Di kampus, ada sebuah tempat yang menjadi favorit banyak orang. Saya pun kemudian ikut-ikutan menjadi bagian dari banyak orang tersebut. Sepintas tempatnya biasa-biasa saja. Tak ada makanan di
Dari situlah kemudian saya merasakan kenyamanan berlama-lama di
Dan yang paling mengagumkan adalah saat malam menjelang. Saya bisa berlama-lama di sana. Menikmati kerlap-kerlip di kejauhan. Ada yang begitu terang dan teratur : pertanda di situ ada perumahan elit. Ada yang suram dan tak teratur formasinya: itulah perkampungan kelas menengah ke bawah yang memang mengitari kampus. Lalu bila memandang ke timur, akan terlihat kubah yang bercahaya. Kubah masjid Baitun Nur Kejawan. Dan bila mulai merangsek memandang ke atas, subhanallah, akan ada kerlap-kerlip bintang. Juga bulan. Entah mengapa saya begitu sukanya melihat bulan bintang ini. Tentram saja melihatnya. Dulu, waktu saya masih SMA, pas ketika jenuh belajar, saya akan keluar sebentar ke teras rumah. Memandang langit. Kadang sampai sepuluh menitan. Ajaibnya, itu bisa menyegarkan kembali pikiran.
Uigh, ngomong masalah ini, saya jadi teringat novelnya bang Tere Liye yang ”Rembulan Tenggelam Di Wajahmu” (*betul tidak ya judulnya, karena dulu cuma pinjam*). Ray, tokoh utama cerita tersebut gemar sekali memanjat tower tandon air di samping kamar kosnya untuk berlama-lama memandang bulan. Jadi, waktu membaca cerita itu seperti membaca diri sendiri saja. Gue banget. Sepertinya sih penulisnya memang punya kegemaran memandang bulan juga, karena setelah membaca novelnya yang lain, Moga Bunda Disayang Allah, ada suatu cerita salah satu tokoh cerita, ayahnya Melati, naik ke atap pabrik untuk memandang bulan. Melepas beban.
Kembali ke cerita saya yang awal tadi.
Sebenarnya dulu saya juga punya tempat yang cukup asyik untuk berlama-lama memandang jauh. Kalau malam juga bisa digunakan untuk memandang bulan. Tapi sayangnya itu di kontrakan lama. Tempatnya ada di lantai dua, tempat anak sekontrakan biasa menjemur cucian. Yang enak dari tempat ini karena saya bisa hehijauan sepuasnya. Belakang kontrakan lama saya ini memang hanyalah padang rumput luas di antara tambak ikan. Luas sekali. Kalau mengingat itu saya jadi menyesalkan kontrakan saya yang sekarang. Tempat semacam itu tak ada lagi. Tempat jemuran memang masih di lantai dua, tapi bedanya tempatnya sempit dan tidak representatif untuk dijadikan tempat untuk melaksanakan hobi saya itu. Yang bisa dilihat dari sana paling hanya genteng tetangga, selain karena tak ada tempat yang nyaman untuk bisa saya duduki lama-lama.
Kira-kira hobi saya aneh tidak ya? Entahlah. Tapi yang pasti hobi saya ini memberi saya inspirasi untuk membuat satu tempat khusus (mungkin di atap) untuk tempat memandang bulan di rumah saya kelak.
7 comments:
wah, sama mas..
saya juga suka memandang langit kalo malam hari...
subhanallah...
memang menyejukkan...
^_^
saya juga suka
biasanya saya naek ke atap rumah lewat pagar yang tinggi
trus memandang langit dari atap rumah sendiri
indaaahnya
*tapi kalo ketahuan mama dimarahin, cewek manjat2 malem2, hehhe*
sekali-kali janjian yuk menatap langit sama-sama, tapi dari tempatnya masing2
qta punya hobby yang sama...
memandang benda yang gemerlapan di langit itu memang sangat indah, subhaanallah...maha suci Allah yang menciptakannya...BINTANG
boi, kamu itu bukan wajah aja yang mirip ma aq. tapi koq kegemaran yo sama. aq yo punya rencana ne (baru rencana neh) pengen mbangun rumah, meski bukan full 2 lantai tapi pengen tak sediain sedikit space di lantai dua buat nyantai, bakal tak set terbuka, so bisa nyantai ngeliat langit pas malem.
tanah dah ada neh, di pinggir desa, belakangnya sawah. kalo ngadep utara ad lapangan, jadi sore2 juga bisa liat orang maen bola. hmmmm,,,,,
ha ha..masak sih ji...
bersebelahan kayake asik deh ji...tanah pinggirnya kosong juga nggak??
ntar bisa saling lempar makanan...tukeran
lagi ditanemi lombok ki, mau? lek pengen tebu iso ngambil di belakange (nyolong donk), waktu panen jelasnya,
Post a Comment