Friday, December 16, 2011

berbahagia dengan menyelami masalah

Apakah bagian terbaik dari sebuah masalah? Telah menyelesaikannya.

Malam itu pekerja itu lapor. Saya sebenarnya ada di dekatnya, menyaksikan apa yang sedang ia kerjakan sehingga tahu betul apa yang terjadi. Tapi, saya belum mengambil kesimpulan apapun akan hal itu. Jadi tak bersuara. Diam mengamati. Berpikir, apa gerangan yang menyebabkan ini semua.

“sedotannya nggak kuat, pak!” ini tentu saja pemberitahuan, tapi juga keluhan.

“tidak sekuat kemarin kah?”

“iya, pak. Kuatan kemarin”

Pekerjaan kala itu sederhana saja. Mengeluarkan butir-butir katalis dari bejana reaktor. Hanya saja, karena memang tak ada fasilitas hand hole di bawah yang memungkinkan untuk dibuka sehingga butir katalis itu nggrojok begitu saja, maka satu-satunya cara adalah dengan mengeluarkannya dari man hole atas. Untuk memakai drum lalu dikeluarkan ke atas pakai crane, tentu saja akan lambat, apalagi kalau ditimba pakai tali satu per satu. Bakal berpekan-pekan katalis 30an meter kubik itu bakal sempurna terkeluarkan. Maka disedot kemudian menjadi pilihan yang paling menarik dari berbagai alternatif mengeluarkan katalis itu.

Nama alatnya vacuum blower. Prinsipnya sederhana, yaitu dengan membuat sebuah bejana seukuran 1,5 m3 di alat itu menjadi bertekanan di bawah tekanan udara sekitar. Kemudian, di sebuah lubang yang menjorok dari bejana itu, disambung dengan selang yang kemudian dihubungkan dengan bejana yang berisi katalis. Begitulah. Karena sifat fluida mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan rendah, maka katalis yang berada pada tekanan atmosferik akan terfluidisasi dan tersedot melalui selang itu. Tinggal seorang pekerja saja yang mengoperasikan selang itu untuk didekatkan ke katalis yang hendak disedot.

Tapi malam itu sedotannya tak kenceng lagi. Tentu saja ini sebuah masalah. Jika dibiarkan seperti ini, pekerjaan akan berpotensi molor karena laju tersedotnya katalis menjadi berkurang. Rentetannya bakal panjang bila dibiarkan.

Saya kemudian naik, menelusuri tiap selang yang terjuntai tersebut. Analisis pertama penyebab masalah itu adalah kebuntuan. Ya, beberapa katalis memang mengalami caking karena temperaturnya yang memang mendekati ribuan. Bongkahan-bongkahan tersebut yang tidak terhancurkan lebih dulu sehingga lolos kesedot, berpotensi menimbulkan kebuntuan di sepanjang selang. Saya raba-raba selang itu, saya pukul-pukul, saya amati lebih lama di tiap sambungan yang menjadi titik tersering terjadinya kebuntuan, tak ada gejala buntu itu sama sekali. Tapi saya terus melangkah. Kemudian saya turun, menjangkau vacuum blower itu. Menaikinya untuk mendekati titik pertemuan antara bejana vacum dengan selang. Jadi, lubang di bejana itu berupa pipa yang menjorok keluar. Di pipa tersebutlah selang itu kemudian dimasukkan.

Kebahagiaan itu menemukan. Serupa kebahagiaan menemukan kunci yang lama dicari ternyata terselip di pojokan, perasaan yang sama berlaku ketika saya sadari di selang yang mendekati titik pertemuan dengan moncong pipa itu, beberapa bagian nampak bocor. Aha, tentu saja, dengan bahan katalis yang dari nikel, dengan kecepatan sedotan yang lumayan cepat, katalis-katalis yang membentur dinding selang plastik itu pada akhirnya mengikis dinding tersebut perlahan-lahan, hingga akhirnya bocor. Maka menjadi terjawablah pertanyaan si pekerja tadi, tentang kenapa sedotannya tak sekencang sehari sebelumnya, sebab ternyata daya sedot itu terbagi dengan kebocoran tadi.

Saya kemudian meminta operator mematikan vacum blower, memotong bagian selang yang bocor, memasangnya lagi, dan hasilnya, hanya butuh 20 menit saja kini untuk memenuhkan bejana vakum tersebut. Tentu saja kerja menjadi lebih cepat.

