Beberapa hari yang lalu salah satu laboratorium penelitian di jurusan saya hampir saja terhenti aktivitasnya. Bukan masalah apa, seorang teman yang kebetulan melakukan penelitian disana mengatakan kalau computer satu-satunya di lab tersebut , satu-satunya fasilitas yang membuat ia tetapa betah di lab seharian (soalnya bisa buat ngenet), sedang rusak atau lebih tepatnya dirusakkan. Adalah teman saya yang satunya lagilah biang kerok dari kerusakaaan ini. Ceritanya bermula ketika ia memaksakan diri memasang memori yang jelas-jelas tidak setipe ke computer tersebut. Memang beberapa hari dari beberapa hari yang lalu itu itu si teman yang merusakkan ini mengeluhkan computer yang lemot saat digunakan ngenet, bahkan sering ngerestart sendiri. Letak permasalahannya ternyata ada pada memori computer tersebut yang cuma 128 MB. Entah kenapa waktu itu tiba-tiba saja teman saya ini puny aide untuk menambah memori computer tersebut saat melihat CPU lain di lab yang kebetulan tidak terpakai. Ia bongkar CPU tersebut dan mengambil memorinya. Sampai disini teman saya ini tidak melanjutkan rencananya hingga selang beberpa hari teman saya yang lain itu mengabarkan kerusakan computer di labnya. Ternyata rencana yang tak jadi itu ia realisasikan di waktu yang lain. Tapi sayangnya ia mendapatkan aroma benda hangus menyembul dari rangkaian dalam CPU tersebut.
Saya tak banyak komentar mengenai masalah ini karena memang saya tidak banyak tahu mengenai masalah computer dan perakitannya. Tapi yang jelas teman saya yang merusakkan itu harus bertanggung jawab untuk menormalkan kembali computer tersebut. Teman saya itu kemudian membawa computer tersebut ke salah satu tukang servis terdekat. Cerita ini terlihat biasa-biasa saja bagi saya sampai dua hari yang lalu saat teman yang merusakkan computer tersebut menceritakan apa latar belakang dibalik kenekatannya mengotak-atik computer tersebut. Saat itu kami sedang ngenet di computer himpunan yang memang koneksinya lumayan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang ada di labnya. Teman saya ini bercerita bahwa kalau dulu sebenarnya computer himpunan itu juga tak kalah lemotnya , memorinya kala itu juga cuma 128 MB. Tapi kemudian teman saya ini bilang kalau ia berhasil mengupgradenya dengan cara menambah memori 128 MB, persis dengan apa yang ia lakukan pada computer lab. Tambahnya lagi waktu itu ia juga mencobanya berkali-kali, dengan sedikit memaksa, tapi akhirnya berhasil juga.
Dalam hati saya tersenyum sendiri mendengar cerita ini, benar mungkin apa yang diungkapkan Ary Ginanjar bahwa salah satu dari tujuh belenggu hati adalah pengalaman . Teman saya ini begitu nekatnya memaksakan memasang memori yang tidak setipe pada computer tersebut karena merasa punya pengalaman berhasil untuk kegiatan serupa terhadap computer lain. Artinya ia melakukannya tidak lebih karena kejernihan pikiran atau analisa mendalam, tapi lebih banyak didasari oleh pengalamannya. Tapi sayangnya teman saya ini mungkin gagal memaknai pengalamannya, ia mungkin lupa bahwa dulu, waktu ia berhasil , mungkin karena banyak factor lain yang sekarang tidak ada pada kasussnya, termasuk masalah kecocokan tipe memori tersebut. Ini mungkin yang dimaksud belenggu hati oleh Ary Ginanjar.
Setelah peristiwa ini mungkin teman saya tersebut akan lebih bijak dalam kasus yang serupa, karena ia telah memilki dua pengalaman mengenai masalah ini, yaitu pengalaman gagal dan juga berhasil. Teman saya ini sekarang bisa lebih jernih dalam mengambil sebuah sikap atap tiap fase kehidupannya.
Kita, secara sadar atau tidak, juga sering kali berlaku seperti teman saya ini. Kita sering kali bertindak hanya bermodalkan pengalaman semata. Kita terlalu mengagungkan sebuah semboyan “experience is the best teacher”, tapi kita lupa kalau pengalaman bisa juga menjadi penjerumus kalau kita gagal memaknai pengalaman tersebut. Sudah umum kalau kita akan takut melakukan suatu hal karena kita memilki pengalaman buruk mengenai hal tersebut, pun juga sebaliknya kita akan begitu beraninya bertindak tanpa piker panjang kalau kita memilki track record yang baik dalam menghadapi kasus yang serupa dengan itu. Kita tidak sadar bahwa pengalaman bukanlah sebuah kesimpulan yang absolut, bukan pula sebuah silogisme yang jika x maka y. Ada banyak variable yang menentukan ”jika x maka y” itu. Itu yang kita alpa untuk menganalisanya. Kita lebih sering membuat kesimpulan yang permanen untuk pengalaman kita itu, yang sayangnya sering kali membatasi langkah kita ke depannya.
Semoga setelah ini kita akan semakin arif memaknai setiap keeping-keping pengalaman yang mengiringi setiap langkah kita. Semoga kita akan menjadi sadar, bahwa selain Allah, tak ada yang absolute di dunia ini. Wallahu a’lam.
Griya BNI
Ahad, 6 oktober 07
No comments:
Post a Comment