahukan kawan semua tentang petani kita. Orang-orang yang mendiami pinggiran negeri ini. Mereka yang memiliki sepetak dua petak tanah garapan. Mereka yang menyongsong pagi untuk memanggang tubuh legamnya. Berkubang lumpur, berpeluh keringat. Demi sebuah harapan akan hasil panen yang baik, hasil yang melimpah.

Petani-petani itulah yang memproduksi cabai tadi. Petani-petani itulah yang mulai menanam bibit cabai itu, memupuknya, menyianginya, memberantas hamanya, sampai hampir tiga bulan lamanya sampai cabai itu akhirnya siap dipanen. Tapi, sekali lagi, tahukah kawan semua, setelah tiga bulan berlalu dalam penantian itu, mereka sama sekali tak berdaya atas harga jual produknya itu. Lupakan tentang biaya tiga bulan itu, lupakan tentang seberapa repotnya merawat cabai itu, lupakan tentang harga pupuk yang naik, lupakan tentang HPP perkilogramnya! Sebab itu sama sekali tak akan mempengaruhi harga. Sebab setelah cabai di panen, setelah buah-buah merah itu sempurna dipacking dalam wadah-wadah,yang bisa mereka lakukan kemudian adalah menghubungi para pedagang cabai. Menanyakan harga. Bernegosiasi sebentar. Ya, bukan para petani kita yang menentukan harga. Bukan! Mereka sama sekali tak berdaya untuk itu. Para pembeli lah yang menentukannya. Itulah ajaibanya.

Ya ya ya. Tidak seperti penjual pecel yang mudahnya menaikkan harga hanya gara-gara cabai naik (atau minimal berdaya untuk menurunkan porsinya), bagi petani kita, senaik apapun harga pupuk, sebanyak apapun hama kala itu, bukan ‘haknya’ lah untuk menentukan harga jualnya. Maka, ketika sekilogram cabai di pasaran seharga seribu rupiah, harga itulah yang harus ia terima. Mau tak mau. Senang tak senang. Tak bisa menawar. Sebab untuk menahannya justru malapetaka. Alih-alih mendapati harga cabai naik, justru cabai susut dan membusuklah yang ia terima.

Ini memang masalah tak adanya asosiasi yang melindiungi petani. Ini memang masalah tak adanya persekutuan petani untuk menaikkan posisi tawar sendiri. Itulah akarnya. Hingga harga jual produknya diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar. Bahkan tak hanya itu. Bahkan kadang ia sama sekali tak berdaya menghadapi pedagang yang ingin meraup keuntungan besar. Yang inginnya membeli dari petani dengan harga serendah-rendahnya, tapi ingin menjualnya dengan harga sebesar-besarnya. Begitu egoisnya.

Perlu langkah-langkah nyata memang. Perlu orang-orang yang benar-benar menaruh minat dan perhatian pada dunia orang kecil ini. Tak melulu sarjana petanian. Sebab betapa banyak sarjana pertanian yang justru jijik berkubang lumpur di sawah. Atau merasa risih bergaul dengan petani-petani dekil. Tapi yang dibutuhkan hanyalah orang yang mencintai dunia ini. Benar-benar mencintai.

Orang-orang yang mencintai itu, bisa saja kau, aku, atau kita semua.
(Bahkan akan tetap bisa jika sarjana teknik pelakunya )

Tuesday, April 5, 2011

Sunday, April 3, 2011

warnawarni

“Reuni-nya nanti di sini, yuk”

Seorang yang meluncurkan kalimat itu. Ketika kami baru saja tiba di sebuah masjid dimana kita bakal menjalani pelatihan. Saat itu kita berkerumun. Memandangi sebuah gambar yang terpajang di satu sudut dinding masjid : Ka’bah.

Kami memang baru sebulanan saja bersama. Menyatu oleh kesamaan jurusan. Menjadi generasi ke-44 dari jurusan itu. Tapi sudah riuh. Beberapa sudah akrab satu sama lain. Pengaderan, di luar simpangan-simpangannya, memang begitu hebat merekatkan.