Begitulah, di antara kesulitan ada kemudahan, di antara kesusahan ada kebahagiaan, dan di antara masalah ada jalan keluar. Hanya bagi orang-orang yang berpikir.


Selamat hari sabtu!

Thursday, December 15, 2011

Friday, December 9, 2011

Salah

Aku salah, bila menganggap tak akan ada lagi ujian, kala aku memutuskan bersegera untuk merengkuh kebaikan..

Waktu-waktu memang telah lewat, meninggalkan jejak-jejak yang boleh jadi begitu melekat.

yg punya ebook 'komitmen muslim sejati' fathi yakan, minta dong? butuh cepet, nih

Tuesday, December 6, 2011

Friday, December 2, 2011

-malam sabtu bersama ust basuki abdurrahman-

Dona Windy Astuti

“Iqbal, kalau ada perlu, dipanggil saja, tak usah dicolek”

Bagaimana aku akan melupakan kalimat itu. Enam tahun telah berlalu dari saat pertama kali terucap. Di sebuah pagi yang berangsur siang. Di sebuah kelas yang sebenarnya hiruk. Adalah seorang perempuan yang mengatakannya. Namanya, Dona Windy Astuti.

Bukankah itu kau?

Sadarkah kau, Don, kita dipertemukan oleh sebuah pilihan pada bulatan-bulatan yang kita isi di kolom pilihan jurusan pada kertas pendaftaran SPMB. Diuji oleh soal-soal pilihan ganda pada waktu yang sama dan tempat yang berbeda. Kemudian, bertemu di sebuah kampus pinggiran Surabaya dengan status sebagai mahasiswa. Tapi bukan karena itu, kan? Kau tahu betul akan itu. Bukan karena kita sejurusan sematalah yang membuat kita kemudian lebih jauh mengenal.

Kalimat di atas tadi, adalah kalimat yang kau ucapkan saat berada di sebuah kelas yang bukan ruang kelas jurusan kita. Memang, saat itu bukan kuliah jurusan, hingga orang-orang yang berada di dalamnya juga bukan semuanya adalah teman sejurusan. Sebagai mahasiswa baru, kita, serta yang lain, memang wajib mengikuti kuliah bersama dengan jurusan-jurusan lain. Namanya adalah Tahap Persiapan Bersama. Akan ada berbagai macam jurusan di dalam satu kelasnya, meski tetap saja ada teman sejurusan juga di dalamnya, dalam jumlah sedikit. Ya, ada dua orang saja teman sejurusan dalam kelasku kala itu; kau, dan seorang lagi. Di dalam kelas itulah, kalimat itu terucap.

Adalah menjadi hal biasa jika teman sejurusan lebih cenderung untuk mengelompok sendiri. Duduk berdekatan sebab memungkinkan lebih mudah untuk bertanya satu dan lain hal. Karena lebih dulu akrab. Apalagi, untuk kuliah-kuliah perdana dimana tak banyak anak lain yang lebih diakrabi. Dan itulah kita, yang bertiga kala itu. Sama-sama duduk di baris terdepan. Atau di baris terdepan dan kedua, tapi untuk satu kolom yang sama atau berhimpit. Untuk beberapa pertemuan awal.

Aku ada perlu kala itu. Padamu. Entah, ingin menanyakan hal apa. Aku juga telah lupa. Mungkin tentang masalah angkatan yang memang menjadi begitu runyam bagi seorang mahasiswa baru kala itu. Dan aku tahu, kau, lebih aktif di sana. Hingga akan banyak informasi yang didapat dengan menanyaimu. Kau akan selalu bersenang hati menceritakan semuanya dengan semangat berlipat-lipat.

Aku kemudian mencolekmu dengan sebatang pena. Ya, tentu, aku tahu, aku tak melakukannya dengan tangan telanjangku. Aku tahu kau seorang wanita, dan aku pria. Tak boleh. Apalagi melakukannya pada seorang perempuan yang begitu santun, rapat pula menutup auratnya.

Tapi ternyata, kau tetap terganggu; “Iqbal, lain kali kalau ada perlu, dipanggil saja. Jangan dicolek”. Lihatlah, Don, pemilihan katamu adalah bukti kesantunan itu. Tak ada intonasi menyalahkan, tak ada kata-kata menghakimi. Hingga membuatku malu bahkan untuk memberi sebuah argumen pembenar tindakanku. Hari itu pelajaran pertamaku dimulai.

