Saturday, May 26, 2012

yang tersisa dari Bangka




Berhubung saya telah kehilangan motivasi untuk bercerita panjang lebar lewat catatan perjalanan, baiklah, gambar-gambar ini saja yang akhirnya saya tampilkan. Semoga cukup bisa merangkum perjalanan kemarin :Pelabuhan Muntok, Pantai Tanjung Pesona, Pantai Matras, Pantai Parai Tenggiri.

Salam...

Wednesday, May 23, 2012

(catatan pernikahan); tas punggung atau tas dada?

Seorang teman kerja protes!

Hari itu hari jumat. Beberapa sudah selesai sholat ashar, dan tinggal sejam lagi sebelum kepulangan. Saya sedang mencomot gorengan dan menghampiri tempat duduk saya ketika teman ini nyeletuk. Sebenarnya, teman yang satu ini agak jauh tempat duduknya dari saya. Hanya karena faktor kebetulan dia menghampiri teman lain yang tempat duduknya di belakang saya lah ia kemudian berada di sekitaran saya kala itu
.
“kamu itu, lo, nggak kasihan ta sama istrimu. Mbok, ya, waktu mbonceng tasnya ditaruh di depan”, demikianlah celetuknya.

Sudah hampir tiga bulan saya menikah, maka sudah hampir selama itu pulalah telah ada perempuan yang duduk di boncengan motor saya. Dengan cara membonceng yang begitu-begitu saja –tak ada perubahan.  Tapi tentu saja, bukan sebuah keterlambatan jika teguran teman kerja itu baru muncul belakangan. Sebab, memang baru-baru ini sajalah ia kembali masuk kerja setelah cuti melahirkan tiga bulan, hingga baru akhir-akhir ini juga lah ia kerap melihat saya membonceng istri saya. Dan, baginya, cara membonceng saya itu, tidak seharusnya.

Ceritanya memang tentang tas. Tas yang tetap saya paksakan tetap tersandang di punggung ketimbang ditaruh di dada saat membonceng istri. Bagi teman saya, tas itu berpotensi mengganggu istri saya yang ada di boncengan . Menjadikannya uyel-uyelan dengan tas.

“tapi istriku nggak papa, tuh! Nggak protes juga”, kilah saya.

“ya iya. Sungkan karo awakmu arep protes”

Haha. Saya tersenyum. Tentu saja, permasalahan ini sudah saya pertimbangkan betul sejak awal. Keputusan untuk tetap menaruh tas di punggung saat membonceng pun sudah melalui syuro kecil dengan hasilnya adalah persetujuan istri. Alasan saya kala itu, untuk tetap menaruh tas di punggung, adalah karena jadi agak repot mengendalikan motor  apabila tas disandang di dada. Apalagi dengan tas yang lumayan berat sebab terisi laptop. Maka masalah safety, bagi saya, dan juga mungkin bagi anda, adalah suatu hal yang harus diutamakan lebih dari sekedar rasa tak nyaman.

“kalau ditaruh di depan nggak enak, tuh”, jawab saya kemudian.

“ya iya memang!” jawab teman saya serempak. Ada satu teman perempuan lain yang menimpali jawaban itu.

Tapi dalam hati saya sedikit membenarkan teguran teman itu. Jangan-jangan memang istri merasa tak nyaman, jangan-jangan selama ini istri memang tak enak saja untuk menolak saat saya tetap menaruh tas di punggung, jangan-jangan….

“anti terganggu nggak dengan tas tetap di punggung seperti ini?”, demikian tanya saya sekitar satu jam telah lewat dari teguran seorang teman tadi. Saat itu istri sudah duduk nyaman di boncengan, dan motor telah melaju beberapa ratus meter dari area parkir.

“nggak, kok! Nggak apa-apa”, jawab istri saya.

“nggak! Soalnya…”, maka meluncurlah cerita saya tentang percakapan dengan seorang teman sejam sebelumnya. Tentang protesnya, tentang kemungkinan istri sungkan, tentang apakah perlu tas ini ditaruh di dada saja.

“malah enak begini, bisa dipeluk-peluk tasnya” sahutnya.

Saat itu, tanpa menoleh, tanpa melirik ke spion, saya tahu istri sedang memeluk tas punggung saya. Kedua tangannya terasa sedang saling terkait di antara tas dan punggung saya. Saya tak melihat ekspresi wajahnya hingga tak bisa saya simpulkan apakah ia sedang serius ataukah sedang bercanda.

“masak yang dipeluk tasnya?” goda saya kemudian.

