Friday, January 27, 2012

(panjang): tentang pemuda dan seorang ibu yang kebingungan di bandara

Harusnya saya tak perlu menunggu lama. Harusnya tak perlu ada menit-menit terlewat sejak peluang itu terpampang. Ya, harusnya saya langsung bergegas sejak momen kebaikan itu seolah dengan sengaja memperlihatkan diri di hadapan.

Begitulah, saya kerap kali merutuki diri ini yang selalu saja terlambat untuk memberi respon yang seharusnya terhadap setiap peluang-peluang kebaikan yang seolah menawarkan diri untuk saya bisa ikut turut serta. Seperti ketika di sebuah kapal saat ke Karimun Jawa tempo lalu. Saya memang tengah sibuk dengan kamera saat itu. Tapi jelas, saya melihat dua orang mbok-mbok yang kesulitan menuruni tangga dengan bawaannya. Parahnya, saya sempat tertegun sebentar menyaksikan pagelaran itu, seolah ingin menebak dengan cara apa mbok-mbok itu pada akhrnya menurunkan bawaannya dengan aman. Jika akhla adalah apa yang tercetus pertama kali secara reflex tanpa pinggir panjang, maka betapa payah akhlak saya untuk ini. Untunglah kemudian itu tak berlangsung lama. Dua orang teman yang tak jauh dari kejadian kemudian berseru, dan saya tahu apa yang harus saya lakukan kemudian; meminta ijin membawakan bawaan si mbok menuruni tangga.

Kejadian yang kurang lebih mirip kembali terjadi kemarin. Garbarata menuju pesawat itu sedikit padat. Tapi saya memaksakan diri untuk menyalip orang-orang yang di depan demi kesempatan lebih dulu masuk pesawat. Lebih dulu masuk, maka akan lebih leluasa menempattkan barang bawaan di kabin yang dekat tempat duduk. Tapi usaha itu nyatanya tak terlalu banyak membantu. Di mulut pintu kemacetan nyatanya tercipta, dan saya, tentu saja mesti ikut berhenti.

Tak ada yang bisa dilakukan selain berhenti dan bengong. Ponsel sejak mau masuk garbarata tadi sudah saya matikan maka tak bisalah untuk sekedar update status kalau saya sudah berangkat. Memandang dan hanya memandang sekitaran, hanya itu. Dan saat itulah, suara itu terdengar. Saya menoleh ke belakang dan menemukan seorang mak-mak dengan pakaian sederhana khas orang daerah.

“ini sampai Balikpapan. Kayaknya ke Tarakan setelah itu,” kurang lebih, seperti itu lah jawaban saya. Sebenarnya, saya tak terlalu ngeh dengan pertanyaan si ibu. Hanya kata ‘samarinda’ saja yang lumayan jelas terdengar. Samarinda adalah kota yang sejarak dua jam perjalanan darat dari Balikpapan.

“Nggak ke Samarinda?”

“Kalau ke samarinda via darat”, aduh! Saya merutuki diri sendiri yang tetap saja sok bego dengan keadaan itu dan menjawab pertanyaan si ibu yang memang agak kacau struktur bahasanya dengan jawaban yang lurus-lurus saja.

“nanti kalau ke samarinda bisa naik travel atau taksi gelap di bandara.” benar saja. Orang lain yang pada akhirnya menyambut peluang kebaikan itu. Jelas, dan saya memang mengerti. Si ibu sama sekali sedang buta dengan daerah yang bakal ia tuju. Pesawat ini turun di Balikpapan. Dan ia harus ke Samarinda. Tapi ia tak tahu akan dengan cara bagaimanakah kedua kota itu terhubungkan olehnya.

Saya kemudian diam. Dan membiarkan si ibu berbicara dengan bapak penolongnya.

Kemacetan kemudian terurai dan kami mulai memasuki pesawat. Dan kesempatan yang terlepas, seringkali memang menawarkan diri kembali untuk si pelaku memperbaiki kesalahannya. Saya kemudian beriringan dengan si ibu saat menjangkau tempat duduk di pesawat. Si ibu tetap saja berkata-kata dengan suara kerasnya dan nampak kebingungan. Saya kemudian melihat tiketnya dan menemukan nomor 26 D tertera di sana. “ibu nomor 26 D, saya 24. Nomornya lihat di sini”, kata saya kemudian, sambil menujuk nomor kursi. Si ibu nampak mengerti.

Satu setengah jam perjalanan dan saya tak terlalu tahu apa yang terjadi dengan si ibu meski posisi duduk kami tak terlalu jauh. Saya kemudian memilih meneruskan membaca ‘Dua Tangis Dan Ribuan Tawa’nya Dahlan Iskan sambisl sesekali tertidur.

