Monday, April 30, 2012

(catatan pernikahan): kuper

Seperti yang sudah-sudah, kami berdua duduk di sofa. Saya memencet-mencet HP membuka FB sementara istri melakukan hal-hal biasa yang biasa ia lakukan saat kami nyantai saja di rumah. Sekitar sepekanan oasca kami menikah, pernah saya utarakan ke istri tentang rencana menikahnya seorang kawan karib saya sewaktu kuliah dulu dengan seorang akhwat IPB, di Jakarta. Maksud diutarakannya itupun hanya sebagai kabar saja, toh kami sepertinya tak mungkin mengahadiri pagelarannya. Bontang-Jakarta terlalu jauh untuk kami tempuh dalam dua hari libur kerja.

Pernikahan itupun sudah lewat, dan kalau saya tak salah sudah melewati bilangan tujuh hari. Beberapa foto acara pernikahan sudah mereka unggah di FB dan saya juga sudah melihat-lihatnya. Yang teranyar, yang baru saya lihat satu-dua hari ini, adalah foto mereka berdua kala bulan madu di Gili Trawangan, di Lombok sana. Saya juga sudah komentar di foto itu, hingga menjadi wajar saja jika foto itu kembali tampil di halaman pertama FB ketka saya membukanya kala itu. Maka, adalah keisengan saya mungkin bila kemudian mencoba menunjukkan foto itu pada istri. Maklum saja, belum pernah tercetuskan kata bulan madu di pembahasan hari-hari kami semenjak kami menikah 25 februari lalu.

“ini lo, foto temanku yang sedang bulan madu di Gili Trawangan”, begitu kira-kira ucap saya pada istri kala itu sembari memperlihatkan HP padanya.

“Gili trawangan? Di mana itu?, jawabnya singkat. Tidak terlalu ada wajah antusias dalam kalimatnya. Biasa saja. Seolah kalimat saya yang barusan tidak dimaksudkan untuk ‘menggodanya’.

“Gili Trawangan tak tahu?”, itulah kemudian jawaban saya. Maka kemudian meluncurlah ejekan canda saya. Tentang dia yang anak biologi, tentang dia yang ngakunya pecinta lingkungan, yang ngakunya suka segala hal yang berbau alam tak terkecuali laut dan segala sesuatu di dalamnya. Maka adalah sebuah hal yang aneh jika ia tak tahu Pulau Gili Trawangan yang terkenal akan keindahan lautnya itu.

“Untung, kan, istrinya kupernya bermanfaat? Coba kalau tahu Gili Trawangan, pasti sudah minta ke sana. Minta ini, minta itu”, jawabnya mantap.

Jawaban itu, tentu saja jawaban yang sama sekali tak saya prediksi. Jawaban yang bikin saya tersenyum, jawaban yang kemudian membuat kami larut dalam canda. Tapi tentu saja itu bukan jawaban harapan saya atas pembukaan kalimat dialog kecil ini. Sebab…..’ah, Sayang. Sekali waktu kau perlu meminta. Seorang suami akan merasa berharga kala mampu memenuhi permintaan istrinya. Bahkan permintaan-permintaan sederhana yang aku tahu kau tahu betul batasannya’

Pasuruan
30 April 2012

Saturday, April 28, 2012

(catatan perjalanan): di terminal bungurasih

Menulis Indonesia bagaikan mengisahkan sekelumit misteri yang rumit sekaligus menantang. Tak ubahnya mengupas sebiji bawang. Lapisan demi lapisan menguak sejarah, namun begitu terkuak mata kita perih karenanya. Tapi, biarlah mata ini perih. Yang terutama adalah saya berusaha mengelupasi lapisan-lapisan Indonesia. (Ahmad Yunus-Meraba Indonesia)

Siang hari yang Panas. Selalu, ketika pulang kampung seperti ini, pas menginjakkkan kaki di terminal Bungurasih Surabaya, akan ada perdebatan kecil dalam benak saya apakah akan naik bus patas ataukah bus biasa—bus yang selama kuliah dulu saya naiki saat pulang kampung. Saya tak tahu jelas bedanya. Sungguh. Sampai saat ini pun, saya belum pernah memutuskan untuk naik bus patas ketika pulang. Hanya, lewat reka-reka kecil saya, serta dari penampakannya, bus patas akan lebih nyaman dengan fasilitas AC, kepastian tempat duduk, serta tentunya tak akan ngetem sepanjang perjalanan. Meski, tentunya, dengan ongkos yang lebih mahal. Bahkan boleh jadi jauh lebih mahal.