Tak ada jawaban. Hanya yang saya tahu, jawaban atas pertanyaan itu, pelukan ke tas perlahan melonggar. Kemudian tangan itu beralih. Saat itu, saya berharap jalanan seketika menyepi.

Sunday, May 20, 2012

untuk seseorang yang hanif hatinya

***
Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.
***


Dik,

Apakah yang kau artikan dengan rumah? Kamus besar bahasa Indonesia kita mendefinisikan rumah sebagai sebuah bangunan untuk tempat tinggal. Sesederhana itu saja, hanya sebuah definisi fisik tanpa imbuhan lain. Tapi Fahd Djibran, dalam sebuah bukunya, yang kuharapkan kelak kau mau ikut membacanya, menyebutkan rumah sebagai sebuah tempat dimana segala kenangan tertanam, segala doa tercurah, segala harapan bertumbuh, dan rasa rindu harus dituntaskan di sana. Memang manis benar definisi itu, terasa bombastis, tapi mungkin begitulah harusnya. Rumah itulah memang, sumber sekaligus muara, titik tolak beserta titik tuju.

Jika kau mau sedikit merenunginya, di rumahlah kita merancang masa depan, kemudian merincinya menjadi kerja-kerja harian. Lalu atas rincian-rincian itu, tak jarang kita mesti berangkat di sebuah titik waktu tertentu.Bukan untuk meninggalkannya dan tak kembali, tapi hanya pergi. Pergi untuk memenuhi janji-janji masa depan. Sesaaat ataupun lama, karena rumah adalah titik tolak sekaligus titik tuju tadi, kita selalu berjanji untuk kembali. Kembali yang tak hanya sekedar kembali, tapi kembali sembari menjinjing rindu yang berpelangi. Rindu akan teras depan rumah, rindu akan pojokan tenteramnya, serta yang pasti, rindu akan penghuninya. Maka di sebuah titik waktu ketika kita hendak pergi itulah, akan selalu ada dua rasa itu; enggan dan ingin. Enggan untuk meninggalkan rumah, sebab segala kenyamanan yang sudah begitu dalam tertanam di sana. Tapi juga ada ingin, sebab ada hal-hal baik lain yang mesti dikerjakan di luaran sana. Menjadi tak heranlah kemudian bila, di saat-saat pergi itu, kita kemudian menatap lamat-lamat sepasang, atau dua pasang, atau banyak pasang mata yang melepas. Untuk memberi sebuah keyakinan pada pemilik mata itu, bahwa pergi ini untuk sebuah hal yang baik, dan akan kembali dalam keadaan lebih baik. Lalu kita mengatur langkah, guna meneladani nabi kita, tentang kaki mana yang lebih dahulu menjejak tanah. Lalu mengucap salam. Lalu pergi.

Begitulah, Dik. Di teras depan rumah itulah fragmen pelepasan akan sering terjadi. Tapi di tempat itu pula, pertemuan-pertemuan juga bakalan mementas. Polibag-polibag yang berisi tanaman sayur depan rumah kita itu, akan menjadi saksi bisu ketika seseorang pergi, dan yang lain dengan hangat melepas.  Suatu saat, aku, kau, atau kita, mesti pergi untuk sebuah hal, lalu meninggalkan rumah dalam kesendiriannya, atau kelak meninggalkan anak-anak dalam kemandiriannya. Lalu di kemudian hari, kala waktu telah menuakan, kitalah yang akan melepas anak-anak untuk menjemput janji kehidupannya. Tapi kita yakin, benar-benar yakin, bahwa mereka pada akhirnya akan pulang, sejauh apapun mereka telah melanglang. Sebab di rumah ini lah segala kenangan telah kita tanam untuk selalu mereka rindui. Di rumah itu pula, segala cerita-cerita baik kita hamburkan untuk senantiasa ingin mereka dengar kembali. Tapi yang paling penting, yang benar-benar harus kita pastikan, sebab di rumah itulah , sepasang orang tua yang tak pernah jemu mengajarkan kebaikan, selalu ingin mereka temui.

Tapi dari rumah juga harapan-harapan bertumbuh, cita-cita melangit, dan doa-doa berhamburan. Di setiap ruangnya, diskusi-diskusi begitu hidup, dan majelis ilmu senantiasa tergelar. Ada hikmah yang rajin dibagi, ada pengetahuan yang tak bosan ditularkan. Juga ada rapat keluarga ketika si kecil kita biarkan bersuara. Maka dari rumah itulah ide-ide dikonstruksi dan sebuah peradaban kita miniaturkan. Rumahlah gambaran itu semua. Bagaimana caranya mengisi sudut ruangan dengan perabotan, atau menghias halaman dengan tanaman, adalah sedikit dari berbagai gambaran yang akan menunjukkan cita-cita sebuah keluarga.