Di lain hari kau menegur begini :”Iqbal, duduknya bisa agak ke sanaan!”. Itu adalah kalimatmu ketika kau mulai risih dengan jarak duduk kita yang terlalu dekat. Bukan benar-benar maksudku sebenarnya untuk berimpit meski dalam kursi yang berbeda.  Beberapa kali aku bertanya dan kau menjawab. Sering pula kau menanyakan sesuatu dan aku berkewajiban menjelaskannya. Dan tentang kuliah yang hitung-hitungan, maka tak enaklah rasanya jika menjelaskannya tidak dalam satu kertas dimana konsentrasi kita sama-sama di situ. Maka aku pun mungkin sedikit lalai mengindahkan aturan itu. Hingga kalimat itu muncul, yang membuat aku kembali mengatur posisi dudukku sampai batas aman.
Itu adalah dua pelajaran awal yang membekas. Ah, membekas memang bukan melulu tentang sebuah hal besar. Membekas kadang juga tentang persoalan yang terlihat kecil tapi begitu jernih tertuang. Membekas kadang juga tentang sebuah mula. Dan untuk dua hal tersebut, Don, kau adalah seorang guru yang baik untuk membekaskan pelajaran pada muridnya. Kelak aku sangat menyukuri bahwa interaksi awalku di dunia kampus ini diisi oleh orang-orang baik macam kau.

Dua semester usia pertemanan kita dalam ikatan sekelas Tahap Persiapan Bersama itu. Dua kali dalam sepekan, Selasa dan Kamis. Dua mata kuliah tiap kalinya. Memang, kita masih satu jurusan kala itu, tapi memiliki kesamaan dalam sebuah perbedaan macam sejurusan dalam komunitas multi jurusan itu, memberi nilai lebih dalam hubungan pertemanan itu.

Apalagi yang perlu kuceritakan. Kau seorang yang tekun, Don. Jujur sejujur-jujurnya, minimal sepengetahuanku. Tak pernah kulihat kau tolah-toleh saat ujian berlangsung. Orang-orang mungkin mengira kau lancar mengerjakan soal-soal ujian itu hingga tak perlu repot celingukan mencari kesempatan. Tidak! Tidak selalu. Aku tahu jelas hal itu. Setahun sekelas, dengan intensitas bertukar pikiran tentang mata kuliah yang begitu kerap, sedikit banyak memahamkanku, juga mungkin memahamkanmu.

Suatu saat, saat aku tengah menonton nilai akhir mata kuliah Tahap Persiapan Bersama-ku di sebuah tempelan papan pengumuman, kau muncul dengan teman perempuanmu, teman sejurusanku juga. Saat itu aku baru balik dari pulang kampung untuk mengisi liburan semester. Seperti biasa, lepas itu, aku akan tergopoh-gopoh menuju kampus untuk menengok nilai-nilai yang keluar.

Kau menyapaku, membuatku memalingkan muka dan sejenak mengalihkan pandang dari tabel berisi nama-nama dan huruf-huruf di sampingnya. Dengan senyum-senyum kemudian kau berucap, “Nilaimu bagus ya, Bal? Cuma ada tiga orang yang dapat A.”

Aku tersenyum juga kala itu, Don. Tapi pahit. Aku tentu tahu benar, baru saja aku melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Bersanding di namamu dalam tabel nilai itu, sebuah huruf ‘D’. Dan itu artinya kau tak lulus mata kuliah ini. Tapi lihatlah, tak ada kesedihan yang terlalu. Kau justru tersenyum. Kemudian menyampaikan selamat dengan kekhasanmu. Hati siapa yang tak teriris-iris, Don. Ah, yang menggetarkan sebenarnya bukanlah kesedihan itu, tapi kekuatan menghadapi kesedihan itulah yang justru mengoyak-ngoyak nurani. Hari itu kau memberiku pelajaran yang ketiga.

