Beberapa pulau lain sebenarnya yang menjadi angan-angan saya untuk menjadi pulau lain ketiga yang bakal saya injak. Salah satunya adalah Masalembo, pulau kecil antara Jawa dan Kalimantan, tempat patner skripsi saya lahir, besar, dan bertumbuh. Pulau yang (katanya) eksotik dengan butiran pasirnya yang memutih dan lautnya yang masih jernih. Salah duanya kemudian adalah Sempu, pulau kecil di selatan Malang yang setahu saya tak berpenghuni. Angan-angan saya kala itu sepertinya Sempu bakalan menarik untuk dijadikan tujuan berpetualang mengenang masa-masa berkemah pas Pramuka SMP dulu. Tapi, ternyata keduanya hanya tinggal dalam angan-angan belaka. Justru yang menjadi ketiga kemudian bukanlah pulau kecil tak berpenghuni layaknya Sempu, tapi sebuah pulau raksasa yang bahkan jauh lebih besar dari Jawa; Borneo.
Kejadiannya delapan bulanan yang. Pukul sebelasan di ponsel saya ketika saya (atau kami) mendarat di Sepinggan, tapi saya tahu telah pukul dua belas waktu setempat sebab Balikpapan, tempat bandara Sepinggan berada, termasuk wilayah Indonesia tengah. Seingat saya, pas SD dulu, saya sudah dikenalkan bahwa Kalimantan adalah sebuah pulau alami dengan hutan tropisnya yang melebat, orang utannya yang besar, serta orang dayaknya yang masih begitu harmonis dengan alam. Tapi setelah kuliah, setelah informasi juga sudah deras menyerbu, saya disuguhkan sebuah gambaran bahwa Kalimantan telah menjadi sebuah pulau cantik yang mulai bopeng di sana sini. Pembalakan liar sepertinya tak pernah absen tersuguh dalam berita, dan eksploitasi barang tambang nampaknya juga tak lagi mengindahkan lingkungan. Pembuktiannya baru dimulai beberapa jam kemudian.
Tujuan saya bukanlah Balikpapan, tapi Bontang. Sebuah kota yang belum begitu saya kenal yang katanya masih berjarak 5-6 jam perjalanan via darat dari balikpapan. Tapi kami tak langsung meluncur ke Bontang dulu. Terlebih dulu kami beristirahat sebentar di kantor perwakilan untuk makan siang serta sholat. Sejenak kami melintasi Balikpapan yang katanya kota indah itu. Kota yang saya ketahui dinobatkan sebagai kota termahal di Indonesia lewat sebuah potongan berita yang saya baca pas di surabaya dulu. Memang, kemudian saya bisa menyimpulkan bahwa tak ada sama sekali gambaran kalau kota ini tak lebih maju dari kota-kota besar di jawa. Megah, modern, tertata, nampaknya sudah menjadi kata sifat yang melekatinya. Kota ini memang cantik. Atau mungkin seperti itulah yang bisa saya tangkap dari sekelabat perjalanan. Kesan sepintas.
Beruntungnya, seorang teman ternyata membawa peta kaltim. Sebelumnya saya tak terlalu mengerti dimanakah lokasi tujuan kami persisnya di peta. Hanya kata-katanya, dan saya tak memastikannya. Baru kali inilah saya tahu. Ternyata, untuk menuju ke Bontang dari Balikpapan ini, kami harus menaiki pulau ini (maksud menaiki tentu saja ada dalam Peta). Melewati Samarinda yang notabene ibukota kaltim. Kira-kira samarinda menjadi titik tengah antara balikpapan-Bontang. Tak ada Bandara memadai di Samarinda, begitu juga di Bontang, yang bisa melayani penerbangan dari surabaya.
Kira-kira menjelang ashar kami berangkat ke Bontang naik Bus. Berduapuluh delapan. Agak sedikit kecewa sebenarnya pas pertama kali mengetahui kalau kami ternyata tak jadi naik pesawat yang hanya butuh waktu sejaman, tapi segera terhibur oleh pikiran sendiri bahwa mungkin akan lebih berkesan kalau perjalanan perdana menyisiri timur kalimantan ini dengan berkendara bus. Waktu yang jauh lebih panjang akan berarti waktu yang panjang juga menikmati jengkal-jengkal kalimantan. Bukankah, pengalaman perdana akan selalu lebih menghadirkan makna.