Dan inilah uniknya. Ketika dari rumah ide-ide terlahir, gerak-gerak dirancang untuk sebuah frase qur’ani bernama  bertebaran di muka bumi, maka di rumah pulalah energi itu mesti berlimpah untuk setiap saat diserap. Kita boleh saja lelah seharian bergumul di luaran, jerih oleh hantaman kanan-kiri, serta limbung oleh realitas-realitas hidup, tapi kita harus bisa memastikan bahwa rumah, adalah sebuah tempat dimana segala penat itu mesti menguap, dan energi dengan cepat tercerap. Maka pulang selalu menjadi solusi menarik ketika energi itu begitu menipis. Bukan untuh sebuah kekalahan, layaknya pasukan yang kalah perang. Tapi untuk sebuah penghimpunan kekuatan, untuk kemudian kembali ke pertarungan. Fragmen seorang ayah yang kelelahan sepulang kerja, lalu tiba-tiba bersemangat main kuda-kudaan demi melihat puteranya yang masih batita, adalah sebuah contoh bagus dimana di dalam rumah, energi itu begitu cepatnya terserap.

Begitulah, Dik. Akan sangat panjang. Ide tentang rumah ini, seberbusa apapun aku membincangkannya, pada akhirnya adalah ide tentangmu. Maka, meminjam kalimat Salim A Fillah dalam sebuah bukunya yang cukup monumental itu, pertanyaan inilah yang pada akhirnya aku kemukakan; bersediakah kau menjadi ustadzah rumah ini? Sebab, yang sama-sama kita ketahui, rumah inilah madrasah pertama anak-anak kita nanti. Jauh sebelum mereka mengenal sekolah formal, jauh sebelum mereka mengenal lingkungan luar. Dan menjadi kewajibankulah, untuk mencari ustadzah yang sholihah bagi mereka. Maka, menutup surat ini, pertanyaan ini agaknya cukup krusial untuk dikemukakan; Dik, adakah itu kau?




20 desember 2011
*dipetik dari buku 'Dear Allah'*


Saturday, May 5, 2012

(catper); empek-empek palembang

Meski boleh dibilang baru-baru saja merasakan pengalaman pertamanya, saya sudah pernah makan empek-empek Palembang ini. Pernah juga Tekwan. Pernah juga Model. Pernah juga kue delapan jam. Dua yang pertama, di Bontang, sudah cukup banyak yang menjual, baik di warung-warung pujasera yang setiap saat bisa disambangi, maupun yang hanya melayani  pesanan dalam jumlah yanag cukup besar. Di Bontang, masyarakatnya memang cukup beragam hingga tak heran makanannya menjadi ikut beraneka. Di Bontang itu pulalah memang saya pertama kali mencicipi makanan khas Palembang itu.

Tapi tetap saja, mencicipi keduanya langsung di tempat muasalnya, adalah sebuah hal yang sepertinya amat sayang untuk dilewatkan kala kesempatan untuk itu terhampar di hadapan. Pasti ada yang beda. Pasti! Jika bukan persoalan rasa, mungkin persoalan perasaan berbunga karena memakan sesuatu di tempat lahirnya sesuatu itu. Maka rencana saya kala ke Palembang tentu saja, salah satunya, adalah hal itu. Jika makan pagi di penginapan, makan siangnya disediakan panitia acara, makan malam lah kiranya waktu yang dapat digunakan untuk memenuhi keinginan itu.

Ada beberapa  tempat yang sudah di rekomendasikan sebenarnya. Tapi tentu saja saya tak tahu itu di mana. Saya butuh teman. Selain untuk membersamai, tentu saja sebagai penunjuk letak—meski ini bisa dieliminisir dengan memanggil taksi yang akan mengantarkan ke tempat yang kita tuju. Untuk itulah, mengajak teman yang sudah lama di Palembang adalah pilihan yang menarik. Makan empek-empek di Palembang, ngobrol dengan orang Palembang (baru), membincangkan sriwijaya FC, kemacetannya, Alex Nurdin….ah, rasa-rasanya bakalan nikmat.

