Thursday, February 16, 2012

cover




Begitulah, dik. Akan sangat panjang. Ide tentang rumah ini, seberbusa apapun aku membincangkannya, pada akhirnya adalah ide tentangmu. ('Dear, Allah': sebuah kumpulan surat tak biasa, dapat diperoleh tanggal 25 Februari, hanya di Bontang)

-jejaring-

Tadi pagi saya dibuat takjub. Bukan hal spesial memang, hanya sebuah  tawaran pertemanan yang muncul ketika saya membuka akun facebook menjelang jam blokir berdentang—jam tujuh pagi. Juga bukan tentang spesialnya orang yang mengajukan pertemanan itu. Rasa-rasanya, minimal sampai saat ini, tak pernah ada orang yang membuat saya bersorak atau bahagia secara berlebihan ketika namanya terpampang di daftar nama-nama yang mengajukan pertemanan di dunia maya ini.

Adalah dua nama yang masuk sebagai ‘mutual friends’ antara saya dengan si pengaju pertemanan inilah yang membuat saya tersenyum kecil pagi itu. Ah, dunia yang begitu luasnya, dengan manusia yang sudah mencapai milyaran  ternyata tetap saja ada potongan-potongan kejadian yang membuat kita sekali lagi bergumam, ‘dunia sempit sekali’. Saya dan si pengaju pertemanan sudah lumayan lama terhubung lewat blog, tapi saya dan dia juga memiliki penghubung lain selain blog, yang dekat sekali dengan dunia nyata, adalah hal yang baru saya ketahui ketika mengeklik ‘mutual friends’ tadi.

Nama pertama yang muncul di mutual friends itu adalah seorang adik tingkat di kampus saya dulu. Perempuan, angkatan 2007, yang artinya berselisih tiga tingkat dengan saya. Tapi saya kenal baik dengannya. Waktu ORMABA, ia dan beberapa temannya tergabung dalam sebuah kelompok dimana saya menjadi SC-nya kala itu. Dan di pagi itu lah otak saya merangkai sebuah penjelasan, ‘bukankah teman ngeblog saya itu orang ponorogo? Bukankah adik tingkat saya itu juga orang ponorogo? Bukankah usia mereka sama? Bukankah?’. Demikianlah, saya sudah menyimpulkan sendiri bahkan sebelum teman ngeblog saya itu memberikan penjelasan langsung kalau adik tingkat saya itu adalah teman SMA-nya. Begitu sempitnya dunia.

Nama kedua adalah sosok yang bahkan saya belum pernah ketemu langsung dengan orangnya. Saya juga lupa bagaimanakah mulanya saya bisa terkoneksi dengannya di FB—entah saya yang ngeadd, ataukah dia. Tapi tentu saja saya tahu siapa dia, sangat tahu. Minimal saya sangat tahu dengan orang yang begitu spesial baginya.  Ia adalah istri rekan kerja saya di Bontang. Boleh dikata pengantin baru. Orang Jogja atau Solo—entahlah, saya tak begitu tahu. Ternyata, demikian yang dikatakan teman ngeblog saya, ia adalah teman kakak tingkatnya sewaktu di STAN. STAN, memang alamamater teman ngblog saya itu. Begitu rumitnya sebuah jejaring.

Itu baru yang terlihat. Itu baru yang bisa kita klik lewat menu ‘mutual friends’. Boleh jadi, sebenarnya kita semua ini saling terhubung oleh sebuah jejaring yang sangat rumit. Orang nun jauh di sana, taruhlah di Papua, yang saya tak pernah bahkan untuk mendengar namanya, boleh jadi temannya si ini, yang si ini itu temannya si itu, yang si itu temannya si fulan, sedangkan si fulan suaminya si fulanah, dan si fulanan ini tak lain adalah kakak teman adik saya yang ada di kota x. Begitu seterusnya. Hingga apabila hubungan itu digambarkan, bahkan untuk melihatnya saja akan rumit.

Tapi saya tidak hendak berbicara hal itu. Saya akan berbicara hal lain, hal lain yang bila didekat-dekatkan, boleh jadi berhubungan dengan hal di atas. Hal tersebut, adalah apa yang sering disebut dengan butterfly effect. Bahwa, kepakan kupu-kupu kecil di belantara Borneo dapat menyebabkan Putting Beliung di Tasikmalaya. Bahwa, tindakan kecil kita boleh jadi berdampak besar bagi orang lain di sebuah tempat yang jauh dari kita.

