Saturday, July 14, 2012

detik-detik menjelang akad

Sabtu, 25 Februari 2012. Hari masih pagi, tapi saya telah berganti pakaian. Celana putih, baju putih, serta peci putih –yang meski kekecilan untuk kepala besar saya- , telah sempurna saya pakai. Saya tak cemberut, tak juga terlalu sumringah, begitu yang masih saya ingat. Semuanya sudah siap, mahar pun juga telah selesai dihias meski dengan tingkat kemendadakan yang lumayan berat. Saya tak perlu memikir banyak hal. Saya mesti memfokuskan diri pada sebuah waktu beberapa jam lagi, saat saya duduk, lalu mengucapkan sebuah kalimat yang akan menjadi pembeda banyak hal.

Mungkin ini yang disebut dengan keadaan ketika kita dalam keadaan berbaik sangka pada Allah dalam kadar yang begitu tinggi.

Rumah tentu saja masih sepi. Hanya ada keluarga yang memang menginap sejak kemarin-kemarin. Beberapa makanan seadanya juga telah siap. Ada yang beli jadi, ada yang memang sengaja dimasak—hal yang membuat dapur kembali berfungsi setalah mengalami masa vakumnya. Tapi tamu-tamu yang sedianya mengiringi rombongan tentu saja belum datang.

Seorang lelaki kemudian masuk. Teman saya. Teman yang jauh-jauh hari telah saya mintai tolong untuk mendapatkan tugas mulia ini: tukang memutar nasyid di laptop pas acara. Sebelumnya ia memang janji akan datang pagi-pagi sekali ke rumah.  Saya kemudian mengeluarkan laptop kecil saya. Disanalah nasyid-nasyid yang telah saya pilih sudah saya kumpulkan. Memang, sampai sejauh ini, kami bahkan belum bertemu langsung untuk membicarakan ini. Entahlah, mungkin kami yang sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga permasalahan ini hanya terdiskusikan via sms. Tapi tak perlu ada yang dicemaskan, semuanya akan baik-baik saja. Saya telah mimilih nasyid-nasyidnya, ia tinggal menyesuaiakn nasyid apa yang cocok diputar untuk momen-momen tertentu. Dan itu butuh kepiawaian tersendiri.

Ini cocok pas momen ini, ini cocok pas salaman. Ini enaknya pas makan. Begitulah! Pada akhirnya diskusi tentang nasyid tertap saja tak terhindarkan, hingga tercetuslah sebuah ide, yang kemudian disepakati, bahwa nasyid ‘Robithoh’nya Izzis akan sangat pas saat diputar ketika calon pengantin pria datang dan berjalan menuju tempat akad.

Selesai. Kemudian si teman bergegas menuju rumah mempelai perempuan untuk mulai bersiap-siap dan mengepaskan koneksi laptop dan audio yang ada di sana.

Demikianlah! Ringkas cerita, tibalah saya pada saat itu: ketika saya bersama rombongan, sejarak seratus meter dari tempat berlangsungnya akad, berjalan dalam langkah pelan. Di depan, yang tentu saja cukup jelas dalam pandangan, nampak orang-orang berdiri menyambut. Dan senandung itu!

Sesungguhnya Engkau tahu
bahwa hati ini telah berpadu
berhimpun dalam naungan cintaMu
bertemu dalam ketaatan
bersatu dalam perjuangan
menegakkan syariat dalam kehidupan

(Duh, Gusti, inikah memang saat yang paling menghunjam untuk menikmati nasyid ini? Dulu-dulu memang selalu menghunjam kala disenandungkan, tapi mendengarkannya dalam keadaan harap untuk hati yang saling bertaut dalam bingkai iman dan perjuangan, jelas menimbulkan efek menghunjam dengan dosis yang lebih berat)


Kuatkanlah ikatannya
kekalkanlah cintanya
tunjukilah jalan-jalannya
terangilah dengan cahayamu
yang tiada pernah padam
Ya Rabbi bimbinglah kami

(maka inilah doa indah itu. Hati siapa yang tak lumer, hati siapa yang tak meleleh)

Lapangkanlah dada kami
dengan karunia iman
dan indahnya tawakal padaMu
hidupkan dengan ma'rifatMu
matikan dalam syahid di jalan Mu
Engkaulah pelindung dan pembela

(Amin, ya Allah! Kabulkanlah!)

Saya terus melangkah, sampai kemudian nasyid itu dihentikan.  Saya berhenti, rombongan berhenti. Masing-masing perwakilan keluarga maju untuk melakukan prosesi serah terima. Saya tak tahu akan ada sesi ini, tapi saya ikut saja. Tak ada ruginya.

Saya kemudian maju selangkah. Calon mertua juga.  Kemudian, dalam waktu yang cepat, kalung bunga melati diulurkan. Saya merundukkan kepala sedikit, memberikan keluasaan kalungan bunga itu mendarat di leher. Lalu, kami saling menjabat tangan.

Tapi tidak selesai sampai di situ. Biarlah! Biarlah saya teruskan ini dengan cara saya. Toh, tak ada pembicaraan apapun sebelumnya bakal ada prosesi ini. Maka, belum juga usai jabat tangan itu, saya dekap bapak berumur 50an tahun itu.  Untuk yang pertama kalinya. Tak ada kata, tak ada kalimat apapun. Hanya merasai degup jantung itu, hanya merasakan persentuhan kami. Meski ingin sekali saya bisikkan kalimat ini : “terimakasih, Pak! Terimakasih telah mendidik calon pengantinku sampai sejauh ini. Maafkanlah lelaki ini yang lancang mengetuk pintu rumahmu, untuk meminta salah satu sumber kebahagianmu. Bahkan tanpa sebuah janji. Hanya keinginan hati, untuk memberi kebahagian lain setelah ini”

Beberapa saat kemudian, Robithohnya Izzis kembali mengalun.


(mungkin akan ada sambungannya)