Selanjutnya, kita justru sering berinteraksi dalam wadah organisasi. Dari pertemuan sebatas ruang kuliah menjadi ruang syuro. Dari tentang kuliah menjadi tentang strategi organisasi. Kau masih seperti yang dulu. Masih santun, dengan kalimat yang terpelihara. Jauh dari menyakiti. Hingga tak heran kau menjadi orang yang bisa diterima di banyak golongan. Tak terlalu mengherankan pula jika kemudian kau terlihat dimana-mana. Langkah kakimu memang cepat, dengan gaya berjalan yang selalu terlihat terburu-buru. Kaki-kakimua seakan tak cukup cepat untuk mengakomodasi kehendakmu yang begitu melesat.
Dan waktu, memang benar-benar melesat. Di semester-semester akhir perkuliahan, di sebuah siang, aku terkejut ketika kau tiba-tiba berkata ini dalam sebuah pertemuan yang kebetulanm, “Iqbal, ibunya sakit rematik ya?"

Aku, sambil tersenyum mengiyakan. Sejenak heran darimana kau mengetahuinya, namun secepat kilat tersadarkan kalau info itu pasti kau dapatkan dari membaca blogku. Beberapa waktu lalu aku memang menulis tentang ibu meski tak spesifik tentang penyakit rematik itu.
"Itu, soalnya ibu saya juga pernah. Dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh. Minum parutan sayur manisa. Yang biasa dibuat sayur itu"

Aku tersenyum lagi. Duh, aku tak tahu energi kebaikan apa yang begitu baik kau simpan. Untuk kau tebarkan kemanfaatannya kepada siapa saja di sekelilingnya. Saat menulisnya, aku sama sekali tak mengharapkan tanggapan tentang solusi mengatasi rematik itu. Tidak! Tapi, lihatlah! Kau menjelmakan tulisan itu sebagai peluang untuk berbagi kemafaatan ke sekitarnya. Berbagi kebaikan. Membuat orang akan senantiasa nyaman membersamaimu.
Dan, melesat. Benar-benar melesat.
 
Hingga 2 Juni 2009 itu. Di suatu pagi. Saat itu aku telah terpisah jauh dari tempat kita dulu pertama kali bertemu. Memang, setelah merantau untuk tunututan kerja, aku tak banyak lagi mengikuti perkembangan teman-teman, termasuk kau, Don.. Yang kutahu, satu semester setelah aku lulus, kau lulus juga. Itu saja. Tak lebih. Tak tahu, atau bahkan tak tahu menahu tentang aktivitasmu setelahnya.

Tapi sms itu, kemudian mengabarkan segalanya:
“Innaalillahi wa innaa ilayhi rojiun”, bukankah itu pembuka untuk sebuah sms pemberitahuan tentang kematian, “telah meninggal teman kita, Dona Windy Astuti, hari ini di jakarta”
Entah apa yang ada di perasaanku kala itu, Don. Sempat terbengong tak percaya. Berharap SMS ini keliru. Berharap SMS ini hanya main-main belaka. Tapi ternyata tidak, Don! SMS lain kemudian datang menyerbu untuk memberitahukan hal yang sama. Maka secepat kilat kemudian aku sign in yahoo messenger, log in Face book. Menyapa teman-teman, mempertanyakan kebenaran.

“Benarkah?”

“Bagaimana bisa?”

“Ceritanya bagaimana?”

Tak ada yang benar-benar tahu dengan pasti, Don. Semuanya serba simpang-siur. Tapi yang pasti, aroma duka menyeruak. Kalimat-kalimat bela sungkawa sontak memenuhi status FB, milist angkatan ramai membicarakan kronologis. Tak jelas, tapi dari keterangan yang patah-patah, kemudian aku mendapatkan kronologis seperti ini:

Kau diterima kerja di jakarta. Kemudian mengikuti orientasi kerja semi militer. Menginap. Saat itu lepas sholat subuh, teman  sekerjamu menjemput ke kamarmu untuk bersiap-siap mengikuti acara, tapi kau mempersilakan temanmu itu untuk duluan. Saat itulah, saat temanmu sudah di luar untuk duluan, terdengar sebuah benda berat jatuh berdebam dari dalam kamar. Saat dilihat, kau sudah ditemukan ambruk di dalam kamarmu.
 
++++++
 
Dan, di sujud itu, beberapa jam setelah kabar itu, aku tergugu. Pertahanan selama beberapa jam itu akhirnya jebol juga. Tak tertahankan lagi. Sungguh, kau terlalu baik. Terlalu banyak hal-hal baik yang kau catatkan. Mengingatmu adalah mengingat kebaikan. Maka, jika air mata ini adalah kesaksian akan kebaikanmu di muka bumi ini, maka aku berdoa, Don. Aku berdoa, semoga itu menjelma menjadi bulir-bulir yang memperberat timbangan kebaikanmu. Semoga.