Saya sedang memikirkan itu. Lebih tepatnya, kemarin, ketika menunggangi motor sepulang kerja, saat hendak mampir untuk membeli makan malam, pikiran itu selintas membayang. Bahwa tindakan teratur kita, yang terkesan biasa-biasa saja, semisal dimanakah membeli makanan untuk membeli makan malam, atau apakah membeli buah lokal atau import untuk memenuhi kebutuhan harian, boleh jadi akan bertumpuk-tumpuk dengan hal-hal sederhana lain membentuk akibat yang begitu rumit.

Tapi contohnya yang sama-sama sederhana saja. Ketika kita ingin membeli buah, keputusan kita apakah membeli di supermarket atau kah kios buah pinggir jalan, akan menentukan nasib banyak orang. Selanjutnya, ketika taruhlah kita memilih kios pinggir jalan, tentang buah apakah yang kita pilih, apakah buah-buahan lokal atau import, juga berdampak pada hal-hal lain yang ternyata tak sesederhana pilihan tersebut. Semua pasti mengerti ini. Keputusan kita untuk memebeli buah lokal, mungkin akan menjamin kelangsungan hidup seorang petani buah tua di pelosok desa nun jauh di sana. Tapi saya juga tahu, ada yang dengan ringannya berkata, ‘ah, persetan dengan akibat-akibatnya. Toh nggak berhubungan dengan gue. Gue pingin beli ini ya beli ini, ngapain ngurusin orang lain yang tak ada hubungannya dengan gue’.

Ah, ya, tak ada yang bisa memaksa kita untuk memikirkan itu semua kala mengambli sebuah tindakan. Tapi agaknya, kita perlu merenungkan ini sekali-dua barang sejenak, bahwa boleh jadi kerumitan-kerumitan yang membebat kita, adalah akibat tindakan sederhana dari orang lain nun jauh di sana. Bahwa seseorang yang nun jauh di sana, yang memperoleh kerumitan akibat pilihan sederhana kita, boleh jadi temannya si X, sedangkan si x itu kakaknya si anu, si anu keponakan jauhnya si itu, dan si itu teman kakak sepupunya si fulanah. Nama terakhir, si fulanah, boleh jadi tetangga dekat kita.

Kita memang tak pernah tahu dengan pasti akibat dari tindakan kita, tapi bertindak sebaik yang kita bisa, sebijak yang kita mampu, agaknya lebih tepat untuk dijadikan sebuah pilihan. Dan itu, semoga menjadi bekal jawaban, ketika kelak, segala tingkah laku kita dipertanyakan.

Wallahu a’lam.

Saturday, February 11, 2012

kawan, datanglah! : sebuah undangan

demi Yang mencipta
demi Yang Mengijabahi doadoa
Yaa Robbi....., perkenankanlah cinta merangkai sejarahnya

Ayu Mayangsari

(Biologi UGM 05)

&

Iqbal Latif

(Teknik Kimia ITS 04)

 
Untuk mengikuti sunnah Rosul-Mu dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah, wadda’wah
 
Akad nikah:
Sabtu, 25 Februari 2011
Pukul 09.00 Wita
Bertempat di Jl Harimau LL/8 BTN PKT Bontang Kaltim


Walimatul Ursy:
Sabtu, 25 Februari 2011
Pukul 19.30 Wita
Bertempat di Gedung Wijaya Kusuma Bontang Kaltim



Adalah Kehormatan, adalah kebahagiaan, jika teman-teman berkenan hadir untuk memberikan doa keberkahan buat kami berdua.


ayu&iqbal


Kunjungi web pernikahan kami: keluargaalbanna.com


Friday, February 10, 2012

tentang koin dan kerikil

Bayangkanlah sebuah gedung tinggi yang tengah di bangun. Belum sempurna pengerjaannya, maka tak heran nampak pekerja yang masih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang memperbiki dasar, ada yang tengah menyempurnakan puncak. Ada yang bergelantungan, ada yang tekun menekuri beton. Dan, di antara semua itu, adalah seorang pekerja di lantai atas terlihat melongok ke bawah, menunduk-nunduk mencoba menarik perhatian rekan kerjanya yang kebetulan berada dua tingkat di bawahnya. Ia ada perlu kala itu, entah apa. Ia bisa saja memanggil namanya, tapi tak ia lekaukan. Tentu saja, sebab suara yang memang sangat berisik kala itu, memaksakan diri untuk meneriaki si teman, tak ada yang bisa didapati selain suara teriakan itu segera berbaur dengan suara-suara lain, tanpa sama sekali menjejak di telinga orang yang dimaksud.

