Tuesday, June 26, 2012

cerita dari kubangan lumpur

Ini cerita pada sebuah pagi ba’da mabit anak rohis SMA… Cerita tentang penanaman kepedulian pada lingkungan sekitaran.

: menanam bakau!

Pernahkah kau melihat anak-anak remaja bergumul lumpur di sebuah padang lumpur yang ingin diimpikan menjadi hutan bakau yang rimbun? Pernahkah kau melihat antusiame muda-mudi yang bersimbah peluh tetap mencoba mengarifi buminya?

Jika tak pernah, ijinkan aku bercerita pada kalian. Mereka masih usia belasan, masih mencoba menatap tajam masa depan. Amat menyenangkan sekali memandang mereka. Sungguh, menyenangkan sekali. Jika yang sering kalian saksikan adalah muda-mudi alay yang jingkrak-jingkrak nonton konser musik di lapangan, maka saat di kemudian hari yang kau tatap adalah sekelompok anak muda yang bersusah-susah menjaga lingkungannya, menyingsingkan lengan, serta membiarkan kaki telanjangnya terperosok dalam kubangan, kau akan merasakan keteduhan yang terlalu hebat untuk diceritakan.

Ada tawa. Ada celoteh khas remaja. Ada cinta.

Tapi kemudian menjadi beda. Bukan gerimis, bukan hujan lebat, atau bahkan bukan bibit yang kurang yang membuat beda. Adalah seorang gadis yang tiba-tiba terdiam, tertunduk, terisak dalam kesendiriannya lah yang kemudian mengundang perhatian. Lihatlah, kakinya benar-benar terperosok dalam, dan butuh waktu lama untuk membantunya lepas dari cengkraman lumpur nan berat itu. Tapi, orang-orang yang sempat mengira kalau sesenggukan kecil itu bermula dari keterjebakan si gadis dalam lumpur, menjadi heranlah setelahnya. Sebab bahkan ketika kakinya telah terbebas, ketika ia sudah bisa kembali berjalan dengan lebih leluasa, tangis itu ternyata tak kunjung reda. ‘Ada apa’, begitu tanya orang-orang lewat tatapan matanya.

Kau mungkin seperti aku mulanya, yang menganggap si gadis terbiasa dalam keberadaan, terlimpahi kemudahan, hingga mudahlah baginya untuk mengeluarkan air mata kala kesulitan yang tak biasa ia hadapi itu kemudian menderanya. Tapi kemudian, seperti halnya aku, harusnya kalian akan tertohok setelah mendengar penjelasan ini. Ya, lewat kalimat yang patah-patah, si gadis akhirnya mau bercerita pada pembimbingnya, beberapa saat ketika kegiatan berakhir.

Ia ingat ibunya. Hanya itu. ia ingat ibunya yang tiap hari mesti mencari kerang di hutan bakau. Bertahun-tahun ia mengira, bahwa itu adalah pekerjaan biasa yang tak membutuhkan banyak perhatiannya. Bahwa itu mudah saja dilakukan oleh ibunya. Tapi baru hari itu ia mengerti dengan sepenuh hati. Kala kakinya terperosok cukup dalam, kala ia merasakan berat yang sangat bahkan untuk melangkah, ia sadar, pekerjaan yang dilakoni ibunya itu adalah pekerjan luar biasa yang tak akan mungkin dapat dilakukan dengan begitu istiqomah. Kecuali karena cinta, karena tanggung jawab, karena rasa ingin yang besar untuk melihat keluarganya memperoleh penghidupan yang layak.

Menjadi pecahlah tangisnya.