Tak jauh sebenarnya jarak Surabaya-Pasuruan. Tak jauhnya itu, bisa kalian perkirakan dengan ongkos bus untuk menempuhnya yang hanya delapan ribu rupiah saja. Itu tentunya dengan bus biasa dengan armada yang semakin hari makin lusuh, lucek, dan menggerahkan kala dinaiki. Maka, karena dekatnya itulah kemudian membuat saya mendebat diri sendiri ketika ada keinginan untuk naik yang patas saja.

Entahlah, apakah ini subyektivitas saya saja. Kaca mata yang kini berbeda dengan ketika saya dulu masih menjadi anak kos yang berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Hanya, akhir-akhir ini sepertinya saya melihat bus-bus yang melayani rute Surabaya-jember semakin hari kondisinya kian tak terawat. Jangan harap lagi ada bus Akas dengan kaca bertulikan “AC tariff biasa”. Tak ada. Yang ada, hanya bus-bus dari PO tak terkenal dengan tempat duduk yang sudah lusuh, dan gerahnya minta ampun ketika ngetem di siang yang terik.

Saya tak tahu, apakah rute Surabaya-Jember semakin tak menarik saja hingga tak banyak PO yang tertarik untuk meginvestasikan armada baru dengan fasilitas yang lebih baik. Sedangkan, minimal sepengamatan saya, rute ini selalu ramai, bahkan ketika jam dua dini hari ketika dulu saya sempat pulang jam segitu. Atau, apakah pemikiran seperti ini yang berlaku; ‘jika dengan armada yang asal-asalan saja masih ramai, kenapa pula memakai yang bagus-bagus?’

“Jangan manja!”, inilah kemudian yang berkelebat ketika ada keinginan untuk tidak memilih bus biasa dengan ongkos murah-meriah.”ketika dulu kau semasa kuliah dapat nyaman menaikinya, maka seharusnya sekarangpun kau masih tetap nyaman menaikinya”, demikian lanjut suara itu. “Tapi ini lain, aku sudah kelelahan melakukan perjalanan dari Bontang. Masa masih harus berlelah-lelah lagi di bus yang panas, dengan konsekuensi sewaktu-waktu mesti berdiri dengan tas punggung sarat beban kala ada ibu-ibu yang baru naik dan tak kebagian tempat duduk?”, suara lain kemudian menimpali.

Seru.

Tapi siang itu saya melangkah ke arah yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.Meninggalkan ruang tunggu terminal dengan tas punggung menggantung, tangan kanan menenteng tas bekal untuk kehidupan sepekan ke depan, serta tangan kiri menjinjing kresek berisi oleh-oleh; menuju pemberangkatan bus patas yang melewati Pasuruan. Para calo berteriak menawarkan jasa, tapi saya abaikan. Terus saja melangkah. Tepat di jalur bus patas itu, mata saya melirik sebuah bus yang tengah parkir menunggu penumpang. Tampilannya tak terlalu bagus, tapi sepertinya ada keteraturan di dalamnya. Hati saya gentar, satu dua mencoba berhitung, tapi kemudian kaki saya membelok ke kanan, menuju tempat pemberangkatan bus tarif biasa.

Bus masih kosong, saya langsung saja masuk di deretan kursi untuk dua orang, di bagian depan. Seketika badan terasa gerah. Tapi itu salah saya juga, di siang-siang yang terik khas Surabaya ini masih saja mengenakan jaket, menyamakannya dengan kondisi di pesawat. Sementara penumpang mulai banyak, petugas asongan bersahutan, dan pengamen bersura cempreng meningkahi suasana. Kerongkongan saya haus, tapi yang lewat justru penjual air mineral dingin. Panas-panas begini minum air dingin memang akan berasa nikmat, tapi saya menghindarinya. Tak baik saja, begitu pemahaman saya. Bisa-bisa kepala dibikin pening karenanya. Di Pabrik saya mengenal istilah cooling down, atau heating up yang pelan-pelan. Tak boleh serampangan menurunkan atau menaikkan temperature system sebab dapat merusak material. Maka logika yang sama harusnya juga berlaku untuk tubuh kita. E3ntahlah, kita memang sering concern merawat barangt-barang tapi tak benar-benar serius menjaga tubuh sendiri.