Hari selasa, rencana itu justru saya sangsikan sendiri.  Tapi tenang saja, bukan hal tak mengenakkanlah yang menyebabkannya. Sebab ketika ada sekelompok orang telah masak-masak menjadwalkann sesuatu untuk kita,  kenapa pula kita mesti repot-repot untuk menjadwalkannya sendiri. Dan,nyatanya, itulah yang kemudian berlaku. Jika di acara-acara yang biasa saya ikuti, coffe break diisi dengan makan kue-kue, atau buah, atau sekedar membuat kopi, tapi di Palembang ini lain. Bayangkan saja, coffe break pagi hari ada tekwan, di sore hari ada empek-empek kapal selam. Jika di pagi hari saya merasakan tekwan dengan rasa yang lebih enak dengan yang biasa saya makan di Bontang, maka di sore harinya saya memakan dua potong kapal selam ketika yang lainnya umumnya mengambil sepotongan. Maka puaslah saya, maka tak perlu lah untuk mencarinya sendiri. Ini sudah cukup. Lebih dari cukup.

Kemudian, demi merayakan euphoria merasakan nikmatnya empek-empek Palembang ini, saya kemudian meng-sms seorang teman kantor yang asal lampung, yang istrinya orang Baturaja—kota yang tak jauh dari Palembang; “empek-empek Palembang enak, yo?”.  Tentu saja sms ini terkesan nakal dan menggoda. Sebab, sehari sebelumnya, sebenarnya ia sms saya lebih dulu  dengan harapan nitip empek-empek Palembang agar bisa ia nikmati di Bontang. Tapi, apalah daya, saya tak langsung pulang. Saya mesti meluncur dulu ke Pangkal Pinang. Tak mungkinlah membawa empek-empek turut serta ke sana. Selain merepotkan, tentu saja karena bakalan basi setiba di Bontang.

Ada yang mesti dikorbankan dari rencana saya ke Pulau Bangka ini. Saya sadari betul hal itu, dengan kadar rendah mulanya, dengan kadar lebih tinggi pada akhirnya. Salah satunya memang itu; tak bisa membawa oleh-oleh empek-empek special Palembang buat orang-orang yang dicinta. Tapi itulah resikonya.

Ruang tunggu SHIA
6 mei 2012
 
 

Tuan-nyonya, negerimu memang indah tiada tandingan...

Friday, May 4, 2012

(catper): bontang-pasuruan-kebumen-surabaya-palembang

Tak terlalu terpikirkan sebelumnya kalau pengalaman pertama ke Sumatera ini ternyata melelahkan juga. Saya ketahui dan sadari sebelumnya memang, bahwa tak ada maskapai yg melayani penerbangan langsung Surabaya-Palembang. Semuanya harus transit via jakarta, baik yg mau connect maupun yg terpisah. Dalam hal ini, Jakarta memang bikin ngiri. Kemana-mana mudah saja dan tak perlu berpanjang jalan. Tidak seperti orang medan, misalnya, yg mesti terbang ke jakarta dulu untuk ke Palembang.

Tak ada pilihan yg benar-benar menarik untuk penerbangan connect Surabaya-Palembang ini. Semuanya menawarkan transit dengan durasi yg panjang. Kalaupun tak terlalu, jam terbang dari Surabayanya yg terlalu pagi. Dengan berangkat dari Pasuruan, tak mungkinlah sebelum subuh saya bertolak demi mengejar penerbangan pagi itu.

Tapi saya mesti memilih salah satunya. Mau tak mau. Untuk memilih penerbangan terpisah agaknya terlalu beresiko sebab ancaman ketinggalan pesawat akan menghantui. Maka, kemudian, transit empat jam tak apalah. Toh saya bisa baca-baca. Toh saya bisa sambil ngenet. Waktu akan cepat bergulir bagi orang-orang yg menikmati betul aktivitasnya.

Pesawat yg Surabaya-Jakarta ternyata tepat waktu. In.i kabar baik sekaligus kabar tak baik. Baiknya, tentu saja tentang ketepatannya itu tadi. Tapi kurang baiknya, transit minimal 4 jam benar-benar akan saya lakui. Tidak terbagi di Surabaya lebih dulu.

Melelahkan juga. Transit selama itu ternyata cukup lumayan menggerogoti stamina, meski saya sudah mengisinya dengan ngenet ria untuk cari tiket kepulangan. Saya memang tak memiliki kartu kredit hingga tak memiliki kesempatan menikmati fasilitas lounge di bandara dengan gratis.

Untungnya pesawat lagi-lagi tepat waktu. Di kisaran jam keberangkatan, petugas mempersilakan kami naik pesawat. Berduyunlah kemudian kami masuk. Saya juga menyempatkan diri untuk sms teman yg ada di Palembang mengabarkan tentang telah masuknya saya ke pesawat ini. Teman saya itu memang meminta saya untuk meng-sms-nya ketika akan berangkat agar ia yg berencana menjemput saya itu dapat memperkirakan sampainya.