Saat itu ada acara Rohis jurusan. Training Pendalaman Islam 1, tajuknya. Menginap selama dua malam di sebuah tempat yang lumayan jauh dari jurusan. Saat itu jum’at malam.

Baru beberapa minggu saja kami menjalani perkuliahan. Tapi, lihatlah! Seseorang sudah mulai merancang sebuah reuni. Reuni yang begitu mulia.

-o0o-

“lima tahun lagi reuni di Bali, yuk. Sekalian mengenang masa-masa SE”. Seseorang nyeletuk.

“sepuluh tahun lagi saja. Biar sudah bawa momongan semua”, seseorang lagi menimpali.

Kejadian ini, tiga tahun berlalu sejak cita-cita reuni di mekah itu. Beberapa mungkin sudah lupa tentang celetukan tiga tahun sebelumnya. Atau karena apa yang pernah terceletuk itu memang tak ada serius-seriusnya. Dan Bali, memang sedang jadi Euforia. Pasca acara Studi Ekskursi dengan menyusuri Jawa timur, lalu berlanjut menyeberang ke Bali, gambaran tentang reuni memang berganti ke pulau dewata itu. Sebab ada unsur memorabilianya mungkin. Semacam menapaktilasi masa lalu. Atau entah.

Setahun lagi, sebagian besar dari kami mungkin bakalan pergi. Meninggalkan yang lainnya. Dan berpisah. Mungkin bakalan terpencar di segala penjuru.

-o0o-

Hari ini, aku tersenyum sendiri membaca celotehan di milis angkatan itu. Menjadi member pasif, yang lebih menikmati untuk sekedar menjadi pembaca sunyi, hanya sesekali saja komen jika dirasa perlu, kadang ada enaknya. Seakan menjadi orang luar yang mengamati.

Mengamati. Mengamati tiap teman yang komen. Mengingat-ngingat bagaimanakah mereka dulu semasa kuliah. Lalu membandingkannya dengan dia kini, minimal hanya lewat komentarnya. Lewat pemakaian bahasanya.

Dua tahun lewat dari kelulusan. Ada beberapa yang terlihat berubah pastinya. Ada beberapa yang sama seperti dulu. Ada yang sekarang begini, ada yang sekarang begitu. Warna-warni. Karena perubahan itu yang memang niscaya.

“ketemuannya di plasa semanggi saja”

“eh ada tempat nongkrong sambil nunggu nggak?”

“ada inul vizta tuh. Kali saja sembari nunggu bisa latihan nyanyi”

“oke. Di kwitang saja”

“ato j-co, atau Kopi Luwak”

Kata-kata berseliweran di milis. Aku masih tersenyum. Panjang. Tapi tak terlihat. Merencanakan sejenak memandang danau luas di dekat rumah. Sembari melajukan motor sepulang kerja nanti mungkin.


Saturday, April 2, 2011

mereka yang terpinggirkan

Bapak yang menceritakannya. Tentang cerita dari kehidupannya di masa lalu. Bahwa dulu, teramat dulu, saat bapak masih bujang, ia pernah bekerja di sebuah tempat yang bernama Kebun Mangga. Kalau tak salah, karena kami terpisah jarak dan tak leluasa menglarifikasinya, Kebun Mangga ini dikelola pemerintah dengan kegiatan utama untuk melestarikan berbagai varietas mangga yang ada. Seingat saya juga, melalui cerita bapak dulu, hampir semua varietas mangga ditanam dan berbuah. Konon, Bung karno pernah menjamu tamu negara dengan mangga hasil Kebun Mangga ini.

Kebun Mangga ini terletak di Pasuruan. Tapi jangan tanya sekarang, apakah masih ada apa tiada. Sebab yang bisa kukatakan hanyalah ini: jejak-jejaknya saja yang masih ada. Kau mungkin menyayangkannya, sedalam saya juga menyayangkannya.