Di Bandara Sepinggan Balikpapan, saat turun dari pesawat, saya sempat kehilangan si ibu dari pandang. Sampai, ketika saya sudah memasuki ruang pengambilan bagasi, terlihat si ibu sedang menghampiri si petugas untuk bertanya sesuatu, yang saya tahu, dijawab dengan nada tak terlalu antusias. Saya pun menghampirinya, sudah saya putuskan untuk membimbing hibu hingga tercapai dengan sempurna hajatnya. Sungguh, ada pertarungan hebat di hati saya. Saya bukanlah orang yang begitu baik hati yang tanpa pikir panjang menyediakan punggung untuk beban orang lain. Tapi saya tahu, si ibu ini sama sekali buta akan daerah ini. Ia sendirian, dan ia sama sekali tak tahu bagaimana bakal menjangkau tujuannya. Mengandalkan ia mencari kendaraan sendiri tentu saja sangat riskan mengingat transportasi keluar bandara ini yang rada kacau dengan calo yang bergentayangan memenuhi pintu keluar. Sedang membiarkannya naik taksi resmi, tentunya bakalan mahal.

Tapi saya juga tahu, dengan melibatkan diri dalam kebingungan si ibu, maka artinya saya bakal merepotkan diri sendiri. Dan itu akan memakan waktu, juga perhatian, juga barangkali tenaga.

Tapi sudah saya putuskan akan membantunya. Petarungan itu telah selesai.

“ibu ada bagasi?”, saya bertanya. Ia mengiyakan.

Dan demikinlah.Saya kemudian membantu mencari bagasinya, yang berita baiknya ia sendiri rada-rada lupa dengan model bagasinya.

“itu! Itu, nak!” sebutnya sambil menunjuk sebuah kardus berbungkus plester yang sedang berjalan. Beberapa waktu sebelumnya, kardus oleh-oleh saya sudah saya dapatkan.

Saya pun mengambilnya dan mendekatkan ke si ibu. Tapi ia kemudian sedikit ragu. Hal yang seolah menguji keikhlasan saya untuk keputusan yang sudah saya pastikan sebelumnya. Saya kemudian mencocokkannya dengan bukti bagasi yang ada di tiketnya. Salah, itu lah kemudian hasilnyaTak ada pilihan lain, saya pun mengembalikannya ke conveyor.

Beberapa saat menunggu, akhirnya bagasi yang asli pun saya dapatkan.

Tidak sampai di situ. Kabar baik untuk ujian keikhlasan kembali dating. Bagasi si ibu ternyata lumayan berat dan saya mesti menggotongnya dan membiarkan si ibu yang membawakan sekerdus oleh-oleh saya yang berupa snack. Mengandalkan kereta dorong, saya lirik sudah tak bersisa.

Kami pun keluar dan mencoba mencarikan travel buat si ibu. Sebenarnya, bisa saja saya mengajak ibu untuk turut serta dengan travel yang sudah saya pesan. Tapi setelah saya konfirmasi ke sopirmya, keinginan itu tak mungkin terealisasi sebab tujuan si ibu ternyata daerah tenggarong yang mesti berbelok dari jalur travel yang saya tumpangi, Balikpapan-bontang.

Berdiri sendiri dengan barang bawaan di sekitaran, seorang calo kemudian mendekati.Si ibu minta ijin ke toilet dan saya mesti menunggunya. 125 ribu, angka itu yang calo tawarkan. Sebanarnya saya tak terlalu tahu harga pasaran untuk travel ke tenggarong. Untuk tujuan ke Samarinda saya mungkin masih bisa meraba-raba dengan membagi dua ongkos ke Bontang; bakal sekitar 50-75 ribu. Tapi ke Tenggarong..mmm saya tak terlalu tahu. Apalagi ini via calo, yang sudah menjadi rahasia umum bakalan mengutip sekian persen dari ongkos tarif itu. Yang saya maksud dengan sekian persen itu, sayangnya, bahkan bisa mencapai 30 %.

Untunglah kemudian si ibu datang. Beliau lah yang bakal jadi penentu apakah mau menaiki travel yang baru saja ditawarkan calo. Saya pun kemudan menyampaikan apa yang disampaikan calo, yang disambut oleh si ibu dengan beberapa detik diam untuk berpikir. Lalu, kata itu pun keluar; “iya, sudah!”.

Demikianlah. Sedikit terseok-seok membawa bawaan si ibu yang saya taksir hasil alam, saya mengantarkan si ibu ke mobil travel yang dimaksud si calo. Sopir travel yang bakala ditumpangi si ibu ternyata seorang bapak-bapak yang dari namanya saya tebak sebagai orang jawa. Fenomena ini memang tak terlalu mengejutkan sebab orang jawa lah yang memang banyak memenuhi kaltim.

Lepas menaruh bawaan, kami minta ijin ke sopir travel untuk sholat dulu. Ini memang travel eceran, bukan carteran, jadi mesti menunggu beberapa penumpang dulu sebelum pak sopir memutuskan berangkat. Saya sendiri, masih menunggu sekitar satu jam lebih sebelum sopir travel yang saya pesan bakal tiba di bandara.

