Lagi-lagi tulisan lama. Sindrome poster paper skripsi benar-benar ampuh membuat saya futur dari kegiatan tulis menulis. Bahkan buku yang telah lama saya belipun belum kelar-kelar saya baca.
Maka daripada stres sendiri mendingan saya posting ini:
Tulisan ini saya buat sekitar awal-awal januari kemarin.Beginilah isinya:
Ngomong-ngomong semalam ada pengalaman menarik. Saat itu sudah menunjukkan jam delapan malam, posisi saya saat itu sedang berada di terminal Bratang. Tahu
Masalahnya (bagi yang pernah naik lyn S dari Bratang pasti tahu) angkot kita yang satu ini mau berangkat kalau penumpangnya sudah penuh, sekitar 7+4+2+1, ya 14. Lah.., waktu itu
Merasa bahwa ini akan lama, saya keluar dulu untuk membeli buah pada tukang yang kebetulan mangkal tak jauh dari situ. Hal ini ternyata disusul oleh orang yang sedang duduk di sebelah saya. Dari sini saya memperoleh kesimpulan pertama : ternyata kita orang yang paling suka tiru-tiru bahkan untuk hal yang remeh temeh seperti ini.
Saya naik lagi, orang yang duduk di sebelah saya tadi juga naik. Terus seperti sebuah sinetron, akhirnya kita kenalan. Coba tebak apa kalimat pembuka untuk mengawali perkenalan ini. Tanya jam berapa, menawarkan permen, atau pura-pura menginjak kakinya (*wah jadi ingat cerpen “putri” yang saya buat*). Ups bukan itu, caranya cuma sederhana kok : turun mana?. Perbincangan pun mengalir sendiri.
Satu orang penumpang bapak-bapak masuk. Jadi kini kami berenam.
Bus yang dari Bungurasih datang. Kami berenam, para penumpang, sumringah. Kukira para penumpang sedang menggumamkan sesuatu di hatinya masing-masing: Berangkat… berangakat!!. (*Nyambung nggak, kalau nggak nyambung coba dipikir sendiri saja ya. Kalau nggak mau mikir ya dibaca kelanjuatannya saja pasti ngerti sendiri*.)
Ternyata ujian bagi kami kelima penumpang plus satu penumpang baru tadi belum selesai. Penumpang yang turun dari bus dan berpindah ke angkot yang sedang kita tumpangi cuma ada empat, artinya sekarang penumpangnya berjumlah sepuluh (*perasaan dari tadi main tambah-tambahan saja ya*). Saya berpikir keras, dari mana mendapat tambahan empat orang lagi. Kami semua terdiam , was-was dengan keadaan ini. Sopir belum mau memberangkatkan angkotnya. Semenit, dua menit,
Semenit lagi lewat, dua menit, dan
Parahnya lagi, kesimpulan saya yang pertama tadi berlaku juga. Melihat ada yang memutuskan turun, penumpang terakhir yang tersisa dari “penumpang baru” tadi memutuskan turun juga dan pergi enatah keman. Pertanyaan saya yang pertama : jika anda sebagai para penumpang baru tadi apa yang anda lakukan mengahadapi situasi semacam ini.
1. Tetap menunggu bersama penumpang yang lain, berpikir kalau seandainya saya turun maka perlu waktu yang lebih lama lagi untuk angkot ini berjalan, kasihan para penumpang yang telah menunggu lebih lama dari saya.
2. Turun saja, minta dijemput, memang gue pikiran angkot ini berangkat lama atau tidak. Persoalan penumpang yang sudah lama menunggu ya salah sendiri nggak punya teman yang bisa menjemput.
3. Menunggu pasrah nggak punya pikiran macam-macam.
Ups, kami semua putus asa. Kurasa semuanya sedang berdo’a memohon keajaiban. Tiba-tiba makelar penumpang menghampiri kami, menawarkan sebuah win-win solution. Begini katanya : “wah, sudah dua bis, tapi nggak penuh-penuh juga. Gimana kalau
Negosiasi gagal.
Menit-menit kembali berlalu.
Makelar kembali menghampiri kami. Nampaknya ia adalah juru runding yang dikirim si sopir. Kalau dalam masa tunggu begini memang sopir jarang nongol di depan penumpang, takut didesak untuk segera berangkat mungkin. Ia kembali menawarkan hal yang sama dengan tadi, tapi sekarang turun : jadi empat ribuan. Saya jadi berhitung-hitung : jika empat ribu itu dikalikan dengan jumlah penumpang yang ada berarti menghasilkan nilai 24000, artinya masih lebih rendah dari uang yang diperoleh seandainya si sopir memberangkatkan sepuluh penumpang yang sudah ia dapat tadi dengan tarif normal, 2500.
Penumpang menawarkan jalan tengah, tiga ribu saja. Makelar nampaknya kurang sepakat.
Negosiasi gagal lagi.
Harapan semakin menipis dan beberapa penumpang sudah memulai memperbincangkan alternative naik becak (*saya juga heran darimana mereka dapat ide gila itu, ongkosnya
Dan
Mungkin anda pernah mendapatkan kata-kata semacam ini : ketika harapan sudah semakin menipis dan hampir sudah tidak ada harapan , maka disitulah seringkali sebuah titik cerah atau keajaiban lahir. Ya, tidak dinyana-nyana, dari arah yang tak terduga, tiba-tiba ada serombongan ikhwan akhwat berjumlah tujuh orang menghampiri makelar, menanyakan sesuatu, kelihatannya bukan orang Surabaya. Harapan kami meninggi, dan…..oh Gusti!!mereka naik angkot yang kami tumpangi.
Sungguh akan sangat sulit sekali menggambarkan kebahagiaan yang melingkupi saya dan para penumpang lain mungkin. Ternyata suatu kebahagiaan membuncah kadang-kadang justru datang dari hal-hal kecil semacam ini, dari hal remeh temeh yang seringkali tak terbayangkan oleh kita. Kita mungkin terlalu sibuk mencari kebahagiaan dengan hal-hal besar, yang fantastis, atau bahkan yang wah. Padahal di sekitar kita banyak sebenarnya sumber-sumber kebahagiaan yang berpotensi menentramkan hati kita.
Maka akhirnya angkotpun melaju, membawa hati-hati yang diliputi rindu suasana rumah. Kurasa kami sedang bersorak tanpa suara.
No comments:
Post a Comment