#berdasarkanceritaistri,dengandramatisasiseperlunya:)

Thursday, June 14, 2012

(surat dari jakarta) ; Dear Allah


Surat teruntuk,
Iqbal Latif & Ayu Mayangsari

Assalamu’alaykum wr wb…

Saat saya pertama kali mendengar bahwa souvenir pernikahan kalian adalah buku, saya benar-benar dibuat penasaran, bagaimana bentuk bukunya? apa isi bukunya? koq bisa terpikir memberi memberi souvenir buku? Menarik, sangat menarik, terutama buat saya yang begitu menyukai buku. Saya yakin kalian pastinya sangat suka membaca, karena tidak mungkin terbersit memberi souvenir pernikahan ‘tak lazim’ ini di kepala seseorang yang tidak menyukai buku. Saya kemudian jadi berharap semoga kreativitas ini menjadi inspirasi dan bahan pertimbangan bagi para calon pengantin dalam memilih souvenir yang insyaALLAH akan berperan untuk membangkitkan semangat membaca.

Alhamdulillah, rasa penasaran saya tertuntaskan setelah minggu lalu pak pos menyerahkan paket yang berisikan buku berjudul ‘Dear Allah ...’ Rupa-rupanya, buku ini berisikan kumpulan surat yang ditujukan ke berbagai pihak, dari keluarga, sahabat, hingga pemimpin bangsa. Membaca sebuah surat memang lebih bisa merasakan apa yang ingin disampaikan si penulis , seperti ketika saya membaca buku harian. Maka sepanjang membaca surat demi surat, ada sebagian yang membuat saya berpikir, “ya ya, saya juga merasakan hal yang sama.” Sentilan akan kerapuhan moral bangsa, pentingnya budaya membaca dan berdirinya perpustakaan yang tepat guna, serta kenangan, kebahagiaan, kesedihan ketika bersama keluarga, semua pernah juga saya pikir dan rasakan. Hanya bedanya, saya tidak menuliskannya, dan disitulah letak kerugiannya. Beruntung untuk kalian yang senantiasa ringan untuk menggerakkan jemari.

Hai Iq, kalau boleh saya berkata, “meski sebagian besar surat ditulis olehmu, tapi penutup berjudul Dear Allah yang ditulis istrimu, Ayu, sangat menyentuh.” Renungannya berhasil membuat saya kembali menengok niatan awal pernikahan dan merenung tentang hakikat hidup dan apa yang telah saya raih sejauh ini. Sungguh, buku yang ditutup dengan tulisan yang begitu cantik.

Kalau boleh sedikit menyampaikan saran ya. Buku ini sebenarnya layak untuk diterbitkan pada pembaca yang lebih luas. Tapi mungkin akan diperlukan pembenahan, terutama dalam penyusunan tulisan yang menurutku masih ‘morat-marit’. Mungkin akan lebih membekas lagi jika surat-surat diklasifikasikan, berdasarkan tema, tokoh, atau apapun ide yang ada di kepala kalian. Dan kemudian, klasifikasi itupun dikerucutkan hingga berujung pada perenungan di tulisan penutup yang sudah sangat bagus peletakkannya.

Saya rasa rasa sekian dulu suratku untuk kalian. Semoga isinya berkenan dan akhir kata, saya hanya ingin berdoa,

Barakallahu lakaa wabarakah ‘alaika wajama'a baynakuma fii khair

Wassalamu’alaykum wrw wb,
Sinta, yang mewakili juga keluarga di Rawadas, Jaktim



sumber: blog sinta nisfuana

Thursday, June 7, 2012

Saturday, June 2, 2012

Ayo, nonton khalifah di trams7

petuah pak dosen; sumber daya, urea, dan lingkungan

Dosen itu tiba-tiba menghentikan penjelasannya. Mukanya terasa menegas seolah ada sesuatu hal besar yang tiba-tiba menyergap pikirannya, dan mendesak untuk segera disampaikan.

“Dunia sekarang bergerak ke kutub-kutub ini: optimis, pesimis, juga antisipatif”, begitu mulainya. Tentu saja ini melenceng jauh dari pembahasan training kali ini. “Yang optimis, menganggap sumber daya alam ini tak akan pernah habis, akan cukup melimpah untuk memnuhi kebutuhan manusia. Maka mereka mengeksploitasi  dengan gila-gilaan sumber daya yang ada tanpa sekalipun memikirkan apakah akan ada yang tersisa bagi generasi berikuntnya.”

