Sesuatu di hari ulang tahun saya
Entah apa yang sebenarnya ingin saya tulis, saya hanya mencoba menggerakkan jemari.
Saya, ataupun keluarga saya, tak mempunyai tradisi merayakan ulang tahun. Sampai seusia ini saya tak pernah merayakan ulang tahun dengan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai perayaan ulang tahun. Ulang tahun bukanlah suatu hal yang special. Paling-paling, dulu, ketika saya masih kanak-kanak ibu sering membuat bubur merah di hari ulang tahun saya. Tentu saja ibu saya memakai penanggalan hijriyah untuk menentukan ulang tahun saya waktu itu. Bubur merah itu diberi wadah daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa hingga mirip mangkuk , kemudian dibagikan ke teman-teman sepermainan saya yang kala itu hanya belasan orang (waktu itu anak-anak seusia saya sekampung memang hanya segitu).
Maka jarang sekali ada hadiah ulang tahun bagi saya. Bahkan tak pernah ada hadiah ulang tahun buat saya hingga saya besar. Hadiah ulang tahun pertama saya dapat ketika saya kelas dua SMP dari seorang perempuan teman sekelas saya. Saya masih ingat hadiah itu berupa buku kecil semacam buku diary bergembok. Sampai sekarang masih ada. Hadiah kedua saya dapat ketika saya SMA, waktu saya kelas dua. Yang memberi adalah seorang perempuan yang katanya memang naksir saya. Di luar pergulatan pikiran apakah saya memang seharusnya menereima atau tidak hadiah itu, saya tak bisa bohong kalau saya senang menerima hadiah itu. Seseorang akan selalu senang saat mendapat hadiah, siapapun itu yang memberi. Saat itu saya di beri sekotak tango besar dan biore. Saya diberi biore karena di saat kelas dua itulah wajah saya mulai dipenuhi jerawat.
Dan hadiah ketiga ultah saya adalah pas saya kelas tiga. Ini adalah hadiah ulang tahun yang paling saya kenang. Hadiah itu diberikan oleh temanp-teman dekat saya, berupa kaos biru merek sophie martin (bagi yang kenal saya pasti pernah tahu saya memakainya) dan juga sebuah buku tebal soal-soal UAN dan pembahasannya. Hadiah itu terasa special karena mereka, teman-teman dekat saya itu, membelinya secara patungan. Ah saya akan selalu ingat teman-teman saya itu.
Hadiah memang bukanlah sebuah hal yang mesti, tapi lewat hadiahlah setidaknya kita menunjukkan kepada orang yang kita beri hadiah itu bahwa kita ada untuk dia. Maka sebenarnya hadiah bukanlah melulu sebuah barang. Hadiah bisa berwujud immaterial. Apapun itu, tergantung kreatifitas kita. Yang pernting adalah tersampainya perasaan kita itu, perhatian kita itu.
Sebenarnya saya tak ingin membahas masalah hadiah itu. Saya hanya ingin membalas hari ini, tanggal 29 januari ini. Apa sebenarnya saya rasakan hari ini, saya tak tahu juga. Hanya saja sejak seminggu yang lalu saya berjanji untuk menuliskan apa yang sudah saya laksanakan di hidup saya ini, hari ini, di hari ulang tahun saya. Ah waktu begitu cepat berlari, melesat, zig zag, mengajaa adu sprint. Meninggalkan mimpi yang terengah-engah di belakang. Menyalip jauh pengharapan yang mulai terjungkal-jungkal mencoba menyamai langkah. Dan tentu saja cita-cita, yang mulai terseok-serok, entah dimana. Ya, waktu seumpama meteor, seumpama cahaya yang kau lepas dari sebuah sumber. Tak terkejar. Meninggalkan semuanya.
Lalu apa sebenarnya yang telah saya lakukan sampai usia saya sekarang ini. Adakah cita-cita saya telah tergapai.Dulu, waktu saya kecil, saya kebingungan tiap kali ditanyakan apa cita-cita saya. Bukan kenapa, karena memang saya tak punya gambaran sosok ideal yang bisa saya idolakan, atau sebatas saya ingini. Dalam kehidupan yang serba sederhana, tiap harinya saya hanya diberi gambaran tentang orang-orang di sekitar saya yang serba homogen. Kebanyakan adalah petani atau pedagang. Saya kurang begitu tahu bagaimanakah dokter itu, polisi itu, insinyur itu, atau astronot itu. Gambaran yang paling dekat dalan diri saya kala itu hanyalah seorang guru. Tapi saya tak ingin menjadi guru. Saya ingin menjadi lain, sesuatu yang lain. Yang sayangnya gagal untuk saya definisikan sendiri.
Apakah itu salah? Ah saya tak tahu juga. Hanya saja pas kelas enam SD ketika saya disuruh membuat essay mengenai cita-cita, saya menuliskan ingin menjadi pemain sepak bola top. Mungkin nyleneh kala itu, tapi saat itu sepak bolalah hal yang terdekat dalam diri saya. Pemain sepak bola adalah tokoh ideal dalam benak saya kala itu. Saat itu memang adalah saat saya mulai menyukai sepak bola di TV, ataupun radio. Bisa dikatakan saat itu saya sedang dilanda gila bola.