Tapi pesawat tak kunjung berangkat. Penumpang sudah siap di tempat duduknya masing-masing, tapi tak ada tanda-tanda akan segera take off. Cukup lama waktu menunggu itu sampai akhirnya suara empuk itu menyapa lewat pengeras suara: permintaan maaf atas keterlambatan, serta pemberitahuan tentang keberangkatan yg segera. Saya sedikit menggerutu sebab pastinya saya bakalan membuat teman menunggu.

Pesawat mendarat di Palembang sekitar jam enam. Sekitar satu jam lebih lambat dari jadual. Maka sembari menunggu bagasi, segera saya sms teman yg mau menjemput tadi tentang kedatangan saya. Barangkali ia tak tahu, barangkali ia kemana gitu karena kebosanan menunggu tanpa adanya konfirmasi.

Teman saya itu sedang ke masjid, begitulah kiranya ucapnya. Ia juga meminta saya menyusulnya ke sana setelah itu sebab lokasinya yg tak jauh dari pintu kedatangan. Ide bagus juga. Tak apalah.

Pintu kedatangan itu seperti pintu kedatangan bandara lain pada umumnya. Ramai oleh penjemput dengan beberapa membentangkan kertas nama, juga ramai oleh orang-orang yg menawarkan jasa transportasi. Saya, seperti rencana sebelumnya, sibuk mengitarkan pandangan mencari keberadaan masjid yg dimaksud teman saya. Hingga tak terlalu mengamati wajah-wajah, hingga sedikit abai sekitaran. Saat itulah, ketika saya masih celingukan, sebuah suara yg dekat sekali di telinga menyapa untuk menawarkan taksi. Saya menggeleng, mengucap bakalan dijemput, sembari terus melangkah. Saat itu saya memang sudah mendapatkan lokasi masjid yg dimaksud.

"dijemput siapa, pak?" hei, sopir ini lancang betul tanya-tanya mengingat saya sudah bergeser cukup banyak langkah dari pertama kali ia menyapa.
"teman" toh, akhirnya saya jawab juga.
Dan tak tertahankanlah tawa itu. Saya menoleh. Menemukan sepotong wajah yg sudah lama sekali tak saya temu. Senyumnya tetap jenaka, penampakannya pun tak segemuk yg ia kabarkan via internet. Tapi kami tak berpelukan. Hanya berjabat tangan, lalu bertukar senyum. Ah, saya tak tahu apakah rindu dengan lelaki ini. Dua tahun kami sekamar waktu kuliah dulu, menjalani masa-masa perjuangan di surabaya bersama, mencari beasiswa bersama, juga tak terhitung durasi waktu dimana kita isi berdua. Ada banyak cerita dengannya yg tak akan habis dibahas semalaman. Dan kini kita kembali bertemu, setelah tiga tahun lebih. Dalam keadaan berbeda, dalam status yang tak lagi sama.

Saya kemudian ke masjid. Sementara ia menunggu di luarannya. Lihatlah, ia 'memamerkan' mobil yg baru dua bulan dibelinya.


Sepanjang jalan muntok-pangkalpinang
4 mei 2012

Aduh, logat saya ketahuan betul kalau orang jauh...

Aduh, logat saya ketahuan betul kalau orang jauh...

Aduh, logat saya ketahuan betul kalau orang jauh...

Thursday, May 3, 2012

(catper): ide bangka

"Yang terpenting dari sebuah perjalanan bukanlah tujuan, tapi perjalanan itu sendiri"

Saya benar-benar tak merencanakannya! Mulanya, ketika memperoleh kepastian bahwa saya akan didinaskan ke Palembang, yang ada di benak saya adalah ini: saya akan mengambil cuti hari senin agar bisa pulang kampung lebih dulu, berangkat lagi ke Palembang hari selasa, lalu saya akan menunda pulang di hari sabtu untuk memberi kesempatan diri untuk menelusuri Palembang. Acaranya sendiri memang hari rabu dan kamis hingga seyogyanya saya pulang jum'at untuk masuk kerja lagi seninnya.

Tapi tak ada yang tahu dengan hari esok. Tak ada! Tak ada yg tahu selain yg Maha Tahu. Bahkan hari Jum'at malam ketika saya telah meninggalkan Bontang, bahkan ketika saya sudah tiba dengan selamat di kampung halaman, rencana awal itu masih berbaris rapi dalam bayang pikiran. Hanya saja, yg belum benar pasti, adalah tempat-tempat mana saja yg kiranya bakal saya kunjungi sewaktu di Palembang nanti. Untuk itulah kemudian saya searching-searching. Untuk itulah kemudian saya membuat pertanyaan terbuka di mp untuk minta masukan.