Percayalah! Taka da satu hal kecil sekalipun yang sedang kami bicarakan sebelumnya yang menyinggung permasalahan ini. Jika kemudian Pak Dosen ini tiba-tiba melontarkan kalimatnya tersebut, pasti ada sesuatu hal besar yang harus ia sampaikan. Semacam tanggung jawab moral. Saat itu kami training Computational fluid dynamic, sebuah software yang dapat digunakan untuk mengetahui pola aliran sebuah fluida, ataupun panas.

“Yang pesimis, adalah mereka yang berpikir sebaliknya. Mereka yang percaya bahwa sumber daya ini akan segera habis. Tapi mereka tak melakukan satu halpun untuk mencoba mencari penyelasaian atas apa yang ia percayai itu”

Saya terdiam. Manggut-manggut. Tema ini terlalu menarik untuk diabaikan.

“Nah, yang berdiri di antara keduanya, adalah orang-orang yang kita sebut dengan golongan antisipatif. Mereka percaya bahwa sumberdaya ini bakalan habis, maka mereka melakukan banyak hal agar itu tidak terjadi, atau minimal tertunda. Mereka melakukan penghematan, mereka melakukan penelitian-penelitian untuk substitusi-substitusi.”, ada antusiasme terpancar di wajah dosen itu.” Sekarang, tinggal kita. Kita sedang berdiri di barisan mana. Keyakinan kita itu, akan menentukan tindakan kita selanjutnya”

Sebuah pertanyaan yang tak perlu dijawab, saya tahu itu. Sejak dulu, kami sudah diajarkan bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Maka, bagi saya, tiga golongan di atas sebenarnya menjadi dua saja; yang peduli, dan yang masa bodoh.

“Saya yakin kalian yang hadir di sini termasuk golongan yang percaya bahwa sumber daya alam ini suatu saat akan habis. Tentu saja yang saya maksud di sini adalah minyak, gas alam, batu bara, serta barang tambang lain”

Kami masih diam.

“Pernahkah kalian sadari, bahwa permintaan akan sumber daya alam ini nyatanya tak bergerak segaris dengan pertumbuhan penduduk. Kian menuju kemari, dengan kian bertambahnya manusia –spesies pengeksploitasi sumber daya alam itu, ternyata kebutuhan akan sumber daya bukan sekedar bertambah, tapi justru bertambah berlipat-lipat. Artinya apa? Jika dulu satu orang , taruhlah, rata-rata menghabiskan satu satuan sumber daya dalam tiap satu periode waktu, manusia sekarang bisa menghabiskan dua, atau tiga, atau bahkan sepuluh”

Kebutuhan, saudara-saudara. Betapa tema ini sudah sering kali diulas. Betapa kebutuhan jaman sekarang kian mengabur dengan sebuah keinginan-keinginan kita.

“Apa sebenarnya kebutuhan kita? Pangan, papan, pakaian. Itu saja”, ada bulatan-bulatan yang kemudian digambar oleh pak dosen itu di papan. “Mari kita tinjau tentang pangan ini. Orang-orang dulu membutuhakan makanan secukupnya saja, cukup untuk menghilangkan lapar. Tak lebih. Lebih banyak memanfaatkan sumber pangan di sekitarnya. Tapi sekarang, hal seperti itu tidak lagi cukup. Kita tak hanya makan tiga kali sehari, tapi juga memerlukan cemilan-cemilan di antara ketiganya. Bahkan sekedar makan tiga kali pun belum cukup. Harus enak. Harus dengan lauk banyak. Harus dengan porsi besar. Tidak cukup dengan sekedar menghilangkan lapar, tapi juga mesti kenyang, kalau perlu kekenyangan. Maka jadinya apa? Kian menuju kemari, kebutuhan akan makanan ini kian berlipat-lipat. Sementra bumi, tempat makanan itu tumbuh dan berkembang, ya tetap itu-itu saja sejak dulu.”