Tapi ia kemudian merogoh sakunya. Kebetulan sekali, ada beberapa koin yang tersisa di sana. Tak berpikir lama, ia genggam koin itu dan kemudian ia lemparkan ke temannya yang sedang ada di bawah. Untungnya, si pelempar koin kita ini mungkin berbakat sekali melempar mangga di pohon sewaktu kecil dulu, hingga dengan jarak dua tingkat itu, koin yang ia lempar tepat mengenai bahu temannya yang dimaksud. Memang tak terlalu keras, tapi cukup memberi kesadaran buat temannya itu bahwa ada sesuatu yang menerpa bahunya.

‘oh, koin ternyata’, demikian lirih temannya itu kala menyadari apa yang menerpa bahunya itu adalah sebuah koin. Memasukkannya ke dalam kantong lalu kembali menruskan pekerjaannya. Tapi sama sekali, sama sekali ia tak berniat untuk sekedar mendongak untuk mengetahui  siapakah gerangan yang telah menjatuhkan koin itu sehingga dapat ia miliki. Apakah ada seseorang yang sengaja melemparkannya, apakah ada seseorang yang tak sengaja menjatuhkannya, atau yang lain. Entahlah, ia tak berpikiran seperti itu.

Beberapa menit berlalu, satu lemparan koin kembali mengenai bahu si pekerja yang di bawah. Tapi sayang,  sama seperti yang sudah-sudah, si pekerja di bawah hanya ber-oh ria, memasukkannya ke kantong, tanpa sama sekali tergerak untuk mendongak. Demikian seterusnya hingga si pekerja yang di atas menyadari tak ada koin lagi di sakunya.

Tapi kawan kita yang satu ini tentu saja tak habis akal. Dipungutnya kemudian sebuah kerikil yang memang banyak berserakan di lantai gedung. Ia genggam, dan ia mulai berancang-ancang untuk melempar. ‘Puk’, demikian akhirnya kerikil itu lagi-lagi menerpa bahu temannya yang di bawah. Dan tidak seperti yang sebelumnya, demi menyadari sebutir kerikil telah menerpa bahunya, untuk pertama kali dalam beberapa menit yang telah berlalu, ia mendongak ke atas. Mencoba mencari dengan matanya siapakah gerangan yang telah melemparkannya.

Saudaraku, jangan terlalu serius memasukakalkan sepotong cerita di atas. Terima saja, lalu jawab pertanyaan ini; Apakah kita si pekerja di bawah itu? Yang koin-koin kecil tak sanggup membuatnya untuk sekejap saja mendongak untuk menginsafi bahwa ada si baik hati yang telah bersedia melemparkan koinnya untuk kita. Apakah si pekerja di bawah itu? Yang butuh kerikil-kerikil untuk bisa menyadarkan bahwa ada seseorang di atas yang telah menegur dengan lemparnnya. Atau, bahkan mungkinkah kita melebihi si pekerja itu, yang butuh potongan besi besar, atau bebatuan pejal, yang baru menyadarkan kita untuk mendongak barang sejenak.

Saudaraku, sesungguhnya Allah tak henti-hentinya melemparkan koin-koin itu kepada kita. Setiap saat, setiap waktu. Ketika kita hendak berangkat kerja, Allah tiba-tiba memberhentikan rinai hujan. Ketika kita sedang lapar dan tak ada makanan siap makan di rumah, Alllah kemudian mengirim tetangga baik hati yang mengirim makanan kepada kita. Ketika dompet kita terjatuh, Allah siapkan si jujur di samping yang kemudian mengingatkan kita tentang itu. Itu mungkin hanyalah koin-koin yang dilempar, hanyalah nikmat-nikmat ‘kecil’ yang Allah hadirkan. Tapi, Saudaraku, pertanyaan yang penting dari ini, adakah itu telah mampu membuat kita untuk mendongak barang sebentar saja, bahwa ada dzat yang telah begitu  berbaik hati mencukupi kehidupan kita?

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya......” (QS. An-Nahl: 18).

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)

Saudaraku, apakah kita si pekerja di bawah itu, yang membutuhkan kerikil-kerikil untuk menyadarkan diri? Apakah kita membutuhkan ujian-ujian kecil, kesusahan-kesusahan ringan, atau kemalangan-kemalangan untuk menyadarkan kita untuk mendongak dan mengingat, bahwa ada Allah yang Maha Berkehendak. Ataukah bahkan membutuhkan lebih? Apakah kita butuh orang-orang terdekat kita dimatikan, atau rumah-rumah megah kita hangus terbakar, atau kota kita rata disapu tsunami, atau yang lain. Apakah kita membutuhkan itu semua untuk sekedar mendongak dan mengingat Allah?

