Boleh dibilang, tempat keramain terdekat dari tempat tinggal saya sekarang adalah sebuah tempat yang disebut dengan koperasi. Disebut demikian karena memang di sana ada swalayan milik koperasi karyawan. Selanjutnya, tempat itu menjadi ramai karena tidak hanya swalayan saja yang berdiri. Tepat di depan swalayan itu ada kumpulan penjual makanan yang selalu ramai dikunjungi pembeli tiap malamnya, ada juga studio foto, ada juga salon kecantikan, ada toko roti, ada penjual buku, ada penjual VCD, ada juga ATM tiga bank pemerintah, juga penjual-penjual lain.
Di sanalah saya (dan juga teman saya) sering mampir. Karena memang letaknya berada di antara masjid dan tempat tinggal kami. Jadi seringkali sepulang dari masjid, kami belok dulu ke sana sekedar untuk membeli keperluan atau mengambil uang ke ATM. Termasuk urusan beli pulsa. Di sana, ada empat meja penjual pulsa. Penjualnya sama-sama cewek. Letak keempatnyanya pun boleh dibilang berjejer. Bisa saling melirik satu sama lain manakah yang lebih banyak pembelinya. Saya sering kebingungan mengenai ini, penjual manakah kiranya yang mesti saya hampiri saat saya ingin beli pulsa. Maka yang sering terjadi saya tak pernah merencanakan penjual manakah yang bakal saya hampiri. Saya hanya melangkah, melewati penjual-penjual pulsa itu. Di mana langkah saya terhenti, oleh sebuah keinginan yang datang tiba-tiba dan kadang sulit dijelaskan, disanalah saya akan membeli pulsa. Maka karena tak pernah ada alasan yang jelas, keempat penjual pulsa itu pernah merasakan sama-sama terbeli pulsanya oleh saya.
Suatu ketika, ketika ngobrol dengan teman yang juga sering membeli pulsa di sana, saya bertanya masalah ini.
“bagaimana pean memutuskan, di penjual yang mana bakal membeli pulsa?”
“yang sudah siap. Yang masih menata-nata atau lagi melakukan hal-hal yang tidak jelas, nggak aku hampiri”.
Mmmh.. boleh juga ide teman saya ini. Yang sudah siap artinya yang sudah siap menjemput rizki. Yang masih melakukan aktifitas nggak jelas yang sama sekali tidak mendukung kegiatannya menjual pulsa, barangkali yang belum siap menjemput rizku dari berjualan pulsa tadi.
Hingga kemudian semingguan yang lalu, saya dan teman saya ini berkesempatan mampir ke koperasi. Teman saya ini ingin beli pulsa. Persiapan lebaran, katanya. Saya, yang merasa pulsa untuk persiapan lebaran sudah cukup, cuma mengikuti saja. Kemudian, sampailah kami di deretan penjual pulsa tadi. Tapi kemudian saya heran, ketika berada tepat di depan penjual pulsa pertama, teman saya ini hanya lewat saja. Padahal kalau saya lihat, penjualnya lebih dari sekedar siap. Tak ada pembeli lain pula. Jadi tak perlu ngantri. Tepat di depan penjual yang kedua, ia juga cuma lewat. Begitu juga ketika di depan penjual ketiga. Saya, yang sudah memegang rapat kata-katanya dahulu, akhirnya tak tahan juga untuk tak bertanya.
“lo, katanya beli pulsanya ke yang sudah siap? Itu tadi kan sudah siap”
“beli ke yang pakai jilbab saja”
Fffhhff. Kembali saya terkejut dengan jawaban teman saya ini. Telah hampir enam bulan saya di sini, beli pulsa di sini, tapi belum juga saya menyadari ini. Memang, dari keempat penjual pulsa tadi, hanya seorang saja yang berjilbab dengan pakaian yang sedikit longgar. Tiga lainnya lebih sering memakai jenis pakaian yang tergolong irit bahan.
Saya kemudian tak menanyakan alasannya. Saya rasa, saya sudah bisa menyimpulkan sendiri alasannya.
“iya yah. Kalau beli yang nggak pakai jilbab itu, sesedikit apapun itu, kita bakalan ‘melihat’. Kalau yang berjilbab itu, minimal lebih aman lah!”
“yup”, jawab teman saya itu pendek.
Maka sampailah kami di penjual pulsa berjilbab itu. Saya rasa, saya sekarang punya tempat tetap dimanakah saya mesti membeli pulsa.