Lega, itulah yang saya rasakan. Dengan berhasil mempertemukan si ibu dengan sopir travel, artinya sudah selesailah kewajiban saya untuk menghanguskan kebingunangn si ibu. Tapi beberapa saat kemudian, setelah selesai sholat, kelegaan saya ternyata masih kepagian. Meski sudah mengantongi nomor pak sopir dan sudah ditunjukkan lokasi mobilnya,si ibu masih minta diantar ke mobil travel tadi karena takut kesasar. Tak bisa tak, saya mesti mengantarnya lagi. Menolong jangan setengah-setengah, demikian ungkapan yang sering beredar.

Maka melangkahlah kami. Menyusuri jalan yang sama dengan beberapa saat lalu. Beberapa kali si ibu masih mengucapkan terimakasihnya dengan sedikit berlebihan. Saya masih saja menyayangkan sikap si adik yang mau ibu ini kunjungi, yang dengan tanpa bebannya membiarkan kakaknya ia lepakan begitu saja. Tanpa dijemput, atau tanpa dipesankan travel. Apalagi sendirian begini. Apalagi ini kunjungan pertamanya ke Balikpapan. Apalagi ini pertama kalinya ia naik pesawat. Apalagi, ini daerah yang begiitu jauh dari daerah asalnya, Lombok.

“istirahat di dalam saja, bu”, demikian kata saya ketika sampai.

“saya ijin dulu”, demikian lanjut saya.

Sekali lagi, si ibu mengucapkan rasa terima kasihnya. Saya tersenyum. Si ibu juga tersenyum dengan pandangan keibuannya. Saya tersenyum balik. Si ibu ganti mengeluarkan dompetnya--dompet khas orang kampung. Tapi saya sudah mampu menebak apa yang bakal ibu itu lakukan.

‘ini, nak”, katanya sampil mencoba menyalami saya dengan sejumlah uang dalam genggamannya.

“oh, tidak usah, Bu”, saya tersenyum. Mencoba menolak maksud tulusnya.

“buat beli rokok, nak”

Hehe. Lagi-lagi saya tersenyum. Ah, keluguan orang daerah. “Tak usah, bu, nanti kalau sudah sampai tujuan saja saya dihubungi”, demikian kata saya. Memang saya sudah memberikan nomor Hp saya ke si ibu.

“iya, nak. Nanti saya hubungi”

Selesai! Tinggal saya menunggu jemputan travel.

Tapi ternyata si ibu tidak memenuhi janjinya. Tidak! Tidak ketika sudah sampai tujuan si ibu itu kemudian menelepon. Bahkan ketika saya masih dalam perjalanan, bahkan ketika ia juga sedang dalam perjalanan, ponsel saya berdering menampilkan nomornya. Hanya untuk menyapa, hanya untuk bertanya sudah sampai mana. Ah!


Monday, January 23, 2012

Wednesday, January 18, 2012

Monday, January 2, 2012

Bookahlic; 2011

Target saya untuk tahun 2011 kemarin, seperti yang saya masukkan pada tantangannya GR, adalah 99 buku terbaca. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:

  1. Memaknai Jejak-jejak Kehidupan -- Qomarudin Hidayat
  2. Bercermin di telaga Cinta Sang Guru -- Tim Tarbawi
  3. Catatan Pernikahan --HTR
  4. Malam Terakhir -- Leila s Chudori
  5. Warisan Sang Murabbi ; Pilar-pilar asasi -- KH Rahmat Abdullah
  6. The Kite Runner -- Khaled Hossaeni
  7. Rectoverso -- dee
  8. Bete After Merit -- Tasaro
  9. Rabithah Cinta -- Afifah Afra
  10. Eliana -- Tere Liye
  11. Positive Parenting -- M Fauzil Adhim
  12. Semangkuk Cocktail Cinta -- Rahayu Aningtyas
  13. Perempuan Suamiku -- Izzatul jannah
  14. Surat kecil untuk Tuhan -- Agnes davonar
  15. Catatan Muslimah Belanda -- khairina dkk
  16. Ayahku (Bukan) pembohong -- Tere Liye
  17. Sketsa -- Ari Nur
  18. Arumdalu --Junaedi Setiyono
  19. Catatan Hati Bunda -- Asma Nadia
  20. Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya -- Ajahn Brahm
  21. Bidadari Bumi, 9 Kisah Wanita Sholihah -- Halimah Alaydrus
  22. The doctor; Catatan hati Seorang Dokter --Triharnoto
  23. Smart Parent; Menyanyangi Anak Sepenuh Hati -- Ida Nur laila
  24. Jatuh dari Cinta -- Benny Arnas
  25. Pengantin Subuh --Zelfeni Wimra
  26. Garis Batas -- Agustinus Wibowo
  27. Wandu -- Tasaro
  28. Surga Di Telapak kaki Ayah -- Ai
  29. Think Dinar -- Endy J Kurniawan
  30. Yang Galau Yang Meracau -- Fahd Djibran
  31. Jendela Cinta -- fahri Asiza dkk
  32. Living Islam -- Herry Nurdi
  33. 111 Kolom Bahsa Kompas -- Salomo Simanungkalit dkk
  34. Habis Gelap Terbitlah Terang

Huuu.. Ternyata jauh banget dari targetnya. Ha ha..


Kira-kira, target tahun 2012 ini berapa ya?