Ada beberapa saran yg kemudian masuk: menyusuri musi, wisata kuliner, sampai dengan meng-explore kompleks Jakabaring. Semuanya terlihat menarik meski tidak menarik-menarik amat. Saya antusias, meski tak terlalu. Tapi kemudian, di akhir-akhir, saran dari teman mp bernama ludi lah yg menggoyahkan iman rencana awal saya : Bangka.

Saya tak tahu benar, apakah ini pengaruh buku 'Meraba Indonesia' yg sedang saya baca, ataukah memang kata 'Bangka' terdengar begitu sexy di telinga hingga terlalu sayang untuk dilewatkan. Yang jelas, setelah itu, saya jadi lebih antusias menjalani perjalanan ini. Pertanyaan-pertanyaan kemudian berlanjut tentang apa saja cara menuju ke sana, juga tentang tempat-tempat yg direkomendasikan untuk dikunjungi. Saya lumayan malu soat ini; saya termasuk suka dg pelajaran geografi, tapi saya tak menyadari kalau Pulau Bangka itu tinggal menyeberang saja dari Palembang.

Jika jadual acara yg bakal saya ikuti benar, maka setidaknya hari kamis siang sudah selesai. Maka setidak-tidaknya kamis sore atau malamnya saya sudah bisa bertolak. Saya memang mesti menghemat waktu untuk ini. Untuk itulah, pilihan menyeberang dengan feri lebih menarik ketimbang kapal cepat. Kapal feri ada yg berangkat malam hari sementara kapal cepat adanya cuma pagi hari. Selain ada keinginam untuk melakukan perjalanan ini sebiasa mungkin yg bisa saya mampu dalam hal pemilihan fasilitas. Kapal feri malam adalah jawaban itu. Saya akan bermalam dan tidur di kapal, sementara paginya langsung bertualang di bangka barat, untuk kemudian lanjut ke Pangkal Pinang.

Tapi kemudian permasalahan timbul. Karena mulanya hanya dimaksudkan untuk keliling di Palembang saja dan tak ngelayap ke Bangka, saya menghadapi permasalahan barang bawaan. Akan saya kemanakan bawaan itu? Tak mungkin kiranya kalau menenteng tas jinjing itu kemana-mana sementara punggung sudah dibebani ransel. Saya memang hanya membawa tas jinjing, itupun mulanya saya maksudkan untuk ditukar dengan koper yg dibawa keluarga sewaktu berkunjung ke Bontang dua bulan sebelumnya.

Sebenarnya saya punya rencana cantik untuk mensiasati itu. Barang bawaan akan saya titipkan di teman yg ada di palembang sementara saya ke Bangka. Esoknya, atau dua hari setelahnya, saya akan menyeberang lagi ke Palembang. Lalu pulang.

Tapi geografi saya masih payah juga. Saya tak sadar kalau banka itu luas dan tak cukup satu jam menjangkau pangkal pinang dari pelabuhan. Amat tak enaklah bila saya memilih kembali ke Palembang ketika kaki sudah menjejak Pangkal pinang. Apalagi dengan adanya pilihan untuk ke Jakarta langsung dari pangkal pinang.

Isi tas jinjing saya tak banyak sebenarnya. Hanya potongan pakaian resmi untuk acara, juga kaos. Juga buku. Tapi tetap saja itu banyak. Seandainya rencana ini sudah digagas sejak awal, tentunya saya hanya membawa ransel saja dengan isi seperlunya. Tentunya juga, saya tak membeli banyak buku di surabaya. Apalagi buku resep masakan berhalaman ribuan yg saya maksudkan untuk dihadiahkan ke istri.

Tapi semuanya sudah terjadi. Tak ada yg perlu disesali terjadinya. Kini saatnya menjadikan yang telah membubur menjelma menjadi bubur ayam istimewa. Meskipun butuh ayam, meskipun butuh bumbu-bumbu tambahan. Tapi kenikmatan kala menyantapnya, akan membayar lunas jerih-jerih usahanya. Dan inilah kemudian rencana saya terbaru: buku-buku akan saya poskan ke bontang dari pasuruan, sementara kelengkapan lain yg masih diperlukan di Palembang, akan saya poskan di sana. Untuk itu lah saya hanya akan membawa tas jinjing. Tas itu akan saya lipat-lipat untuk dijebloskan ke kardus. Ditambah baju-baju. Ditambah oleh-oleh yg mungkin. Saya sendiri akan terbang langsung dari pangkal pinang ke jakarta. Cantik betul rencana itu.