Ah, saya tahu, ini perkara tanggung jawab. Ini tentang kewajiban menyampaian apa yang diketahuinya.

“Maka karena kebutuhannya yang memang berlipat-lipat, ketersediaan bahan makanan itu juga mesti berlipat-lipat. Jika kita bicara tentang beras, maka sawah-sawah mesti ditambah, kalau perlu menebangi hutan untuk membuka lahan. Jika tak bisa, maka harus diupayakan agar sawah-sawah yang ada bisa berproduksi jauh lebih banyak, dengan waktu panen yang semakin singkat. Jadilah kita kemudian mengenal urea untuk menggenjot produktivitas. Bila orang-orang jaman dulu memupuk sawahnya cukup dengan kotoran hewan, itupun juga tak sering-sering amat, maka petani sekarang memerlukan berkarung-karung urea untuk menyuburkan lahannya. Tanpa urea itu, padi-padinya seakan mandul hingga tak mampu lagi membulirkan biji-biji padi. Tentu saja, urea-urea itu telah mematikan kemampuan tanah untuk bisa menyuburkan dirinya sendiri. Ada mekanisme yang terputus, atau diputus”

Saya menelan ludah. Ini kiranya point yang ingin disampaikan itu. Permasalahan lingkungan yang sedang dipaparkan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas ketersediaan pupuk nasional.

“Dan urea itu, kita semua tahu, diproduksi dari gas alam. Memang bahan makanan itu dapat kita perbarui, tapi yang tidak kita sadari, pembaruan itu mesti harus mengkonsumsi sumber daya alam yang sama-sama kita pahami sebagai sumber daya terbatas. Inilah masalahnya”

Hmmm. Pilihan sulit.

“Sebenarnya, apa, sih yang dibutuhkan tanaman dari urea itu? Dari unsur C, O, N, dan juga H yang ada pada urea, sebenarnya hanya unsur N dan O saja yang dibutuhkan. Tanaman-tanaman itu hanya membutuhkan nitrat. Nitrat yang sebenarnya bisa dihasilkan oleh bakteri pada tanaman kacang-kacangan, atau petir”, dosen itu sejenak menjeda kalimatnya. Menarik nafas dan mengedarkan pandangannya kea rah kami.  “N dan O itu, seperti kita ketahui, pada produksi urea memang ditambahkan dari udara. Sedangkan C dan H, yang sebenarnya tidak diperlukan oleh tanaman dari urea itu, ironisnya yang justru berasal dari gas alam. Artinya, gas alam yang kita pakai untuk memproduksi urea itu, sebenarnya hanya sebagai carrier saja, agar N dan O itu bisa sampai ke tanaman, agar N dan O itu bisa terlarut dan bisa diserap akar tanaman. Artinya gas alam itu kita pakai untuk kemudian kita buang ke lingkungan begitu saja”

Sudah dua tahun lebih saya bekerja di pabrik urea ini, tapi baru sekarang saya menyadari fakta ini.

“Tugas kita sebagai orang proses sebenarnya yang mesti mencari solusi untuk ini. Anda-anda yang ada di sini, mesti bisa memikirkan agar bagaimana granulator-granulator yang sekarang ada, pililing-prilling tower yang sekarang berdiri, suatu saat akan menghasilkan pupuk kompos granule atau pupuk kandang prill. Tak bisa tidak. Masa depan bumi tidak terletak pada urea prill atau granule  yang sekarng, tapi terletak pada pupuk organic. Kita sedang berpacu dengan waktu, kapankah saatnya pupuk ramah lingkungan itu bisa mensubstitusi pupuk urea yang sekarang. Bumi kita tak bisa menunggu lama “

Dan inilah pointnya . inilah ujung dari semua itu.

Sesi computational fluid dynamic pun dilanjutkan kembali.


2 juni 2012
Kecubung 17