Tapi tak ada lagi penjual air mineral yang masuk. Tumben benar untuk suasana sepanas ini. Maka ketika pada akhirnya penjual air mineral kedua masuk, ketika bus sudah ramai oleh penumpang, mau tak mau, meski sama-sama dingin, akhirnya saya beli juga. ‘Dua ribu”, demikian sebutnya untuk harga sebotolnya. Saya keluarkan selembar uang, dan ia menerimanya. Saya buka tutup botol, lalu saya minum. Tapi tidak langsung tenggak dan mulus melalu kerongkongan. Saya biarkan air itu memenuhi mulut agar tak terlalu dingin ketika tertelan.

Haus sudah tertunaikan ketika kemudian saya sadar. Ah, menyesal sekali jadinya. Saya benar-benar tak teringat bahwa semalan istri memasukkan satu buah air mineral gelas dan teh kotak dalam tas, beberapa saat saja sebelum saya berangkat. Tapi sudah terlanjur. Tak apalah, mungkin ini rejekinya si penjual air mineral. Dan maksud baik istri, tentunya masih akan bermanfaat di kesempatan selanjutnya.

Bus malaju. Saya kemudian bersyukur tak ada penumpang lain yang duduk di samping saya. Bukan kenapa, hanya saja dengan barang bawaan yang banyak seperti ini, pastinya bakal semakin sesak jika tempat duduk ini diisi berdua. Tapi tentu saja bus ini masih harus berhenti di mulut terminal. Di sana, boleh dikatakan terminal kedua dimana banyak penumpang yang tak masuk ke terminal menunggu bus yang diingini.

Asongan masuk sambil menyampaikan berita ke sopir tentang bus lain dengan rute sama baru saja berangkat. Sopir diam, tak terlalu menanggapi. Tapi bagi saya, tentunya itu berita buruk. Jika sopir mengikuti informasi si tukang asongan, maka tentunya ia membiarkan busnya parkir lama, membuat jarak dengan bus sebelumnya menjadi melebar.

Saya salah! Si sopir justru tak memberhentikan busnya lama-lama. Terus saja bergerak meski pelan-pelan dan membiarkan kenek dan kondekturnya tertinggal. Saya bersorak dalam diam. Di sebuah system di mana variable waktu tak terlalu diperhatikan dalam keberangkatan sebuah bus, keputusan sopir untuk tak ngetem adalah anugerah. Jarak menuju Pasuruan menjadi semakin dekat.

Kenek dan kondektur akhirnya masuk. Merangsek ke depan dan terlibat adu mulut ringan dengan sopir. Rupanya, kenek dan kondektur termakan perkataan tukang asongan, tapi si sopir beranggapan lain. Menganggap informasi itu hanya bualan asongan untuk membuat sopir melamakan ngetem yang pada akhirnya menguntungkan dia yang berjualan makanan. Ehmm..benar-benar logika yang tak saya pikirkan sebelumnya.

Bus melaju cepat. Serampangan. Klakson berkali-kali ditekan dengan cara yang sama sekali tak elegan. Taka da yang namanya penumpang adalah konsumen yang berarti raja. Ia diburu untuk cepat naik ataupun turun. Waktu adalah uang. Semakin cepat penumpang turun atau naik, maka semakin banyak kemungkinan untuk mendapatkan penumpang lain. Maka kecepatan menjadi begitu penting,maka mengklakson segala yang menghalangi laju kendaraan juga teramat penting, maka nyawa, ah, entahlah, di manakah letaknya saat itu berada.

Saya kemudian terkantuk-kantuk. Kelelahan setelah melakukan perjalanan darat malam hari Bontang-Balikpapan semakin terasa. Sedikit terselip harap, semoga si sopir mengerti, bahwa rizki itu dari Allah. Hanya dari Allah. Itu saja.


Pasuruan
29April2012

Kopdar yuk?

Wednesday, April 25, 2012

Apa saja tempat menarik untk dikunjungi di palembang?

(catatan pernikahan); kalimat-kalimatmu dua bulan ini

“tahu nggak?”, demikian istri saya memulai. Saat itu saya sudah siap dengan motor terstarter, dan istri baru saja menyamankan diri duduk di boncengan. “salah satu yang masuk dalam daftar impianku adalah memiliki kebun sayur dan tanaman langka sendiri”

“Dan Allah mengabulkannya dengan memberikan seorang suami yang suka berkebun”, ucap saya melanjutkan.