Keinginan itu tak bertahan lama. Temporal saja. Ketika saya SMP saya sempurna sudah tidak menginginkan menjadi pemain bola. Walaupun saya masih tetap gila bola, tapi ketika SMP saya mulai menyadari bahwa sepak bola bukanlah hal yang ideal bagi saya. Maka cita-cita (kalau itu bisa disebut sebagai cita-cita) saya pun berubah. Di saat SMP itulah ada semacam keinginan untuk menjadi penulis. Entah ini muncul dari mana mulanya. Tiba-tiba ingin saja. Saya merasaa nyaman sekali ketika guru bahasa Indonesia saya memuji kepintaran saya membuat kalimat ataupun paragraf yang sebelumnya beliau tugaskan. Namun begitu keinginan ini tak selamanya kuat dalam diri saya, lebih sering timbul tenggelam. Bahkan ketika ditanyai guru bahasa inggris saya (dengan bahasa inggris tentunya) tentang apa-apa cita saya, saya hanya menjawab enteng ingin menjadi dokter, karena seingat saya waktu itu kata dokterlah yang paling mudah ditranslate ke bahasa inggris : sama.
Saat SMA, keinginan untuk menjadi penulis itu tetap ada , tapi tidak terlalu kuat. Menulis hanyalah hobi, pikir saya kala itu. Saat itu dalam pikiran saya, saya hanya ingin menjadi seseorang yang berhubungan dengan teknik. Alasnnya sederhana saja, karena saya lebih pintar dalam bidang sciene seperti fisika, matematika ataupun kmia. Saya sama sekali tak ahli dalam ilmu social maka saya tak ingin jadi seseorang yang berhubungan dengan ilmu social. Saya juga sama sekali tak berminat untuk menjadi dokter karena mata pelajaran biologi saya yang jongkok.
Sampai akhirnya saya terdampar di jurusan teknik kimia ini. Terdampar? Ah bukankah itu sebuah kosakata yang kurang mengenakkan. Tapi tunggu dulu. Bagaimanakah jika saya itu terdampar di sebuah pulau impian. Indah sekali bukan.
Saya cinta jurusan saya ini, karena di sinilah saya belajar banyak hal. Di sini pulalah saya mulai diperkenalkan banyak hal. Teman-teman, keadaan-keadaan, pergerakan-pergerakan, dinamika, uang, kerasnya hidup, indahnya ukhuwah, romantika, IPK, novel, cerpen, futsall, tausiyah, halaqoh, syuro’, kajian, praktikum, begadang, ngenet, mak dami, BNI, nikmatnya pulang, pertemuan-pertemuan, perpisahan, sedih, senang, ah, oh, yes, alhamdulillah, hidup, mati, kehidupan, mimpi, masa depan, keluarga, hari esok, tanggung jawab. Semuanya, semuanya membalut sebuah wadah bernama kehidupan perkuliahan, yang sayangnya hanya ada satu kata yang saya temukan untuk bisa mendefinisikannya : indah.
Bayak sekali pencerahan yang saya dapatkan saat kuiah ini. Di saat kuliah inilah keinginan untuk menjadi penulis semakin menguat. Tapi tidak hanya sekedar penulis, saya ingin menjadi seorang engineer yang penulis. Itulah sampai saat ini hal ideal yang ingin saya gapai.
Maka saat ini, di tanggal 29 januari ini, sudahkah jalan menuju mimpi itu telah saya lapangkan. Di saat usia yang semakin menua, dan nafas yang kian sesak, sudah banyakkah hal yang konstruktif telah saya lakukan. Beberapa kali saya merenung panjang, sudah adakah hal besar yang telah saya lakukan. Di usia saya sekarang ini, Muhammad Al-Fatih telah berhasil menaklukkan konstantinopel, Jokovik telah mampu menjuarai grand slam, Cristiano Ronaldo telah menjadi bintang di MU, atau anak-anak Palestina telah memanggul senjata mengusir zionis Israel. Sedang saya? Butuh malam-malam panjang untuk merenungkannya saya kira.
Bertambahnya usia mungkin juga berarti semakin bertambahnya waktu yang telah saya sia-siakan. Bertambahnya usia juga mungkin berarti bertambahnya peluang yang telah lewatkan begitu saja. Bertambahnya usia juga berarti semakin bertambahnya hal yang harus saya pertanggungjawabkan. Dan bertambahnya usia itu yang pasti juga berarti rantang waktu menuju kematian itu kian merapat.
Allah, banyak sekali kehendak-kehendak, keinginan-keinginan, cita-cita. Tak terhitung pula harapan-harapan yang ingin tergapai. Semuanya menyesaki, menghimpit. Semuanya seolah ingin segera terengkuh. Semuanya indah, semuanya ideal. Tapi saya yakin ya Allah, Kaulah yang tahu apa yang terbaik bagi hambamu.
Kini, cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdo’a. (diambil dari petikan buku 5 cm karya Donny Dhirgantoro).
Selamat ulang tahun diriku, semoga akan ada hal indah yang bisa kau lakukan setelah ini. Amin.
BNI,29 januari 2008
No comments:
Post a Comment