Saudaraku, kita semestinya tak membutuhkan ada koin-koin yang jatuh, atau kerikil-kerikil yang dilempar untuk bisa setiap saat mengingat Allah. Karena dengan mengingat ini saja, sudah jelas tertegaskan bahwa hati menjadi tenteram. Dan itulah kebahagiaan. Dan itulah apa yang dicari manusia. Dan itulah kebutuhan.

Tapi memang adakalanya kita lalai. Kita terlupa secara akut. Maka untuk itu, Saudaraku, kita mesti sering-sering berdoa, semoga koin-koin kecil saja sanggup membuat kita bersyukur, semoga kerikil-kerikil kecil membuat kita bersabar. Kedua-duanya, insyaAllah, sama-sama bentuk dari ketersadaran.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999 dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).




#terimakasih kepada seorang ustadz yang telah memberikan tausiyah ini sepekan yang lalu. Semoga jika ada kebaikan dari ini semua, amal kebaikan juga mengalir padanya#

Percayalah, kekhawatiran itu lebih banyak yang berlebihana

Semua ada masanya, semua ada penyelesaiannya. Dan percayalah, 95 % dari kekhawatiran itu sama sekali tak berdasar.

Ingatkah, kau? Kelas dua SD dulu, ketika masa-masa lucu nan menggemaskan itu, betapa kakak-kakak tingkat kelas tiga kerap kali menghembuskan tentang sebuah momok pada pelajaran berhitung kelas tiga. Adalah porogapit namanya. Konon, begitu yang dikatakan oleh kakak-kakak tingkat kala itu, materi itu begitu sulitnya hingga siapapun bakalan dibuat pusing olehnya. Kau, kala itu, lazimnya yang lain, juga dibuat sedikit gentar olehnya, meskipun ada rasa penasaran tentang seberapa sulitkah itu sebenarnya.

Di kelas dua SMA, kau tentunya masih ingat dengan jelas, peristiwa yang sama kembali berulang. Sejarah selalu berulang, begitu kata orang-orang, dan aku tahu kau mulai sedikit mempercayainya. Persis dengan peristiwa tahunan sebelumnya itu, lagi-lagi anak-anak kelas tiga meniupkan aroma yang sama; ‘hai kawan, diferensial ini tak ada apa-apanya. Kelak di kelas tiga kau akan menemukan tantangan yang sebenarnya. Integral namanya.’

Begitu juga masa kuliah, begitu juga masa-masa mencari kerja, begitu juga yang setahun yang lalu, begitu juga yang barusan. Bukankah kau dulu beberapa kali memikirkan tentang bagaimanakah cara mengerjakan skripsi ketika baru saja menginjak kuliah? Memikirkan yang tidak-tidak, sedikit ‘takut’. Juga tentang bagaimanakah kerja itu, tentang apakah kau masih sempat menonton sepakbola di sore hari.

Tetapi, kemudian kau tahu sendiri akhir dari itu semua. Mengerjakan porogapit di kelas tiga, sama mudahnya dengan menyelesaikan perkalian di kelas dua. Membabat habis soal-soal integral di kelas tiga, ternyata sama cepatnya dengan menuntaskan kasus-kasus diferensial di kelas dua. Begitu juga yang lainnya. Iya, benar, memang ada tekanan yang lebih, ada beban yang meningkat, tapi nyatanya itu hanyalah sebuah konsekuensi dari pertumbuhan. Tak ada masalah.

Maka kini, ketika ketakutan-ketakutan tentang sesuatu di depan itu tiba-tiba menghadang, kau tahu betul apa maknanya. Semisteri masa depan itu, semisteri itu pula ketakutan-ketakutan itu. Setakmenentu tentang hal-hal di depan, setak menentu itu pula kekhawatiran-kekhwatiran itu mestinya berlaku. Dan karena tabiat manusia yang memang kerap kali berlebihan untuk banyak hal, maka percayalah, 95 % dari ketakutan dan kekhwatiran itu sama sekali tak berdasar. Maka maju  membawa serta semua yang kau punya, melakukan serta semua yang kau bisa, adalah jawaban terbaik untuk menghadapinya.

Begitupun sebaliknya. Hal yang sama ternyata berlaku tentang bayangan-bayangan keindahan di depan. Berlebihan, itu pula kata yang nyatanya masih berlaku. Tapi tentu saja, itu bukanlah larangan untuk sebuah harapan. Hanya, bersederhana saja untuk semua itu. Sebab memang harapan adalah pemantik untuk sebuah optimisme.  

Itu saja. Kau jauh lebih tahu tentang ini itu. Berdoa sajalah! Sebab doa adalah senjata orang-orang beriman.