4 mei 2012
di atas kapal sinar bangka

Tuesday, May 1, 2012

Dan.....sumatera

sebuah kritik sosial, pak #wapres mengatur azan | bingkai hidup ridwansyah

http://ridwansyahyusufachmad.com/2012/04/29/sebuah-kritik-sosial-pak-wapres-mengatur-azan/
ini saya copast saja.. Menggelitik

###

Ini apa pula boediono minta suara azan diatur atur. . . . Lama ga tampil tau tau bicara azan. Ckckck

mending pak boediono bantu bung hatta deh ngurus ekonomi. Masa suara azan dikecilkan ? Kalau perlu dikencengin tuh azan, terutama subuh

Kalau azan subuh kenceng banget. Kan bangun tuh semua muslim. Pada ke mesjid deh jadinya. Insya Allah berkah negeri ini.

Kalau perlu boediono minta saat azan semua kerjaan berhenti. Biar makin sholeh negeri ini.

Di korea, pemerintah mereka larang lady gaga tampil. Biasa aja tuh. Ini di indonesia, MUI di bilang ga ngerti seni.

Besok besok bisa jadi tampil bugil di depan panggung disebut seni, campur baur ga jelas di bilang seni. Ckck. . Suju dtn bandara macet

Di negara sekuler bernama turki aja ada kawasan industri yg saat azan mereka pending produksi utk sholat dulu sejenak

Kita mau sholat aja dibilang ekstrim. Hadeeeh. Ini katanya negeri mayoritas muslim. Tp kelas menengahnya begini banget ya hehe

Maaf kalau kasar pak wapres. Tapi saya jd meragukan bapak. Terutama ttg bgmn anda memandang dan menyikapi anda. Anda muslim kan ?

oke gini deh pak #wapres.. bapak mau nya gimana ? azan di sayup sayup agar masuk ke kalbu ? masa sih ? kalau sayup ngantuk ada juga

saya bisa bangun subuh meski badan sedang lelah karena muazin masjid dekat rumah memasang suara azan sangat kencang. kalau sayup ? tdr lagi

anda tau pak #wapres , ada negara yg sdh lama atur-atur ttg azan juga. nama negara tersebut Israel pak #wapres . bapak berafiliasi kesana ?

pak #wapres yth (ini gw masih sopan loh ya, gak maki-maki). yang suara lirih dan sayup itu saat doa , bukan azan. beda konteks dan tujuan

doa itu komunikasi antara insan manusia dgn penciptanya, bersifat pribadi. sedangkan azan itu seruan dan panggilan. hakekatnya mmg keras

ini kata pak #Wapres: Masjid Jangan Jatuh ke Tangan Radikalis http://dlvr.it/1V9zHS <– kata siapa radikalis ? masjid yg mana ? :-)

apakah kalau saya mengajak orang sholat, perempuan menggunakan jilbab, anak muda agar berprestasi,dan komitmen dgn syahadat itu dsb radikal?

atau kah karena di masjid masjid sekarang mulai ramai gerakan #indonesiaTanpaJIL , jadinya sama pak #wapres itu dianggap radikal ? :-)

saya baru dua kali nge tweet ttg #wapres , pertama saat beliau ngumpet dan menghilang saat kisruh BBM awal april lalu. ini yg kedua

setelah menghilang berbulan bulan dari pengumpatannya, pak #wapres dpt ilham utk mengecilkan suara azan. bisikan dr mana ya ?

pak #wapres yth.ini negara mayoritas muslim.apa ada yg salah bila warga bapak ingin menikmati azan dengan jelas.bisa tau kpn hrs sholat

saya sedang di palu, tinggal di hotel yg jauh dr masjid. saya tdk dengar azan sejak saya tiba. tdk tau kapan harus sholat. tdk menyenangkan

bapak #wapres , saya tidak sedang mengecam pribadi bapak. saya sedang mempertanyakan ucapan bapak, dan juga aqidah bapak. mohon maaf

buat saya, himbauan mengecilkan azan sama seperti himbauan untuk memendekkan hijab/jilbab. mohon maaf, azan itu lah kekuatan umat Islam

Pak #wapres ,setau saya anda di pilih oleh mayoritas rakyat negeri ini. negeri yg dominan muslim. apakah itu suara rakyat yg memilih anda ?