Sejujurnya, mungkin separuhan perjalanan saya isi dengan tertidur (tak konsisten dengan keinginan di awal-awal tadi untuk menikmati perjalanan), tapi kala terjaga saya disuguhi berbagai gambaran. Benar, memang di kanan kiri jalan masih di penuhi pepohonan khas hutan. Tapi jauh di dalam hati ini sebenarnya menginginkan lebih. Sebenarnya saya menginginkan pohon-pohon yang tinggi menjulang khas hutan berusia ratusan tahun. Kokoh, rimbun, tinggi, yang matahari bahkan tak mampu menembus tanah. Tapi keinginan itu nyatanya tak jua tergapai. Sepertinya berita pembalakan tak beretika itu benar adanya. Hanya ada pohon-pohon kecil yang masih berusia muda, beberapa bahkan lapang hanya ditumbuhi kelapa sawit yang masih setinggi orang dewasa. Seketika saya kecewa, tak tahu pada siapa.
Mencapai Samarinda kala maghrib tiba. Dan inilah untungnya. Saat senja selalu menjadi saat indah. Remang-remang yang tercipta membuat suasana kota menjadi berbeda. Sebagai ibu kota propinsi, Samarinda memang lebih besar dan ramai. Jalanan terlihat padat dipenuhi kendaraan, pertokoan yang berjajar, dan beberapa orang nampak menghabiskan sore di tepian sungai Mahakam. Setiba di Samarinda inilah saya baru tahu kalau samarinda dilintasi sungai Mahakam, itupun setelah beberapa rekan seperjalanan ramai menyebut kalau sungai besar yang kami lihat itu bernama Mahakam. Kamipun juga sempat merlintasi jembatan yang mengangkanginya. Kemudian, ada satu bangunan yang cukup menyita perhatian saya kala di Samarinda ini; Islamic Center. Megah dan modern. Sepintas, kelihatannya bangunan itu masih baru. Dugaan yang kemudian saya ketahui memang benar.
Selanjutnya, tak terlalu banyak yang bisa diceritakan sepanjang perjalanan Samarinda-Bontang. Malam benar-benar membatasi pandangan, dan lagi-lagi ngantuk menyerang. Untunglah waktu itu tanggal pertengahan Hijriyah, sehingga bulan yang membulat sempurna cukup menghibur di sepanjang perjalanan yang penuh kelokan dan naik-turun. Hanya bebarapa kali saja kerlip cahaya terlihat di kanan-kiri jalan menandakan adanya perkampungan, tapi selebihnya yang ada hanya kegelapan yang setengah-setengah oleh sebab purnama. Penerangan listrik juga terlihat minim. Berbulan kemudian saya baru mengerti kalau kaltim ini masih kekurangan pasokan listrik, sebuah ironi yang cukup mengganggu mengingat Kaltim menjadi penghasil batu bara dan gas bumi. Dua sumber energi yang kerap dipakai membangkitkan listrik.
Saya terbangun ketika kanan-kiri jalan mulai banyak lampu menyala. Kami sampai di Bontang ternyata, begitulah kira-kira yang saya dengar dari percakapan beberapa. Memang tak ada gedung-gedung menjulang bermandikan cahaya yang dulu membuat saya terpukau kala pertama kali berkeliling Surabaya di malam hari. Suasana juga terlihat sepi untuk ukuran waktu yang baru akan menginjak pukul sepuluh malam waktu setempat. Tapi beberapa waktu kemudian saya tertambat ke suatu pandangan. Sebuah kawasan yang sepertinya terpisah, hanya terlihat dari kejauhan, begitu mencolok dengan lampu kekuningan yang memenuhi bangunana beraneka bentuk. Tinggi rendah, besar kecil, panjang-pendek. Berpendaran. Indah.
“singapore!”, seseorang berseru……

(bersambung. Insyaallah)
gambar diambil dari sini