Selamat menghitung hari-hari!

Friday, February 3, 2012

A

Begitulah perpisahan! Semeriah apapun kau mengemasnya, sekocak apapun kau membuat acaranya, akan selalu kau dapati jenak-jenak saat kau berdiam diri dengan hatimu dan bergumam, 'ah, inikah saat itu'.

Melepas karyawan yg akan pensiun itu....

Wednesday, February 1, 2012

bookaholic: januari 2012

Pada akhirnya, membaca adalah sebuah hiburan. Sebuah pelepasan dari rutinitas yang barangkali menjenuhkan, berekreasi tanpa meninggalkan ruangan.

Sebenarnya, saya bukanlah pembaca yang 'baik'. Hampir tak pernah ada buku yang berhasil saya selesaikan dengan sekali duduk, semenarik apapun buku itu. Seringnya, saya butuh jeda-jeda yang lumayan sering untuk membaca sebuah buku. Bahkan, yang sering merusak catatan membaca saya, seringkali saya tertidur saat membaca. Pada mulanya duduk tegak, lalu merebahkan badan dengan posisi kepala masih lebih atas dari buku, lalu suara buku terjatuh. Tandanya, itu saya yang telah tertidur.

Januari ini, catatan membaca saya agak terbantu dengan cuti kemarin. Lepas dari rutinitas harian, serta banyaknya waktu selama perjalanan, itu membuat saya lebih rileks dan konsentrasi untuk membaca.Gangguan satu-satunya mungkin hanya satu ini: internet.

Nah, mulai tahun ini, saya berjanji pada diri saya untuk membaca secara selang-seling; habis fiksi lanjut nonfiksi. Begitu seterusnya. Sebab dengan itulah saya bisa mematikan capaian tahun lalu tidak terulang, ketika bacaan fiksi saya jauh lebih banyak dibandingkan nonfiksi.

Baiklah, berikut buku-buku yang terbaca selama januari kemarin:
  • Existere. Saya tahu bukunya mbak Sinta Yudisian ini bagus. Tahu dari review orang-orang, juga tahu dari kapabilitas si penulis yang beberapa bukunya sudah saya baca. Tapi saya tak kunjung memulai, itulah persoalannya. Sebelum saya sampai pada ceritanya, dan larut dalam cerita itu, maka kata menarik tak akan pernah hadir juga. Saat itu memang saya sedang tidak terlalu mood membaca novel. Entahlah. Hingga membuat buku ini teronggok cukup lama di lemari. Hingga januari ini. Hingga saya berniat memulainya, menekuri tiap halamannya, sampai 'masuk' dalam ceritanya. Ternyata, setting Surabaya yang ada dalam novel ini, selain temanya yang lumayan menarik, selain cara penulisan mbak sinta yang apik, membuat saya cukup antusias membaca novel ini.
  • Mencapai Pernikahan Barokah. Ha ha.. ternyata buku ust fauzil ini diperuntukkan buat yang akan menikah.
  • Giganto. Buku ini dapat di pesta Buku Jakarta tahun lalu. Kalau saya tak salah, saya peroleh dengan harga dua puluh ribu. Bercerita tentang primata purba yang ternyata masih hidup di pedalaman Kaltim, buku ini luamyan  membuat saya cukup tertarik untuk terus melembari tiap halamannya. Koen Setyawan, penulisnya, sepertinya orang yang mengerti dengan tema tulisan ini. Meski boleh jadi itu hasil risetnya semata. Buku ini saya habiskan saat cuti kemarin.
  • Dua Tangis dan Ribuan Tawa. Kesalahan sayalah yang hanya membawa satu buku pas cuti kemarin, membuat saya tak punya buku untuk menemani sepanjang perjalanan Pasuruan-Malang. Malang, memang membuat kota tujuan berikutnya setelah pasuruan, sebelum saya kembali ke Bontang. Buku Dahlan Iskan ini, akhirnya menjadi satu dari tiga buku yang saya beli pas ke Toga Mas malang. Sejak mengenal tulisan-tulisannya di jawa Pos, saya memang selalu bersemangat membaca tiap tulisannya yang renyah dan gurih itu. Begitu juga buku ini. Dimulai dibaca dalam perjalanan malang-surabaya, buku ini akhirnya saya tamatkan di bontang. Sepertinya saya masih ingin membuat tulisan tersendiri tentang buku ini, dihubungkan dengan pekerjaan saya yang sekarang.
Itu saja. Empat buku yang lumayan, dengan jumlah halaman yang lumayan juga. Semoga sebuah awal yang baik.
 

oh, baca review 'meraba indonesia' di GR jadi mupeng berat