pak #wapres , anda bicara di depan dewan masjid Indonesia ya ? semoga masjid kampus, dan masjid dekat rumah saya tdk hadir dipertemuan itu

pak #wapres , anda pernah tidak hidup sepekan tanpa dengar azan. saya pernah pak, saya di portugal tdk dengar suara azan. saya rindu pak

sampai satu hari, di hari jumat,saya mencari2 dimana masjid di kota lisbon itu. dan saya menemukannya.azan berkumandang,air mata saya jatuh

saya rindu azan pak #wapres , ternyata ada bbrp mushola dan mesjid di sana. tp azan nya tdk dikeraskan. saya tdk ingin negeri kita spt itu

pak #wapres , bapak pernah lihat MTQ kan pak ? azan itu bukan utk dilombakan, bukan merdu2an aja pak.ini masalah jiwa yg disemai oleh azan

pak #wapres. pagi ini saya akan bicara di universitas tadulako,seminar besar. saya mohon izin utk mengkritik bapak di acara tsb nanti

pak #wapres , kebetulan saya jg sdh siap perbanyak flyer #indonesiatanpaJIL , apakah saya perlu mengaitkan ucapan bapak dgn flyer tsb ?

saya seorang muslim pak #wapres ,bapak saya juga.beliau selalu didik saya utk bergegas ke mesjid saat azan berkumandang.tunda semua kerjaan

pak #wapres , azan itu seruan dari Allah. muazin itu media nya saja. mic dan pengeras itu adalah sub-media nya saja. panggilan Allah pak

bapak #wapres kalau bicara di depan umum, pengennya mic nya keras atau sayup2 pak ?kalau sayup pada bisa denger gak pak ? apa jadi meresap?

kalau suara Allah saja dikecilkan suaranya. buat apa saya kenceng2 dengar suara bapak. suara pak #wapres lebih oke kalau lirih senyap pak

pak #wapres ,dulu saya masih agak bela bapak kalau bpk gak neolib banget.tapi sekarang saya harus tegas mengatakan bapak itu liberal banget

bapak #wapres , kalau bapak ingin suara azan sayup sayup. saya ingin suara bapak SENYAP .. boleh tidak pak ? ini aspirasi warga pak

pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiiin

pak #wapres . maaf pak. saya cinta sama bapak. maka nya saya ingatkan bapak. dgn cara yg halus. agar kita bersama di surga pak kelak. amiin

pak #wapres , kembalilah ke jalan ilahi pak. suara Allah itulah petunjuk kehidupan. hidup ini utk pecahkan soal kehidupan pak.

pak #wapres , saya bukan muslim radikal kok pak. saya cuma muslim biasa yg selalu rindu suara azan. yuk pak #wapres , kita dengerin azan

jangan lukai perasaan sesama muslim pak #wapres , bapak tokoh publik. bapak muslim kan ? mana ada muslim sejati minta azan di kecilkan . .

waktu SD saya ikut TPA, belajar ngaji. diminta latihan azan. saya di ingatkan guru ngaji saya “yusuf, kalau azan itu yg kenceng banget”

teman saya dipuji dan disemangati oleh guru ngaji saya pak #wapres,karena dia teriak keras saat azan. katanya “azan harus keras”

kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” .. jd yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .

kenapa azan harus keras? kata guru ngaji saya, “supaya setan kabur terbirit birit” jadi yg takut azan itu adalah setan pak #wapres .

ini pak #wapres kata sahabat saya –> @bintansholihat : udayusuf : saya yg perantau ini malah kangen bgt denger suara azan kenceng2 #wapres

pak #wapres , akibat pernyataan bapak.saya meniatkan diri utk membelikan masjid deket rumah saya sebuah speaker yg baru.doakan bisa terwujud

pak #wapres .. ketemuan yuk di istiqlal . kita belajar azan bareng. agar bapak bisa merasakan indahnya azan pak. makin keras makin sejuk

sekali lagi ya pak #wapres , saya mohon izin utk kritik bapak di depan 300 mahasiswa univ tadulako pagi ini. agar warga palu tau siapa bpk

pak #wapres , drpd minta kurangi volume azan. mending bapak minta kurangi volume suara diskotik, tempat dugem, atau konser konser gak jelas

pak #wapres :-) .. ah aku manggil2 pak wapres mulu. beliau dengar gak ya ? semoga. kan saya pakai “pengeras” suara bernama twitter hehe

pak #wapres .. tobat lah pak. kembali jalan yg benar jangan mencla mencle. fokus ke keahian bapak di bidang ekonomi.

kecuali bapak #wapres dpt membuktikan kaitan antara tingkat suara azan dgn pertumbuhan ekonomi sebuah negara ?

udahan dulu ya pak #wapres ,saya mau mandi,sarapan, lalu siap2 berkoar2 kritik bapak di mahasiswa se-palu. jangan di boikot ya acara saya

pak #wapres , sholat dhuha yuk. ini sholat gak pakai azan loh pak wapres :-)