Memang, bukan tanpa alasan kalimat itu tiba-tiba tercetus. Di stang motor, dalam wadah kresek, memang sedang tergantung kompos yang baru saja saya beli di toko pertanian terdekat. Rencana saya memang ingin segera mengisi polibag-polibag kosong yang tersisa di rumah dengan media tanam agar bisa segera ditanami dengan sayur-sayuran yang diingini. Dan kalimat itu, adalah respon dari istri ketika saya kabarkan tentang apa saya lakukan barusan. Saat membeli kompos, istri memang tidak ikut dan memilih menunggu di rumah oraang tuanya, mertua saya. Itu pun karena saya membeli kompos sekalian sholat di masjid.

“Tahu impian lainnya?”, demikian istri melanjutkan ketika motor sudah seratusan meter meninggalkan halaman rumah mertua. “Yang pertama menunaikan haji ke Baitullah, yang kedua memiliki suami ahli ilmu, ahli ibadah, dan ahli Qur’an”

Mendadak sunyi. Kalimat itu begitu berat di dengar. Sementara motor terus melaju.

***
“Aku bersyukur memiliki suami yang mendukungku untuk hidup sederhana”

Kali ini latar meluncurnya kalimat ini adalah di sebuah acara pernikahan. Ini adalah gelaran pernikahan pertama yang kita datangi berdua sejak resmi menjadi suami-istri, hingga terasa istimewa.

“biasanya kalau mau ke nikahan seringnya dikomentari ibu, ‘baju ini jelek;, ‘jangan pakai ini’, ‘pinjam punya ibu saja lebih bagus’ “

Kalau tidak sedang di keramaian, ah, ingin rasanya melabuhkan kepalanya dalam dada. Persoalan ini mulanya sederhana saja. Sebelumnya, ketika hendak berangkat, ketika istri sedang memilih memakai baju yang mana untuk dikenakan ke pernikahan itu, dengan mantap saya mengiyakan ketika ia menawarkan sebuah gamis coklat biasa yang boleh jadi sebelumnya dikomentari terus oleh ibunya.
***
“Yang aku butuhkan memang yang tegas begini, yang tidak peragu. Biasanya kalau ngajak teman untuk beli ini itu seringnya sama-sama plin-plan dan tak bisa mengambil keputusan; ‘terserah kamu’, ‘boleh’, serta yang sejenis”

Kali ini persoalannya lain. Hari sudah beranjak larut untuk waktu Bontang. Saat itu kami sedang berdiri di dekat motor dan memasang helm. Baru saja kami membeli HP untuk mengganti HP istri yang sudah terlalu jadul dan telah masuk taraf menjengkelkan. Dan seperti biasa, istri memang menjadi si pehati-hati yang penuh pertimbangan ketika membeli sesuatu. Saya, sebagaimana biasanya, menjadi si tak pikir panjang yang lebih banyak bilang ‘ya, sudah, ini juga bagus’.

***
25 April 2012, tepat dua bulan sudah usia pernikahan kami. Benar, taaruf itu sepanjang waktu. Proses mengenal kepribadian pasangan itu sepanjang usia. Akan ada banyak hal-hal baru yang terus kita temui dari pasangan kita yang boleh jadi tak kita bayangkan, atau bahkan tak kita inginkan. Baik-buruk, menyenangkan-menjengkelkan, menerbitkan senyum-mengundang gelengan kepala, semuanya adalah keniscayaan yang bakal kita temui sebab pasangan kita bukanlah sesosok malaikat dengan paket kebaikannya. Maka, saya bersyukur sekali ketika kalimat-kalimat di atas meluncur dari lisan istri. Sebab dengan begitu, saya berharap, ia sedang sibuk untuk mempermukaankan kebaikan-kebaikan suaminya yang boleh jadi hanya satu dua itu, dan menenggelamkan dalam-dalam keburukan-keburukannya. Semoga itu bentuk syukur, semoga itu bentuk rasa terima kasih atas nikmat. Karena janji Allah pasti benar, Ia akan menambah nikmat hambanya yang pandai bersyukur.


Kantor Hijau
25feb12-25apr12: Sayang, sudahkan kita mengerti, kenapa menikah disebut sebagai penggenap agama?