Jaman saya kecil dulu, seusia SD, dimana berjarak 30an tahun dari masa kejayaan Kebun Mangga di atas, varietas mangga lokal masih melimpah memenuhi pasar-pasar tradisional di kota saya. Jaman segitu, mangga-mangga unggulan macam Gedong, Mana Lagi, atau Lali jiwo, boleh dibilang masih langka dan mahal. Hingga tak heran, sepulang sekolah, pada musimnya, mangga-mangga lokal ini lah yang sering menjadi santapan saya. Jaman segitu, ibu saya memang tiap harinya berjualan di pasar hingga selalu membawa oleh-oleh tiap harinya.

Anak-anak sekarang mungkin sudah tak mengenali mangga-mangga ini. Sebab sekarang, mangga-mangga ‘unggulan’ telah menggeser teman-temannya. Mangga-mangga lokal ini, dengan ukuran yang kebanyakan lebih kecil, dengan rasa yang masih ada masamnya, sudah tak menarik lagi untuk dibudidayakan. Sudah tak ada lagi yang sengaja menanamnya dengan sepenuh hati. Kalaupun tiba-tiba ada yang tumbuh di pekarangan, maka si pemilik akan segera menyambungnya dengan varietas unggulan. Jikapun tidak berkenan memelihara, tinggal ditebang saja sebelum membesar. Beres.

Padahal, tidaklah semua varietas ini diciptakan melainkan ia mendatangkan sebuah manfaat. Tapi kita mungkin yang alpa, atau belum menyadari, bahwa ada kebaikan lain dari varietas-varietas terpinggirkan itu. Ada mangga kopyor. Namanya mungkin sudah menggambarkan bagaimana mangga ini. Bentuknya lumayan besar dengan kandungan air di atas rata-rata. Dan manis. Meski ada sedikit serik-serik di anatara manisnya. Ada juga mangga madu yang manis semanis namanya. Ada mangga daging yang teksturnya seperti daging. Ada mangga wader, ada mangga randu, ada mangga kucing, ada mangga centhel. Juga ada mangga renteng yang buahnya kecil-kecil tapi berbuah lebat berenteng-renteng. Jenis yang terakhir ini, lebih nikmat dikonsumsi dengan menggigitnya langsung tanpa mengupasnya. Dikerokoti begitu orang jawa bilang.

Tapi jauh lebih banyak mangga-mangga lain yang tak bernama.

Tapi sekarang, mangga-mangga itu semakin terdesak. Mangga-mangga unggulan semacam gedong mulai deras membanjiri pasar tradisional. Sebuah pemandangan aneh bila dilihat dulu. Mangga gedong itu, dulu lebih sering ditemui di kios-kios buah yang lebih bersih. Sebab harganya yang dulu masih tergolong mahal.

Siapa yang salah? Tak ada. Adalah sebuah hal wajar kalau orang-orang lebih memilih membudidayakan mangga gedong dibandingkan varietas-varietas lokal itu. Sulit kiranya mengharapkan frase ‘kelestarian varietas’mampir di kepala mereka pada orang-orang pemilik kebun. Hanya saja saya kadang berpikir, bagaiamanakah kiranya jika proyek Kebun Mangga itu dihidupkan lagi. Menjadi semacam agrowisata. Mungkin akan ada puluhan varietas, atau bahkan ratusan yang dibudidayakan. Dengan buah-buah ranum yang tinggal dipetik dari pohonnya.

Kita mungkin akan menglami masa ini. Suatu saaf. Seperti kita yang sekarang tergopoh-gopoh kembali ke pengobatan alami setelah dulu dengan angkuhnya mengabaikannya, beralih ke pengobatan kimiawi. Kita mungkin, suatu saat, akan merindukan citarasa beragam mangga-mangga kampung itu. Setelah bosan dan jenuh, dengan citarasa buah mangga yang itu saja. Semoga saja, jika saat itu telah datang, pohon mangga kampung itu masih tumbuh terselip di pelosok kampung. Mungkin sudah menua. Mungkin sudah jarang berbuah. Tapi masih bisa untuk diambil bijinya untuk dikecambahkan. Tapi masih bisa diambil pucuknya untuk disambungkan. Semoga.


'surat kecil untuk tuhan'